Monday, 27 March 2017

ANARKISME ILMU PENGETAHUAN (Analisis Terhadap Konstruksi Epistemologi Paul Karl Feyerabend, 1924-1994) (CONTOH PROPOSAL SKRIPSI)





A.    Latar Belakang Masalah
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu. Dinamika perkembangan ilmu yang begitu pesat dan cepat serta pengaruhnya yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat, menuntut intensitas pemikiran kita untuk mempelajari berbagai metode cabang ilmu secara terpadu dan berkesinambungan. Hakikat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan berdaya guna memberikan dorongan bagi kita dalam menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala-gejala alam.
Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor peradaban telah memungkinkan manusia menemukan jati dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan serta merta dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kehidupan sehari-hari, dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya.
Meskipun tampak betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni: Apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? dan Apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?[1] Hal ini juga sesuai dengan dimensi utama filsafat ilmu itu sendiri sebagai sebuah proses penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Sebab filsafat ilmu itu sendiri bersinggungan pula dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti filsafat pengetahuan (hakikat serta otentisitas pengetahuan), ontologi (ciri-ciri serta susunan kenyataan) dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).[2]
Pertanyaan itu kelihatannya sederhana namun mencakup permasalahan yang sangat azasi. Lahirnya sejumlah karya pemikiran besar pun sebenarnya merupakan wujud nyata dari keseriusan kaum intelektual dalam rangka merumuskan format penafsiran baru yang lebih bermutu atas ketiga pertanyaan tersebut di atas. Pemikiran-pemikiran besar dalam sejarah kebudayaan manusia dapat dicirikan dan dibedakan dari cara mereka menjawab dan menyikapi pertanyaan-pertanyaan itu yang merupakan titik tolak dalam pengembangan pemikiran selanjutnya. Ilmu merupakan salah satu bentuk manifestasi dari pengetahuan manusia yang pada abad modern ini telah merasuki setiap sudut kehidupan manusia.
Salah satu pandangan kontemporer tentang ilmu yang paling menantang dan provokatif adalah pandangan yang dikemukakan dan dibela secara gemilang oleh Paul Karl Feyerabend. Ia mengajukan pandangan yang sangat menantang dan baru dalam filsafat ilmu. Baginya, tidak ada penilaian mengenai watak dan status ilmu akan lengkap tanpa suatu usaha untuk memahaminya secara integral dan holistik. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya secara mendalam, sehingga hal tersebut bukan saja akan meningkatkan apresiasi kita terhadap ilmu itu sendiri, namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan yang dikandungnya.
Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya. Demikian juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari ilmu, dan tidak mau melihat kenyataan bahwa ilmu telah mampu membentuk peradaban seperti apa yang kita saksikan sekarang ini, kepicikan seperti itu kemungkinan besar disebabkan karena mereka kurang mengenal hakikat ilmu yang sebenarnya.
Menghadapi dua pola pendapat yang ekstrem ini seyogianya kita harus bersikap lapang dan bijak dengan menyadari bahwa meskipun ilmu memang memberikan gambaran konseptual tentang hakikat kebenaran, namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya sumber kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat berbagai model kebenaran lain yang memperkaya khazanah kehidupan kita. Kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran saja. Adalah ketinggi hatian yang tidak mempunyai dasar sama sekali, jika kita beranggapan bahwa ilmulah alpha dan omega dari segala kebenaran yang ada.
Dalam konteks pemikiran inilah, Paul Karl Feyerabend ingin melihat mengapa pada abad modern ini ilmu pengetahuan diberi penghargaan tinggi dalam masyarakat dibandingkan bidang-bidang lainnya. Seolah-olah kini ilmu pengetahuan bersifat "anarkis".[3]
Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu yang secara tipikal menilai ilmu adalah superior atas bentuk-bentuk pengetahuan lain tanpa melakukan penyelidikan yang layak mengenai bentuk-bentuk pengetahuan lain.[4] Ia mengemukakan bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar tanpa argumentasi, bahwa ilmu (fisika) membentuk paradigma rasionalitas.
Secara kritis Feyerabend menulis tentang Imre Lakatos yang dianggapnya sebagai rekan anarkis karena metodologinya tidak menyediakan hukum-hukum untuk memilih teori atau program: "Setelah menyelesaikan rekonstruksinya tentang ilmu modern, ia (Lakatos) mengalihkannya ke bidang-bidang lain seolah-olah telah mapan bahwa ilmu modern lebih unggul daripada sihir-sihir atau ilmu Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada secuil pun argumentasi yang dikemukakannya. 'Rekonstruksi rasional' menganggap 'kearifan ilmiah' sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ia lebih baik daripada 'kearifan' para ahli sihir dan tukang-tukang sulap. Feyerabend menggambarkan hal tersebut dengan pernyataan berikut:
Having finished his ‘reconstruction’ of modern science, he turns it against other fields as if it had already been established that modern science is superior to magic, or to Aristotelian science, and that it has no illusory results. However, there is not a shared of an argument of this kind. ‘Rational reconstructions’ take ‘basic scientific wisdom’ for granted, they do not show that it is better than the ‘basic wisdom’ of witches and warlocks. [5]

Feyerabend tidak bersedia menerima keharusan superioritas ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain, karena hal semacam itu hanya akan membenarkan tentang adanya suatu fenomena “penjajahan intelektual” secara terselubung. Dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia juga menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen menentukan yang menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain.
Apabila ilmu hendak diperbandingkan dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain, maka diperlukan penyelidikan terhadap watak, tujuan dan metode dari ilmu itu serta bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Hal ini harus dilakukan dengan meneliti "catatan-catatan sejarah, buku-buku pelajaran, tulisan-tulisan orisinal, pembicaraan serta surat-surat pribadi, dan sebagainya". Ia mengatakan, “…that is, we shall have study historical records—texbooks, original papers, records of meetings and private conversations, letters, and like”.[6] Ia pun tidak bisa sekedar asumsi tanpa penelitian lebih jauh, bahwa suatu bentuk pengetahuan yang sedang diteliti itu harus sesuai dengan hukum-hukum logika, sebagaimana yang biasanya dipahami oleh para filsuf dan rasionalis kontemporer.
Feyerabend meyakini bahwa tidak ada metodologi ilmu yang ada selama ini yang bisa bertahan dari perubahan. Secara meyakinkan Feyerabend mengemukakan bahwa metodologi-metodologi ilmu gagal menyediakan hukum-hukum yang memadai untuk membimbing aktivitas para ilmuwan. Menurut Feyerabend, mengingat kompleksitas sejarah, maka tidak masuk akal untuk mengharapkan ilmu dapat diterangkan hanya atas dasar beberapa hukum metodologi yang terlalu simplistik (sederhana) dan superfisial (dangkal).
Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodologi yang menolak pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa rasionalitas adalah agung, bersifat universal, terlepas dari subyektivitas, konteks dan historisitas. Baik rasionalisme maupun empirisme mendukung rasionalitas yang menurutnya universal dengan cara yang berbeda.
Seperti halnya Kuhn yang berasumsi bahwa tidak ada suatu teori apa pun yang bertahan dalam sejarah, Feyerabend menyangkal adanya rasionalitas yang universal dan historis. Maksudnya, kebenaran universal yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik daripada yang lainnya.[7]
Kesamaan Feyerabend dengan Kuhn terletak pada tesis keduanya yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu atau teori-teori tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. Feyerabend beranggapan bahwa makna dan interpretasi tentang keterangan observasi tergantung pada konteks teoretis. Dengan begitu, ia ingin menentang pandangan yang memisahkan teori dan observasi.
Konsekuensi logisnya adalah, tidak mungkinlah merumuskan keterangan observasi yang sama dalam suatu konteks yang berbeda. Perbedaan dua teori atau lebih cukup mendasar, sehingga tidak mungkin saling membandingkan teori-teori rival secara logis.[8]
Dalam sebuah kutipan yang agak panjang, Feyerabend mengatakan:
The idea that science can, and should, be run according to fixed and universal rules, is both unrealistic and pernicious. It is unrealistic, for it takes too simple a view of the talents of man and of the circumstances which encourage, or cause, their development. And it is pernicious, for the attempt to enforce the rules is bound to increase our professional qualifications at the expense of our humanity. In addition, the idea is detrimental to science, for it neglects the complex physical and historical conditions which influence scientific change. It makes our science less adaptable and more dogmatic…All methodologies have their limitations, and the only rule that survives is ‘anything goes’. [9]

[Ide bahwa ilmu dapat dan harus berjalan sesuai dengan hukum-hukum universal yang mapan, adalah tidak realistis dan juga merusak. Ia tidak realistis, karena terlalu menyederhanakan bakat manusia dan keadaan lingkungan yang mendorong atau menyebabkan perkembangan. Dan ia merusak, karena usaha untuk memberlakukan hukum-hukum itu cenderung meningkatkan kualifikasi profesional kita yang mengorbankan rasa kemanusiaan. Selain itu, ide itu pun merugikan ilmu, karena ia mengabaikan kondisi fisik dan historis yang kompleks yang mempengaruhi perubahan ilmiah. Ia menyebabkan ilmu semakin kurang bisa dikelola dan semakin dogmatik…Semua metodologi mempunyai keterbatasannya dan satu-satunya 'hukum' yang survive adalah 'apa saja boleh'].

Kasus Feyerabend yang menentang metode, memukul metodologi-metodologi yang dianggap telah memberikan hukum-hukum untuk membimbing para ilmuwan ini ternyata ditunjang dengan alasan yang kuat. Menurutnya: “the methodology of research programmes provides standards that aid the scientist in evaluating the historical situation in which he makes his decisions; it does not contain rules that tell him what to do”.[10] Maksudnya, "Metodologi dan program-program riset menyediakan standar-standar yang membantu ilmuwan menilai situasi historis untuk mengambil keputusan-keputusannya; ia tidak berisi hukum-hukum yang mendikte apa yang harus diperbuat ilmuwan”. Maka tidaklah bijaksana, bahwa para ilmuwan dalam melakukan pemilihan-pemilihan dan keputusan-keputusan terikat oleh hukum-hukum yang diatur atau terkandung di dalam metodologi-metodologi ilmu.
Feyerabend membela apa yang ia sebut sebagai "sikap kemanusiawian" yang memandang bahwa manusia individual harus bebas dan memiliki kebebasan sebagaimana yang diperjuangkan John Stuart Mill. Feyerabend menyetujui usaha meningkatkan kebebasan menuju ke kehidupan yang penuh dan produktif.
Ia mendukung Mill dalam membela "pembinaan individualitas yang secara pribadi mampu berproduksi sendiri, atau dapat memproduksi manusia-manusia yang maju". Feyerabend menyatakan bahwa, It is in conflict ‘with cultivation of individuality which alone produces, or can produce, well-developed human beings’.[11]
Dari sudut pandang kemanusiawian ini, pemikiran anarkis Feyerabend tentang ilmu mendapatkan dasar pembenarannya, karena di dalam ilmu ia memang diarahkan guna meningkatkan kebebasan individu dengan memacu penyingkiran segala macam kungkungan metodologis.
Dalam konteks yang lebih luas, ia senantiasa mendorong semangat kebebasan bagi para individu untuk memilih antara ilmu dan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Jadi jelas sekali, bahwa Feyerabend menolak sikap otoriter dalam bentuk apapun juga.
Feyerabend hendak mendobrak anggapan bahwa ada keteraturan dalam perkembangan ilmu yang hendak diwujudkan dalam hukum dan sistem. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem maupun hukum yang berlaku. Ia harus bebas karena memang kegiatan ilmiah atau ilmu pengetahuan merupakan suatu upaya yang anarkistik. Pendapat Feyerabend ini juga harus dilihat sehubungan dengan analisisnya tentang masyarakat.
Dalam perspektif Paul Karl Feyerabend, perkembangan ilmu di dalam masyarakat kita tidak lagi konsisten dengan sikap kemanusiawian. Di kalangan masyarakat kita dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama dengan posisi agama seperti halnya pada masa Abad Pertengahan. Ilmu pengetahuan memiliki kuasa mutlak. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan manusia, namun justru menguasai dan memperbudak manusia.
Apa yang perlu kita lakukan dalam masalah ini, tulis Feyerabend, adalah "membebaskan masyarakat dari kungkungan ilmu yang membatu secara ideologis, persis seperti nenek moyang kita membebaskan kita dari kungkungan 'agama satu-satunya' yang benar". Ia menyatakan, “let us free society from the strangling hold of an ideologically petrified science just as our ancestors freed us from the strangling hold of the One True Religion!”. [12]
Hal ini perlu ditempuh karena menurut citra Feyerabend, setiap individu dilahirkan ke dalam suatu masyarakat yang sudah eksis lebih dulu, dan dalam pengertian itu, masyarakat itu bukanlah pilihannya yang bebas. Kebebasan yang dimiliki seorang individu akan tergantung pada posisi yang ia duduki di dalam struktur sosial tersebut, dan oleh karena itu, suatu analisa tentang struktur sosial bersangkutan merupakan prasyarat untuk mengerti tentang kebebasan sang individu.
Setidaknya ia menyadari hal semacam ini dan dalam satu bagian tentang kebebasan riset, Feyerabend menulis: “The scientist is still restricted by the properties of his instruments, the amount of money available, the intelligence of his assistants, the attitude of his colleagues, his playmets—he or she—is restricted by innumerable physical, physiological, sociological, historical contraints”.[13] Artinya bahwa, "Ilmuwan masih dibatasi oleh sifat-sifat dari instrumen-instrumennya, jumlah uang yang bisa diperolehnya, kecakapan para asistennya, sikap rekan-rekannya, teman-teman mainnya—lelaki atau perempuan—ia dibatasi oleh banyak sekali kekangan fisik, psikologis, sosiologis dan historis".

Seluruh pembicaraan dan perdebatan tentang pemikiran Paul Karl Feyerabend tersebut di atas tersimpul dalam sebuah mainstream yang padat makna, anarkisme ilmu pengetahuan, sebagai suatu kritik yang diajukan dan ditujukan untuk semakin dapat menemukan wajah ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Yang pertama, dengan memegang semboyan anti-metode (Against Method), Feyerabend ingin melawan batang tubuh beserta metode ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal serta tahan sepanjang masa, dan juga dapat membawahi semua fakta dan penelitian.
Kemudian, atas nama kebebasan yang sama, Feyerabend mempunyai sikap anti-ilmu pengetahuan (Against Science) sebagai kritik terhadap praktek ilmiah, kekuasaan, fungsi dan kedudukan ilmu pengetahuan dalam masyarakat yang kerapkali melampaui maksud utamanya. Dengan posisi seperti ini, ia hendak melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain semisal sihir, magi, voodoo, mitos, dan sebagainya.
Feyerabend menyimpulkan bahwa, sains maupun rasionalitas bukanlah ukuran unggul yang universal. Keduanya adalah tradisi partikular yang tidak menyadari latar historisnya sendiri. Ilmu pengetahuan sebagaimana tinjauan historis Feyerabend, lebih merupakan suatu perkembangan dari berjuta-juta alternatif, satu dengan yang lain tidak selalu terdapat konsistensi atau kesepadanan.[14]
Maksud dari semua itu sebenarnya adalah, Feyerabend ingin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka yang dipropagandakan oleh para ilmuwan. Ia memilih istilah realisme ilmiah yang dalam salah satu bentuknya berupa aktivitas-aktivitas kita mengumpulkan pengetahuan sebagai jalan terbaik untuk memahami dunia.
Dalam pengertian ini berarti ilmu pengetahuan tidak hanya sanggup menghasilkan prediksi-prediksi saja, melainkan juga berpotensi untuk menggali hakikat realitas yang menjadi cita-cita dari pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Realisme ini akan bisa terwujud pada saat teori-teori, sistem pemikiran, dan kerangka-kerangka pandang diterapkan dalam bentuknya yang paling kuat, bukan sekedar sebagai skema-skema bagi setiap proses kejadian yang kodratnya ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan eksternal, tetapi sekaligus juga bertindak sebagai penentu orientasi keilmuan yang telah dirancangnya.
Pada akhir kegelisahan intelektualnya, Feyerabend menawarkan terma anarkisme sebagai obat mujarab dalam menyembuhkan epistemologi dari sakitnya. Sebagai obat bukan berarti ilmu pengetahuan harus menjadi anarkis, namun baik epistemologi maupun filsafat ilmu pengetahuan harus menerima anarkisme agar dengan demikian kita akan kembali kepada bentuk-bentuk rasionalitas yang lebih jelas dan bebas, kurang lebih seperti yang diproyeksikan dan diidealisasikan oleh Feyerabend.
Adanya klaim bahwa anarkisme ilmu pengetahuan sebagai bentuk kesewenang-wenangan epistemologis Feyerabend perlu kiranya dimengerti dalam porsi pemahaman yang tepat dan seimbang. Sebab pada kenyataannya istilah ekstrem itu dimaksudkan untuk memberikan kritik eksternal terhadap metode dan praktek ilmu pengetahuan yang acapkali mengaburkan karakter dan tujuan dasar utamanya. Tetapi hal itu mungkin bisa dipahami karena memang seorang anarkis di bidang ilmu pengetahuan oleh Feyerabend diistilahkan—mengutip pendapat Hans Richter—sebagai dadais yang anti terhadap segala bentuk kemapanan.
Maka berkaitan dengan persoalan itu pula, skripsi ini diangkat guna menelaah lebih jauh mengenai beberapa pokok pemikiran Feyerabend beserta aspek penting lain yang terdapat di dalamnya. Secara khusus, dalam tulisan ini penulis ingin melacak dan mengurai sejauhmana konsistensi dari seluruh sistem pemikiran Feyerabend dalam alur sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai tawaran metodis yang disodorkannya.
Sebagai sebuah kajian serius tentang tokoh filsafat ilmu pengetahuan baru, Feyerabend melontarkan gagasan kritis-progresif yang sayangnya sampai saat ini masih relatif kurang bisa dibaca, dipelajari dan diakses lebih jauh oleh para peminat filsafat pada khususnya serta kalangan dunia akademis pada umumnya.
Mungkin hal inilah yang kemudian menjadi latar dari pemilihan tokoh dan pembahasan topik Paul Karl Feyerabend, yang dalam rekaan awal penulis, beberapa pandangan ilmu pengetahuannya tidak lebih hanya sekedar reaksi keilmuan mengenai presuposisi-presuposisi akan adanya berbagai deviasi (penyimpangan) nilai-nilai etis-praktis ilmu pengetahuan yang diterapkan oleh para ilmuwan kala itu saja.
Namun setelah melalui proses studi yang runut dan seksama, ternyata penulis menemukan beberapa endapan gagasan vital dan relatif belum banyak diperbincangkan muatan-muatan filosofisnya, yang selain disinyalir menjadi tonggak kebangkitan era filsafat ilmu pengetahuan baru pasca dominasi aliran Positivisme Logis, juga telah dianggap berhasil memecahkan kebuntuan monometodologi ilmu pengetahuan untuk direinterpretasikan dan direformulasikan secara paradigmatik dan anarkistik, tanpa terikat oleh hukum-hukum positivistik-logis yang berkembang sebelum masa Feyerabend.
Pondasi ilmu pengetahuan Feyerabend yang berusaha mendobrak keangkuhan format dan prosedur-prosedur sains modern ini telah menggugah kesadaran kolektif kita untuk merefleksikan ulang tentang asumsi-asumsi ilmiah sebagai simbol kemajuan peradaban modern, yang telah beralih fungsi menjadi semacam arogansi intelektual, atau terkesan hanya menjadi menara gading, dan pada akhirnya berujung pada retorika serta ideologi tertutup yang penuh kedangkalan makna dan kepentingan-kepentingan tertentu.
Maka dengan pluri-metodologi dan pandangan konstruktivis-kontekstualis seperti yang dinyatakan oleh Feyerabend, kita jadi mafhum bahwa semua klaim pengetahuan (fakta, kebenaran, validitas) hanya dapat dimengerti dan diperdebatkan dalam konteks dan dalam paradigma atau komunitas tertentu pula. Tidak satupun yang diterima sebagai fakta, teori, atau kesimpulan yang selesai atau final, sebab penerimaan atas pluri-metodologi Feyerabend ini memang mengandaikan adanya berbagai standar kebenaran.
Dengan mengacu pada realitas historis seperti itu, penulis pun berketetapan hati untuk menempatkan segi-segi fundamental filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend tersebut sebagai starting point dan landasan pemikiran dalam menggali dan mengolah ide-ide dasar ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara lebih jelas dan obyektif. Harapannya, paling tidak urgensi topik dalam penulisan karya ilmiah ini bisa menambah koleksi seri tokoh filsafat ilmu di masa mendatang.

B.     Rumusan Masalah
Dari deskripsi umum di atas, ada beberapa kata kunci yang perlu kiranya dicermati dari pola pemikiran yang dibangun oleh tokoh utama dalam fokus kajian skripsi ini, yakni Paul Karl Feyerabend. Banyak jalinan ide penting Feyerabend yang saling berhubungan dalam membentuk konsep-konsep penting lainnya sehingga semakin memperkokoh landasan teoretis yang dituangkan semasa hidupnya.
Oleh karena itu, agar alur pembahasan ini tepat sasaran, terarah dan sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka tentu saja ruang lingkup masalah yang akan dijadikan sumber acuan nantinya terbatas dan terumus dalam masalah-masalah berikut, yaitu:
  1. Bagaimana prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend dalam filsafat ilmu pengetahuannya?
  2. Bagaimana corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah:
  1. Mengetahui prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara utuh dan mendalam.
  2. Mengetahui corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan yang digunakan oleh Paul Karl Feyerabend secara jelas dan memadai.

D.    Metodologi Penelitian
Menurut sumber bacaan yang ada, metodologi penelitian merupakan serangkaian metode yang saling melengkapi dalam melakukan penelitian.[15] Sifat dari penelitian ini sendiri adalah kajian kepustakaan (Library Research) yang memuat data-data dan bahan-bahan yang mendukung dan melengkapi terhadap isi pembahasan ini baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, artikel, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam proses pengumpulan data-data tersebut, penulis berusaha untuk menghimpun data primer maupun sekunder yang sekiranya ada kaitannya dengan pokok pembicaraan dalam skripsi ini. Data primer itu berupa buku masterpiece Paul Karl Feyerabend sendiri yang berjudul Against Method, sedangkan data sekunder adalah berupa karya-karya Feyerabend lainnya yang dilengkapi pula dengan tulisan atau karya ilmiah para ahli yang secara khusus mengkaji dan membahas tentang pemikiran Paul Karl Feyerabend.
Disamping itu, penelitian ini juga merupakan penelitian historis-faktual mengenai seorang tokoh[16], dalam hal ini Paul Karl Feyerabend. Dalam kaitan ini, penulis berusaha menyelami pikiran, karya dan latar belakang historis yang melingkupi sejarah kehidupan dan keilmuannya.
Untuk mempermudah prosedur pengolahan data itu, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode khusus, yaitu: (1) Deskriptif. Dengan metode ini, peneliti menguraikan dan membahas secara sistematis dan terperinci seluruh konsepsi pemikiran tokoh yang bersangkutan.[17] Dalam konteks ini, penulis akan menggambarkan dan menguraikan sepenuhnya dengan memakai analisis filosofis tentang konstruksi filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dan beberapa gagasan penting lainnya secara lebih lengkap dan jelas. (2) Interpretatif. Dalam hal ini, peneliti berusaha menyelami karya tokoh untuk menangkap kandungan arti dan nuansa yang dimaksudkan secara spesifik.[18] (3) Analisis. Dengan cara ini, penulis akan merinci istilah-istilah atau pendapat-pendapat tokoh (Feyerabend) ke dalam bagian-bagian khusus tertentu sehingga dapat dilakukan pemeriksaan atas arti yang dikandungnya, dengan maksud untuk memperoleh kejelasan tentang arti yang sebenar-benarnya.[19] Dengan begitu, diharapkan nantinya akan bisa diperoleh suatu pemahaman yang benar pula tentang ciri, sifat, latar belakang dan ide-ide dasar Feyerabend itu sendiri.

E.     Tinjauan Pustaka
Diantara para filsuf sezamannya, Feyerabend dinilai paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrem, yang terutama didasarkan pada karya monumentalnya, Against Method. W.H. Newton-Smith[20] menilai bahwa tidak ada kritik terhadap ilmu pengetahuan setegar dan selantang kritik Feyerabend. Kritik yang disampaikan melalui buku itu telah menggambarkan panggung filsafat pada tahun 70-an[21] yang banyak mengundang polemik dan perdebatan sengit.
Sudah ada beberapa literatur yang mengupas jejak-jejak pemikiran Feyerabend, baik dalam versi Bahasa Indonesia maupun asing. Misalnya tulisan Prasetya T.W. yang berjudul “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend”, yang dimuat dalam antologi buku Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu.[22] Secara lengkap dan padat, di dalamnya diuraikan seluk-beluk kemunculan Feyerabend dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan serta sejarah awal perjalanannya menjadi seorang anarkis. Dalam buku itu juga, dijelaskan tentang definisi dari anti-metode dan anti-ilmu pengetahuan yang menjadi kritik utama dalam pemikiran Feyerabend.
Selain itu pula, buku yang secara representatif dalam menampilkan dan menanggapi urgensi pemikiran Feyerabend juga diungkapkan oleh A.F. Chalmers dalam sub-topik bahasan, “Teori Anarkistis Feyerabend Tentang Pengetahuan”, yang termaktub dalam bukunya Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya.[23] Buku ini secara teliti dan akurat memberikan ringkasan tentang segi-segi kunci pandangan Feyerabend yang meliputi seluruh konstruksi epistemologinya dengan disertai kritik-kritik yang cukup argumentatif-korektif.
Buku lain yang membicarakan sisi-sisi pemikiran Feyerabend adalah The Rationality of Science, karya W.H. Newton Smith[24], yang berintikan tema-tema aktual dan liberal Feyerabend secara menyeluruh, mulai dari konsep anti-metode yang merupakan topik utama pemikirannya sampai gagasan-gagasan vital lainnya, seperti pandangan Feyerabend tentang prosedur kontra-induksi, ketidaksepadanan, dan seterusnya yang dibahas secara tuntas dan mendalam.
Satu lagi buku rujukan yang berkaitan dengan fenomena pemikiran Feyerabend adalah apa yang ditulis oleh Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode.[25] Seri pengantar tokoh filsafat ini memberikan garis-garis besar haluan sebagai gambaran awal yang sistematis tentang sosok filsuf Paul Karl Feyerabend yang kerapkali mendera sains dengan kritik-kritik kerasnya. Ia tidak menawarkan metodologi apapun sebagai ganti induksi yang selama ini dijadikan panduan utama cara kerja ilmiah. Dengan lantangnya, Feyerabend justru memproklamirkan anarkisme epistemologis yang berhasil membuka sumbat penyatuan metode yang selama ini diberhalakan oleh sains.
Dari sekian literatur tersebut di atas, ada perbedaan yang cukup signifikan dengan maksud penelitian ini, yaitu bahwa artikel yang ditulis oleh Prasetya T.W. hanya sebatas mengenalkan sejarah awal dan garis-garis besar haluan filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dalam pergulatannya dengan aliran Positivisme Logis. Sedangkan buku A.F. Chalmers dan W.H. Newton-Smith sekedar rangkuman dari beberapa substansi pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan saja yang pembahasannya terkesan ambivalen tanpa disertai jalinan sketsa ilmu pengetahuan Feyerabend dengan pemikiran tokoh-tokoh lain serta minimnya aspek historisitas mengenai kemunculan dan keterlibatan Feyerabend dalam wacana filsafat ilmu pengetahuan secara terperinci.
Demikian juga dengan buku Akhyar Yusuf Lubis sebagai buku pengantar dalam memahami traktat-traktat berat filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend yang secara khusus hanya ‘memandu’ pembaca untuk mengenal ciri, sifat dan latar belakang pemikiran filsafat Feyerabend yang disisipi juga penjelasan tentang titik persinggungannya dengan model metodologi ilmu pengetahuan yang berkembang sebelumnya, semisal metodologi Galilean dan metodologi Positivisme Logis.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis secara spesifik berusaha menyelidiki pokok-pokok masalah yang menjadi sasaran kritik utama Feyerabend serta letak-letak perbedaan fundamental yang terdapat dalam corak pemikiran filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dengan para filsuf ilmu pengetahuan lainnya, tanpa terperangkap ke dalam pemihakan-pemihakan subyektif yang terkesan berlebihan dan kontraproduktif.
Selain daripada itu, penulis juga akan mengkaji sejauhmana konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari dasar-dasar pemahaman epistemologi Feyerabend dalam mindset sosio-kultural masyarakat yang akhir-akhir ini secara tidak kritis cenderung hanya terpaku pada satu bentuk kebenaran monologis yang bersumber dari konsepsi keilmuan tertentu.

F.     Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mudah dan urutnya penulisan ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan dikelompokkan menjadi beberapa bab dan sub-bab, yaitu:
Diawali dengan Bab I, yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika pembahasan.
Kemudian Bab II, berisi tentang biografi singkat Paul Karl Feyerabend yang terdiri dari riwayat hidup, karya serta tokoh-tokoh yang membentuk watak dan mempengaruhi karakteristik pemikirannya.
Selanjutnya Bab III, menyarikan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend yang berkisar tentang persoalan apa saja boleh (anything goes), ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak harus mengungguli bidang-bidang pengetahuan lain, dan kebebasan individu.
Disusul dengan Bab IV, yang merupakan intisari pembahasan yang mengetengahkan tentang penafsiran Paul Karl Feyerabend terhadap makna anarkisme sebagai kritik atas ilmu pengetahuan itu sendiri berupa anti-metode (Against Method), dan anti-ilmu pengetahuan (Against Science).
Terakhir Bab V, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis berdasarkan seluruh hasil pembahasan yang dilakukan dan ditekuni selama dalam proses awal sampai akhir penyusunan skripsi ini.



[1] Jujun Suparjan Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2.

[2] Beerling, et.al., Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. xii.
[3] Prasetya T.W., "Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 47.

[4] A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 149.
[5] Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 205.
[6] Ibid., hlm. 253.
[7] Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 119 dan 116.
[8] Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 167-168.

[9] Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 295-6.
[10] Ibid., hlm. 186.
[11] Ibid., hlm. 20.
[12] Ibid., hlm. 307.
[13] Ibid., hlm. 187.
[14] Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 130.
[15] Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi (Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002), hlm. 9.

[16] Anton Bakker dan A. Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.
[17] Ibid., hlm. 65.

[18] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 98. Lihat juga dalam Anton Bakker dan A. Charris Zubair, op.cit., hlm. 63.
[19] Ibid., hlm. 60.
[20] W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981), sebagaimana yang dikutip oleh Endro Witj., Feyerabend: Rasionalitas Ilmu Yang Goyah, dalam Fokus, Februari 1989, hlm. 34.

[21] Kees Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 17.

[22] Prasetya T.W., “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend”, dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993).
[23] A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982).

[24] W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981).

[25] Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju, 2003).

No comments:

Post a Comment

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...