Jambi adalah
sebuah propinsi yang ada di Indonesia. Di sana ada sebuah masyarakat yang
dikategorikan sebagai terasing, yaitu masyarakat Kubu. Mereka tersebar secara
mengelompok di daerah pedalaman (hutan) pada beberapa kabupaten yang tergabung
dalam wilayah Provinsi Jambi, yakni: Bungo Tebo, Sarolangun Bangko dan
Batanghari. Ini artinya hanya Kotamadya Jambi, Kerinci, dan Tanjungjabung yang
“bebas” dari orang Kubu. Mungkin inilah yang kemudian membuat seseorang jika
mendengar kata “Kubu” maka yang ada di kepalanya adalah Jambi, walaupun orang
Kubu ada juga di daerah Sumatera Selatan; tepatnya di Kecamatan Rawas Ilir,
Kabupaten Musi Rawas (Melalatoa, 1995).
Pada tahun
2000, tepatnya tanggal 23 Agustus 2000, sebagian wilayahnya diresmikan sebagai
Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan,
dan dideklamasikan oleh Presiden RI pada tahun 2001 di Jambi. Taman yang
merupakan kawasan hutan konservasi ini secara keseluruhan luasnya 60.500
hektar, dengan rincian: 6.758 hektar ada di wilayah kabupaten Sarolangon,
40.669 hektar ada di Kabupaten Batanghari, 12.483 hektar ada di Kabupaten Tebo
(ada selisih 590 hektar dengan yang disebutkan dalam SK Menteri Kehutanan). Ini
artinya, TNBD yang secara astronomis terletak di antara 1º45’--1º58’ Lintang
Selatan dan 102º32’--102º59’ Bujur Selatan ini, secara administratif termasuk
dalam wilayah tiga kabupaten yang bersangkutan.
Wilayah yang
disebut sebagai Bukit Dua Belas ini berada di bagian tengah Propinsi Jambi. Ia
berada di antara jalur-jalur perhubungan darat, yakni di antara lintas tengah
dan timur Sumatera, serta lintas tengah Jambi. Ia juga diapit oleh empat sungai
yang cukup besar, yakni Sungai: Batang-hari yang berada di bagian utara, Tabur
yang berada di bagian barat, Tembesi yang berada di bagian timur, dan Merangin
yang berada di bagian selatan.
Asal Usul
Berdasarkan
Kelisanan
Ada berbagai
versi tentang asal-usul orang Kubu. Versi pertama mengatakan bahwa
mereka berasal dari Sumatera Barat. Konon, mereka adalah orang-orang yang tidak
mau dijajah oleh Belanda. Untuk itu, mereka masuk ke hutan dan mengembara
sampai akhirnya ada di daerah Jambi.
Versi kedua mengatakan bahwa mereka adalah
tentara yang tersesat. Konon, pada zaman Kerajaan Jambi diperintah oleh Putri
Selaras Pinang Masak, kerajaan diserang oleh Orang Kayo Hitam yang menguasai
Ujung Jabung (Selat Berhala). Serangan itu membuat Jambi kewalahan. Untuk itu, Ratu
Jambi yang notabene adalah keturunan Kerajaan Minangkabau mohon bantuan kepada
Raja Pagaruyung. Dan, Sang Raja memperkenankan permohonannya dengan mengirimkan
pasukan ke Jambi melalui jalan darat (menyusuri hutan belantara). Suatu saat
ketika sampai di Bukit Duabelas mereka kehabisan bekal, padahal sudah jauh dari
Pagaruyung dan masih jauh dari Jambi. Kemudian, mereka bermusyawarah dan
hasilnya kesepakatan untuk tetap tinggal di tempat tersebut, dengan
pertimbangan jika kembali ke Pagaruyung disamping malu juga bukan hal yang
mustahil akan dihukum oleh rajanya. Sementara itu, jika meneruskan perjalanan
ke Jambi disamping masih jauh juga bekal tidak ada lagi. Kemudian, mereka
bersumpah untuk tetap tinggal di tempat itu dengan ketentuan siapa saja melanggarnya
akan terkutuk dan hidupnya sengsara. Sumpah itu adalah sebagai berikut:
“Ke mudik
dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir kena kutuk Rajo Jambi, ke atas tidak
berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, kebawah tidak berurat, ditimpo kayu
punggur” (Kembali ke Minangkabau dikutuk Raja Minangkabau, ke hilir dikutuk
Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan, kumbang, ke bawah
tidak berakar, ditimpa kayu lapuk).
Para tentara
Pagaruyung yang membawa isteri dan tersest di Bukit Duabelas itulah yang
kemudian menurunkan orang Kubu. Terpilihnya bukit ini sangat beralasan karena
di sana banyak batu-batu besar yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai
benteng. Selain itu, di sana asa sumber air dan sungai-sungai kecil yang
menyediakan berbagai jenis ikan yang sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan
hidup mereka.
Versi ketiga mengatakan bahwa orang Kubu adalah
keturunan Bujang Perantau dan Puteri Buah Gelumpang. Konon, pada zaman dahulu
ada seorang perantau laki-laki yang bernama Bujang Perantau. Ketika perantau
itu sampai di Bukit Duabelas, suatu malam ia bermimpi. Di dalam mimpinya ia
disuruh agar mengambil buah gelumpang, kemudian buah itu dibungkus dengan kain
putih. Jika itu dilakukan maka akan timbul keajaiban. Begitu bangun, ia
langsung melakukannya. Buah gelumpang yang dibungkus dengan kain putih itu
menjelma menjadi seorang puteri yang sangat cantik (Puteri Buah Gelumpang).
Setelah besar, Sang Puteri mengajak kawin. Akan tetapi, Bujang Perantau
menjawab bahwa tidak ada orang yang mau mengawinkan. Mendengar jawaban itu Sang
Puteri menyarankan agar Bujang Perantau menebang pohon bayur kemudian dikupas
agar licin dan dilintangkan di sungai. Bujang Perantau disuruhnya meniti dari
salah satu ujung batangnya. Sementara, Puteri Buah Gelum-pang meniti dari ujung
yang satunya lagi. Jika di tengah titian tersebut mereka bertemu dan beradu
kening, maka itu berarti syah menjadi suami-isteri. Dan, ternyata mereka dapat
melakukannya dengan baik. Oleh karena itu, mereka syah menjadi suami-isteri.
Perkawinan mereka membuahkan 4 orang anak, yaitu Bujang Malangi, Bujang Dewo,
Puteri Gading, dan Puteri Selaro Pinang Masak. Anak pertama disebut pangkal
waris dan anak terakhir disebut ujung waris.
Alkisah,
Bujang Malapangi dan Puteri Selaro Pinang Masak keluar hutan dan mendirikan
kampung. Dan, ini berarti mengikuti jejak ayahnya sebagai orang terang.
Sementara itu, Bujang Dewo dan Puteri Gading tetap berada di hutan mengikuti
jejak ibunya sebagai Orang Rimbo. Perpisahan kedua kelompok saudara ini
menimbulkan perselisihan, tetapi masing-masing tetap mengakui sebagai kerabat.
Untuk itu, perlu dibedakan antara yang berkampung dengan yang tetap di hutan
dengan persumpahan. Sumpah Bujang Malapangi yang ditujukan kepada Bujang Dewo
adalah sebagai berikut:
“Yang tidak
menyam-but arah perintah diri waris dusun, bilo waris menemui di rimbo
dilancungkan dengan maka seperti babi, biawak, tenuk, dan ular sawa; keno kutuk
ayak pertuanan, keno sumpah seluruh Jambi ....”. Artinya dari sumpah ini ialah
bahwa orang Rimbo itu adalah orang yang tidak mau nurut saudara tua (pangkal
waris), bila saudara tua menemuinya di hutan disuguhi babi, benuk, biawak, dan
ular (semua binatang ini, orang terang dilarang memakannya); bakal dimarahi
seluruh orang Jambi.
Sumpah
Bujang Dewo ditujukan kepada Bujang Malapangi yang sudah menjadi orang Terang:
”Di air
ditangkap buaya, di darat ditangkap harimau kumbang, d-itimpo kayu punggur, ke
atas dikutuk pisau kawi, ke bawah keno masrum kalimah Allah, di arak
kabangiyang, ditimpo langit berbelang, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak
berakar, .... dan orang yang berkampung itu adalah: “berpadang pinang,
berpadang kelapo, dislamkan, rapat dilur rencong di dalam, bersuruk budi
bertanam akal, berdaging dua, bergantang dua, bercupak dua”. Arti dari sumpah
itu ialah bahwa orang yang berkampung itu adalah orang yang celaka ibarat orang
yang kemanapun celaka, ke air dimakan buaya, ke darat dimakan harimau, ditimpa
kayu punggur, dikutuk oleh senjata keramat, terkena laknat kalimah Allah,
selalu diikuti setan, tertimpa langit di sore hari, tidak punya atasan dan
tidak punya bawahan; adapun tandanya adalah: menanam pinang, kelapa, dislamkan;
baik di luar busuk di dalam, tidak berbudi dan mengakali orang, berpedoman
dua/tidak punya pendirian.
Walaupun
demikian, ada semacam kesepakatan bahwa Bujang Malapangi dan keturunannya tetap
dianggap pangkal waris dan berkedudukan di desa, sedangkan yang tetap tinggal
di hutan dapat terus mempertahankan adat nenek moyang (Bujang Perantau dengan
Putri Buah Gelumpang).
Versi
keempat
menceriterakan bahwa, konon pada masa lalu pantai Pulau Sumatera sering
didatangi para bajak laut. Mereka biasanya datang bersama isteri dan anaknya.
Suatu saat seorang anak lelakinya diketahui berhubungan intim dengan adik
perempuannya. Padahal, hubungan seperti itu merupakan perbuatan yang dilarang
oleh mereka. Oleh karena itu, kedua insan yang berbeda jenis kelaminnya itu
dikenakan sanksi berupa pengucilan, yaitu ditinggalkan atau dibiarkan hidup
berdua di hutan. Bahkan, bukan hanya itu; mereka tidak diperbolehkan untuk
memper-lihatkan diri kepada orang lain. Di sanalah mereka akhirnya
beranak-pinak kemudian mendirikan suatu perkampungan di daerah Ulu Kepayang,
dekat Dusun Penamping yang terletak di pinggir sungai Lalan (sekarang termasuk dalam
wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Konon, inilah perkampungan pertama mereka.
Tampaknya
perlu diketahui juga bahwa orang Kubu banyak yang berpindah ke Tanjung
Semiring; tepatnya di tepi sungai Lalan, di hilir Dusun Karang Agung. Di daerah
tersebut ada seorang yang bernama Temenggung. Orang itu kemudian diangkat
sebagai kepala suku. Oleh karena itu, kepala Orang Kubu disebut sebagai
temenggung. Mereka yang berada di daerah ini disebut dengan nama lebar Telapak,
karena ciri fisik mereka yaitu dengan bentuk kaki yang lebar terutama kaum
laki-lakinya. Dari Tumenggung yang berasal dari Blidah, Dusun Cambai dengan
istrinya yang bernama Polot dari marga betung di daerah Banyuasin, Dusun
Gemuruh, mereka memperoleh 6 (enam) orang anak laki-laki yang setiap orangnya
mempunyai sifat dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat Kubu, yakni: 1)
sejaring pandai dalam hal menangkap ikan atau menjala ikan, 2) semincan atau
semancam adalah sifat pengancam atau sifat pemberani, 3) semobah atau perobah
adalah sifat yang senang berpindah-pindah/pemindah, 4) sebauk adalah ciri orang
yang dihormati biasanya orang yang berjanggut atau berdagu ganda, 5) senanding
adalah sifat pedagang, 6) semubung adalah sifat pendukung atau bekerjasama atau
perantara. Nama-nama tersebut di atas juga dikenakan oleh Temenggung sendiri,
dengan harapan seorang Tumenggung akan memiliki atau mempunyai keenak sifat dan
keahlian tadi. Sifat yang paling menonjol bagi seorang Temengung adalah senang
mengem-bara, berpindah-pindah tempat bersama istri dan anak-anaknya. Seperti
halnya perpindahan mereka ke teluk Sendawar di tepi sungai Lalan, antara daerah
Bayung Lincir dan Muara Bahar. Di tempat ini pun mereka tidak bertahan lama,
mereka berpindah lagi ke daerah Rambahan di tepi sungai ke arah hulu Muara Bahar.
Di daerah ini mereka menetap agal lama, sampai mereka beranak-pinak. Setelah
itu Temenggung beserta istrinya scara tiba-tiba menghilang dan tidak pernah
kembali lagi, menurut kepercayaan masyarakat suku Anak Dalam temenggung dan
istrinya tidak meninggal dunia. Setelah ditinggal pergi Temenggung dan
istrinya, seluruh keturunan mereka mengadakan pertemuan atau mu-syawarah di
Muara Bahar. Mereka berkeinginan untuk memisahkan diri, masing-masing ingin
mencari tempat tinggal sendiri-sendiri, oleh karena itulah nama Muara Bahar
juga dikenal dengan nama Muara Lebaran yakni tempat dimana mereka mulai
berpencar, berpisah. Tetapi ada juga masyarakat Kubu yang tetap tinggal di ulu
Kepayang, tidak ikut dalam perpindahan tetapi menetap di sekitar dusun
penamping (daerah sekitar Muara Bahar).
Mereka
sangat jarang menceritakan asal usul, keturunan atau atau silsilah mereka,
karena mereka tahu dan merasa bahwa mereka merupakan keturunan dari hasil
perbuatan sumbang (incest). Disamping dianggap kurang sopan juga merupakan aib
atau noda bagi diri mereka sendiri. Untuk menyebutkan nama orang tuanya pun
mereka merasa cemas, karena mereka takut akan mendapatkan malapetaka,
mendatangkan pengaruh jahat. Apalagi menyebutkan cikal bakal mereka yang
melakukan zinah. Oleh sebab itu mereka lebih senang mengatakan bahwa cikal
bakal mereka berasal dari Temenggung dan Polot. Dari keturunan Temenggung dari
sebagian pergi ke Nyarang yakni sebuah sungai kecil di sebelah hilir dusun
bakung. Sebagian lagi pergi ke arah hulu sungai Bahar, sebagian lain menetap di
sepanjang sungai Bayat dan mendirikan perkampungan Kelapa Sebatang. Dinamakan
kampung Kelapa Sebatang karena orang kubu disitu telah menanam sebatang pohon
kelapa sebagai hiasan. Namun, buah kelapa yang telah dihasilkan dari pohon tersebut,
tidak ada yang berani mengambil dan memakannya, karena menurut anggapan mereka
sesuatu yang ditanam atau dipelihara apabila dimakan akan membuat mereka jatuh
sakit. Suatu ketika ada orang luar yang datang ke perkampungan mereka dan
bertanya mengapa buah kelapa tersebut tidak dimanfaatkan atau dimakan, orang
Kubu menjawab bahwa buah kelapa bisa membuat orang mabuk dan tidak baik. Oleh
orang luar tadi diberitahukan bahwa air kelapa manis rasanya dan dagingnya
enak, orang tersebut mengambil sebutir kelapa dan mengupasnya serta meminum air
serta memakan daging-nya. Setelah melihat bahwa memang tidak berakibat apa-apa,
maka orang-orang Kubu pun baru percaya bahwa air kelapa dan daing kelapa
ternyata bermanfaat bagi manusia. Setelah kedatngan orang luar tadi, mereka
berpindah tempat lagi dan mendirikan perkampungan baru yang terletak di antara
daerah Lubuk Malang dan Laman Petai, mereka menamakan kampung tersebut dengan
nama Kelapa Banyak, karena mereka mulai menanami daerah tersebut dengan
pohon-pohon kelapa. Demikianlah sampai akhirnya perpindahan masyarakat Kubu
sampai ke daerah Jambi sekarang ini.
Versi kelima mengatakan bahwa masyarakat Suku
Anak Dalam atau Kubu adalah orang-orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat
Sriwijaya mengalami keruntuhan karena serangan kerajaan Cola (India),
orang-orang Sriwijaya yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan asing tadi
melarikan diri ke hutan, sehingga mereka akhirnya dikenal sebagai orang Kubu
seperti saat sekarang ini.
Berdasarkan
Literatur
Ras
Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu yang paling
banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt digolongan atau
dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan Deustero Melayu. Salah satu
unsur dari sisa ras tersebut yang dapat dijumpai di Indonesia adalah yang
disebut dengan nama Weddid atau Weddoid. Nama tersebut berasal dari nama bangsa
Wedda yang hidup di Sri langka, dengan ciri-ciri fisik antara lain rambut
berombak tegang atau kaku, dan lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia
tipe itu terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala,
Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu, semua itu
masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik antara lain badan
agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama, ramping, bundar
wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut kejur hitam, dan wajah
mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi menonjol dan mata sipit. Golongan
pertama dianggap yang mula-mula datang ke nusantara, kemudian didesak atau
terdesak oleh golongan yang kedua ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai
kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai
kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai
pengaruh atau campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang
Kubu termasuk dalam Paleo-Mongoloid. (ali gufron)
Foto: http://www.bbc.co.uk
Sumber:
Galba,
Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)
Melalatoa,
J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
No comments:
Post a Comment