A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini terdapat perhatian
yang semakin besar terhadap filsafat ilmu. Dinamika perkembangan ilmu yang
begitu pesat dan cepat serta pengaruhnya yang cukup signifikan terhadap
kehidupan masyarakat, menuntut intensitas pemikiran kita untuk mempelajari
berbagai metode cabang ilmu secara terpadu dan berkesinambungan. Hakikat ilmu
sebagai suatu kumpulan pengetahuan berdaya guna memberikan dorongan bagi kita dalam
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala-gejala alam.
Pengetahuan yang merupakan produk
kegiatan berpikir merupakan obor peradaban telah memungkinkan manusia menemukan
jati dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan serta
merta dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan
menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah
yang menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai
masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kehidupan sehari-hari,
dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah
kebudayaannya.
Meskipun tampak betapa banyak dan
beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun pada hakikatnya upaya manusia dalam
memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni: Apakah yang
ingin kita ketahui? Bagaimanakah
cara kita memperoleh pengetahuan? dan Apakah nilai pengetahuan tersebut bagi
kita?[1]
Hal ini juga sesuai dengan dimensi utama filsafat ilmu itu sendiri sebagai
sebuah proses penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara
untuk memperolehnya. Sebab filsafat ilmu itu sendiri bersinggungan pula dengan
bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti filsafat pengetahuan
(hakikat serta otentisitas pengetahuan), ontologi (ciri-ciri serta susunan
kenyataan) dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).[2]
Pertanyaan itu kelihatannya sederhana namun
mencakup permasalahan yang sangat azasi. Lahirnya sejumlah karya pemikiran
besar pun sebenarnya merupakan wujud nyata dari keseriusan kaum intelektual
dalam rangka merumuskan format penafsiran baru yang lebih bermutu atas ketiga
pertanyaan tersebut di atas. Pemikiran-pemikiran besar dalam sejarah kebudayaan
manusia dapat dicirikan dan dibedakan dari cara mereka menjawab dan menyikapi
pertanyaan-pertanyaan itu yang merupakan titik tolak dalam pengembangan
pemikiran selanjutnya. Ilmu merupakan salah satu bentuk manifestasi dari
pengetahuan manusia yang pada abad modern ini telah merasuki setiap sudut
kehidupan manusia.
Salah satu pandangan kontemporer tentang
ilmu yang paling menantang dan provokatif adalah pandangan yang dikemukakan dan
dibela secara gemilang oleh Paul Karl Feyerabend. Ia mengajukan pandangan yang
sangat menantang dan baru dalam filsafat ilmu. Baginya, tidak ada penilaian
mengenai watak dan status ilmu akan lengkap tanpa suatu usaha untuk memahaminya
secara integral dan holistik. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya
sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya secara
mendalam, sehingga hal tersebut bukan saja akan meningkatkan apresiasi kita
terhadap ilmu itu sendiri, namun juga membuka mata kita terhadap berbagai
kekurangan yang dikandungnya.
Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai
satu-satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu yang
sebenarnya. Demikian juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari
ilmu, dan tidak mau melihat kenyataan bahwa ilmu telah mampu membentuk
peradaban seperti apa yang kita saksikan sekarang ini, kepicikan seperti itu
kemungkinan besar disebabkan karena mereka kurang mengenal hakikat ilmu yang
sebenarnya.
Menghadapi dua pola pendapat yang ekstrem
ini seyogianya kita harus bersikap lapang dan bijak dengan menyadari bahwa
meskipun ilmu memang memberikan gambaran konseptual tentang hakikat kebenaran,
namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya sumber kebenaran dalam hidup
kita ini. Terdapat berbagai model kebenaran lain yang memperkaya khazanah
kehidupan kita. Kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan
pemikiran saja. Adalah ketinggi hatian yang tidak mempunyai dasar sama sekali,
jika kita beranggapan bahwa ilmulah alpha dan omega dari segala
kebenaran yang ada.
Dalam konteks pemikiran inilah, Paul Karl
Feyerabend ingin melihat mengapa pada abad modern ini ilmu pengetahuan diberi
penghargaan tinggi dalam masyarakat dibandingkan bidang-bidang lainnya.
Seolah-olah kini ilmu pengetahuan bersifat "anarkis".[3]
Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu
yang secara tipikal menilai ilmu adalah superior atas bentuk-bentuk pengetahuan
lain tanpa melakukan penyelidikan yang layak mengenai bentuk-bentuk pengetahuan
lain.[4]
Ia mengemukakan bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar tanpa
argumentasi, bahwa ilmu (fisika) membentuk paradigma rasionalitas.
Secara kritis Feyerabend menulis tentang
Imre Lakatos yang dianggapnya sebagai rekan anarkis karena metodologinya tidak
menyediakan hukum-hukum untuk memilih teori atau program: "Setelah
menyelesaikan rekonstruksinya tentang ilmu modern, ia (Lakatos) mengalihkannya
ke bidang-bidang lain seolah-olah telah mapan bahwa ilmu modern lebih unggul
daripada sihir-sihir atau ilmu Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai
hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada secuil pun argumentasi yang
dikemukakannya. 'Rekonstruksi rasional' menganggap 'kearifan ilmiah' sudah
benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ia lebih baik daripada 'kearifan' para
ahli sihir dan tukang-tukang sulap. Feyerabend menggambarkan hal tersebut
dengan pernyataan berikut:
Having finished his ‘reconstruction’ of modern
science, he turns it against other fields as if it had already been established
that modern science is superior to magic, or to Aristotelian science, and that
it has no illusory results. However, there is not a shared of an argument of
this kind. ‘Rational reconstructions’ take ‘basic scientific wisdom’ for
granted, they do not show that it is better than the ‘basic wisdom’ of witches
and warlocks. [5]
Feyerabend tidak bersedia menerima
keharusan superioritas ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain, karena hal
semacam itu hanya akan membenarkan tentang adanya suatu fenomena “penjajahan
intelektual” secara terselubung. Dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang
tidak bisa saling diukur, ia juga menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu
argumen menentukan yang menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain.
Apabila ilmu hendak diperbandingkan dengan
bentuk-bentuk pengetahuan lain, maka diperlukan penyelidikan terhadap watak,
tujuan dan metode dari ilmu itu serta bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Hal
ini harus dilakukan dengan meneliti "catatan-catatan sejarah, buku-buku
pelajaran, tulisan-tulisan orisinal, pembicaraan serta surat-surat pribadi, dan
sebagainya". Ia mengatakan, “…that is, we shall have study historical
records—texbooks, original papers, records of meetings and private
conversations, letters, and like”.[6]
Ia pun tidak bisa sekedar asumsi tanpa penelitian lebih jauh, bahwa suatu
bentuk pengetahuan yang sedang diteliti itu harus sesuai dengan hukum-hukum
logika, sebagaimana yang biasanya dipahami oleh para filsuf dan rasionalis
kontemporer.
Feyerabend meyakini bahwa tidak ada
metodologi ilmu yang ada selama ini yang bisa bertahan dari perubahan. Secara
meyakinkan Feyerabend mengemukakan bahwa metodologi-metodologi ilmu gagal
menyediakan hukum-hukum yang memadai untuk membimbing aktivitas para ilmuwan.
Menurut Feyerabend, mengingat kompleksitas sejarah, maka tidak masuk akal untuk
mengharapkan ilmu dapat diterangkan hanya atas dasar beberapa hukum metodologi
yang terlalu simplistik (sederhana) dan superfisial (dangkal).
Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodologi
yang menolak pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa
rasionalitas adalah agung, bersifat universal, terlepas dari subyektivitas,
konteks dan historisitas. Baik rasionalisme maupun empirisme mendukung
rasionalitas yang menurutnya universal dengan cara yang berbeda.
Seperti halnya Kuhn yang berasumsi bahwa
tidak ada suatu teori apa pun yang bertahan dalam sejarah, Feyerabend
menyangkal adanya rasionalitas yang universal dan historis. Maksudnya,
kebenaran universal yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, yang merupakan
pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik daripada yang lainnya.[7]
Kesamaan Feyerabend dengan Kuhn terletak
pada tesis keduanya yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu atau teori-teori tidak bisa
saling diukur dengan standar yang sama. Feyerabend beranggapan bahwa makna dan
interpretasi tentang keterangan observasi tergantung pada konteks teoretis.
Dengan begitu, ia ingin menentang pandangan yang memisahkan teori dan
observasi.
Konsekuensi logisnya adalah, tidak mungkinlah
merumuskan keterangan observasi yang sama dalam suatu konteks yang berbeda.
Perbedaan dua teori atau lebih cukup mendasar, sehingga tidak mungkin saling
membandingkan teori-teori rival secara logis.[8]
Dalam sebuah kutipan yang agak panjang,
Feyerabend mengatakan:
The idea that science can, and should, be run
according to fixed and universal rules, is both unrealistic and pernicious. It
is unrealistic, for it takes too simple a view of the talents of man and of the
circumstances which encourage, or cause, their development. And it is
pernicious, for the attempt to enforce the rules is bound to increase our
professional qualifications at the expense of our humanity. In addition, the
idea is detrimental to science, for it neglects the complex physical and
historical conditions which influence scientific change. It makes our science
less adaptable and more dogmatic…All methodologies have their limitations, and
the only rule that survives is ‘anything goes’. [9]
[Ide bahwa ilmu dapat dan harus berjalan sesuai dengan
hukum-hukum universal yang mapan, adalah tidak realistis dan juga merusak. Ia
tidak realistis, karena terlalu menyederhanakan bakat manusia dan keadaan
lingkungan yang mendorong atau menyebabkan perkembangan. Dan ia merusak, karena
usaha untuk memberlakukan hukum-hukum itu cenderung meningkatkan kualifikasi
profesional kita yang mengorbankan rasa kemanusiaan. Selain itu, ide itu pun
merugikan ilmu, karena ia mengabaikan kondisi fisik dan historis yang kompleks
yang mempengaruhi perubahan ilmiah. Ia menyebabkan ilmu semakin kurang bisa
dikelola dan semakin dogmatik…Semua metodologi mempunyai keterbatasannya dan
satu-satunya 'hukum' yang survive adalah 'apa saja boleh'].
Kasus Feyerabend yang menentang metode,
memukul metodologi-metodologi yang dianggap telah memberikan hukum-hukum untuk
membimbing para ilmuwan ini ternyata ditunjang dengan alasan yang kuat.
Menurutnya: “the methodology of research programmes provides standards that
aid the scientist in evaluating the historical situation in which he makes his
decisions; it does not contain rules that tell him what to do”.[10]
Maksudnya, "Metodologi dan program-program riset menyediakan
standar-standar yang membantu ilmuwan menilai situasi historis untuk mengambil
keputusan-keputusannya; ia tidak berisi hukum-hukum yang mendikte apa yang
harus diperbuat ilmuwan”. Maka tidaklah bijaksana, bahwa para ilmuwan dalam
melakukan pemilihan-pemilihan dan keputusan-keputusan terikat oleh hukum-hukum
yang diatur atau terkandung di dalam metodologi-metodologi ilmu.
Feyerabend membela apa yang ia sebut
sebagai "sikap kemanusiawian" yang memandang bahwa manusia individual
harus bebas dan memiliki kebebasan sebagaimana yang diperjuangkan John Stuart
Mill. Feyerabend menyetujui usaha meningkatkan kebebasan menuju ke kehidupan
yang penuh dan produktif.
Ia mendukung Mill dalam membela
"pembinaan individualitas yang secara pribadi mampu berproduksi sendiri,
atau dapat memproduksi manusia-manusia yang maju". Feyerabend menyatakan
bahwa, It is in conflict ‘with cultivation of individuality which alone
produces, or can produce, well-developed human beings’.[11]
Dari sudut pandang kemanusiawian ini,
pemikiran anarkis Feyerabend tentang ilmu mendapatkan dasar pembenarannya,
karena di dalam ilmu ia memang diarahkan guna meningkatkan kebebasan individu
dengan memacu penyingkiran segala macam kungkungan metodologis.
Dalam konteks yang lebih luas, ia
senantiasa mendorong semangat kebebasan bagi para individu untuk memilih antara
ilmu dan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Jadi jelas sekali, bahwa Feyerabend
menolak sikap otoriter dalam bentuk apapun juga.
Feyerabend hendak mendobrak anggapan bahwa
ada keteraturan dalam perkembangan ilmu yang hendak diwujudkan dalam hukum dan
sistem. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa
diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem maupun hukum
yang berlaku. Ia harus bebas karena memang kegiatan ilmiah atau ilmu
pengetahuan merupakan suatu upaya yang anarkistik. Pendapat Feyerabend ini juga
harus dilihat sehubungan dengan analisisnya tentang masyarakat.
Dalam perspektif Paul Karl Feyerabend,
perkembangan ilmu di dalam masyarakat kita tidak lagi konsisten dengan sikap
kemanusiawian. Di kalangan masyarakat kita dewasa ini, ilmu pengetahuan
menduduki posisi yang sama dengan posisi agama seperti halnya pada masa Abad
Pertengahan. Ilmu pengetahuan memiliki kuasa mutlak. Dengan kata lain, ilmu
pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan manusia, namun justru menguasai
dan memperbudak manusia.
Apa yang perlu kita lakukan dalam masalah
ini, tulis Feyerabend, adalah "membebaskan masyarakat dari kungkungan ilmu
yang membatu secara ideologis, persis seperti nenek moyang kita membebaskan
kita dari kungkungan 'agama satu-satunya' yang benar". Ia menyatakan, “let
us free society from the strangling hold of an ideologically petrified science
just as our ancestors freed us from the strangling hold of the One True
Religion!”. [12]
Hal ini perlu ditempuh karena menurut citra
Feyerabend, setiap individu dilahirkan ke dalam suatu masyarakat yang sudah
eksis lebih dulu, dan dalam pengertian itu, masyarakat itu bukanlah pilihannya
yang bebas. Kebebasan yang dimiliki seorang individu akan tergantung pada
posisi yang ia duduki di dalam struktur sosial tersebut, dan oleh karena itu,
suatu analisa tentang struktur sosial bersangkutan merupakan prasyarat untuk
mengerti tentang kebebasan sang individu.
Setidaknya ia menyadari hal semacam ini dan
dalam satu bagian tentang kebebasan riset, Feyerabend menulis: “The
scientist is still restricted by the properties of his instruments, the amount
of money available, the intelligence of his assistants, the attitude of his
colleagues, his playmets—he or she—is restricted by innumerable physical,
physiological, sociological, historical contraints”.[13]
Artinya bahwa, "Ilmuwan masih dibatasi oleh sifat-sifat dari
instrumen-instrumennya, jumlah uang yang bisa diperolehnya, kecakapan para
asistennya, sikap rekan-rekannya, teman-teman mainnya—lelaki atau perempuan—ia
dibatasi oleh banyak sekali kekangan fisik, psikologis, sosiologis dan
historis".
Seluruh pembicaraan dan perdebatan tentang
pemikiran Paul Karl Feyerabend tersebut di atas tersimpul dalam sebuah mainstream
yang padat makna, anarkisme ilmu pengetahuan, sebagai suatu kritik yang
diajukan dan ditujukan untuk semakin dapat menemukan wajah ilmu pengetahuan
yang sebenarnya. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari
dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Yang pertama, dengan memegang semboyan
anti-metode (Against Method), Feyerabend ingin melawan batang tubuh
beserta metode ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu
metode yang baku
dan universal serta tahan sepanjang masa, dan juga dapat membawahi semua fakta
dan penelitian.
Kemudian, atas nama kebebasan yang sama,
Feyerabend mempunyai sikap anti-ilmu pengetahuan (Against Science)
sebagai kritik terhadap praktek ilmiah, kekuasaan, fungsi dan kedudukan ilmu
pengetahuan dalam masyarakat yang kerapkali melampaui maksud utamanya. Dengan
posisi seperti ini, ia hendak melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan
dianggap lebih unggul daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan
lain semisal sihir, magi, voodoo, mitos, dan sebagainya.
Feyerabend menyimpulkan bahwa, sains maupun
rasionalitas bukanlah ukuran unggul yang universal. Keduanya adalah tradisi
partikular yang tidak menyadari latar historisnya sendiri. Ilmu pengetahuan
sebagaimana tinjauan historis Feyerabend, lebih merupakan suatu perkembangan
dari berjuta-juta alternatif, satu dengan yang lain tidak selalu terdapat
konsistensi atau kesepadanan.[14]
Maksud dari semua itu sebenarnya adalah,
Feyerabend ingin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideologi yang
berisi omong kosong belaka yang dipropagandakan oleh para ilmuwan. Ia memilih
istilah realisme ilmiah yang dalam salah satu bentuknya berupa
aktivitas-aktivitas kita mengumpulkan pengetahuan sebagai jalan terbaik untuk
memahami dunia.
Dalam pengertian ini berarti ilmu
pengetahuan tidak hanya sanggup menghasilkan prediksi-prediksi saja, melainkan
juga berpotensi untuk menggali hakikat realitas yang menjadi cita-cita dari
pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Realisme ini akan bisa terwujud pada
saat teori-teori, sistem pemikiran, dan kerangka-kerangka pandang diterapkan
dalam bentuknya yang paling kuat, bukan sekedar sebagai skema-skema bagi setiap
proses kejadian yang kodratnya ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan
eksternal, tetapi sekaligus juga bertindak sebagai penentu orientasi keilmuan
yang telah dirancangnya.
Pada akhir kegelisahan intelektualnya,
Feyerabend menawarkan terma anarkisme sebagai obat mujarab dalam menyembuhkan
epistemologi dari sakitnya. Sebagai obat bukan berarti ilmu pengetahuan harus
menjadi anarkis, namun baik epistemologi maupun filsafat ilmu pengetahuan harus
menerima anarkisme agar dengan demikian kita akan kembali kepada bentuk-bentuk
rasionalitas yang lebih jelas dan bebas, kurang lebih seperti yang
diproyeksikan dan diidealisasikan oleh Feyerabend.
Adanya klaim bahwa anarkisme ilmu
pengetahuan sebagai bentuk kesewenang-wenangan epistemologis Feyerabend perlu
kiranya dimengerti dalam porsi pemahaman yang tepat dan seimbang. Sebab pada
kenyataannya istilah ekstrem itu dimaksudkan untuk memberikan kritik eksternal
terhadap metode dan praktek ilmu pengetahuan yang acapkali mengaburkan karakter
dan tujuan dasar utamanya. Tetapi hal itu mungkin bisa dipahami karena memang
seorang anarkis di bidang ilmu pengetahuan oleh Feyerabend
diistilahkan—mengutip pendapat Hans Richter—sebagai dadais yang anti
terhadap segala bentuk kemapanan.
Maka berkaitan dengan persoalan itu pula,
skripsi ini diangkat guna menelaah lebih jauh mengenai beberapa pokok pemikiran
Feyerabend beserta aspek penting lain yang terdapat di dalamnya. Secara khusus,
dalam tulisan ini penulis ingin melacak dan mengurai sejauhmana konsistensi
dari seluruh sistem pemikiran Feyerabend dalam alur sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan dengan berbagai tawaran metodis yang disodorkannya.
Sebagai sebuah kajian serius tentang tokoh
filsafat ilmu pengetahuan baru, Feyerabend melontarkan gagasan kritis-progresif
yang sayangnya sampai saat ini masih relatif kurang bisa dibaca, dipelajari dan
diakses lebih jauh oleh para peminat filsafat pada khususnya serta kalangan
dunia akademis pada umumnya.
Mungkin hal inilah yang kemudian menjadi
latar dari pemilihan tokoh dan pembahasan topik Paul Karl Feyerabend, yang
dalam rekaan awal penulis, beberapa pandangan ilmu pengetahuannya tidak lebih
hanya sekedar reaksi keilmuan mengenai presuposisi-presuposisi akan adanya
berbagai deviasi (penyimpangan) nilai-nilai etis-praktis ilmu pengetahuan yang
diterapkan oleh para ilmuwan kala itu saja.
Namun setelah melalui proses studi yang
runut dan seksama, ternyata penulis menemukan beberapa endapan gagasan vital
dan relatif belum banyak diperbincangkan muatan-muatan filosofisnya, yang
selain disinyalir menjadi tonggak kebangkitan era filsafat ilmu pengetahuan
baru pasca dominasi aliran Positivisme Logis, juga telah dianggap berhasil
memecahkan kebuntuan monometodologi ilmu pengetahuan untuk direinterpretasikan
dan direformulasikan secara paradigmatik dan anarkistik, tanpa terikat oleh
hukum-hukum positivistik-logis yang berkembang sebelum masa Feyerabend.
Pondasi ilmu pengetahuan Feyerabend yang
berusaha mendobrak keangkuhan format dan prosedur-prosedur sains modern ini
telah menggugah kesadaran kolektif kita untuk merefleksikan ulang tentang
asumsi-asumsi ilmiah sebagai simbol kemajuan peradaban modern, yang telah
beralih fungsi menjadi semacam arogansi intelektual, atau terkesan hanya menjadi
menara gading, dan pada akhirnya berujung pada retorika serta ideologi tertutup
yang penuh kedangkalan makna dan kepentingan-kepentingan tertentu.
Maka dengan pluri-metodologi dan pandangan
konstruktivis-kontekstualis seperti yang dinyatakan oleh Feyerabend, kita jadi
mafhum bahwa semua klaim pengetahuan (fakta, kebenaran, validitas) hanya dapat
dimengerti dan diperdebatkan dalam konteks dan dalam paradigma atau komunitas
tertentu pula. Tidak satupun yang diterima sebagai fakta, teori, atau
kesimpulan yang selesai atau final, sebab penerimaan atas pluri-metodologi
Feyerabend ini memang mengandaikan adanya berbagai standar kebenaran.
Dengan mengacu pada realitas historis
seperti itu, penulis pun berketetapan hati untuk menempatkan segi-segi
fundamental filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend tersebut sebagai starting
point dan landasan pemikiran dalam menggali dan mengolah ide-ide dasar ilmu
pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara lebih jelas dan obyektif. Harapannya,
paling tidak urgensi topik dalam penulisan karya ilmiah ini bisa menambah
koleksi seri tokoh filsafat ilmu di masa mendatang.
B. Rumusan Masalah
Dari deskripsi umum di atas, ada beberapa
kata kunci yang perlu kiranya dicermati dari pola pemikiran yang dibangun oleh
tokoh utama dalam fokus kajian skripsi ini, yakni Paul Karl Feyerabend. Banyak
jalinan ide penting Feyerabend yang saling berhubungan dalam membentuk
konsep-konsep penting lainnya sehingga semakin memperkokoh landasan teoretis
yang dituangkan semasa hidupnya.
Oleh karena itu, agar alur pembahasan ini
tepat sasaran, terarah dan sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan skripsi
ini, maka tentu saja ruang lingkup masalah yang akan dijadikan sumber acuan
nantinya terbatas dan terumus dalam masalah-masalah berikut, yaitu:
- Bagaimana prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend dalam filsafat ilmu pengetahuannya?
- Bagaimana corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini
adalah:
- Mengetahui prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara utuh dan mendalam.
- Mengetahui corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan yang digunakan oleh Paul Karl Feyerabend secara jelas dan memadai.
D. Metodologi Penelitian
Menurut sumber bacaan yang ada, metodologi
penelitian merupakan serangkaian metode yang saling melengkapi dalam melakukan
penelitian.[15] Sifat dari
penelitian ini sendiri adalah kajian kepustakaan (Library Research) yang
memuat data-data dan bahan-bahan yang mendukung dan melengkapi terhadap isi
pembahasan ini baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, artikel, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam proses pengumpulan
data-data tersebut, penulis berusaha untuk menghimpun data primer maupun
sekunder yang sekiranya ada kaitannya dengan pokok pembicaraan dalam skripsi
ini. Data primer itu berupa buku masterpiece Paul Karl Feyerabend
sendiri yang berjudul Against Method, sedangkan data sekunder adalah
berupa karya-karya Feyerabend lainnya yang dilengkapi pula dengan tulisan atau
karya ilmiah para ahli yang secara khusus mengkaji dan membahas tentang
pemikiran Paul Karl Feyerabend.
Disamping itu, penelitian ini juga
merupakan penelitian historis-faktual mengenai seorang tokoh[16],
dalam hal ini Paul Karl Feyerabend. Dalam kaitan ini, penulis berusaha menyelami
pikiran, karya dan latar belakang historis yang melingkupi sejarah kehidupan
dan keilmuannya.
Untuk mempermudah prosedur pengolahan data
itu, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode khusus, yaitu:
(1) Deskriptif. Dengan metode ini, peneliti menguraikan dan membahas
secara sistematis dan terperinci seluruh konsepsi pemikiran tokoh yang
bersangkutan.[17] Dalam konteks
ini, penulis akan menggambarkan dan menguraikan sepenuhnya dengan memakai
analisis filosofis tentang konstruksi filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dan
beberapa gagasan penting lainnya secara lebih lengkap dan jelas. (2) Interpretatif.
Dalam hal ini, peneliti berusaha menyelami karya tokoh untuk menangkap
kandungan arti dan nuansa yang dimaksudkan secara spesifik.[18]
(3) Analisis. Dengan cara ini, penulis akan merinci istilah-istilah atau
pendapat-pendapat tokoh (Feyerabend) ke dalam bagian-bagian khusus tertentu
sehingga dapat dilakukan pemeriksaan atas arti yang dikandungnya, dengan maksud
untuk memperoleh kejelasan tentang arti yang sebenar-benarnya.[19]
Dengan begitu, diharapkan nantinya akan bisa diperoleh suatu pemahaman yang
benar pula tentang ciri, sifat, latar belakang dan ide-ide dasar Feyerabend itu
sendiri.
E. Tinjauan Pustaka
Diantara para filsuf sezamannya, Feyerabend
dinilai paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrem, yang terutama
didasarkan pada karya monumentalnya, Against Method. W.H. Newton-Smith[20]
menilai bahwa tidak ada kritik terhadap ilmu pengetahuan setegar dan selantang
kritik Feyerabend. Kritik yang disampaikan melalui buku itu telah menggambarkan
panggung filsafat pada tahun 70-an[21]
yang banyak mengundang polemik dan perdebatan sengit.
Sudah ada beberapa literatur yang mengupas
jejak-jejak pemikiran Feyerabend, baik dalam versi Bahasa Indonesia maupun
asing. Misalnya tulisan Prasetya T.W. yang berjudul “Anarkisme dalam Ilmu
Pengetahuan Paul Karl Feyerabend”, yang dimuat dalam antologi buku Hakikat
Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu.[22]
Secara lengkap dan padat, di dalamnya diuraikan seluk-beluk kemunculan
Feyerabend dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan serta sejarah awal
perjalanannya menjadi seorang anarkis. Dalam buku itu juga, dijelaskan tentang
definisi dari anti-metode dan anti-ilmu pengetahuan yang menjadi kritik utama dalam
pemikiran Feyerabend.
Selain itu pula, buku yang secara
representatif dalam menampilkan dan menanggapi urgensi pemikiran Feyerabend
juga diungkapkan oleh A.F. Chalmers dalam sub-topik bahasan, “Teori Anarkistis
Feyerabend Tentang Pengetahuan”, yang termaktub dalam bukunya Apa itu yang
dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya.[23]
Buku ini secara teliti dan akurat memberikan ringkasan tentang segi-segi kunci
pandangan Feyerabend yang meliputi seluruh konstruksi epistemologinya dengan
disertai kritik-kritik yang cukup argumentatif-korektif.
Buku lain yang membicarakan sisi-sisi
pemikiran Feyerabend adalah The Rationality of Science, karya W.H.
Newton Smith[24], yang
berintikan tema-tema aktual dan liberal Feyerabend secara menyeluruh, mulai
dari konsep anti-metode yang merupakan topik utama pemikirannya sampai
gagasan-gagasan vital lainnya, seperti pandangan Feyerabend tentang prosedur
kontra-induksi, ketidaksepadanan, dan seterusnya yang dibahas secara tuntas dan
mendalam.
Satu lagi buku rujukan yang berkaitan
dengan fenomena pemikiran Feyerabend adalah apa yang ditulis oleh Akhyar Yusuf
Lubis dalam bukunya, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode.[25]
Seri pengantar tokoh filsafat ini memberikan garis-garis besar haluan sebagai
gambaran awal yang sistematis tentang sosok filsuf Paul Karl Feyerabend yang
kerapkali mendera sains dengan kritik-kritik kerasnya. Ia tidak menawarkan
metodologi apapun sebagai ganti induksi yang selama ini dijadikan panduan utama
cara kerja ilmiah. Dengan lantangnya, Feyerabend justru memproklamirkan
anarkisme epistemologis yang berhasil membuka sumbat penyatuan metode yang
selama ini diberhalakan oleh sains.
Dari sekian literatur tersebut di atas, ada
perbedaan yang cukup signifikan dengan maksud penelitian ini, yaitu bahwa
artikel yang ditulis oleh Prasetya T.W. hanya sebatas mengenalkan sejarah awal
dan garis-garis besar haluan filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dalam pergulatannya
dengan aliran Positivisme Logis. Sedangkan buku A.F. Chalmers dan W.H.
Newton-Smith sekedar rangkuman dari beberapa substansi pemikiran Feyerabend
tentang anarkisme ilmu pengetahuan saja yang pembahasannya terkesan ambivalen
tanpa disertai jalinan sketsa ilmu pengetahuan Feyerabend dengan pemikiran
tokoh-tokoh lain serta minimnya aspek historisitas mengenai kemunculan dan
keterlibatan Feyerabend dalam wacana filsafat ilmu pengetahuan secara
terperinci.
Demikian juga dengan buku Akhyar Yusuf
Lubis sebagai buku pengantar dalam memahami traktat-traktat berat filsafat ilmu
pengetahuan Feyerabend yang secara khusus hanya ‘memandu’ pembaca untuk
mengenal ciri, sifat dan latar belakang pemikiran filsafat Feyerabend yang
disisipi juga penjelasan tentang titik persinggungannya dengan model metodologi
ilmu pengetahuan yang berkembang sebelumnya, semisal metodologi Galilean dan
metodologi Positivisme Logis.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis
secara spesifik berusaha menyelidiki pokok-pokok masalah yang menjadi sasaran
kritik utama Feyerabend serta letak-letak perbedaan fundamental yang terdapat
dalam corak pemikiran filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dengan para filsuf
ilmu pengetahuan lainnya, tanpa terperangkap ke dalam pemihakan-pemihakan
subyektif yang terkesan berlebihan dan kontraproduktif.
Selain daripada itu, penulis juga akan
mengkaji sejauhmana konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari dasar-dasar
pemahaman epistemologi Feyerabend dalam mindset sosio-kultural
masyarakat yang akhir-akhir ini secara tidak kritis cenderung hanya terpaku
pada satu bentuk kebenaran monologis yang bersumber dari konsepsi keilmuan
tertentu.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mudah dan urutnya penulisan
ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan dikelompokkan menjadi beberapa bab
dan sub-bab, yaitu:
Diawali dengan Bab I, yang mencakup
latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika pembahasan.
Kemudian Bab II, berisi tentang
biografi singkat Paul Karl Feyerabend yang terdiri dari riwayat hidup, karya
serta tokoh-tokoh yang membentuk watak dan mempengaruhi karakteristik
pemikirannya.
Selanjutnya Bab III, menyarikan
tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend yang berkisar
tentang persoalan apa saja boleh (anything goes), ilmu yang tidak bisa
saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak harus mengungguli
bidang-bidang pengetahuan lain, dan kebebasan individu.
Disusul dengan Bab IV, yang
merupakan intisari pembahasan yang mengetengahkan tentang penafsiran Paul Karl
Feyerabend terhadap makna anarkisme sebagai kritik atas ilmu pengetahuan itu
sendiri berupa anti-metode (Against Method), dan anti-ilmu pengetahuan (Against
Science).
Terakhir Bab V, adalah penutup yang
berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis berdasarkan seluruh hasil
pembahasan yang dilakukan dan ditekuni selama dalam proses awal sampai akhir
penyusunan skripsi ini.
[1] Jujun Suparjan Suriasumantri (penyunting), Ilmu
dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2.
[2] Beerling, et.al., Pengantar Filsafat Ilmu,
alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. xii.
[3] Prasetya T.W., "Anarkisme dalam Ilmu
Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara
(penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1993), hlm. 47.
[4] A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu?
Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta:
Hasta Mitra, 1982), hlm. 149.
[5] Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline
of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm.
205.
[7] Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas
Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 119 dan 116.
[8] Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam,
Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1991), hlm. 167-168.
[15] Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Pedoman
Penulisan Proposal dan Skripsi (Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002), hlm. 9.
[16] Anton Bakker dan A. Charris Zubair, Metodologi
Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.
[18] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 98. Lihat juga dalam Anton Bakker
dan A. Charris Zubair, op.cit., hlm. 63.
[20] W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science
(Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981), sebagaimana yang dikutip oleh
Endro Witj., Feyerabend: Rasionalitas Ilmu Yang Goyah, dalam Fokus,
Februari 1989, hlm. 34.
[22] Prasetya T.W., “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl
Feyerabend”, dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan
dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993).
[23] A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian
Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982).
No comments:
Post a Comment