RENUNGAN-RENUNGAN FILOSOFIS
MURTADHA MUTAHHARI*
Dr. Mulyadi
Kartanegara
I. PENGANTAR
Judul yang diminta panitia kepada saya sebenarnya
adalah moralitas dalam pandangan Muthahhari, namun karena sumber-sumber tentang
tema itu tidak saya dapatkan hingga dekat hari, maka saya memutuskan untuk
menulis tema lain yang lebih luas dengan judul seperti tertulis di atas,
“Renungan-renungan filosofis Murtadha Muthahhari,” dengan fokus pada pandangan
beliau tentang Tuhan, alam dan manusia. Menurut saya tema seperti ini justru sangat
penting karena menciptakan sebuah paradigma yang lebih komprehensif, untuk
melihat tema-tema spesifik lainnya, yang dibicarakan dalam seminar ini. Atas
penyimpangan ini saya mohon maaf, tetapi pada waktu yang sama juga berharap
akan memberikan lebih banyak manfaat kepada para peserta seminar ini,
khususnya, dan pembaca makalah ini dimanapun berada dalam mengapresiasikan
pemikiran pemikir Iran kontemporer ini.
Untuk tujuan itu di sini, saya akan menyajikan
beberapa topik/pokok pembicaraan sebagai berikut : Pertama, sekalipun
secara singkat saya masih merasa perlu untuk mengetengahkan informasi biografis
Muthahhari, sebagai sekedar upaya untuk memberikan konteks historis pada
pemikiran atau dalam istilah saya renungan-renungan filosofinya; Kedua
karena paper ini berkaitan dengan renungan-renungan filosofis, maka barangkali
perlu didiskusikan tentang peranan filasafat (Islam) dalam pandangan
Muthahhari, khususnya sebagai alat yang efektif untuk mengkounter
tantangan-tantangan ilmiah dan filosofis yang datang dari pemikiran-pemikiran
kontemporer Barat; Ketiga akan disajikan pandangannya tentang Tuhan,
khususnya konsep tauhid dan syirik dan topik-topik menarik lainnya yang
berkaitan dengan Tuhan; Keempat, akan dikemukakan pandangannya tentang
alam, terutama tentang “kesatuan” sistem yang ada pada alam dan daya-daya yang
berlaku di dalamnya, termasuk konsepnya tentang evolusi dan hubungan materi dan
pikiran dan sebagainya., Terakhir, akan disajikan pandangan Muthahhari
tentang manusia, terutama karakteristik manusia yang istimewa—seperti
dimilikinya oleh manusia ilmu dan iman—yang membedakannya dengan makhluk Tuhan
yang lainnya. Terakhir makalah ini akan diakhiri dengan sebuah penutup, mungkin
berupa kesimpulan pokok dan saran-saran yang perlu untuk ditindaklanjuti.
II. SKETSA
BIOGRAFIS
Murtadha Muthahhari lahir di Faryan, sebuah kota
kira-kira 120 KM dari Masyhad, ibukota propinsi Khurasan, pada tanggal 2
Februari 1920. setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Muthahhari pindak ke
Masyhad, yang merupakan pusat belajar dan ziarah yang bergengsi, untuk
meneruskan pendidikannya dengan guru-guru yang otoritatif dibidangnya. Pada
tahun 1936 ia meninggalkan Masyhad untuk pergi ke Qum. Adapun faktor yang
mempengaruhi keputusannya untuk pergi ke Qum meninggalkan Masyhad adalah
wafatmya Mirza Mehdi Shahidi Ravazi, seorang guru yang terkenal filsafat Islam.
Dan Muthahhari memang telah meperlihatkan bakat filsafatnya yang menonjol. Pada
tahun 1937 Muthahhari baru betul-betul menetap dan tinggal di Qum dimana
studi tentang filsafat, sekalipun tidak betul-betul diizinkan, tetapi paling
tidak relatif lebih dimungkinkan.
Pada musim panas 1941, Muthahhari meninggalkan Qum
yang panas untuk pergi ke Isfahan di mana ia mempelajari Nahj al-Balaghah
dengan Hajj Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani, sorang guru yang punya otoritas
dari naskah Syi’ah yang terkenal ini. Untuk belajar ushul fiqh dengan Ayatullah
Borujerdi yang pindah ke Qum tahun itu. Setahun kemudian, yakni pada tahun
1945, Muthahhari mulai membaca sebuah naskah filosofis, yaitu Manzumah
karangan Hajj Mulla Hadi Sabzawardi, dengan Ayatullah Khomeini.
Pada tahun 1946, ketika ia mulai mempelajari Kifayah
al-Usul, sebuah kitab hikum, dari Akhund Khorasani dengan Ayatullah
Khomeini, ia memulai komitmen seumur hidupnya untuk mempelajari Marxisme
untuk kemudian dibantahnya. Tetapi menurut Hamid Dabashi, sumber-sumber yang
dipakai Muthahhari untuk mempelajari Marxisme ini adalah sekunder, yaitu
sumber-sumber yang bisa ia dapatkan dalam bahasa Persia, baik pamplet-pamplet
oleh kaum Maxis yang tergabung dalam partai Tudeh, atau terjemahan karya Marx
ke dalam bahasa Persia atau sumber Arab berbahasa Arab.
Pada tahun 1949 Muthahhari memulai studinya terhadap al-Asfar
al-Arba’ah karangan filosof Syi’ah abad ke enambelas/tujuhbelas dengan
Ayatullah Khomeini. Teman sekelasnya antara lain Ayatullah Muntazhari, Hajj Aqa
Reza Sadr, dan Hajj Aqa Mehdi Ha’eri.
Pada tahun 1950 Muthahhari konsentrasi lebih keras
lagi pada studi filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui
terjemahan Persia dari karya George Pulizer yang berjudul Introduction to
Philosophy dan mulai mengikuti diskusi kamis Allamah Tabataba’i tentang
“filsafat materealis.” Diskusi ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan
menghasilkan lima jilid buku Ushul-e Falsafah va Ravesh-e Realism
(Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realistik). Muthahhari kemudian mengedit
karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang luas (lebih besar dari naskah
aslinya sendiri) dan secara bertahap menerbitkannya (1953-1985). Disamping itu
pada waktu ini ia mempelajari Ibn Sina dengan Allamah Tabtaba’i. Diantara teman
kelasnya adalah Muntazeri dan Behesti
Pada tahun 1954 ia mulai mengajar di Tehran
University, di Fakultas Teologi. Tetapi menjelang awal tahun 60-an dia terlibat
secara aktif dalam organisasi masyarakat Religius Bulanan (Anjoman-e
ye dini), dan menerbitkan majalah bulanan Goftar-e Mah.
Muthahhari dicekal sebentar selama pemberontakan
Ayatullah Khomeini pada bulan Juni 1963, dan majalah bulanan (The Mounthy
Discdurse) dilarang. Pada tahun 1964 promosi Muthahhari di Tehran
University ditolak. Pada tahun 1965 ia turut berjasa dalam mendirikan Hosseiniyyeh
Ershad, yaitu sebuah organisasi religius yang didirikan secara pribadi
(swasta yang diabdikan untuk kepentingan Syi’ah)
Antara bulan Juni 1963 dan bangkitnya gerakan revolusi
pada tahun 1977-1979, Muthahhari terus mengadakan kontak dengan Ayatullah
Khomeini, dan bahkan dalam kenyataannya ia menjadi satu-satunya wakil di Iran
yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat karena
pengasingan Ayatullah. Pada waktu yang bersamaan ia terus memberi kuliah dan
menulis tentang berbagai isu-isu keagamaan dan sosial. Tapi pada bulan Mei
tanggal 1, 1979 Muthahhari terbunuh hanya beberapa saat setelah kemenangan
revolusi Islam Iran. Diantara tulisan-tulisannya, selain Ushul-e Falsafah adalah
Struktur Hak-Hak wanita dalam Islam (1966-1967), Manusia dan Nasibnya
(1966), Layanan Timbal Balik antara Iran dan Islam (1967), Pertolongan
Ghaib dalam Kehidupan Manusia (1969) dan lain-lain.[1]
III.
FILSAFAT ISLAM DAN PERAN IDEOLOGISNYA
Telah kita singgung bahwa Muthahhari telah
memperlihatkan kecenderungan yang kuat pada filsafat sejak dini dalam hidupnya.
Tentu saja ketika kita bilang filsafat, yang dimaksud adalah filsafat Islam.
Dan ketertarikan Muthahhari terhadap filsafat ternyata bukan hanya sekedar
keranjingan pada pemikiran-pemikiran spekulatif, tetapi justru ia melihat
filsafat sebagai :senjata ideologi,” yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular
yang tersebar cepat di Iran. Ini tentu mengingatkan kita pada situasi sama yang
dihadapi al-Ghazali sepuluh abad yang lalu, ketika ia menemukan filsafat
sebagai senjata ampuh ideologi (dalam hal ini agama Islam) untuk menangkal
ide-ide filosofis. Bedanya sementara yang dihadapi oleh al-Ghazali adalah
ide-ide filosofis para filosof Muslim (falasifah) yang dianggap tidak
ortodoks,[2] yang dihadapi Muthahhari adalah ide-ide
sekular Barat, khususnya Marxisme. Tapi semangatnya sama. Demikian penting
peran filsafat sebagai senjata ideologi, sehingga Muthahhari berusaha
menghidupkan kembali tradisi filosofis yang secara aman telah jinak, dan ia
percaya filsafat merupakan “prioritas utama dalam skala makna (signifikansi) diantara
semua cabang ilmu pengetahuan.[3]
Selain bicara tentang filsafat sebagai senjata
ideologis yang ampuh untuk menghadapi ide-ide sekular Barat, Muthahhri juga
menyatakan dengan tegas bahwa filsafat bukanlah hak istimewa Barat. Dia
mengatakan dan percaya bahwa “Yunani kuno (sebagai lambang filsafat Barat)
memperoleh asal keberhasilannya yang utama dari Timur. Sarjan-sarjana besar
dari belahan dunia tersebut berulangkali melancong ke Timur, belajar banyak
dari sarjana-sarjan Timur, dan ketika mereka kembali, mereka menyebarkannya di
negeri mereka.”[4] Pendapat ini barangkali mendapat dukungan
dari sumber-sumber klasik Islam, seperti yang dinyatakan oleh al-Amiri dalam
kitabnya al-Amad ‘ala al-Abad.[5]
Tentu dalam konteks kekinian, ia ingin menyatakan
bahwa bukan hanya orang-orang Barat yang memiliki filsafat, tetapi juga umat
Islam. Dalam kitabnya Ushul-e Falsafah, jelas terlihat usaha Muthahhari
untuk menunjukkan keunggulan filsafat Islam atas filsafat Barat, yang
disebutnya tidak realistik.
Dan sejauh ia menyangkut filsafat Islam, maka
Muthahhari menunjuk dua tradisi besar yang ada di sana, yaitu Peripatetik, yang
menurutnya lebih tepat disebut deduksionis, yang diwakili oleh Ibn Sina (w.
1037) dan Iluminasionis (Isyraqi) yang diwakili oleh Suhrawardi (w. 1191). Yang
pertama lebih menekankan keutamaan wujud (ishalat alwujud) sedangkan yang lain
lebih menekankan keutamaan esensi (ishal al-mahiyyah) atau yang mungkin
lebih elegan kita sebut eksistensialisme dan esensialisme. Yang menarik adalah
pernyataan Muthahhari yang menyatakan bahwa ketika kita membicarakan kedua
aliran filsafat Islam ini, referensi yang harus dibuat bukanlah pada Plato atau
Aristoteles, tetapi pada Islam sendiri.[6]
Nampaknya ia menaruh curiga bahwa Plato dan
Aristoteles yang disajikan dalm filsafat Islam jangan-jangan bukan sebagimana
Plato dan Aristoteles yang sesungguhnya. Misalnya ia mepertanyakan istilah
Peripatetik, yang merujuk pada filsafat Aristoteles, karena terakhir dikatakan
mempunyai mengajar filsafat sambil berjalan. Tapi, tanya Muthahhari, apakah hal
serupa juga tidak dilakukan Plato? Apakah, misalnya, metode yang digunakan
Suhrawardi adalah sama dengan metode yang digunakan Plato?
Berbicara tentang metode filosofis atau ilmiah dalam
Islam, Muthahhari membedakannya dengan begitu rapi tiga macam metode, yaitu,
metode deduktif dari filsafat peripatetik. Metode ini dipakai oleh sebagian
besar filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Nashir al-Thusi,
Mir Damed, Ibn Rusyd dan lain-lain. Ciri khas metode ini adalah penyandarannya
yang eksklusif pada deduksi dan demonstrasi rasional. Metode yang kedua disebut
iluminasionis, yang dikatakn memiliki pengikut yang lebih sedikit. Metode ini
dihidupkan kembali oleh Suhrawardi, Quthb al-Din Shirazi, Sahrazuni dan
lain-lain. Metode ini didasarkan pada deduksi dan demonstrasi rasional dan juga
pada upaya pensucian jiwa. Metode ketiga adalah yang disebut ‘irfani,
yang menurutnya memiliki banyak pengikut seperti Bayazid al-Bisthami,
al-Hallaj, Syibli, Junayd al-Baghdadi, Dzun Nun al-Mishri, Khwaja ‘Abdullah
Ansara, Ibn ‘Arabi dan Jalal al-Din Rumi. Tapi wakil utamanya adalah Ibn Arabi.
Yang menarik tentang metode pemikiran ini adalah penjelasannya yang gamblang
tentang persamaan dan perbedan di antara ketiga metode tersebut, yang tidak
saya dapatkan dari filosof yang lain. Dia mengatakan metode ‘irfani yang
agak liar mempunyai satu persamaan dengan metode iluminasionis dan dua
perbedaan dengannya. Yang sama adalah penyandaran mereka pada perbaikan,
penghalusan (refinement) dan pensucian jiwa. Sedangkan
perbedaan-perbedaannya adalah sebagai berikut : Kaum ‘arif sama sekali
menolak deduksi; sementara kaum iluminasionis, mendukungnya dan menggunakan
pemikiran dan pembersihan jiwa untuk saling membantu. Kaum iluminasionis,
sebagaimana halnya para filosof yang lain, berusaha menemukan realitas
(kebenaran) sedangkan kaum ‘arif mencoba mencapainya.[7]
IV.
TUHAN DAN KEESAANNYA
Berbicara secara filosofis tentang Tuhan, tentu saja
tidak bisa menghindarkan pembicaraan tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Nah
bukti macam apa yang dikemukakan Murtadha Muthahhari. Inilah yang ingin saya
coba bicarakan di awal bagian ini. Kita telah mengenal beberapa argumen yang
diajukan para filosof Muslim sebelum Muthahhari tentang adanya Tuhan : seperti dalil
al-hudust yang dikemukakan oleh al-Kindi, dalil al-imkan, oleh Ibn
Sina dan dalil al-‘inayah seperti yang dikemukakan oleh Ibn Rusyd.
Dalil al-hudust, seperti yang telah saya diskusikan dalam salah satu
buku saya, Menembus Batas Waktu,[8] mencoba mebuktikan adanya Tuhan dengan
menunjukkan keterbatasan alam, baik dari sudut materi, gerak dan waktu. Dengan
menunjukkan bahwa alam semesta itu terbatas, maka alam semesta mestilah baru (hadist),
dan karena baru maka mestilah dicipta (muhdast) oleh seorang pencipta,
dan itulah Tuhan. Adapun dalil al-imkan menyatakan bahwa alam ternyata
bukanlah wajib al-wujud (wujud yang niscaya), karena ia pernah tidak
ada, dan akan pada waktunya tiada, dan juga bukanlah mumtani’ ‘al-wujud
(wujud yang mustahi), karena nyatanya alam semesta ada pada saat ini.
Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa alam ini adalah mumkin al-wujud
(wujud yang mungkin). Ketika Ibn Sina menyimpulkan bahwa alam ini mungkin, maka
pada dirinya alam itu hanyalah potensi. Dan seperti halnya semua potensi,
potensi alam untuk ada tidak bisa teraktualkan dengan sendirinya. Agar potensi
itu aktual maka kita membutuhkan agen yang telah aktual untuk mengaktualkan
potensi alam untuk ada, atau mewujudi. Nah karena pada kenyataannya alam ini
wujud, padahal sebagai potensi ia tidak bisa mewujudkan dirinya sendiri, maka
mesti ada wujud lain yang telah aktual yang bertanggung jawab atas aktualisasi
alam seperti sekarang ini. Inilah Tuhan, yang merupakan Wajib al-Wujud, atau
Wujud yang senantiasa aktual. Adapun dalil al-‘inayah, yang juga dapat
disamakan dengan “argument from design” menyatakan bahwa adanya keserasian,
keteraturan dn rancangan yang nampak jelas pada manusia di alam ini,
menunjukkan adanya sang perancang, yang bertanggung jawab atas keserasian dan
keteraturan alam yang begitu mengagumkan.
Sebenarnya ada lagi argumen lain yang diajukan oleh
filosof paska Ibn Rusyd, yaitu Mulla Shadra (w. 1641), yang disebut burhan
al-shiddiqin; yang membuktikan wujud Tuhan, tidak dari wujud yang nisbi
menuju wujud yang niscaya, tetapi dimulai justru dari wujud yang niscya
terlebih dahulu. Mulla Shadra menyatakan bahwa Tuhan itu adalah wujud murni,
maka kita tahu bahwa ia adalah sumber dari mana semua wujud lain berasal.
Tetapi wujud murni ini tidak memerlukan bukti dari yang lain, melainkan dari
dirinya sendiri, yang dikatakan self-evident. Dikatakan self-evident
karena tidak ada kenyataan yang lebih jelas daripada wujud itu sendiri. Kita
bisa mengenal yang lain, karena terlebih dahulu kita telah mengafirmasi wujud
sebagi wujud. Jadi sebgai sumber dari segala wujud, maka keberadaan Tuhan
adalah self-evident, terbukti dengan sendirinya. Nampaknya argumen
terakhir yang disebut burhan al-shiddiqin ini dipandang oleh Muthahhari
dan juga gurunnya, Allamah Tabataba’i, sebagai lebih kuat.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Muthahhari
sendiri memiliki argumen yang berbeda dengan yang lainnya? Jawabannya ya, dn ia
menyebutnya, bersama gurunya Allamah Tabataba’i, metode realistik atau realisme
instinktif,[9] karena didasarkan pada fitrah manusia.
Tabataba’i menyatakan, adanya fitrah pada diri manusia memunculkan kesadaran
bahwa ia dan alam yang melingkupinya adalah wujud yang nyata, bukan khayalan.
Meskipun begitu, tidak berarti bahwa keduanya merupakan wujud-wujud yang tak
dapat berubah atau hancur. Kenyataan demikian mengharuskan wujud manusia dan
alam bergantung pada sebuah wujud yang tetap. Keberadaan alam dan manusia bisa
dipertahankan apabila masih terdapat hubungan dengan wujud yang tetap tersebut.
Dengan demikian manusia harus mencari sebab dari setiap peristiwa atau kejadian
yang dialaminya. Akhirnya, berdasarkan pada kesadaran adanya wujud alam dan
manusia yang nyata, bahwa mereka (alam dan manusia) haruslah memiliki satu
sandaran yang merupakan sumber wujud dan sumber kekuasaan, serta pengetahuan
yang tak terbatas. Dia-lah Tuhan, sumber dari segala wujud dan sistem yang ada
padanya.[10]
Muthahhari sendiri memberikan garis argumen yang sama
dengan gurunya Tabataba’i, tetapi dengan cara yang sedikit berbeda. Dia
mengatakan bahwa ketika kita melihat alam sekitar melalui indera, maka
kita akan dapati beberapa karakteristik dari alam tersebut, yaitu (1)
Keterbatasan (limitation); (2) Perubahan (change); (3)
Ketergantungan (dependency); (4) Membutuhkan yang lain (need)
dan ke (5) Relalivitas
Namun kekuatan nalar dan pemikiran manusia, berbeda
dengan indera, tidak merasa puas dengan penampakan dari indera dan menyebabkan
cahaya kalau dapat menembus di balik hijab wujud, dan menyatakan bahwa “wujud
tidak bisa hanya terbatas pada fenomena yang terbatas, berubah-ubah, relatif
dan kondisional begitu saja. Bangunan besar wujud yang kita lihat di hadapan
kita sebagai keseluruhan tidak bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu mesti ada
di sana secara niscaya sebuah realitas yang tak terbatas, abadi, absolut, tak
bersyarat dan berdiri sendiri yang hadir setiap saat dan waktu sebagai penopang
bagi semua wujud. Kalau tidak maka semua bangunan wujud tidak bisa bertahan,
atau bahkan tidak akan ada yang kita sebut benda tersebut. Yang ada hanyalah
ketiadaan semata. Ini mengingatkan kita bahwa bangunan besar wujud ini
membutuhkan Realitas, yang dengan-Nya alam bisa bertahan hidup. Namun ia
sendiri adalah maha kaya (al_Ghani dalam pengertian suhrawardian), yakni tidak
membutuhkan yang lain, tetapi segala yang lain justru membutuhkannya.
Selain bukti adanya Tuhan, Muthahhari juga, seperti
filosof yang lain, berbicara tentang keesan (tauhid). Tentang konsep
tawhid ini, saya diingatkan oleh pernyataan Muthahhari bahwa Syi’ah adalah
penerus dari sekte teologi Mu’tazilah. Oleh karena itu, seperti yang akan kita
lihat pandangan Muthahhari, sebagai filosof Syi’ah, memiliki kesamaan.
Berbicara tentang tauhid, Muthahhari membedakan pada tiga level : Esensi
(zat), sifat dan tindakan (af’al). Tauhid pada level esensi
mengisyaratkan bahwa sang Realitas ini tidak mengizinkan dualitas atau keanehan
apapun. Ia tidak memiliki padanan atau yang serupa dengan-Nya. Esensi wujud
niscaya akan mengatasi semua pembicaraan tentang spesis dan varitas, karena itu
semua merupakan karakteristik dari makhluk dan wujud-wujud yang mungkin. Jadi
tauhid esensi ini berarti mengetahui esensi (Zat) Tuhan dalam keesaan dan
keunikan-Nya.
Adapun tauhid pada level sifat berarti “mengetahui
bahwa zat Tuhan dalam kesamaannya dengan sifat-sifat-Nya dan sifat-sifat-Nya
dalam kesamaan mereka satu sama lain. Kalau Tawhid dzati berarti menolak adanya
yang kedua atau yang setara, maka tawhid sifati berarti menolak adanya jenis
keragaman dan kemajemukan (compoundedness) apapun dalam dzat Tuhan sendiri.
Sekalipun esensi Tuhan disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan—seperti
keindahan (jamal) dan keperkasaan (jalal)—tetapi tidak berarti bahwa Tuhan
memiliki berbagai aspek yang objektif. Ini bagi saya mengingatkan doktrin
teologis Mu’tazilah yang disebut nafi’ al-Sifat, di mana sifat-sifat Tuhan,
tidak dipandang sebagai realitas independen yang ditambahkan kepada Dzat-Nya.
Yang terakhir adalah tawhid ilahi dalam hal tindakan
(af’al). Tauwhid af’al berarti melihat dan mengetahui bahwa alam semesta dengan
semua sistem, norma, sebab dan akibatnya, tidak lain daripada tindakan-tindakan
atau karya-karya Tuhan yang muncul dari kehendak-Nya. Tentu ini bukan pendapat
tipikal para filosof Muslim, seperti al-Farabi dan Ibn Sina yang menolak
ciptaan sebagai hasil dari kehendak Tuhan, tetapi lebih mirip dengan kebanyakan
para teolog, baik Sunni maupun Syii’ah. Jadi, sebagaimana Ia tidak punya mitra
dalam esensinya, demikian juga Ia tidak punya mitra dalam agensi. Setiap agen
(pelaku) dan sebab, memperoleh realitas, wujud, pengaruhnya dan agensinya dari Tuhan.
Karena itu semua kekuatan, semua daya ada melalui diri-Nya.
V.
ALAM SEMESTA
Alam semesta merupakan ciptaan Tuhan, yang diciptakan
melalui kehendak Tuhan. Ia menolak pandangan dari apa yang disebut sebagai
“Negative Theology” yang menurutnya tidak punya gambaran yang jelas tentang
Tuhan, yang disebutnya “the Unknown Cause.” Menurutnya Islam merujuk dengan
jelas Tuhannya yang berdiri sebagai Pencipta. Pendapat Mutahhari yang menarik
adalah tentang kesatuan alam. Karena Tuhan adalah satu dalam esensi, sifat dan
agensinya, maka alam semesta sebagai karyanya juga menikmati kesatuannya yang
organik. Mutahhari mengatakan bahwa dalam anotasi pada Prinsip Filsafat jilid 5
ia telah menunjukkan bagaimana alam itu merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisah-pisahkan tanpa menimbulkan kegoncangan secara keseluruhan. Juga
ditunjukkan di sana bagaimana hilangnya satu bagian dari alam akan sama dengan
hilangnya keseluruhan. Bahkan lebih dramatis lagi, ia mengatakan betapa
hilangnya “kejahatan-kejahatan” dari alam ini akan berarti hilangnya semua yang
ada di alam raya ini. Bahkan ia menyatakan bahwa filosof seperti Hegel juga
mengakui prinsip kesatuan organik dari alam semesta ini. Hubungan organik ini
sering diumpamakan oleh Mutahhari dengan hubungan antara anggota badan dengan
badannya itu sendiri. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa ia menolak
penjelasan kaum Materialis yang menurut hematnya hanya bisa menggambarkan
hubungan tersebut secara mekanik, bukan organik. Tetapi para teosofer (‘urafa’)
dan pemikir-pemikir kuno sering menggambarkan dunia sebagai “Manusia Besar” dan
manusia sebagai “Dunia kecil.” Jadi para teosofer dan bukan para filosof
(falasifa) yang lebih dekat pada pandangan dunia organik. Tentu saja kalau kita
kaitkan dengan perkembangan fisika baru yang lebih melihat alam sebagai
hubungan-hubungan yang saling terkait, maka pandangan Mutahhari tentang
kesatuan organik ini lebih maju dibanding dengan para filosof yang berpandangan
dunia mekanistik.
Pandangan lain yang menarik dari Mutahhari tentang
alam semesta ini adalah pernyataannya yang mengatakan bahwa dunia terdiri dari
gabungan antara dunia yang nyata dan dunia yang ghaib. Kata gaib dapat
diartikan sebagai yang tersembunyi. Yang tersembunyi pada gilirannya dibagi
lagi ke dalam dua bagian ghaib yang relatif dan ghaib yang absolut. Ghaib yang
relatif adalah benda-benda yang tersembunyi karena terhalang oleh jarak, baik
ruang maupun waktu. Sedangkan ghaib yang absolutu merujuk kepada Tuhan, yakni
esensi Tuhan. Yang menarik adalah ketika Mutahhari menggambarkan hubungan
antara yang nampak dan yang ghaib. Ia mengatakan ketika kita bicara tentang
dunia fisik yang nampak sebagai memiliki batas, maka tidak berarti bahwa dunia
ghaib berada di luar batas tersebut. Karena kalau begitu dua ghaib berarti juga
punya tatanan ruang sebagaimana dunia fisik. Oleh karena itu, menurutnya
hubungan itu paling mungkin digambarkan sebagaimana hubungan antara figur dan
bayangannya dalam cermin.[11] Tentu saja ini mengingatkan kita pada
deskripsi Ibn ‘Arabi yang menggambarkan bahwa dunia ini adalah refleksi dari
wajah Tuhan yang Esa.
Satu hal lagi yang menarik dari renungan Mutahhari
tentang alam semesta ini adalah pandangannya bahwa alam semesta berkembang
secara vertikal, jadi semacam gerak evolutif. Tentu saja telah ada pemikir
Muslim yang mendukung teori evolusi, seperti Jalal al-Din Rumi (w. 1273) dan
Mulla Shadra (w. 1641) dengan teori “trans-substantial Movement.” Bahkan
Mutahhari menambahkan bahwa teori evolusi tidak mesti bertentangan dengan
ajaran agama. Apa yang menyebabkan teori evolusi mengarah pada ateisme di
Barat, itu, menurutnya, karena konsep mereka tentang “the Unknown cause,” yang
dikenal dalam the negative theology dan akibat dari pemikiran Yahudi
yang mensyaratkan adanya titik permulaan dalam penciptaan. Tetapi saya curiga
jangan-jangan Mutahhari tidak mengerti betul apa yang dimaksud dengan negative
theology, karena sepengetahuan saya, negative theology diterapkan kepada
Tuhan dalam level Zat-nya, yang memang tidak mungkin kita pahami kecuali
melalui jalan negatif, atau dalam bahasa Latinya via-negative.
VI. MANUSIA
Manusia tentu saja merupakan hasil evolusi yang
terakhir, dan karena itu sebagai makhluk ia memiliki karakter atau sifat-sifat
khusus yang tidak dimiliki oleh hewan-hewan dan makhluk-makhluk yang lebih
rendah lagi. Sekalipun hewan dikatakan memiliki kesadaran dan nafsu, namun
kesadaran hewan tentang dunia fisik, hanyalah merupakan kesadaran inderawi, dan
tidak bisa menjangkau ke kedalaman dan antar-hubungan batin antara benda-benda.
Juga kesadaran hewani hanyalah pada objek-objek yang bersifat individual dan
partikular, dan tidak bisa menjangkau yang bersifat universal dan general.
Tetapi kesadaran manusia bisa mencapai apa-apa yang tidak bisa dijangkau oleh
kesadaran hewani tadi. Kesadaran manusia tidak tetap terpenjara dalam batas
lokal dan ruang, tidak juga ia terbelenggu pada waktu tertentu; kesadaran
manusia justru bisa melakukan pengembaraan menembus ruang dan waktu.[12] Tetapi selain itu, yang betul-betul menjadi
ciri yang membedakan manusia dengan hewan adalah ilmu dan iman. Inilah
perbedaan utama manusia dari hewan. Oleh karena itu sains dan iman merupakan
dua hal yang harus diperoleh dan dikembangkan manusia untuk mengekspresikan
kemanusiaannya.
Manusia menikmati kemuliaan dan keagungan yang khusus
di antara makhluk-makhluk yang lain dan memiliki peran khusus, sebagai wakil
Tuhan dan misi yang khusus, sebagai pengelola alam. Namun manusia, dengan
kebebasan memilihnya, bertanggung jawab atas evolusi dan pertumbuhan dan
pendidikannya dan atas perbaikan masyarakatnya. Alam semesta, merupakan sekolah
bagi manusia, dan Tuhan akan memberi pahala setiap diri manusia sesuai dengan
niat baiknya dan usahanya yang lurus. Manusia juga dikatakan mempunyai peran
kausal dalam dan pengaruh terhadap tindakan-tindakannya. Ia bahkan lebih
berpengaruh dalam membentuk nasibnyanya sendiri ketimbang yang lain.
Sebagai pemikir Syi’ah yang sering diidentikkan dengan
Mu’tazilah, Mutahhari menolak bahwa manusia telah ditentukan nasibnya secara
deterministik. Kepercayaan Syi’ah pada prinsip keadilan, dalam pandangan
Mutahhari berarti bahwa Syi’ah mengakui prinsip kebebasan manusia,
pertanggung-jawaban manusia dan kreativitasnya. Takdir Tuhan telah menciptakan
sistem dan telah memunculkan serangkaian norma dan hukum. Karena itu, kapan
saja manusia mencari sesuatu yang diinginkannya, ia harus mencarinya lewat
sistem dan norma-norma tadi, jadi rizki, sekalipun berasal dari pusaka ilahi,
tetapi harus dicarai melalui sistem dan norma tertentu, dan bukan dengan begitu
saja diberikan secara pilih kasih.
VII. PENUTUP
Demikianlah telah saya sajikan beberapa renungan
Murtadha Mutahhari yang menurut saya cukup menarik, sekalipun di sana sini
masih terlihat adanya problem inkonsistensi. Tetapi terlepas dari itu semua,
dan sekalipun dikatakan oleh Hamid Dabashi, bahwa dibanding dengan rekan yang
lainnya seperti Jalal al-Din Asytiyani dan Ha’eri Yazdi adalah kelas kedua, dan
dalam pemikirannya sering dijumpai penyederhanaan-penyederhanaan, tetapi
menurut saya renungan-renungan filosofisnya tersebut, tetapi bisa menjadi bahan
pemikiran dan renungan dan bahan studi filsafat pada masa mendatang.
Pada akhirnya, kita bersyukur bahwa umat Islam
kontemporer telah dikarunia orang-orang besar seperti Murtadha Mutahhari yang
bukan hanya telah menyumbangkan pikirannya, tetapi juga darah dan daging untuk
kepentingan Islam, agamanya yang sangat ia cintai.
* Disampaikan pada seminar Internasional
“Pemikiran Murtadha Muthahhari”, 8 Mei 2004 di Jakarta.
[1] Sumber informasi biografis ini sebagai besar
diambil dari buku Hamid Dabashi, Theology of Discontemt: the Idological
Foundation of The Islamic Revolution in Iran (New York & London: New
York University Press, 1993), h. 148-150.
[2] Lihat Majid Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, ed. 2 (New York: Columbia University Press, 1983), h. 222-223.
[3] Lihat Hamid dabashi, The Theology of
Discontent, h. 151.
[4] Ibid.
[5]Al-Amiri, misalnya mengatakan bahwa Pitagoras
belajar metafisika dati sahabat-sahabat Nabi Sulaiman, dan Empedokles belajar
dengan Lukman al-hakim E. K. Rowson (ed.), A Muslim Philosopher on The Soul
and Its Fate: Al-Amiri’s Kitan al-Amad ala al-Abad (New Haven: American
Oriental Society, 1988), h. 71-71.
[6] Murtaza Mutahhari, Fundamentals of islamic
Thought: God, Man and the Universe, translated by R. Campbell (Berkeley:
Mizan Press, 1985), h. 146.
[7] Mutahhari, The Fundamentas of Islamic
Thought, h. 153.
[8] Lihat Mulyadhi kartanegara, Menembus Batas
Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan 2002) terutama bab kelima.
[9] Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan dalam
Filsafat ‘Allamah Thabathaba’i (Jakarta: Teraju, 2004), h. 89.
[10] Mutahhari, The Fundamentals, h. 85.
[11] Mutahhari, The Fundamentals, h.
117.
[12] Ibid, h. 26.
Advertisements
No comments:
Post a Comment