Wednesday, 29 March 2017

MAKNA JAM’UL QUR’AN



MAKNA JAM’UL QUR’AN

Jam’ul Qur’an (Pengumpulan Al–Qur’an) oleh para ulama diartikan menjadi dua makna:
1. Pengumpulan dalam arti Hifzuhu (menghafal dalam hati)
Rasulullah SAW adalah penghafal Qur’an pertama dan contoh paling baik bagi sahabat dalam menghafal Qur’an, sebagai realisasi dari kecintaan mereka terhadap pokok agama dan sumber risalah. Para sahabat selalu berkompetisi dalam menghafal Qur’an, bahkan memerintahkan anak dan istrinya dalam mengahafalnya. Mereka membaca dalam Qiyamul–lail, sehingga dari rumah mereka suara bacaan Al–Qur’an terdengar seperti suara lebah.
Sahabat yang terkenal dalam bidang hafalan Qur’an (hafidz) ada 7 orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mua’qqil, Muadz bin Jabal, Ubay Bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sukun, dan Abu Darda’. Hal ini disebutkan dalam tiga dari dua hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari di bawah ini:
1. Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘As berkata: “ Aku mendengar Rasulullah berkata: ‘Ambillah Al–qur’an itu dari empat orang: Abdullah Bin Mas’ud, Salim, Mu’adz dan Ubay bin Ka’ab.”’
2. Dari Anas berkata: ”Rasulullah wafat sedang qur’an belum dihafal kecuali oleh empat orang: Abu Darda, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabin dan Abu Zaid.”
2. Pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kullihi (penulisan Al–qur’an keseluruhan)
Pengumpulan Al-qur’an terdiri tiga periode, yaitu Masa Rasulullah SAW, Masa Khalifah Abu Bakar dan Masa Khalifah Utsman Bin Affan.
Pengumpulan pada Masa Rasulullah SAW
Rasulullah telah mengangkat para sahabat sebagai penulis wahyu. Diantara mereka adalah ‘Ali, Muawiyah, Ubay Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Bila turun ayat, Rasulullah memerintahkan mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam suatu surat. Hal itu sesuai dengan anjuran Jibril ‘alaihissalam. Para sahabat menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun, pelana atau potongan tulang binatang. Karena keterbatasan media, sehingga pada masa itu Al–qur’an belum rapi dan belum berbentuk mushaf.
Pengumpulan pada Masa Khalifah Abu Bakar
Penulisan Al–qur’an pada masa Abu Bakar adalah dalam rangka menjaga keutuhan Al–qur’an agar tidak hilang, seiring dengan banyaknya para penghafal Al–qur’an yang syahid di medan perang.
Abu Bakar menjadi khalifah pertama sepeninggal Rasulullah SAW. Ia dihadapkan pada peristiwa–peristiwa berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang yang murtad itu. Perang Yamamah terjadi pada tahun ke 12 hijriah melibatkan sejumlah besar penghafal Al–qur’an. Dalam peperangan ini sejumlah 70 penghafal Al–qur’an gugur.
Dengan kejadian tesebut, Umar bin Kahattab merasa khawatir jika peperangan di tempat lain akan membunuh banyak penghafal Al–qur’an. Ia lalu menghadap kepada Abu Bakar untuk mengajukan usul agar mengumpulkan dan membukukan Al–qur’an, karena dikhawatirkan akan musnah.
Abu Bakar menolak usulan ini karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tatapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah SWT membuka hati Abu Bakar untuk menerima usdulan tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melakukan tugas tersebut. Pada awalnya Zaid menolak, keduanya bertukar pendapat sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan itu. Zaid memulai tugas beratnya dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para penghafal dan catatan yang ada pada penulis. Kemudian lembaran–lembaran tersebut disimpan oleh Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 13 Hijriah, kemudian berpindah ke tangan Umar hingga ia wafat. Kemudian berpindah ke tangan Hafsah, putri Umar. Pada permulaan kepemimpinan Khalifah Utsman, Utsman memintanya dari tangan Hafsah.
Pengumpulan pada Masa Khalifah Utsman bin ‘Affan
Penulisan pada masa Usman terjadi pada tahun 25 Hijriah. Penulisan pada masa ini adalah dalam rangka menyatukan berbagai macam perbedaan bacaan yang beredar di masyarakat saat itu. Ketika terjadi perang Armenia dan zarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara–cara membaca Al–qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing–masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang dilihatnya.
Dengan keadaan demikian, Utsman pun khawatir bahwa akan adanya perbedaan bacaan pada anak–anak nantinya. Para sahabat memprihatinkan kenyataan karena takut kalau ada penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran–lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran–lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf.
Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf yang ada padanya. Kemudian Utsman membentuk panitia yang beranggotakan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang terakhir adalah suku Quraisy. Lalu memerintahkan mereka untuk memperbanyak mushaf. Nasehat Utsman kepada mereka:
1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al–qur’an
2. Jika ada perselisihan di antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan dalam dialek suku Quraisy, sebab Al–qur’an diturunkan menurut dialek mereka .
Mereka melaksanakan perintah tersebut. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran asli kepada Hafsah. Al–qur’an yang telah dibukua dinamai dengan “Al – Mushaf”, dan panitia membuat lima buah mushaf. Empat di antaranya dikirimkan ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat – tepat itu disalin pula, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai Mushaf “Al–Imam”, dan memerintahkan agar semua Al–qur’an atau mushaf yang ada dibakar.
Dengan demikian, dibukukannya Al–qur’an di masa Utsman manfaatnya yang utama adalah:
1. menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya.
2. menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada kelainan bacaan, tetapi tidak tidak bertentangan dengan ejaan mushaf–mushaf Utsman.
3. menyatukan tertib susunan surat–surat.
Sebab–sebab Al–qur’an belum dibukukan semasa Rasulullah SAW hidup
Sebab–sebab mengapa Al–qur’an belum dibukukan pada masa Nabi saw masih hidup adalah:
1. Al–qur’an diturunkan secara berangsur–angsur dan terpisah–pisah.
2. Sebagian ayat ada yang dimansukh. Mansukh dan nasikh adalah menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah para ulama muta’akhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak dan nyata. Pembatalan ini dapat berupa pengkhususan atau pemberian syarat tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi yang terikat dengan suatu syarat, menafsirkannya dan menjelaskannya.
3. Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya.
4. Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasulullah adalah sangat dekat.
Demikianlah periode masa dibukukannya Al–qur’an, sejak zaman Khalifah Utsman bin Affan sampai dengan Al–qur’an yang ada pada sekarang. Bahkan sampai saat ini, dengan adanya mushaf Al–qur’an, Al–qur’an menjadi satu–satunya buku yang paling banyak dihafal oleh manusia di dunia, baik sebagian maupun keseluruhan isinya. Sehingga keberadaan dan kemurnian Al–qur’an akan selalu terjaga sampai hari kiamat sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al – qur’an, dan sesungguhnya Kami benar – benar memeliharanya.”. (Qs. Al–Hijr : 9)
Allahua’lam bishshowwab


A.     Pengertian Jam’ul Qur’an
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHCgJkLXhzMcdIpIsHWh6mIwkj_dGf3_5DFXiiuRtDJKfV8VYS_aRzWHF_79efIhFjEp-AlLahpZ7VDzDsSrioWpqVBc31_k6gRdCBWvokjS0IKoftL9xD4dThi_6I2LN2E_7MCmkW-3zv/s1600/alquran-300x216.jpg
Kata al-Jam’u berasal         dari kata ”Jama’a – Yajma’u _ Jam’an” yang berarti pengumpulan atau penghimpunan. Adapun makna al-Qur’an menurut bahasa, kata qur’an adalah bentuk masdar (kata benda verbal) dari qara’a yang berarti membaca, baik membaca dengan melihat tulisan ataupun secara menghafal. Jadi Jam’ul Qur’an berarti upaya mengumpulkan al-Quran yang berserakan untuk diteliti dan diselidiki.
Manna’ al-Qattan membagi pengertian Jam’ul Qur’an ke dalam dua bagian yaitu:
1.      Jam’ul Qur’an dalam arti hifzuhu(menghafalnya dalam hati). Inilah  makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi. Nabi senantiasa menggerak;gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca al-Qur’an ketika diturunkan kepadanya.
2.      Jam’ul Qur’an dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam suatu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya, sebagian ditulis sesudah bagian yang lain.
Sebagian besar literature yang membahas tentang ilmu-ilmu al-Qur’an menjelaskan bahwa Jam’ul Qur’an meliputi  proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga menjadi mushaf al-Qur’an.
B.     Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Nabi
Kodifikasi atau pengumpulan al-Qur’an telah dimulai sejak zaman Rasulullah saw, bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya al-Qur’an. Sebagaimana diketahui, al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, hal ini disesuaikan dengan keadaan Rasulullah dan agar lebih mudah untuk menghafalnya baik oleh Nabi maupun para sahabat.
Pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an di masa Nabi saw terbagi atas dua kategori:
1.             Pengumpulan al-Qur’an dalam dada.
                   Al- Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw, di mana beliau dikenal seorang ummi(tidak dapat membaca dan menulis). Oleh karenanya setiap ayat al-Qur’an diturunkan, beliau hanya menghafal dan menghayatainya agar penguasaannya terhadap al-Qur’an persis sebagaimana aslinya. Dan setelah itu, beliau membacakannya kepada sahabat dan ummatnya sejelas mungkin dan memerintahkan kepada mereka untuk dapat menghafal dan memantapkannya. Hal ini persis dengan janji Allah dalam QS. Al-Qiyamah (75):16-19.

Artinya:  Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.

Para sahabat langsung menghafal al- Qur’an tersebut di luar kepala  setiap kali Rasulullah saw menyampaikan wahyu kepada mereka. Hal ini bisa mereka lakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur(budaya) orang Arab yang menjaga peninggalan nenek moyang mereka dengan cara hafalan.
Manna’al-Qattan mengutip hadits dari  kitab Shahih Bukhari tentang tujuh hafidz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muas bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
2.       Pemeliharaan al- Qur’an dengan tulisan
Walaupun Nabi Muhammad saw dan para sahabat menghafal ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu Ilahi beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan.
Sejarah menginformasikan bahwa setiap ayat yang turun Rasulullah memanggil sahabat sahabat yang dikenal pandai menulis. Rasulullah mengangkat beberapa penulis wahyu seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan di mana tempat ayat tersebut dalam surat. Ayat- ayat Al-Qur’an mereka tulis  pada pelepah kurma, lempengan batu, kulit dan tulang binatang.
Tulisan-tulisan al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Biasanya yang ada ditangan seorang sahabat misalnya belum tentu dimiliki olehn yang lainnya. Menurut para ulama, di antara sahabat yang menghafal seluruh isi al-Qur’an ketika Rasulullah masih hidup adalah Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud.
Al–Zarqani menyebutkan dalam kitabnya Manahil al-Irfan bahwasanya faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga al-Qur’an tidak dibukukan pada masa Nabi adalah sebagai berikut:
a.       Sarana tulis menulis pada waktu itu sangat minim dan sangat susah mendapatkannya.
b.      Nabi senantiasa menunggu kontinius wahyu karena adanya ayat-ayat yang dinasakh setelah diturunkannya.
c.       Ayat-ayat tidak diturunkan sekaligus
d.      Ayat-ayat al-Qur’an turun pada umumnya sebagai jawaban dari suatu pertanyaan atau kondisi masyarakat sehingga tidak turun dalam keadaan tersusun ayatnya.
Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa sejak zaman Rasulullah telah terjadi pengumpulan al-Qur’an walaupun tulisan tersebut belum dalam bentuk mushaf seperti sekarang, tetapi ini cukup menjadi bukti bahwa sudah ada penulisan al-Qur’an pada saat itu.     
C.     Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Abu Bakar
Rasulullah saw berpulang kerahmatullah setelah beliau menyampaikan risalah dan menyampaikan amanat serta memberi petunjuk kepada umatnya untuk menjalankan agama yang lurus. Setelah beliau wafat, kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar al-Siddiq r.a. Pada masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi masalah diantaranya memerangi orang-orang yang murtad, serta memerangi pengikut Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.
Ketika terjadi perang Yamamah, banyak kalangan sahabat penghafal al-Qur’an dan ahli bacanya yang gugur. Jumlahnya lebih 70 orang huffaz ternama. Melihat banyaknya penghafal al-Qur’an yang gugur, Umar merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar dan berkata: “Telah banyak di antara para huffadz dan qurra’yang gugur dalam medan pertempuran, aku khawatir akan gugur pula yang lainnya, sehingga hilang apa yang tersimpan dalam dada mereka dan lenyaplah ayat-ayat al-Qur’an itu. Menurut pendapatku, baiklah kiranya jika engkau memerintahkan agar al-Qur’an dikumpulkan. Pada awalnya Abu Bakar ragu, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Namun setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai positifnya, ia kemudian menerima usul tersebut.
Zaid bin Tsabit adalah orang yang ditunjuk Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf. Adapun alasan penunjukan Zaid oleh karena beliau berusia muda, intelegensi tinggi dan pekerjaannya di masa Nabi sebagai penulis wahyu.
Meskipun pada awalnya Zaid bin Tsabit juga ragu namun pada akhirnya ia bersedia melaksanakan hal tersebut. Atas kesediaan Zaid bin Tsabit, dibuatlah sebuah panitia  yang diketuainya, sedang anggotanya adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.
Dalam menjalankan tugasnya, berbagai metode dilakukan untuk mengumpulkan al-Qur’an. Diantaranya mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an dari para sahabat, mencocokkan dengan hafalan para sahabat, ataupun menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari lisan Rasulullah saw.
Dalam rentang waktu kerja tim, Zaid kesulitan terberat dialaminya pada saat tidak menemukan naskah mengenai ayat 128 dari Surat at-Taubah. Ayat tersebut dihafal oleh banyak sahabat termasuk Zaid, namun tidak ditemukan dalam bentuk tulisan. Kesulitan itu nanti berakhir ketika naskah dari ayat tersebut ditemukan ditangan Abu Khuzaimah al-Anshari.
Dengan cara seperti inilah Zaid mengumpulkan ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an dan mengumpulkannya yang sebelumnya terpisah-pisah. Setelah selesainya pengumpulan dan penulisan al-Qur’an ini, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar dan beliau menyimpannya sampai wafat.
Masa pengumpulan al-Qur’an ini terlihat sangat singkat. Sebagaimana diketahui, Abu Bakar hanya memerintah kekhalifaan Islam ketika itu selama kurang lebih dua tahun mulai Rabi’ul Awwal 11 H sampai Jumadil Tsani 13 H.. Sementara Zaid melalui tugasnya setelah peperangan Yamamah (bulan ketiga tahun 12 H).Hal ini berarti bahwa waktu yang tersisa bagi Zaid hanya 15 bulan.
Al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang disusun pada masa Abu Bakar hanyalah penulisan urutan-urutan ayat-ayatnya saja tanpa mengurut surah-surahnya.
Demikianlah pengumpulan al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu Bakar, yang dilakukan dengan berbagai metode dalam rangka menjaga validitas dan keutuhan  al-Qur’an.
D.    Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Ketika Utsman bin Affan memegang kekhalifahan, dan para sahabat berpencar keberbagai daerah dan masing-masing membawa bacaan yang didengarnya dari Rasulullah saw.serta diantara mereka ada yang memiliki bacaan yang tidak dimiliki oleh lainnya, orang-orang berbeda pendapat dalam bacaan. Setiap pembaca (qari’) mengunggulkan bacaannya dan menyalahkan bacaan qari’ lainnya sehingga permasalahan tersebut menjadi besar, perselisihanpun semakin memuncak.
Sebagaimana yang digambarkan dalam sejarah, bahwa sekembalinya Huzaifah bin al-Yamamah dari peperangan menaklukkan daerah Armenia dan Azerbaijan, ia mengutarakan kekhawatiran kepada khalifah Usman bin Affan tentang perbedaan bacaan al-Qur’an di kalangan kaum muslimin. Mihsan menggambarkan bahwa  penduduk Syam memakai bacaan Ubay  bin Ka’ab, penduduk Kuffah memakai bacaan Abdullah bin Mas’ud dan penduduk lainnya memakai bacaan Abu Musa Al-Asy’ari.
Atas kejadian tersebut, Utsman kemudian bermusyawarah dengan para sahabat mengenai apa yang harus dilakukan. Dalam musyawarah tersebut Utsman dan para sahabat bersepakat untuk menyalin kembali Mushaf al-Qur’an yang ada tangan Hafsah untuk dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan tentang cara membaca al-Qur’an. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Usman menunjuk satu tim yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdul Rahman bin Haris bin Hasyim.
Setelah kumpulan tulisan itu sampai ketangan Utsman, ia kemudian menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdul Rahman bin al-Harits bin Hisyam untuk menyalin shuhuf-shuhuf tersebut kedalam beberapa mushaf. Proses penyalinan lembaran tersebut ke dalam mushaf disertai dengan perintah Utsman bahwa apabila terdapat perbedaan atas beberapa tulisan dalam lembaran tersebut, maka tulislah dalam bahasa Quraisy dengan alasan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan lisan (bahasa) Quraisy.
Ladjnah yang dibentuk oleh Usman itu menyelesaikan usahanya pada tahun 25 Hijriyah, atau pada tahun 30 Hijriyah setelah delapan tahun tampuk pemerintahan dipegang oleh Usman ibn Affan. Menurut dugaan, besar sekali kemungkinan, bahwa pekerjaan tersebut diselesaikan antara 25 H dan 30 H itu.
Mushaf yang disusun pada masa khalifah Usman bin Affan ini lebih lengkap jika dibandingkan dengan mushaf pada masa khalifah Abu Bakar. Al-Zarqani menjelaskan bahwa mushaf Usmani telah dilengkapi penulisannya selain tertib urutan ayat, juga sudah ada urutan-urutan surah.
Al-Zarkasyi menjelaskan hasil kerja tersebut berwujud empat mushaf al-Qur’an. Tiga diantaranya di kirim ke Syam, Kufah dan Basrah dan satu mushaf ditinggalkan di Madinah untuk pegangan khalifah yang kemudian dikenal dengan al-Mushaf al-Imam. Agar persoalan silang pendapat mengenai bacaan dapat diselesaikan dengan tuntas, maka Usman memerintahkan semua mushaf yang berbeda dengan hasil kerja panitia yang empat itu dibakar.
Dengan usahanya itu, Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dengan mengikis sumber perselisihan serta menjaga al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan sepanjang zaman.  

DAFTAR PUSTAKA
Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Cet. I, Yogjakarta: Forum kajian Budaya dan Agama, 2001

Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta:PT.Bumi Restu,1977

Ma’rifat,  Muhammad Hadi, Sejarah Al-Qur’an, terj.Thoha Musawa.Cet. II, Jakarta: Al-Huda, 2007

Mihsan, Muhammad Salim, Tarikh al-Qur’an, Iskandariah: Muassasah al-Syabab al-Jamiah, t,th.

Al-Munawwir, Ahmad Warsan, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia,  Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progres, 1997

Al-Qattan,  Manna’, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, t.t Mansyuriah al Haditsah,1973

Shihab, Quraish, et al., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999

Shihab, Quraish Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan, Cet.IX;Bandung: Mizan,1995

Ash-Shabuny, Ali Muhammad, Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aminuddin. Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Ash Shiddieqy, Hasybi Sejarah dan Pengantar Ilmu al Qur’an/Tafsir,Cet. VIII; Jakarta: Bulan Bintang,1980
  
Watt, W. Wontgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an, diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal dengan judul, Pengantar Studi al-Qur’an, Cet.II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995

Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn Abdullah, al-Burhan Fii Ulum al-Qur’an, Kairo:al-Babi al-Halabi, 1957

Al- Zarqani, Muhammad Abd al-Adzim, Manahal al-Irfan fi Ulumu al-Qur’an, Juz I, t.t:Dar al-Fikr, 1996.


No comments:

Post a Comment

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...