PENDEKATAN SEMANTIK DALAM TAFSIR AL QUR’AN
Oleh: Ari Wardoyo dan Wiwin F[1]
BAB I
PENDAHULUAN
Interpretasi atau penafsiran terhadap Al-Qur’an
berkaitan dengan teks. Teks disini bukalah sekedar teks bahasa biasa, tetapi teks
yang diyakini sebagai bahasa yang berasal dari Tuhan. Tidak salah jika
Al-Qur’an disebut sebagai kitab yang berdimensi transcendental dan sakral.
Dimensi transcendental dan ke-sakral-an Al-Qur’an inilah yang terkadang membuat
sebagian umat Islam, mengabaikan proses pemaknaan Al-Qur’an. Seolah-oleh tanpa
proses tersebut Al-Qur’an dengan jelas telah menyatakan sesuatu yang harus
dipatuhi begitu saja. Ini artinya, Al-Qur’an diturunkan dalam masa kurang lebih
22 tahun 2 bulan 22 hari dalam situasi yang mengalami perkembangan dan
perubahan social diabaikan, terlebih Al-Qur’an setelah dikompilasikan menjadi
sebuah mushaf.
Untuk menyegarkan kembali pemahaman terhadap Al-Qur’an,
tentu perlu dikembangkan tafsir yang mampu membongkar kebekuan pemikiran yang
terjadi dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an pada saat ini. Salah satu tawaran
yang ada adalah pendekatan semantik dalam tafsir Al-Qur’an. Pendekatan semantik
sesungguhnya telah berkembang sejak awal Islam, bahkan para ulama salaf telah
mengenal semantik dalam karya tafsir mereka. Walaupun pada akhir-akhir decade
ini, pendekatanm semantik tidak banyak dikenal oleh umat Islam, namun
pendekatan semantik dalam tafsir tetap relevan untuk digunakan.
BAB II
PENDEKATAN SEMANTIK DALAM TAFSIR AL QUR’AN
A. Pengertian
semantik
Kata semantik dalam bahasa Indonesia
dan bahasa inggris semantic merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani,
yaitu sema (kata benda) yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’.
Tanda atau lambang yang dimaksuda adalah tanda linguistic. Semantik adalah
‘bidang studi dalam linguistic yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa.
Oleh karena itu, semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau
tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi,
gramatika, dan semantik’.[2] J.D.
Paparera mengartikan bahwa semantik adalah ‘satu studi dan analisis tentang
makna-makna linguistic’.[3] Jadi
sangatlah jelas bahwa, secara sederhana semantik merupakan ilmu yang
mempelajari tentang makna dari kata dalam suatu bahasa.
Semantik
merupakan suatu perkembangan terhadap kebutuhan makna dalam ilmu kebahasaan.
Semantik melakukan upaya pemaknaan terhadap simbol-simbol teks yang berakar
dari teks itu sendiri. Pembagian pamahaman makna dalam semantik disajikan dengan
beragam latar belakang, mulai dari makna dalam perbedaan suara (fonetik), makna
dalam perbedaan gramatikal, makna dalam perbedaan leksikal, dan makna dalam
perbedaan sosiolinguistik, sedangkan pada proses berikutnya semantik lebih
memahami pada kontekstulitas teks untuk menghasilkan sebuah makna.
Dalam penelitian tentang makna dari
sebuah kata, makna-makna biasanya mempunyai hubungan dengan makna dari
kata-kata dan kalimat-kalimat yang lain. Makna kata juga sangat tergantung
dengan makna pada kata atau kalimat yang ada. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Abdul Wahab bahwa, ‘semua hubungan ini jelas tergantung pada makna yang
terdapat pada kata atau yang terdapat pada kalimat, dan begitulah dalam
memahami makna-makna dalam butir-butir yang terdapat pada suatu bahasa, suatu
teori semantik juga terlibat dalam pemahaman terhadap hubungan-hubungan semacam
itu’.[4]
‘Dalam sebuah teori semantik harus
memenuhi paling tidak tiga syarat, pertama, untuk bahasa apa saja, teori
ini harus mampu menagkap hakikat makna kata dan makna kalimat, dan mampu
menjelskan hakikat hubungan yang terdapat di antaranya. Kedua, teori itu
harus mampu meramalkan akan adanya ketaksaan dalam bentuk-bentuk bahasa, baik
pada tingkat kata maupun pada tingkat kalimat. Ketiga, teori itu harus
mampu memahami dan menjelaskan hubungan yang sistematis antara kata-kata dan
kalimat yang terdapat pada suatu bahasa—maksudnya, teori itu harus mampu
menjelaskan adanya hubungan sinonim, cakupan logis, pelibatan, kontradiksi, dan
sebagainya’.[5]
B. Jenis makna dalam semantik
a. Makna Leksikal
Makna
leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan
hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam
kehidupan kita.
b. Makna Gramatikal
Makna
gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika
(berupa imbuhan).[6]
C. Teori Semantik tentang makna
Ada
banyak teori yang telah dikembangkan oleh para pakar filsafat dan linguistik
sekitar konsep makna dalam studi semantik, diantaranya[7] yaitu,
(1) teori referensial atau korespondensi, (2) teori mentalisme atau konseptual,
(3) teori kontekstual, (4) teori formalisme.
a. Teori Referensial
Teori referensial atau korespondensi merupakan
teori yang menyatakan bahwa ada hubungan penamaan antara satu kata dan benda
acuannya, di sini ada hubungan satu lawan satu antara nama dan benda. Hal yang
paling jelas tampak adalah nama diri, nama tempat atau benda peninggalan
sejarah, Borobudur misalnya, mengacu pada candi yang ada di daerah magelang.
Hubungan antara kata dan benda itu disebut hubungan acuan. ‘… makna suatu kata
dapat dijelaskan dalam batas-batas hubungan antara kata dan benda yang
diacunya. … Sama halnya seperti nama diri mengacu pada pribadi yang diacunya,
kata benda umum mengacu pada serangkaia benda-benda, kata kerja mengacu pada
suatu tindakan, kata sifat mengacu pada keadaan benda atau pribadi, dan kata
keterangan mengacu pada keadaan suatu tindakan’.[8] Atau
dengan kata lain, ‘bila kata-kata itu mempunyai referen yaitu sesuatu diluar
bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata itu disebut kata bermakna
referensial’.[9]
Jika kita menerima bahwa makna sebuah ujaran adalah referennya, maka
setidak-tidaknya kita terikat pula pada pernyataan berikut ini:
1.
Jika sebuah ujaran mempunyai
makna, maka ujaran itu mempunyai referen,
2.
Jika dua ujaran mempunyai
referen yang sama, maka ujaran itu mempunyai makna yang sama pula,
3.
Apa saja yang benar dari
referen dari sebuah ujaran adalah benar untuk maknanya.[10]
b. Teori Mentalisme
Teori
mentalisme atau konseptual adalah teori yang mengubungkan bentuk bahasa
lahiriah dengan 'konsep' atau citra mental penuturnya. Sebagai contoh, mereka
mengatakan bahwa 'kuda terbang' atau 'pegasus' adalah satu citra mental
penuturnya, walaupun secara real tidak ada.
c. Teori Kontekstual
Teori
kontekstual adalah teori yang menekankan kepada konteks situasi dalam analisis
makna. Teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan
semantik bandingan antar bahasa. Makna sebuah kata terikat pada lingkungan
kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu itu.
Makna bahasa tidak terlepas dari
lingkungan cultural dan kata tidak mempunyai makna jika terlepas dari konteks.
Parera mengatakan, ’… makna sebuah kata terikat pada lingkungan cultural dan
ekologis pemakai bahasa tertentu itu…teori kontekstual mengisaratkan pula bahwa
sebuah kata atau symbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari
konteks. Walaupun demikian ada pakar semantik yang berpendapat bahwa setiap
kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi dan
kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi’.[11]
d. Teori Formalisme
Teori
formalisme atau teori pemakaian dari makna, adalah teori yang menyatakan bahwa
kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks, karena konteks itu
selalu berubah dari waktu ke waktu. Makna tidak akan mantap bila telah berada
diluar kerangka pemakaiannya.
Menurut
teori ini bahasa merupakan salah satu bentuk permainan yang diadakan dalam
beberapa konteks dengan beberapa tujuan. Bahasa pun mempunyai kaidah yang
membolehkan beberapa gerakan tetapi melarang gerakan yang lain. Atau dapat
dirumuskan bahwa makna sebuah ujaran ditentukan oleh pemakaiannya dalam
masyarakat bahasa.[12]
D.
Pendekatan Semantik
Dalam Tafsir Al-Qur’an
Al-Qur’an[13] diakui
oleh kaum muslimin bahkan dijamin oleh Allah SWT, merupakan kitab yang terjamin
keotentikannya dan terpelihara, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran,
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”[14].
Sifat keotentikan Al-Qur’an
inilah yang mendorong para peneliti Al-Qur’an mencoba untuk menggali makna yang
terdalam dari ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan ketika zaman Nabi masih hidup para
sahabat biasa menanyakan ayat-ayat Al-Qur’an dan permasalahan kehidupannya kepada
Nabi.
Nabi Muhammad SAW dan para generasi
awal Islam juga telah menjadikan Al-Qur’an sebagai salah satu sumber
pembangunan dalam semua segi kehidupan umat Islam pada saat itu, baik kehidupan
politik, kebudayaan, social kemasyarakatan, pendidikan, dsb. Sehingga Al-Qur’an
menjadi salah satu kitab yang mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi
perkembangan peradaban manusia.
Sebagaimana dinukilkan oleh
Komaruddin Hidayat dalam karyanya bahwa, “… ratusan bangunan gereja yang begitu
megah di Eropa dan masjid amat monumental di Mekah dan Madinah adalah bukti
nyata kekuatan kontribusi agama dalam membangun peradaban dan juga ekspresi
arsitektural yang menghiasi sejarah peradaban manusia.”[15]
Oleh sebab itulah, banyak dari
kalangan intelektual muslim dan barat menyebutkan bahwa peradaban yang dibangun
generasi awal Islam adalah peradaban teks. Disebut sebagai peradaban teks dalam
pengertian sebagai peradaban yang menegakkan asas-asas epistemologinya dan
seluruh tradisinya yang tidak mungkin mengabaikan peranan teks Al-Qur’an di
dalamnya. Namun demikian yang membangun peradaban bukanlah teks itu sendiri,
melainkan dialektika manusia dengan realitas satu pihak, dan dialognya dengan
teks dipihak lain.
Al-Qur’an atau wahyu[16] yang
berupa teks berbahasa Arab sesungguhnya mengandung makna/maksud yang dikendaki
oleh Allah atau Sang ‘Komunikator’ yang harus ditangkap oleh penerima wahyu
tersebut dalam proses komunikasi[17]. Sebab,
berbicara mengenai teks, tentu ini sangat berkaitan
dengan bahasa tertentu yang mempunyai makna tidak hanya dari apa yang
terdengar, ia lebih merupakan tanda yang membawa makna. Begitu pula dengan Al-Qur’an,
tentu mempunyai makna yang hakiki dan hanya diketahui oleh Allah
sendiri, akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kita dapat menyingkap atau
mendekati makna tersebut walaupun tidak sesuai benar apa yang diinginkan Allah
dengan mengunakan metode penafsiran/interpretasi.
Para ahli tafsir
salaf menekankan pada bentuk
interpretasi yang menekankan pada pencarian makna dari segi narasi. Berbeda
dengan studi interpretasi Al quran kontemporer, perspektifnya sudah berkembang
pesat yaitu dengan menempatkan teks Al-quran sebagai teks bahasa[18] yang
bersifat historis yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di
samping berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini sudah masuk pada
analisis “status ontologis teks” dan relasi antar konteks melalui interpretasi
kebudayaan dengan menggunakan pisau analisis linguistic, semantik, dan semiotik yang terbingkai dalam
hermeneutika teks.
Pendekatan
semantik dalam menafsirkan Al-Qur’an lebih yang menjadi pokok pembahasan kali
ini, nampak pada pemaknaan yang mereposisikan teks Al-Qur’an pada tekstualitas
dan kontekstualitasnya. Selanjutnya semantik sebagai bagian dalam ilmu
kebahasaan/sastra memberikan daya tambah terhadap dimensi bahasa dan makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an. Al quran terdiri dari kata, kalimat, paragraf dan
tanda-tanda baca yang sarat makna. Karenanya dilihat dari aspek ini, ia setara
dan dapat didekati sebagaimana teks-teks yang lain yang mempunyai sifat
historis.
Mengapa Al-Qur’an dapat disebut atau
disejajarkan sebagai teks yang bersifat histories? ‘peristiwa pewahyuan sebagai
titik awal dari lahirnya Al-Qur’an merupakan kata kunci untuk menyatakan bahwa
saat inspirasi Ilahi itu disampaikan kepada manusia melalui Nabi
Muhammad SAW, dengan mengunakan bahasa tertentu dari kaumnya, bahasa Arab (al-lisan
al-arab), maka itu menandakan bahwa dari sifat kesejarahannya. Dalam
kritisisme teks, posisi historisitas ini sangat signifikan untuk mengulas
persoalan dari sisi “peristiwa bahasa” dan sekaligus akan mempengaruhi pada
“system pemaknaan” terhadap teks itu sendiri, juga akan menempatkan secara
lebih adil posisi dari otoritas sebuah teks.[19]
Meskipun demikian
Al-Qur’an sebagai teks yang bersifat sejarah tidaklah berarti dan tidak mesti
bahwa ia adalah teks manusia. ‘Sebagaimana setiap teks adalah sebuah fenomena
historis dengan konteks khasnya tersendiri, dan prinsip ini dapat dipakai untuk
Al-Qur’an sebagai sebuah teks dan untuk interpretasinya sebagai sebuah fenomena
historis juga, maka konteks Al-Qur’an di mana dikaji di dalam berbagai aliran
penafsiranpun juga harus diteliti. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
hitorisitas Al-Qur’an sebagai sebuah teks tidaklah berarti, dan tidak mesti,
bahwa ia adalah teks manusia. Karena Al-Qur’an adalah wahyu dan/atau manifestasi
firman Tuhan pada waktu dan tempat tertentu, maka apa yang diwahyukan kepada
Muhammad dalam bahasa Arab pada abad ke-7 adalah juga sebuah teks sejarah’.[20]
Menempatkan Al-Qur’an sebagai teks merupakan syarat
pertama dalam semantik. Implikasinya, sebelum langkah studi Al-Qur’an
diambil, Al-Qur’an harus dianggap sebagai teks sastra suci. Seperti yang
dijelaskan dimuka, bahwa secara historis, ia diturunkan dengan kemasan bahasa
Arab, sebagai ‘kode’ yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalahnya.
KeAraban Al-Qur’an inilah, sedianya menjadi dasar bagi pengkaji Al-Qur’an.
Oleh karena
Al-Qur’an sebagai teks inilah yang mengharuskan untuk mendekati Al-Qur’an
dengan tekstual, dinyatakan oleh Ja’far Dikki Al-Bab bahwa, ‘… Yakni Al-Qur’an
sebagai sebuah teks yang hanya membutuhkan analisis tekstual yang memperhatikan
konteks pewahyuan’.[21] Dalam pendekatan Al-Qur’an
dari segi tekstualitasnya, salah satu cara pandang atau paradigma yang dapat
digunakan adalah semantik.
Oleh sebab pendekatan
semantik dalam interpretasi Al-Qur’an memposisikan teks dan disejajarkan dengan
studi sastra[22],
maka menurut Amin kulli sebagaimana yang dikutip oleh Muhtar Sadili dapat mengunakan
beberapa prinsip metodologi, yaitu; ‘…al-Khûlî menyuguhkan dua prinsip
metodologis; (1) studi sekitar Al-Qur’an (dirâsah mâ hawl al-qurân) dan
(2) studi tentang teks itu sendiri (dirâsah fî al-qurân nafsih). ‘Studi
sekitar Al-Qur’an’ diarahkan kepada investigasi latar belakang Al-Qur’an,
dimulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat
arab sebagai obyek wahyu, serta kodifikasi dan fariasi cara baca: sebuah kajian
yang kemudian lebih dikenal dengan ulûmul qur’ân. Kajian ini juga difokuskan
pada aspek sosial-historis Al-Qur’an, termasuk di dalamnya situasi intelektual,
kultural, dan geografis masyarakat Arab abad ke tujuh ketika Al-Qur’an
diturunkan. Kajian ini menitikberatkan pada pentingnya aspek-aspek historis,
kultural, dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat arab abad ke-7
sebagai objek langsung teks wahyu tersebut. Penitikberatan aspek-aspek sosial
yang masuk dalam rumpun humaniora yang tadi, akan menjadikan kita dibantu
secara metodologis untuk sampai kepada makna yang kehendaki teks’[23].
Dari
penjelasan di atas, maka ada beberapa metode untuk memahami teks Al-Qur’an diantaranya
adalah sebagai berikut.
1. Self referensial Al-Qur’an
Self
referensial Al-Qur’an, yang dimaksud di sini adalah pembahasan tentang
bagaimana Al-Qur’an ‘merujuk’ dirinya sendiri atau menjelaskan dirinya sendiri.
‘Penggunaan terminologi self referensial dalam Al-Al-Qur’an terlegitimasi oleh
kenyataan bahwa Al-Al-Qur’an, dalam pelbagai tempat, menjelaskan tentang diriya
sendiri’.[24]
Artinya, membiarkan
Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri. Hal ini juga dapat digunakan untuk
menganalisis makna kata dalam Al-Qur’an untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
jelas dengan cara melihat penggunaan kata tersebut dalam ayat lain. ‘Jika
terdapat kata dan istilah yang maknanya belum jelas, segera kita bertanya dan
mencari pada ayat lain yang juga menggunakan kata yang sama, namun dengan
konteks yang berbeda. Dengan cara penafsiran silang dan dialektis intrateks Al-Qur’an
maka berangkat dari pemahaman kata akan berkembang pada pemahaman konsep dan
wawasan konsep’.[25]
Untuk
menghendaki Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri, maka akan lebih mudah
jika mengunakan metode tematis, atau pembahasan masalah tertentu. Contoh kata ad-din,
yang tidak hanya bermakna agama, kata ad-din mempunyai banyak arti, seperti;
a. Pembalasan atau balas jasa, (“Yang menguasai di Hari Pembalasan Qs. 1:4)
b.
Penyembahan atau ibadah, ( ”dan sembahlah Dia dengan
mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.” 7:29)
c.
Hukum atau Undang-undang Negara, ( “Tiadalah
patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja Qs.12:76)
d.
Agama atau millah ( “Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku”.109:6 )
e.
Patuh atau taat ( “dan untuk-Nya-lah ketaatan
itu selama-lamanya.16:52)
2.
Kontekstualitas Al-Qur’an
Setiap
agama hadir kedunia ini berbentur dengan realitas sosial, agama selalu terikat
dengan lokalitas kultur yang bersifat relatif dan partikuler. Bahkan pada masa
awal pertumbuhannya agama cenderung komunalistik. Islam sama halnya dengan
agama samawi lainya, bangunan agama yang samapai pada kita sudah berbaur dengan
konstruksi historis dan konstruksi penafsiran sehingga dihadapan kita terdapat
beragama mazhab dan warna lokalitas.
Hilaly Basya berkaiatan dengan
kontekstualitas Al-Qur’an menyatakan bahwa, ‘teks agama tak muncul di ruang
hampa melainkan di ruang yang “penuh masalah”. Maka, teks agama terkonstruksi
secara cultural dan terstruktural secara historis. Jika pembacaan terhadapnya
dilepaskan dari konteks social budaya yang mengkontruksinya, maka makna yang di
kandungnya akan menjadi asing dan kehilangan relevansinya. Oleh karena itu,
makna yang di kandung teks dinamis, tidak berlaku sepanjang zaman dan seluruh
tempat. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa teks agama terkurung ruang dan
waktu…’.[26]
Setiap
agama, memiliki, cumulative traditions, yang masih terus berkembang, yang tentu
saja mewadahi aspek-aspek budaya, baik yang bersifat lokal maupun universal,
yang bersifat religius maupun sekuler, yang tertulis maupun tidak tertulis,
yang kesemuanya itu diwariskan dari generasi kegenerasi dan mengambil simbol
bahasa dan budaya yang semakin beragam.
Kitab suci Al-Qur’an
dan akumulasi tradisi serta peradaban Islam yang begitu kaya merupakan sumber
pencarahan yang tak pernah kering bagi umat Islam. Al-Qur’an sebagai wadah
pesan Ilahi yang bersifat abadi dan aktual, melalui aktivitas interpretasi
Al-Qur’an menjadi objek interogasi, partner dialog, maupun konsultasi umat
Islam dari masa kemasa, tentunya dalam aktivitas interpretasi tersebut seorang
penafsir tidak pernah melupakan konteks sosial islam. Sebab, ‘agama tidak saja
keyakinan individu, melainkan secara historis-sosiologis juga merupakan rumah
dan identitas budaya yang memberi perlindungan dan menawarkan kurukulum serta
makna hidup yang khas Islami.’[27]
3. Majas Qur’an
Majas
Al-Qur’an merupakan sebuah gerbang dalam penafsiran. Majas memiliki arti
sesuatu yang melampui, pengertian yang diberikan oleh al-jurjani sesuai yang
dikutib oleh M. Nur Kholis Setiawan adalah, ‘ketika seseorang mengalihkan makna
dasar yang dimiliki kosa kata terhadap kemakna lainnya karena satu dan lain
hal, maka seseorang tersebut menyebutnya dengan majas, dimana orang tersebut,
dengan kata lain, juga bisa menyatakan bahwa ia bermaksud melebarkan spektrum
makna yang dimiliki oleh kosa kata tersebut’.[28] Ini merupakan peralihan
makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju
yang konotatif.
Dalam
proses pemaknaan kata atau kalimat, tentu yang harus dilakukan adalah melakukan
mengkajian ketepatan atau kesesuaian makna yang diberikan kepada kata tersebut.
Ketepatan pemaknaan ini juga berkaitan dengan makna dasar, apakah kata tersebut
telah mengalami perubahan makna atau tidak.
Terlebih
dalam pemaknaan terhadap Al-Qur’an, setiap kata yang menjadi objek kajian harus
diteliti dengan seksama, untuk memastikan pengambilan makna yang paling tepat,
perbandingan dengan kata yang sama yang digunakan dalam kalimat yang berbeda
sangat diperlukan. Sehingga diketahui perubahan makna kata yang di kandungnya.
Menurut Nur
kholis setiawan (2006: 206-253), ada bebarapa bentuk majas dalam kajian al
Qur’an, antara lain:
- Majas Metafora (Isti’arah)
- Seni Perbandingan (Tasybih)
- Parabel (Matsal) dan Persamaan (Tamtsil)
- Metonimie (Kinayah)
Majas al
Qur’an telah banyak digunakan oleh ulama klasik, majas al Qur’an digunkan untuk
menjelaskan ungkapan-ungkapan khusus yang dipakai oleh al Qur’an. Majas al
Qur’an dimaksudkan juga untuk mengungkapkan keindahan sastra al Qur’an.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat
diketahui bahwa pendekatan semantik dalam interpretasi Al-Qur’an sangat
diperlukan sekali. Sebab, pendekatan semantik berusaha untuk memaknai pesan
Tuhan yang termaktub dalam Al-Qur’an dari segi makna kata/bahasa. Pendekatan
semacam ini mencoba menghidari dari tarikan interpretasi yang condong kepada
kepentingan ideologi, politik, kekuasaan dan sebagainya.
Pendekatan ini juga mencoba
untuk menyegarkan pemahaman terhadap Al-Qur’an yang selama ini terkungkung.
Dengan penggalian yang mendalam, dan penyajian metode dari perspetif yang
berbeda akan mendapatkan pemahaman yang lebih luas. Dalam semantik juga akan
didapatkan pemahaman yang lebih luas.Wa Allahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia,
(Jakarta, Reneka Cipta, 1990)
Abdul Wahab, Teori Semantik, (Surabaya, AUP, 1995)
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan,
(Jogjakarta; Ideal Offset, 2003)
Jurnal Al-Huda, Hilaly Basya, Mendialogkan Teks Agama
dengan Makna Zaman: Transformasi Sosial, (Jakarta, Jurnal Al-Huda, 2005)
Komarudin Hidayah, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta;
Teraju, 2004)
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa Al-Qur’an : Qira’ah
Mu’ashirah, (terj. Sahiran Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri), (Yogyakarta;
el-SAQ Press, 2004)
Nasr Hamid Abi Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulumul
Al-Qur’an, (terj.Khoiran Nahdliyin), Cet.III, (Yogyakarta; LKiS, 2003)
Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan,
(Bandung; RQiS, 2003)
Nur Kholis Setiawan, M. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar,
Cet.Ke.II, (Yogyakarta; el-SAQ Press, 2006)
Parera, J.D. Teori Semantik, Cet.ke-2, (Jakarta, Glora
Aksara Pratama, 1991),
[1] Kedua penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
[2] Abdul chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta,
Reneka Cipta, 1990), hlm.2
[3] Parera, Teori Semantik, Cet.ke-2, (Jakarta, Glora Aksara
Pratama, 1991), hlm.14
[4] Abdul Wahab, Teori Semantik, (Surabaya, AUP, 1995), hlm.3
[5] Ibid, hlm.3-5
[7] Parera, Op.Cit, 16
[8] Abdul Wahab, Op. Cit,
hlm.10-11
[9] Abdul chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, hlm.63-64
[10] Parera, op.cit. hlm.16-17
[11] Ibid, hlm.17-18
[12] Parera, Teori Semantik, hlm. 16-18.
[13] Al-Qur’an berakar dari kata qara’a yang mempunyai
mengumpulkan dan menghimpun, dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan
kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapi. Lihat,
Manna khalil al-Qattan, Mabahis fi UlumilAl-Qur’an, Cet.ke-8,
(terj.Mudzakir AS.), (Jakarta; Litera AntarNusa, 2004), hlm.15-16. Nasr Hamid
lebih lanjut menegaskan melalui analisis budaya bahwa, kata Al-Qur’an bentuk masdar
dari kata qara’a yang berarti mengulang-ulang. Hal itu karena teks
terbentuk melalui tradisi lisan, tradisi tulis pada saat itu belum memiliki
peran yang berarti. Selain itu, teks yang muncul dalam beberapa ayat dan
surat-surat awal menyebutkan teks dengan nama Al-Qur’an, dan kata tersebut
(Al-Qur’an) menunjuk bacaan Al-Qur’an baik oleh penyampai (Jibril) maupun
penerima (Muhammad). ‘Sesungguhnya,
tanggung jawab kami untuk mengumpulkan dan membacanya. Apa bila maka ikutilah
bacaannya. (Al-Qiyamah: 17-18). Lihat, Nasr Hamid Abi Zaid, Mafhum
an-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Al-Qur’an, (terj.Khoiran Nahdliyin), Cet.III,
(Yogyakarta; LKiS, 2003), hlm.56-57
[14] Al Hijr (15) : 9
[15] Komaruddin Hidayat, Wahu di langit Wahyu di bumi, (Jakarta;
Paramadina, 2003), hlm.1
[16] Makna sentral wahyu adalah “pemberian informasi” secara rahasia.
Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang
mengandung pemberian informasi—pesan—secara samar dan rahasia. Oleh karena
“pemberian informasi” dalam proses komunikasi dapat berlangsung apa bila
melalui kode tertentu maka dapat dipastikan bahwa konsep kode melekat (inheren)
di dalam konsep wahyu, dan kode yang dipergunakan dalam proses komunikasi
tersebut pastilah kode bersama antara pengirim dan penerima, dua pihak yang
terlibat dalam proses komunikasi/wahyu tersebut. Lihat, Hasr Hamid Abu Zaid, Mafhum
an-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Al-Qur’an, (terj.Khoiran Nahdliyin), Cet.III,
(Yogyakarta; LKiS, 2003), hlm.30
[17] Situasi komunikasi yang terjadi dalam konteks wahyu teks
(Al-Qur’an) berbeda dengan situasi-situasi komunikasi yang telah kami
bicarakan. Situasi komunikasi ini lebih komplek. Dua pilar utama komunikasi
dalam proses wahyu nabi adalah Allah disatu pihak, dan Rasul yang manusia
dipihak lain. Al-Qur’an menyatakan komunikasi ini sebagai ‘ilqa,
sebagaimana yang terdapat dalam surat kedua dari segi turunya, yaitu surat Al
Muzzammil ayat: 5, Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.
Lihat, Hasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Al-Qur’an,
(terj.Khoiran Nahdliyin), Cet.III, (Yogyakarta; LKiS, 2003), hlm.41. di dalam
Al-Qur’an Allah SWT menyatakan dalam proses mengkomunikasikan wahyu kepada
manusia atau Nabi mengunakan cara-cara tertentu. “Dan tidak
mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (Di
belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi
dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s.) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al
Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al
Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami
menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami
kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus”. (As Syuura 42:
51-52)
[18] Kajian “teks” (Al-Qur’an) sebagai teks bahasa, maksudnya dari segi
struktur, semantik dalam kaitannya dengan teks-teks yang lainya dalam
kebudayaan tertentu (intertekstual), masuk dalam wilayah “kajian sastra”menurut
kesadaran kontemporer. Teks dapat menjadi objek kajian dalam ilmu-ilmu lain.
Teks dapat berubah menjadi objek kajian linguistic dengan segala cabangnya,
mulai dari fonetik sampai semantik leksikografinya. Lihat, Hasr Hamid Abu Zaid,
Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Al-Qur’an, (terj.Khoiran Nahdliyin),
Cet.III, (Yogyakarta; LKiS, 2003), hlm.13
[19] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, (Jogjakarta;
Ideal Offset, 2003), hlm.95-96
[20] Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan,
(Bandung; RQiS, 2003), hlm.92-93
[21] Pengatar dalam buku, Muhammad Syahrur, al-Kitab wa Al-Qur’an :
Qira’ah Mu’ashirah, (terj. Sahiran Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri),
(Yogyakarta; el-SAQ Press, 2004), hlm.6
[22] Al-Khuli sebagaimana dikutib oleh M.Nur Kholis Setiawan, sangat
besar di dalam menggagas pendekatan susastra untuk bisa memahami Al-Qur’an
yang, konon, bisa agak jauh dari tarikan-tarikan kepentingan individual
idiologis, karena salah satu jargonnya adalah membiarkan Al-Qur’an berbicara
dengan dan melalui dirinya sendiri. Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an
Kitab Sastra Terbesar, Cet.Ke.II, (Yogyakarta; el-SAQ Press, 2006),
hlm.49
[24] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar,
Cet.Ke.II, (Yogyakarta; el-SAQ Press, 2006), hlm.94
[25] Komarudin Hidayah, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta;
Teraju, 2004), hlm.132
[26] Artikel dalam jurnal Al-Huda, Hilaly Basya, Mendialogkan Teks
Agama dengan Makna Zaman: Menuju Transformasi Sosial, (Jakarta, Jurnal
Al-Huda, 2005), hlm.11-12
[27] Ibid, hlm.13
[28] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Hlm.201
No comments:
Post a Comment