Tuesday, 28 March 2017

PENDEKATAN SEMANTIK DALAM TAFSIR AL QUR’AN



PENDEKATAN SEMANTIK DALAM TAFSIR AL QUR’AN
Oleh: Ari Wardoyo dan Wiwin F[1]
BAB I
PENDAHULUAN

Interpretasi atau penafsiran terhadap Al-Qur’an berkaitan dengan teks. Teks disini bukalah sekedar teks bahasa biasa, tetapi teks yang diyakini sebagai bahasa yang berasal dari Tuhan. Tidak salah jika Al-Qur’an disebut sebagai kitab yang berdimensi transcendental dan sakral. Dimensi transcendental dan ke-sakral-an Al-Qur’an inilah yang terkadang membuat sebagian umat Islam, mengabaikan proses pemaknaan Al-Qur’an. Seolah-oleh tanpa proses tersebut Al-Qur’an dengan jelas telah menyatakan sesuatu yang harus dipatuhi begitu saja. Ini artinya, Al-Qur’an diturunkan dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari dalam situasi yang mengalami perkembangan dan perubahan social diabaikan, terlebih Al-Qur’an setelah dikompilasikan menjadi sebuah mushaf.
Untuk menyegarkan kembali pemahaman terhadap Al-Qur’an, tentu perlu dikembangkan tafsir yang mampu membongkar kebekuan pemikiran yang terjadi dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an pada saat ini. Salah satu tawaran yang ada adalah pendekatan semantik dalam tafsir Al-Qur’an. Pendekatan semantik sesungguhnya telah berkembang sejak awal Islam, bahkan para ulama salaf telah mengenal semantik dalam karya tafsir mereka. Walaupun pada akhir-akhir decade ini, pendekatanm semantik tidak banyak dikenal oleh umat Islam, namun pendekatan semantik dalam tafsir tetap relevan untuk digunakan.
     

BAB II
PENDEKATAN SEMANTIK DALAM TAFSIR AL QUR’AN

A. Pengertian semantik
Kata semantik dalam bahasa Indonesia dan bahasa inggris semantic merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu sema (kata benda) yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Tanda atau lambang yang dimaksuda adalah tanda linguistic. Semantik adalah ‘bidang studi dalam linguistic yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik’.[2] J.D. Paparera mengartikan bahwa semantik adalah ‘satu studi dan analisis tentang makna-makna linguistic’.[3] Jadi sangatlah jelas bahwa, secara sederhana semantik merupakan ilmu yang mempelajari tentang makna dari kata dalam suatu bahasa.  
Semantik merupakan suatu perkembangan terhadap kebutuhan makna dalam ilmu kebahasaan. Semantik melakukan upaya pemaknaan terhadap simbol-simbol teks yang berakar dari teks itu sendiri. Pembagian pamahaman makna dalam semantik disajikan dengan beragam latar belakang, mulai dari makna dalam perbedaan suara (fonetik), makna dalam perbedaan gramatikal, makna dalam perbedaan leksikal, dan makna dalam perbedaan sosiolinguistik, sedangkan pada proses berikutnya semantik lebih memahami pada kontekstulitas teks untuk menghasilkan sebuah makna.
Dalam penelitian tentang makna dari sebuah kata, makna-makna biasanya mempunyai hubungan dengan makna dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang lain. Makna kata juga sangat tergantung dengan makna pada kata atau kalimat yang ada. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Wahab bahwa, ‘semua hubungan ini jelas tergantung pada makna yang terdapat pada kata atau yang terdapat pada kalimat, dan begitulah dalam memahami makna-makna dalam butir-butir yang terdapat pada suatu bahasa, suatu teori semantik juga terlibat dalam pemahaman terhadap hubungan-hubungan semacam itu’.[4]
‘Dalam sebuah teori semantik harus memenuhi paling tidak tiga syarat, pertama, untuk bahasa apa saja, teori ini harus mampu menagkap hakikat makna kata dan makna kalimat, dan mampu menjelskan hakikat hubungan yang terdapat di antaranya. Kedua, teori itu harus mampu meramalkan akan adanya ketaksaan dalam bentuk-bentuk bahasa, baik pada tingkat kata maupun pada tingkat kalimat. Ketiga, teori itu harus mampu memahami dan menjelaskan hubungan yang sistematis antara kata-kata dan kalimat yang terdapat pada suatu bahasa—maksudnya, teori itu harus mampu menjelaskan adanya hubungan sinonim, cakupan logis, pelibatan, kontradiksi, dan sebagainya’.[5]     
B. Jenis makna dalam semantik
a. Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.
b. Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika (berupa imbuhan).[6]
C. Teori Semantik tentang makna
Ada banyak teori yang telah dikembangkan oleh para pakar filsafat dan linguistik sekitar konsep makna dalam studi semantik, diantaranya[7] yaitu, (1) teori referensial atau korespondensi, (2) teori mentalisme atau konseptual, (3) teori kontekstual, (4) teori formalisme.
a. Teori Referensial
Teori referensial atau korespondensi merupakan teori yang menyatakan bahwa ada hubungan penamaan antara satu kata dan benda acuannya, di sini ada hubungan satu lawan satu antara nama dan benda. Hal yang paling jelas tampak adalah nama diri, nama tempat atau benda peninggalan sejarah, Borobudur misalnya, mengacu pada candi yang ada di daerah magelang. Hubungan antara kata dan benda itu disebut hubungan acuan. ‘… makna suatu kata dapat dijelaskan dalam batas-batas hubungan antara kata dan benda yang diacunya. … Sama halnya seperti nama diri mengacu pada pribadi yang diacunya, kata benda umum mengacu pada serangkaia benda-benda, kata kerja mengacu pada suatu tindakan, kata sifat mengacu pada keadaan benda atau pribadi, dan kata keterangan mengacu pada keadaan suatu tindakan’.[8] Atau dengan kata lain, ‘bila kata-kata itu mempunyai referen yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata itu disebut kata bermakna referensial’.[9] Jika kita menerima bahwa makna sebuah ujaran adalah referennya, maka setidak-tidaknya kita terikat pula pada pernyataan berikut ini:
1.      Jika sebuah ujaran mempunyai makna, maka ujaran itu mempunyai referen,
2.      Jika dua ujaran mempunyai referen yang sama, maka ujaran itu mempunyai makna yang sama pula,
3.      Apa saja yang benar dari referen dari sebuah ujaran adalah benar untuk maknanya.[10] 
b. Teori Mentalisme
Teori mentalisme atau konseptual adalah teori yang mengubungkan bentuk bahasa lahiriah dengan 'konsep' atau citra mental penuturnya. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa 'kuda terbang' atau 'pegasus' adalah satu citra mental penuturnya, walaupun secara real tidak ada.
c. Teori Kontekstual
Teori kontekstual adalah teori yang menekankan kepada konteks situasi dalam analisis makna. Teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antar bahasa. Makna sebuah kata terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu itu.
Makna bahasa tidak terlepas dari lingkungan cultural dan kata tidak mempunyai makna jika terlepas dari konteks. Parera mengatakan, ’… makna sebuah kata terikat pada lingkungan cultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu itu…teori kontekstual mengisaratkan pula bahwa sebuah kata atau symbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Walaupun demikian ada pakar semantik yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi dan kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi’.[11]   
d. Teori Formalisme
Teori formalisme atau teori pemakaian dari makna, adalah teori yang menyatakan bahwa kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks, karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Makna tidak akan mantap bila telah berada diluar kerangka pemakaiannya.
Menurut teori ini bahasa merupakan salah satu bentuk permainan yang diadakan dalam beberapa konteks dengan beberapa tujuan. Bahasa pun mempunyai kaidah yang membolehkan beberapa gerakan tetapi melarang gerakan yang lain. Atau dapat dirumuskan bahwa makna sebuah ujaran ditentukan oleh pemakaiannya dalam masyarakat bahasa.[12]
D.    Pendekatan Semantik Dalam Tafsir Al-Qur’an
Al-Qur’an[13] diakui oleh kaum muslimin bahkan dijamin oleh Allah SWT, merupakan kitab yang terjamin keotentikannya dan terpelihara,   Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”[14].
Sifat keotentikan Al-Qur’an inilah yang mendorong para peneliti Al-Qur’an mencoba untuk menggali makna yang terdalam dari ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan ketika zaman Nabi masih hidup para sahabat biasa menanyakan ayat-ayat Al-Qur’an dan permasalahan kehidupannya kepada Nabi.
Nabi Muhammad SAW dan para generasi awal Islam juga telah menjadikan Al-Qur’an sebagai salah satu sumber pembangunan dalam semua segi kehidupan umat Islam pada saat itu, baik kehidupan politik, kebudayaan, social kemasyarakatan, pendidikan, dsb. Sehingga Al-Qur’an menjadi salah satu kitab yang mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan peradaban manusia.
Sebagaimana dinukilkan oleh Komaruddin Hidayat dalam karyanya bahwa, “… ratusan bangunan gereja yang begitu megah di Eropa dan masjid amat monumental di Mekah dan Madinah adalah bukti nyata kekuatan kontribusi agama dalam membangun peradaban dan juga ekspresi arsitektural yang menghiasi sejarah peradaban manusia.”[15]
Oleh sebab itulah, banyak dari kalangan intelektual muslim dan barat menyebutkan bahwa peradaban yang dibangun generasi awal Islam adalah peradaban teks. Disebut sebagai peradaban teks dalam pengertian sebagai peradaban yang menegakkan asas-asas epistemologinya dan seluruh tradisinya yang tidak mungkin mengabaikan peranan teks Al-Qur’an di dalamnya. Namun demikian yang membangun peradaban bukanlah teks itu sendiri, melainkan dialektika manusia dengan realitas satu pihak, dan dialognya dengan teks dipihak lain. 
Al-Qur’an atau wahyu[16] yang berupa teks berbahasa Arab sesungguhnya mengandung makna/maksud yang dikendaki oleh Allah atau Sang ‘Komunikator’ yang harus ditangkap oleh penerima wahyu tersebut dalam proses komunikasi[17]. Sebab, berbicara mengenai teks, tentu ini sangat berkaitan dengan bahasa tertentu yang mempunyai makna tidak hanya dari apa yang terdengar, ia lebih merupakan tanda yang membawa makna. Begitu pula dengan Al-Qur’an, tentu mempunyai makna yang hakiki dan hanya diketahui oleh Allah sendiri, akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kita dapat menyingkap atau mendekati makna tersebut walaupun tidak sesuai benar apa yang diinginkan Allah dengan mengunakan metode penafsiran/interpretasi.
Para ahli tafsir salaf  menekankan pada bentuk interpretasi yang menekankan pada pencarian makna dari segi narasi. Berbeda dengan studi interpretasi Al quran kontemporer, perspektifnya sudah berkembang pesat yaitu dengan menempatkan teks Al-quran sebagai teks bahasa[18] yang bersifat historis yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di samping berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini sudah masuk pada analisis “status ontologis teks” dan relasi antar konteks melalui interpretasi kebudayaan dengan menggunakan pisau analisis linguistic, semantik,  dan semiotik yang terbingkai dalam hermeneutika teks.
Pendekatan semantik dalam menafsirkan Al-Qur’an lebih yang menjadi pokok pembahasan kali ini, nampak pada pemaknaan yang mereposisikan teks Al-Qur’an pada tekstualitas dan kontekstualitasnya. Selanjutnya semantik sebagai bagian dalam ilmu kebahasaan/sastra memberikan daya tambah terhadap dimensi bahasa dan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Al quran terdiri dari kata, kalimat, paragraf dan tanda-tanda baca yang sarat makna. Karenanya dilihat dari aspek ini, ia setara dan dapat didekati sebagaimana teks-teks yang lain yang mempunyai sifat historis.
Mengapa Al-Qur’an dapat disebut atau disejajarkan sebagai teks yang bersifat histories? ‘peristiwa pewahyuan sebagai titik awal dari lahirnya Al-Qur’an merupakan kata kunci untuk menyatakan bahwa saat inspirasi Ilahi itu disampaikan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW, dengan mengunakan bahasa tertentu dari kaumnya, bahasa Arab (al-lisan al-arab), maka itu menandakan bahwa dari sifat kesejarahannya. Dalam kritisisme teks, posisi historisitas ini sangat signifikan untuk mengulas persoalan dari sisi “peristiwa bahasa” dan sekaligus akan mempengaruhi pada “system pemaknaan” terhadap teks itu sendiri, juga akan menempatkan secara lebih adil posisi dari otoritas sebuah teks.[19]   
Meskipun demikian Al-Qur’an sebagai teks yang bersifat sejarah tidaklah berarti dan tidak mesti bahwa ia adalah teks manusia. ‘Sebagaimana setiap teks adalah sebuah fenomena historis dengan konteks khasnya tersendiri, dan prinsip ini dapat dipakai untuk Al-Qur’an sebagai sebuah teks dan untuk interpretasinya sebagai sebuah fenomena historis juga, maka konteks Al-Qur’an di mana dikaji di dalam berbagai aliran penafsiranpun juga harus diteliti. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hitorisitas Al-Qur’an sebagai sebuah teks tidaklah berarti, dan tidak mesti, bahwa ia adalah teks manusia. Karena Al-Qur’an adalah wahyu dan/atau manifestasi firman Tuhan pada waktu dan tempat tertentu, maka apa yang diwahyukan kepada Muhammad dalam bahasa Arab pada abad ke-7 adalah juga sebuah teks sejarah’.[20]
Menempatkan Al-Qur’an sebagai teks merupakan syarat pertama dalam semantik. Implikasinya, sebelum langkah studi Al-Qur’an diambil, Al-Qur’an harus dianggap sebagai teks sastra suci. Seperti yang dijelaskan dimuka, bahwa secara historis, ia diturunkan dengan kemasan bahasa Arab, sebagai ‘kode’ yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalahnya. KeAraban Al-Qur’an inilah, sedianya menjadi dasar bagi pengkaji Al-Qur’an.
Oleh karena Al-Qur’an sebagai teks inilah yang mengharuskan untuk mendekati Al-Qur’an dengan tekstual, dinyatakan oleh Ja’far Dikki Al-Bab bahwa, ‘… Yakni Al-Qur’an sebagai sebuah teks yang hanya membutuhkan analisis tekstual yang memperhatikan konteks pewahyuan’.[21] Dalam pendekatan Al-Qur’an dari segi tekstualitasnya, salah satu cara pandang atau paradigma yang dapat digunakan adalah semantik.
Oleh sebab pendekatan semantik dalam interpretasi Al-Qur’an memposisikan teks dan disejajarkan dengan studi sastra[22], maka menurut Amin kulli sebagaimana yang dikutip oleh Muhtar Sadili dapat mengunakan beberapa prinsip metodologi, yaitu; ‘…al-Khûlî menyuguhkan dua prinsip metodologis; (1) studi sekitar Al-Qur’an (dirâsah mâ hawl al-qurân) dan (2) studi tentang teks itu sendiri (dirâsah fî al-qurân nafsih). ‘Studi sekitar Al-Qur’an’ diarahkan kepada investigasi latar belakang Al-Qur’an, dimulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat arab sebagai obyek wahyu, serta kodifikasi dan fariasi cara baca: sebuah kajian yang kemudian lebih dikenal dengan ulûmul qur’ân. Kajian ini juga difokuskan pada aspek sosial-historis Al-Qur’an, termasuk di dalamnya situasi intelektual, kultural, dan geografis masyarakat Arab abad ke tujuh ketika Al-Qur’an diturunkan. Kajian ini menitikberatkan pada pentingnya aspek-aspek historis, kultural, dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat arab abad ke-7 sebagai objek langsung teks wahyu tersebut. Penitikberatan aspek-aspek sosial yang masuk dalam rumpun humaniora yang tadi, akan menjadikan kita dibantu secara metodologis untuk sampai kepada makna yang kehendaki teks’[23].
Dari penjelasan di atas, maka ada beberapa metode untuk memahami teks Al-Qur’an diantaranya adalah sebagai berikut. 
1.      Self referensial Al-Qur’an
Self referensial Al-Qur’an, yang dimaksud di sini adalah pembahasan tentang bagaimana Al-Qur’an ‘merujuk’ dirinya sendiri atau menjelaskan dirinya sendiri. ‘Penggunaan terminologi self referensial dalam Al-Al-Qur’an terlegitimasi oleh kenyataan bahwa Al-Al-Qur’an, dalam pelbagai tempat, menjelaskan tentang diriya sendiri’.[24]
Artinya, membiarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri. Hal ini juga dapat digunakan untuk menganalisis makna kata dalam Al-Qur’an untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dengan cara melihat penggunaan kata tersebut dalam ayat lain. ‘Jika terdapat kata dan istilah yang maknanya belum jelas, segera kita bertanya dan mencari pada ayat lain yang juga menggunakan kata yang sama, namun dengan konteks yang berbeda. Dengan cara penafsiran silang dan dialektis intrateks Al-Qur’an maka berangkat dari pemahaman kata akan berkembang pada pemahaman konsep dan wawasan konsep’.[25]        
Untuk menghendaki Al-Qur’an berbicara tentang dirinya sendiri, maka akan lebih mudah jika mengunakan metode tematis, atau pembahasan masalah tertentu. Contoh kata ad-din, yang tidak hanya bermakna agama, kata ad-din mempunyai banyak arti, seperti;
a.       Pembalasan atau balas jasa, (Yang menguasai di Hari Pembalasan Qs. 1:4)        
b.      Penyembahan atau ibadah, ( dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.” 7:29)
c.       Hukum atau Undang-undang Negara, ( Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja Qs.12:76)
d.      Agama atau millah (Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.109:6 )
e.       Patuh atau taat (dan untuk-Nya-lah ketaatan itu selama-lamanya.16:52)
2.                  Kontekstualitas Al-Qur’an
Setiap agama hadir kedunia ini berbentur dengan realitas sosial, agama selalu terikat dengan lokalitas kultur yang bersifat relatif dan partikuler. Bahkan pada masa awal pertumbuhannya agama cenderung komunalistik. Islam sama halnya dengan agama samawi lainya, bangunan agama yang samapai pada kita sudah berbaur dengan konstruksi historis dan konstruksi penafsiran sehingga dihadapan kita terdapat beragama mazhab dan warna lokalitas.
Hilaly Basya berkaiatan dengan kontekstualitas Al-Qur’an menyatakan bahwa, ‘teks agama tak muncul di ruang hampa melainkan di ruang yang “penuh masalah”. Maka, teks agama terkonstruksi secara cultural dan terstruktural secara historis. Jika pembacaan terhadapnya dilepaskan dari konteks social budaya yang mengkontruksinya, maka makna yang di kandungnya akan menjadi asing dan kehilangan relevansinya. Oleh karena itu, makna yang di kandung teks dinamis, tidak berlaku sepanjang zaman dan seluruh tempat. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa teks agama terkurung ruang dan waktu…’.[26]        
Setiap agama, memiliki, cumulative traditions, yang masih terus berkembang, yang tentu saja mewadahi aspek-aspek budaya, baik yang bersifat lokal maupun universal, yang bersifat religius maupun sekuler, yang tertulis maupun tidak tertulis, yang kesemuanya itu diwariskan dari generasi kegenerasi dan mengambil simbol bahasa dan budaya yang semakin beragam. 
Kitab suci Al-Qur’an dan akumulasi tradisi serta peradaban Islam yang begitu kaya merupakan sumber pencarahan yang tak pernah kering bagi umat Islam. Al-Qur’an sebagai wadah pesan Ilahi yang bersifat abadi dan aktual, melalui aktivitas interpretasi Al-Qur’an menjadi objek interogasi, partner dialog, maupun konsultasi umat Islam dari masa kemasa, tentunya dalam aktivitas interpretasi tersebut seorang penafsir tidak pernah melupakan konteks sosial islam. Sebab, ‘agama tidak saja keyakinan individu, melainkan secara historis-sosiologis juga merupakan rumah dan identitas budaya yang memberi perlindungan dan menawarkan kurukulum serta makna hidup yang khas Islami.’[27]      
3. Majas Qur’an
Majas Al-Qur’an merupakan sebuah gerbang dalam penafsiran. Majas memiliki arti sesuatu yang melampui, pengertian yang diberikan oleh al-jurjani sesuai yang dikutib oleh M. Nur Kholis Setiawan adalah, ‘ketika seseorang mengalihkan makna dasar yang dimiliki kosa kata terhadap kemakna lainnya karena satu dan lain hal, maka seseorang tersebut menyebutnya dengan majas, dimana orang tersebut, dengan kata lain, juga bisa menyatakan bahwa ia bermaksud melebarkan spektrum makna yang dimiliki oleh kosa kata tersebut’.[28] Ini merupakan peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif.
Dalam proses pemaknaan kata atau kalimat, tentu yang harus dilakukan adalah melakukan mengkajian ketepatan atau kesesuaian makna yang diberikan kepada kata tersebut. Ketepatan pemaknaan ini juga berkaitan dengan makna dasar, apakah kata tersebut telah mengalami perubahan makna atau tidak.
Terlebih dalam pemaknaan terhadap Al-Qur’an, setiap kata yang menjadi objek kajian harus diteliti dengan seksama, untuk memastikan pengambilan makna yang paling tepat, perbandingan dengan kata yang sama yang digunakan dalam kalimat yang berbeda sangat diperlukan. Sehingga diketahui perubahan makna kata yang di kandungnya.  
Menurut Nur kholis setiawan (2006: 206-253), ada bebarapa bentuk majas dalam kajian al Qur’an, antara lain:
  1. Majas Metafora (Isti’arah)
  2. Seni Perbandingan (Tasybih)
  3. Parabel (Matsal) dan Persamaan (Tamtsil)
  4. Metonimie (Kinayah)
Majas al Qur’an telah banyak digunakan oleh ulama klasik, majas al Qur’an digunkan untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan khusus yang dipakai oleh al Qur’an. Majas al Qur’an dimaksudkan juga untuk mengungkapkan keindahan sastra al Qur’an.    



BAB III
PENUTUP

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pendekatan semantik dalam interpretasi Al-Qur’an sangat diperlukan sekali. Sebab, pendekatan semantik berusaha untuk memaknai pesan Tuhan yang termaktub dalam Al-Qur’an dari segi makna kata/bahasa. Pendekatan semacam ini mencoba menghidari dari tarikan interpretasi yang condong kepada kepentingan ideologi, politik, kekuasaan dan sebagainya.
Pendekatan ini juga mencoba untuk menyegarkan pemahaman terhadap Al-Qur’an yang selama ini terkungkung. Dengan penggalian yang mendalam, dan penyajian metode dari perspetif yang berbeda akan mendapatkan pemahaman yang lebih luas. Dalam semantik juga akan didapatkan pemahaman yang lebih luas.Wa Allahu A’lam.       


DAFTAR PUSTAKA

Abdul chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta, Reneka Cipta, 1990)
Abdul Wahab, Teori Semantik, (Surabaya, AUP, 1995)
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, (Jogjakarta; Ideal Offset, 2003)
Jurnal Al-Huda, Hilaly Basya, Mendialogkan Teks Agama dengan Makna Zaman: Transformasi Sosial, (Jakarta, Jurnal Al-Huda, 2005)
Komarudin Hidayah, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta; Teraju, 2004)
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa Al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (terj. Sahiran Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri), (Yogyakarta; el-SAQ Press, 2004)
Nasr Hamid Abi Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Al-Qur’an, (terj.Khoiran Nahdliyin), Cet.III, (Yogyakarta; LKiS, 2003)
Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan, (Bandung; RQiS, 2003)
Nur Kholis Setiawan, M. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Cet.Ke.II, (Yogyakarta; el-SAQ Press, 2006)
Parera, J.D. Teori Semantik, Cet.ke-2, (Jakarta, Glora Aksara Pratama, 1991),


[1] Kedua penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[2] Abdul chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta, Reneka Cipta, 1990), hlm.2 
[3] Parera, Teori Semantik, Cet.ke-2, (Jakarta, Glora Aksara Pratama, 1991), hlm.14
[4] Abdul Wahab, Teori Semantik, (Surabaya, AUP, 1995), hlm.3
[5] Ibid, hlm.3-5
[6] Ibid., hlm. 59-60.
[7] Parera, Op.Cit, 16
[8] Abdul Wahab, Op. Cit,  hlm.10-11
[9] Abdul chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, hlm.63-64
[10] Parera, op.cit. hlm.16-17
[11] Ibid, hlm.17-18
[12] Parera, Teori Semantik, hlm. 16-18.
[13] Al-Qur’an berakar dari kata qara’a yang mempunyai mengumpulkan dan menghimpun, dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapi. Lihat, Manna khalil al-Qattan, Mabahis fi UlumilAl-Qur’an, Cet.ke-8, (terj.Mudzakir AS.), (Jakarta; Litera AntarNusa, 2004), hlm.15-16. Nasr Hamid lebih lanjut menegaskan melalui analisis budaya bahwa, kata Al-Qur’an bentuk masdar dari kata qara’a yang berarti mengulang-ulang. Hal itu karena teks terbentuk melalui tradisi lisan, tradisi tulis pada saat itu belum memiliki peran yang berarti. Selain itu, teks yang muncul dalam beberapa ayat dan surat-surat awal menyebutkan teks dengan nama Al-Qur’an, dan kata tersebut (Al-Qur’an) menunjuk bacaan Al-Qur’an baik oleh penyampai (Jibril) maupun penerima (Muhammad).  ‘Sesungguhnya, tanggung jawab kami untuk mengumpulkan dan membacanya. Apa bila maka ikutilah bacaannya. (Al-Qiyamah: 17-18). Lihat, Nasr Hamid Abi Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Al-Qur’an, (terj.Khoiran Nahdliyin), Cet.III, (Yogyakarta; LKiS, 2003), hlm.56-57        
[14] Al Hijr (15) : 9
[15] Komaruddin Hidayat, Wahu di langit Wahyu di bumi, (Jakarta; Paramadina, 2003), hlm.1
[16] Makna sentral wahyu adalah “pemberian informasi” secara rahasia. Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi—pesan—secara samar dan rahasia. Oleh karena “pemberian informasi” dalam proses komunikasi dapat berlangsung apa bila melalui kode tertentu maka dapat dipastikan bahwa konsep kode melekat (inheren) di dalam konsep wahyu, dan kode yang dipergunakan dalam proses komunikasi tersebut pastilah kode bersama antara pengirim dan penerima, dua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi/wahyu tersebut. Lihat, Hasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Al-Qur’an, (terj.Khoiran Nahdliyin), Cet.III, (Yogyakarta; LKiS, 2003), hlm.30     
[17] Situasi komunikasi yang terjadi dalam konteks wahyu teks (Al-Qur’an) berbeda dengan situasi-situasi komunikasi yang telah kami bicarakan. Situasi komunikasi ini lebih komplek. Dua pilar utama komunikasi dalam proses wahyu nabi adalah Allah disatu pihak, dan Rasul yang manusia dipihak lain. Al-Qur’an menyatakan komunikasi ini sebagai ‘ilqa, sebagaimana yang terdapat dalam surat kedua dari segi turunya, yaitu surat Al Muzzammil ayat: 5,  Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. Lihat, Hasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Al-Qur’an, (terj.Khoiran Nahdliyin), Cet.III, (Yogyakarta; LKiS, 2003), hlm.41. di dalam Al-Qur’an Allah SWT menyatakan dalam proses mengkomunikasikan wahyu kepada manusia atau Nabi mengunakan cara-cara tertentu. “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s.) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (As Syuura 42: 51-52)    
[18] Kajian “teks” (Al-Qur’an) sebagai teks bahasa, maksudnya dari segi struktur, semantik dalam kaitannya dengan teks-teks yang lainya dalam kebudayaan tertentu (intertekstual), masuk dalam wilayah “kajian sastra”menurut kesadaran kontemporer. Teks dapat menjadi objek kajian dalam ilmu-ilmu lain. Teks dapat berubah menjadi objek kajian linguistic dengan segala cabangnya, mulai dari fonetik sampai semantik leksikografinya. Lihat, Hasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Al-Qur’an, (terj.Khoiran Nahdliyin), Cet.III, (Yogyakarta; LKiS, 2003), hlm.13    
[19] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, (Jogjakarta; Ideal Offset, 2003), hlm.95-96
[20] Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan, (Bandung; RQiS, 2003), hlm.92-93
[21] Pengatar dalam buku, Muhammad Syahrur, al-Kitab wa Al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, (terj. Sahiran Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri), (Yogyakarta; el-SAQ Press, 2004), hlm.6
[22] Al-Khuli sebagaimana dikutib oleh M.Nur Kholis Setiawan, sangat besar di dalam menggagas pendekatan susastra untuk bisa memahami Al-Qur’an yang, konon, bisa agak jauh dari tarikan-tarikan kepentingan individual idiologis, karena salah satu jargonnya adalah membiarkan Al-Qur’an berbicara dengan dan melalui dirinya sendiri. Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Cet.Ke.II, (Yogyakarta; el-SAQ Press, 2006), hlm.49 
[23] Muhtar sadili, Susastra Al-Qur’an Versi Amin Khuli,  
[24] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Cet.Ke.II, (Yogyakarta; el-SAQ Press, 2006), hlm.94
[25] Komarudin Hidayah, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta; Teraju, 2004), hlm.132
[26] Artikel dalam jurnal Al-Huda, Hilaly Basya, Mendialogkan Teks Agama dengan Makna Zaman: Menuju Transformasi Sosial, (Jakarta, Jurnal Al-Huda, 2005), hlm.11-12
[27] Ibid, hlm.13
[28] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Hlm.201

No comments:

Post a Comment

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...