Menurut Jalaluddin Rakhmat (2005) ada 7 kerancuan dalam berpikir:
- Fallacy
of dramatic instance (kecenderungan untuk melakukan
over-generalisasi), yaitu penggunaan satu atau dua kasus untuk memberikan
gambaran kondisi secara umum. Pada hal setiap masalah memiliki perbedaan
kondisional meskipun terdapat kesamaan bentuk.
- Fallacy
of retrospective determinism (anggapan masalah sosial adalah segala
sesuatu yang lazim ada secara historis), hal ini menggambarkan kebiasaan
orang untuk melihat suatu masalah sosial yang sedang terjadi dengan
melacaknya secara historis dan menganggapnya selalu ada dan tidak bisa
dihindari.
- Post hoc ergo propter hoc (anggapan bahwa masalah sosial hanya
karena hukum sebab akibat belaka), maksudnya apabila suatu peristiwa yang
terjadi dalam urutan temporal, maka selalu lahir prasangka bahwa hal yang
pertama sebab dan hal kedua adalah akibat. Padahal ada kemungkinan
keadaan itu tidak bersangkut paut antara satu dengan yang lain.
- Fallacy of misplaced concreteness (salah menilai masalah, abstrak
dianggap konkrit, sedangkan yang kongkrit dianggap abstrak), dapat
diartikan sebagai kekeliruan berpikir yang terjadi karena kita seolah-olah
menganggap persoalan yang sedang dibicarakan itu konkrit padahal pada
kenyataannya adalah abstrak. Contoh ketika terjadi permasalah
sosial timbul pernyataan, “ini semua sudah takdir Allah”, sehingga tidak
ada daya untuk mengatasi masalah tersebut.
- Argumentum
ad verecundiam (menggunakan otoritasnya untuk melihat orang lain atau
masalah sosial), dapat diartikan berargumentasi atas dasar otoritas adalah
suatu kesalahan. Seseorang sering berbicara menggunakan otoritas yang
telah diakui keberadaannya sebagai dasar pijakan yang kuat baginya untuk
mengemukakan argumentasi.
- Fallacy
of composition (menyamakan semua masalah, tidak melihat siapa objek
dan lingkungan tempat terjadinya), contoh setelah melihat seseorang
berhasil pada ternak ayam potong, maka semua orang dalam satu kampong
beternak ayam potong. Akhirnya mereka semua merugi karena jumlah ayam
potong melimpah di pasaran.
- Circular
reasoning (pemikiran yang berputar-putar dan hanya menggunakan asumsi
untuk mendapatkan konklusi), artinya logika yang berputar-putar.
Pembicaraan yang dilakukan tidak terarah dan mengulangi hal-hal yang telah
dibicarakan sebelumnya.