Saturday, 8 April 2017

KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MURTADHÂ MUTHAHHARÎ



KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MURTADH MUTHAHHARÎ

I. Pendahuluan
Pemikiran pendidikan islam pada dasarnya dibangun di atas landasan berbagai pemikiran filosofis, etis, dan ideologis yang bersumber secara normatif dari al-Qur’an dan al-Sunnah Nabawiyah maupun historis dari para pemikir Yunani dan filosof Muslim. Konsep ilmu pengetahuan, kebaikan, kebahagiaan, manusia (dalam hal ini guru dan anak didik), dan tujuan pendidikan Islam dengan jelas dipengaruhi oleh pemikiran filisofis, etis, dan ideologis tersebut. Adanya pengaruh ini akan memudahkan pencarian mazhab atau arus pemikiran apa yang dikembangkan dalam pendidikan islam.
Murthadâ Muthahharî merupakan salah seorang ulama dan filosof Islam kontemporer yang banyak memberikan sumbangan pemikiran bagi pendidikan Islam. Beliau berpandangan bahwa baik manusia maupun dunia akan sejahtera jika ilmu pengetahuan dan keyakinan dikawinkan dalam kehidupan manusia.
II. Pembahasan
A. Biografi
Murthadâ Muthahharî lahir di Fariman Khurasan, 2 Februari 1919 dan wafat di Teheran pada 2 Mei 1979. Beliau seorang ulama dan filosof terkemuka Islam kontemporer berkebangsaan Iran, yang mampu memadukan dua sisi pemikiran Islam yang sering dianggap saling bertentangan, yaitu tradisionalisme dan rasionalisme, dalam suatu kemasan yang baik. Lazim disebut Syahid Muthahharî. Ia mencerminkan sosok ulama intelektual dan intelektual yang ulama.
Pendidikan pertama diperolehnya dari ayahnya sendiri, yaitu Syekh Muhammad Husain Muthahharî, seorang ulama yang disegani di Iran, terutama di propinsi Khurasan. Pendidikan itu mengantarkannya ke lingkungan santri di pusat pengkajian agama (lazim disebut Hauzah ‘Ilmiyah) di kota Masyhad, tempat makam imam Ali al-Rida –imam kedelapan dalam keyakinan Syi’ah Dua Belas (Twelver Shī‘ah Islamic belief)— yang terletak di Timur laut Iran, ketika ia baru berumur dua belas tahun.
Pada tahun 1937, ia berangkat ke Hauzah ‘Ilmiyah Qum, pusat pengkajian agama terbesar di Iran. Di sana terlihat bahwa ia mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi terhadap kajian-kajian filsafat dan ‘irfān (istilah populer di kalangan Syi’ah untuk tasawuf). Semua karya filsafat, baik dari filsafat Islam maupun filsafat Yunani dan Barat, ia telaah dan kuasai secara baik. Gurunya dalam bidang ini yang sangat berpengaruh pada dirinya adalah Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Islam Iran dan ‘Allamah Muhammad Husin Tabatabâ’î, filsuf dan mufasir abad 20. Keberadaan Muthahharî di tengah-tengah kaum intelektual Iran, yang umumnya adalah lulusan perguruan tinggi Barat, dan kemampuannya untuk meramu pemikiran Islam sehingga nyata bahwa pemikiran Islam jauh lebih unggul daripada pemikiran Barat, membuat suasana kampus Universitas Teheran yang sebelumnya sekular menjadi semarak dengan semangat Islam, terutama di kalangan Mahasiswa. Tambah lagi karena Muthahharî ternyata menunjukkan kepedulian sosial yang tinggi dan semangat jihad yang tidak pernah pudar.
Bersama-sama dengan Ayatullah Khomeini, ia menentang penguasa Iran, Syah Mohammad Reza Pahlevi yang memerintah tahun 1949 – 1979. Sebagai buntut pemberontakan yang dipimpin Khomeini pada Juni 1963, Muthahharî ditahan selama 43 hari. Ketika revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini meletus pada tahun 1978 – 1979, Muthahharî merupakan salah seorang arsitek revolusi itu. Akan tetapi, sebelum sempat menerapkan konsep-konsep politiknya pada pemerintahan baru, hanya kurang dari tiga bulan menjelang kemenangan Revolusi Islam iran yang spektakuler itu, ia menghembuskan nafas terakhir akibat peluru teroris Furqan, kelompok ekstrem kiri, yang mengidentikkan diri dengan Islam. Sebagai peringatan atas jasa-jasa beliau, rakyat Iran mempersembahkan kepadanya sebuah mars yang acapkali didengungkan hingga kini, menyusul kepergian jenazahnya ke pemakaman di kota Qum, di samping makam pendiri Hauzah ‘Ilmiyah, Syekh Abdul Karim Hairi (1276 – 1355).
B. Karya-karya Murtadhâ Muthahharî
Walaupun revolusi Iran memberi kelayakan bagi Muthahharî sebagai figur politik, tetapi justru tulisan-tulisannyalah –yang dengan penuh semangat dipromosikan oleh otoritas revolusioner— yang merupakan warisan utamanya. Kekuatan analisis Murtadhâ Muthahharî serta penguasaannya yang mendalam terhadap berbagai bidang ilmu (ilmu agama, filsafat Islam dan Barat, serta ilmu pengetahuan modern) membuat kajian-kajiannya mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim dalam abad modern sangat memikat semua lapisan, terutama kalangan intelektual muslim dan mahasiswa, yang haus atas keterangan Islami mengenai tema-tema utama yang dihadapi manusia modern. Tidak heran, karya-karyanya yang berjumlah lebih dari 50 buah, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Arab, Urdu dan Indonesia.
Diantara karya-karya Muthahharî adalah:
1. Mukaddimah Pandangan Dunia Islam.
2. Hak-hak Wanita dalam Islam
3. Masalah Hijab
4. Cerita-cerita Orang bijak
5. Prinsip-prinsip Filsafat dan Aliran Realisme
6. Alasan-alasan untuk Berpaling pada Materialisme
7. Islam dan Kebahagiaan Manusia
8. Manusia Sempurna. Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia
9. Manusia dan Alam Semesta. Konsepsi Islam tentang Jagat Raya
10. Sirah Sang Nabi, Cara Lain Melihat Sejarah Nabi
11. Quantum Akhlak
12. Keadilan Ilahi. Asas Pandangan Dunia Islam
13. Masyarakat dan Sejarah
14. The Unschooled Prophet
15. Attitude and Conduct of Prophet Muhammad
16. Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama (terjemahan dari beberapa buku)
17. Falsafah Pergerakan Islam (terjemahan dari beberapa buku)
C. Pemikiran Pendidikan Islam Murtadhâ Muthahharî
1. Konsep Dasar Pendidikan Islam
Dalam dunia pendidikan, Muthahharî menyumbangkan pandangannya dengan bertitik-tolak pada hakikat manusia. Menurut Muthahharî, keinginan manusia untuk mendapatkan pendidikan adalah dalam rangka pembentukan masa depan yang didasarkan pada peran yang dimilikinya sebagai manusia. Manusia memiliki semua perlengkapan alami maupun intuitif, yang dimiliki baik oleh tumbuhan maupun binatang. Mereka juga memiliki kemampuan insani yang istimewa, kemampuan yang paling penting, yaitu daya nalar luar biasa, yang merupakan lorong mulus dan lebar menuju pembentukan masa depan yang mereka inginkan. Manusia membawa serta di dalam dirinya suatu peran yang lebih efektif dan luas dibanding makhluk lainnya sehingga secara spontan mereka dapat mewujudkan nasib mereka sendiri. Peran ini dilakukan secara sadar dan melalui kehendak bebasnya. Artinya, manusia dapat menentukan masa depannya atas dasar pengetahuan mereka tentang diri, kehidupan di sekeliling mereka dan berdasarkan intelektualitas serta pemeliharaan diri secara baik.
Keluasan lingkup yang bertujuan pada pembentukan diri ini mencuat dari tiga karakteristik inheren yang ada dalam sifat manusia: (1) Keluasan wawasan dan kesadaran manusia. Manusia mampu mengembangkan cakupan wawasannya menukik ke inti terdalam dari hakikat alam melalui perangkat pengetahuannya, mereka juga mampu mempelajari hukum-hukum dan aturan-aturan alam, sehingga memungkinkan mereka menempatkan alam semesta dan kehidupan manusia pada suatu perangkat yang lebih tinggi. (2) Keluasan wilayah yang dapat dicakup oleh kehendak-kehendak manusia. Manusia memiliki kebutuhan alamiah (fitriah) dan non-alamiah (kebiasaan). (3) Kemampuan inheren untuk membentuk diri, adalah milik eksklusif manusia; tidak ada makhluk lain yang menyandang kemampuan ini. Dengan demikian, hanya manusia sajalah makhluk yang melalui hukum-hukum penciptaan, dikaruniai kemampuan menyusun pedoman bagi dirinya, untuk mencapai masa depan seperti yang mereka kehendaki.
Mengenai kemampuan dan kebiasaannya, manusia adalah makhluk potensial. Artinya, manusia lahir dalam keadaan tidak membawa kualitas dan kemampuan. Manusia memperoleh banyak kemampuan secara berangsur-angsur yang merupakan dimensi kedua disamping dimensi bawaan sejak lahirnya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mendapat dari hukum alam kuas untuk melukis dirinya sesuka hati. Tidak seperti bentuk organ tubuhnya yang sudah mengalami penyempurnaan ketika ia manusia masih berada di rahim ibunya, bentuk organ psikologis seorang manusia –yang dikenal sebagai kemampuannya, kebiasaannya, dan karakter moralnya— sebagian besar mengalami penyempurnaan setelah manusia lahir.
2. Tujuan Pendidikan
Perkembangan pemikiran Murtadhâ Muthahharî tidak terlepas dari kesungguhannya dan gairah agamanya yang tinggi sejak usia dini. Muthahharî melihat insan kamil sebagai manusia yang mengembangkan nilai-nilai Islam secara seimbang. Istilah insan kamil (al-insân al-kâmil) terdiri dari dua kata: al-insân yang berarti manusia dan al-kâmil yang berarti sempurna. Manusia sempurna berarti manusia teladan, unggul dan luhur serta berbagai definisi lainnya. Seperti halnya apapun yang ada di bumi ini, seorang manusia mungkin sempurna, mungkin juga tak sempurna. Istilah sempurna disini – menurut Murthadâ Muthahharî – tidak identik dengan kata tamâm (lengkap), kendati keduanya berdekatan dan mirip. Kata lengkap mengacu pada sesuatu yang disiapkan menurut rencana, seperti rumah atau masjid. Bila satu bagiannya belum selesai, maka bangunan itu disebut tidak lengkap atau kurang lengkap. Akan tetapi, sesuatu mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat; itulah yang disebut kâmil (sempurna). Dari pengertian istilah yang dikemukakan oleh Muthahhari di atas, terlihat bahwa kesempurnaan itu bertingkat. Dengan demikian, bila suatu kesempurnaan tercapai, maka masih ada kesempurnaan yang di atasnya, sampai pada tingkat kesempurnaan yang sesungguhnya. Jika ada manusia sempurna, maka tentu ada yang lebih sempurna. Kesempurnaan yang sesungguhnya hanya ada pada Yang Maha Sempurna.
Bila kita berbicara tentang kearifan atau pengetahuan sempurna, ini mengacu ke tingkat kearifan atau pengetahuan yang lebih tinggi dari yang sudah ada, Seseorang mungkin lengkap, dalam pengertian horizontal, tapi tidak sempurna dalam pengertian vertikal. Ada orang yang setengah lengkap, atau bahkan kurang dari itu. Ketika kesempurnaan tarcapai, masih ada tingkat-tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi lagi sebelum sampai pada kesempurnaan yang sesungguhnya.
3. Potensi Manusia dalam Pendidikan Islam
Menurut Muthahharî, Ruh manusia menyerupai alat penyimpan suara. Sebuah alat yang tidak hanya merekam satu pita suara, melainkan puluhan, bahkan ratusan sampai ribuan kaset dengan ragam lagu dan iramanya masing-masing. Setiap kali sebuah tombol ditekan maka akan keluar suara yang khas yang dimiliki masing-masing tombol. Jadi suara yang keluar tergantung pada tombol mana yang ditekan. Demikian halnya dengan ruh manusia, yang memiliki beragam tombol dengan kemampuan masing-masing. Sayangnya seringkali kita hanya menekan satu tombol potensinya saja. Demikian halnya dengan pelbagai teori. Semua teori hanya menekan satu tombol potensi manusia saja, tidak semuanya. Sesungguhnya, bila ada satu mazhab atau teori yang dapat mensinergikan seluruh potensi manusia dalam gerak yang harmonis tanpa gangguan, maka mazhab itulah yang patut menyandang gelar ‘mazhab yang paling sempurna’.
4. Wadah Pendidikan
Dunia adalah tempat pendidikan, persiapan dan pengembangan potensi dan kapasitas manusia. Ganjaran yang akan diterima Manusia di hari pengadilan kelak, lebih bergantung pada nilai-nilai spiritual yang mereka miliki ketimbang pada bawaan fisik mereka. Itu berarti manusia akan diterima di hadapan Tuhan, kelak dalam sosok hewan yang pada dirinya melekat atribut-atribut moral yang mampu mereka raih. Hanya sosok demikian yang memiliki wajah insani di hadapan Tuhan, yaitu yang adat-kebiasaan, moralitas, dimensi-dimensi sekunder dalam jiwanya selaras dengan kadar dan martabat kemanusiaan.
Dalam kaitannya dengan akhirat, dunia adalah fase persiapan, pelatihan dan penyempurnaan manusia. Dunia ini ibarat tingkat persiapan di sekolah dan di perguruan tinggi bagi para pelajar atau mahasiswa. Pada hakikatnya dunia ini adalah sekolah dan tempat pendidikan. Muthahhari mengutip QS. al-Mulk/67: 2 yang berbunyi : “Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang paling baik amalnya Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Maksudnya, dunia yang terdiri atas kehidupan dan kematian ini adalah tempat manusia mencoba perbuatan-perbuatan baik. Di sini perlu digaris bawahi bahwa pengujian Allah ini bertujuan mengaktualisasikan semua kesiapan dan kapasitas manusia. Aktualisasi ini sendiri tidak lain kecuali untuk memberikan kedewasaan dan proses penyempurnaan baginya.
5. Fungsi Pendidikan
Manusia mampu menaklukkan alam serta bebas pula memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan mereka melalui pengetahuan ilmiah yang mereka miliki. Mereka mampu membangun diri dan menentukan masa depan mereka atas dasar kuasa membentuk diri yang ada pada diri mereka. Semua mahzab moralitas ajaran agama dan doktrin pendidikan dimaksudkan untuk membimbing manusia ke arah pembentukan diri semacam itu. Ajaran-ajaran itu yakin bahwa jalan lurus adalah jalan yang mengarahkan manusia kepada masa depan yang gemilang, sedang jalan yang sesat adalah jalan yang menjerumuskan manusia ke arah kehancuran, kesengsaraan dan kebangkrutan. Hal itu telah tercantum dalam QS. Al-Insaan/ 76:3: “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur”. Sesungguhnya manusia bisa memilih jalan yang telah Kami tunjukkan dan bersyukur atau memilih jalan lain dan tidak bersyukur.
Menurut Muthahharî, bila seseorang beriman kepada Allah, maka segala sesuatu lainnya akan tidak berarti lagi baginya, karena ia telah menemukan sesuatu, yang bila segala sesuatu diperbandingkan dengan sesuatu itu, tidak akan ada nilainya. Muthahharî mengutip karya puitis Sa’di yang berjudul “Bustan” untuk mengungkapkan gagasan ini dengan bahasa yang indah:
“Jalan akal adalah suatu kebingungan;
tetapi bagi yang bijak, tak ada sesuatupun kecuali Allah.”
Untuk menerangkan masalah ketakadaan, beliau mengatakan:
“Ini dapat dikatakan kepada orang yang tahu kebenaran,
tetapi orang yang menerka-nerka, akan mengecamnya,
Mereka mengatakan, lalu apa langit dan bumi itu?
Siapakah manusia, binatang buas dan setan?
Kemudian ia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, dan mengatakan bahwa itu tidak saling bertentangan:
“Kau temanku yang bijak, telah bertanya,
dan aku akan menjawab sesuai dengan jalan pikiranmu;
Bahwa matahari, laut, gunung dan cakrawala,
manusia, setan jin dan malaikat.
Apa pun mereka, mereka terlalu rendah
Untuk berbicara tentang keberadaan, di hadapan Esensi-Nya”.
Bila ia ada, hal-hal lain bukan apa-apa. Sekali orang mengenal Allah, tak mungkin ia akan berbelok ke kutub lain atau menjadikan sesuatu yang lain sebagai tujuan. Dengan demikian, iman dalam Islam lebih tinggi daripada segala kemungkinan perbandingan dengan pencipta lain kecuali Allah, kebenaran dan kenyataan yang dihadapan-Nya tak ada sesuatu pun yang dipandang benar dan nyata.
Pengetahuan dan keyakinan memainkan berbagai peranan penting dalam mewujudkan masa depan manusia. Pengetahuan menunjukkan jalan untuk mewujudkannya dan memungkinkan manusia membentuk masa depan sesuai dengan kehendaknya. Sedang keyakinan membimbing manusia; bagaimana seharusnya mereka membangun diri dan masa depan sehingga mereka dapat memelihara diri dan masyarakatnya. Keyakinan akan membimbing kehendak manusia ke arah solusi yang benar, membebaskannya dari monopoli kecenderungan-kecenderungan material serta melepaskan manusia dari kungkungan bakat-bakat personal dan material. Keyakinan akan membimbing manusia ke arah sikap-sikap spiritual yang insani. Keyakinan adalah kekuatan dominan yang mengatur manusia dan kehendaknya, membimbingnya ke arah kebenaran dan moralitas. Pengetahuan di pihak lain ada di bawah pengendalian kehendak. Ia diterapkan pada alam menurut kuasa seseorang. Tetapi tatakrama dalam menerapkannya tidak ada kaitannya sama sekali dengan pengetahuan itu sendiri, melainkan tergantung pada jenis manusia yang memanfaatkannya. Mereka dapat menjarah alam untuk menyejahterakan seluruh umat manusia atau untuk keuntungan segelintir manusia yang berkuasa semata. Secara umum dapat dikatakan bahwa keyakinan akan membentuk manusia dan pada gilirannya manusia membentuk dunia dengan pengetahuan yang mereka miliki. Jadi, baik manusia maupun dunia akan sejahtera jika ilmu pengetahuan dan keyakinan dikawinkan dalam kehidupan manusia.
6. Konsep Ilmu dalam Perspektif Pendidikan Islam
Seperti halnya ulama Syi’ah pada umumnya, Murtadhâ Muthahharî juga sangat mengagungkan rasionalitas. Menurutnya, “Makrifat teologi dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya hanya dapat dicapai dengan akal dan rasionalitas. Kebenaran pengetahuan ilmiah seperti psikologi, biologi, dan ilmu lainnya itu hanya dapat ditetapkan pula dengan metode rasionalitas dan akal (filsafat). Sangat keliru bila dikatakan bahwa pengkajian dan observasi pada alam natural saja membuat kita tak butuh lagi pada jalan-jalan sulit, pelik dan filosofis.”
Jadi, kebenaran makrifat akal telah ditetapkan dalam pembahasan epistemologi. Manusia dengan potensi akalnya mampu menjangkau pengetahuan metafisika dalam bentuk universal.
7. Manusia dalam Pendidikan Islam
a. Pendidik
Mengangkat derajat diri manusia dengan menghilangkan kejahatan dalam dirinya dan mengarahkan mereka kepada ‘Kebenaran’ merupakan tugas penting bagi para Rasul (sebagai pendidik. Pen.). Berdakwah berarti membangunkan manusia untuk melawan dirinya sendiri dari dalam dirinya. Motivasi ini tidak hanya membangunkan mereka yang tertindas, namun seringkali juga membangunkan para penindas terhadap dirinya. Inilah yang disebut Muthahharî dengan kembali kepada hakikat diri manusia, baik melalui tobat maupun penyesalan diri. Memotivasi manusia untuk melawan dirinya sendiri dari keserakahan serta mengarahkan dirinya kepada kebenaran merupakan tugas sulit. Siapapun yang mampu seperti halnya para Rasul dalam tugas ini adalah sangat penting dan berharga.
Muthahharî juga menyumbangkan pikirannya dalam dunia tablig. Beliau menyarankan untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan cara yang baik, sehingga orang-orang merasa simpati kepada agama ini. Rasulullah mengatakan agar menyampaikan hal-hal yang menggembirakan kepada umat dan jangan menyampaikan hal-hal yang membuat umat lari darimu. Jiwa manusia itu pada dasarnya sangat halus dan sangat peka, sedikit saja ditekan, maka jiwa akan mengeluarkan reaksi yang negatif. Karena itu Rasulullah mengatakan, kalau kalian melaksanakan ibadah, maka lakukanlah dengan cara yang akan membuat jiwa Anda semakin bersemangat.
b. Peserta Didik
Dalam dunia pendidikan, Muthahharî menyumbangkan pandangannya dengan bertitik tolak pada hakikat manusia. Menurut Muthahharî, keinginan manusia untuk mendapatkan pendidikan adalah dalam rangka pembentukan masa depan yang didasarkan pada peran yang dimilikinya sebagai manusia. Manusia memiliki semua perlengkapan alami maupun intuitif, yang dimiliki baik oleh tumbuhan maupun binatang. Mereka juga memiliki kemampuan insani yang istimewa, kemampuan yang paling penting, yaitu daya nalar luar biasa, yang merupakan lorong mulus dan lebar menuju pembentukan masa depan yang mereka inginkan. Manusia membawa serta di dalam dirinya suatu peran yang lebih efektif dan luas dibanding makhluk lainnya sehingga secara spontan mereka dapat mewujudkan nasib mereka sendiri. Peran ini dilakukan secara sadar dan melalui kehendak bebasnya. Artinya, manusia dapat menentukan masa depannya atas dasar pengetahuan mereka tentang diri, kehidupan di sekeliling mereka dan berdasarkan intelektualitas serta pemeliharaan diri secara baik.
Keluasan lingkup yang bertujuan pada pembentukan diri ini mencuat dari tiga karakteristik inheren yang ada dalam sifat manusia: (1) Keluasan wawasan dan kesadaran manusia. Manusia mampu mengembangkan cakupan wawasannya menukik ke inti terdalam dari hakikat alam melalui perangkat pengetahuannya, mereka juga mampu mempelajari hukum-hukum dan aturan-aturan alam, sehingga memungkinkan mereka menempatkan alam semesta dan kehidupan manusia pada suatu perangkat yang lebih tinggi. (2) Keluasan wilayah yang dapat dicakup oleh kehendak-kehendak manusia. Manusia memiliki kebutuhan alamiah (fitriah) dan non-alamiah (kebiasaan). (3) Kemampuan inheren untuk membentuk diri, adalah milik eksklusif manusia; tidak ada makhluk lain yang menyandang kemampuan ini. Dengan demikian, hanya manusia sajalah makhluk yang melalui hukum-hukum penciptaan, dikaruniai kemampuan menyusun pedoman bagi dirinya, untuk mencapai masa depan seperti yang mereka kehendaki.
Mengenai kemampuan dan kebiasaannya, manusia adalah makhluk potensial. Artinya, manusia lahir dalam keadaan tidak membawa kualitas dan kemampuan. Manusia memperoleh banyak kemampuan secara berangsur-angsur yang merupakan dimensi kedua disamping dimensi bawaan sejak lahirnya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mendapat dari hukum alam kuas untuk melukis dirinya sesuka hati. Tidak seperti bentuk organ tubuhnya yang sudah mengalami penyempurnaan ketika ia manusia masih berada di rahim ibunya, bentuk organ psikologis seorang manusia –yang dikenal sebagai kemampuannya, kebiasaannya, dan karakter moralnya— sebagian besar mengalami penyempurnaan setelah manusia lahir.
8. Konsep Masyarakat dalam Perspektif Pendidikan Islam
Kehidupan manusia bersifat kemasyarakatan, artinya bahwa secara fitri ia bersifat kemasyarakatan. Di satu pihak, kebutuhan, keuntungan, kepuasan, karya dan kegiatan manusia pada hakikatnya bersifat kemasyarakatan dan sistem kemasyarakatannya akan tetap maujud selama ada pembagian kerja, pembagian keuntungan dan rasa saling membutuhkan dalam suatu perangkat tradisi dan sistem tertentu. Di pihak lain, gagasan-gagasan, ide-ide, sifat serta kebiasaan khas menguasai manusia pada umumnya dan memberi mereka suatu rasa kesatuan. Dengan kata lain, masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang berada di bawah tekanan serangkaian kebutuhan dan di bawah pengaruh seperangkat kepercayaan, ide dan tujuan, tersatukan dan terlebur dalam suatu rangkaian kesatuan kehidupan bersama.
Sebagaimana halnya individu yang dapat menyimpang dari jalan alam dan kadang-kadang bahkan terjadi kemerosotan kemanusiaannya, suatu masyarakatpun dapat menyimpang dari jalan alamiahnya dan mengalami kemerosotan kemasyarakatannya. Keragaman masyarakat sungguh serupa dengan keragaman moral individu, yang betapapun berada di dalam lingkup sifat manusia. Dengan demikian, masyarakat, peradaban, budaya dan akhirnya jiwa kemasyarakatan yang menguasai masyarakat ; meski berbeda watak dan bentuk, pada akhirnya mempunyai suatu watak manusiawi, bukan sifat non-manusiawi.
9. Konsep Alam Semesta dalam Perspektif Pendidikan Islam
Pada umumnya ada tiga konsepsi tentang alam semesta atau identifikasi tentang alam semesta atau dengan kata lain interpretasi manusia tentang alam semesta. Sumber interpretasi ini adalah tiga hal: ilmu pengetahuan, filsafat dan agama. Maka dapat dikatakan bahwa ada tiga macam konsepsi tentang alam semesta: konsepsi ilmiah, konsepsi filosofis dan konsepsi religius.
Dalam agama Islam, konsepsi religius tentang alam semesta mengambil warna filosofis atau argumentatif dan merupakan bagian integral dari agama itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang diangkat oleh agama didasarkan pada pemikiran dan hujjah. Dengan demikian, konsepsi Islam tentang alam semesta bersifat rasional dan filosofis, selain dua nilai konsepsi filosofis yaitu abadi dan komprehensif. Konsepsi religius tentang alam semesta tak seperti konsepsi ilmiah dan filosofis murni, tetapi memiliki satu lagi nilai, yaitu menyucikan prinsip-prinsip konsepsi alam semesta.
Dalam sudut pandang tauhid dan konsepsi Islam tentang alam semesta, alam semesta merupakan ciptaan dan diurus oleh kehendak dan perhatian Allah. Jika Allah sekejap saja tidak memberikan perhatian, maka seluruh alam semesta pasti binasa seketika itu juga. Alam semesta ini diciptakan tidak sia-sia atau bukan untuk bersenda gurau. Dalam penciptaan manusia dan dunia, tesirat banyak keuntungan. Segala yang diciptakan tidak sia-sia. Sistem yang ada pada alam semesta adalah sistem yang paling baik dan paling sempurna. Sistem ini memanifestasikan keadilan dan kebenaran dan didasarkan pada serangkaian sebab akibat. Setiap akibat merupakan konsekuensi logis dari sebab, dan setiap sebab melahirkan akibat yang khusus. Takdir Allah mewujudkan sesuatu melalui sebab khususnya saja, dan serangkaian sebablah yang merupakan takdir Allah untuk sesuatu.
Kehendak Allah selalu bekerja di alam semesta dengan bentuk hukum atau prinsip hukum. Hukum Allah tidak berubah. Bila terjadi perubahan, maka selalu sesuai dengan hukum. Baik dan buruk dalam di alam semesta ini berkaitan dengan perilaku manusia sendiri dan perbuatannya sendiri. Perbuatan baik dan buruk, selain mendapat balasan di akhirat, mendapat reaksi juga di alam semesta ini. Evolusi bertahap merupakan hukum Allah. Alam semesta ini merupakan tempat bagi perkembangan manusia.
Takdir Allah berlaku untuk alam semesta. Manusia ditakdirkan oleh takdir Allah untuk merdeka dan bertanggungjawab. Manusia adalah tuan bagi nasibnya sendiri. Manusia memiliki martabat khususnya. Manusia tepat untuk menjadi khalifah Allah. Dunia dan akhirat hanya merupakan dua tahap yang saling berkaitan seperti menanam benih dan panen, karena yang dipanen adalah yang ditanam.
10. Perempuan dalam Pendidikan Islam
Muthahharî adalah satu dari sedikit ulama Syi’ah yang telah menulis secara fasih dan ekstensif tentang masalah hak-hak perempuan dalam Islam dan satu-satunya orang yang pernah berdebat dengan para pemikir sekuler mengenai masalah tersebut. Seperti halnya para mufasir dari kalangan ulama Syi’ah lainnya, Murtadhâ Muthahharî berpendapat bahwa Manusia (laki-laki dan perempuan. Pen.) diciptakan dari zat yang sama, sehingga tidak ada pihak yang lebih unggul antara satu dengan lainnya. Manusia (Adam dan Hawa), diciptakan dari nafs al-Wāhidah. Nafsin Wāhidah sendiri diartikan dengan roh. Menurutnya, pernyataan bahwa Hawa diciptakan dari tubuh Adam tidak didukung ayat al-Qur’an. Menurut Yuli Yasin, dalam menafsirkan ayat demi ayat dalam al-Qur’an akan ditemukan bahwa Islam jauh dari konsep patriarkis yang dibangun di atas struktur dominasi dan subordinasi. Sebaliknya, Islam menawarkan konsep egaliter. Konsep kesetaraan ini terlihat ketika al-Qur’an menegaskan bahwa laki-laki maupun perempuan diciptakan dari nafs wâhidah, Siapapun yang membaca. Al-Qur’an juga dengan tegas menisbatkan kesalahan memakan buah khuldi kepada laki-laki dan perempuan. Kemudian keduanya sama-sama bertaubat. Selain itu, laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama sebagai agen moral. Kemudian keduanya akan mendapatkan pahala dan siksaan yang sama. Barometer kemuliaan seorang manusia di sisi Allah adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin. Sehingga laki-laki dan perempuan memiliki potensi dan kesempatan yang sama untuk menjadi khalifah dan hamba Allah.
III. Penutup
Murthadâ Muthahharî adalah seorang ulama dan filosof terkemuka Islam kontemporer berkebangsaan Iran, yang mampu memadukan dua sisi pemikiran Islam yang sering dianggap saling bertentangan, yaitu tradisionalisme dan rasionalisme, dalam suatu kemasan yang baik. Dalam sejarah hidupnya, Murthada telah melahirkan banyak konsepsi tentang pendidikan Islam yang telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi dunia pendidikan Islam kontemporer.
Menurut Murthada, Pengetahuan dan keyakinan memainkan berbagai peranan penting dalam mewujudkan masa depan manusia. Pengetahuan menunjukkan jalan untuk mewujudkannya dan memungkinkan manusia membentuk masa depan sesuai dengan kehendaknya. Sedang keyakinan membimbing manusia; bagaimana seharusnya mereka membangun diri dan masa depan sehingga mereka dapat memelihara diri dan masyarakatnya. Keyakinan akan membimbing kehendak manusia ke arah solusi yang benar, membebaskannya dari monopoli kecenderungan-keceenderungan material serta melepaskan manusia dari kungkungan bakat-bakat personal dan material.
Sebagai salah seorang arsitek revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini yang meletus pada tahun 1978 – 1979, jasa Muthahharî sangat dihargai masyarakat Iran. Ia menghembuskan nafas terakhir akibat peluru teroris Furqan sebelum sempat menerapkan konsep-konsep politiknya pada pemerintahan baru, hanya kurang dari tiga bulan menjelang kemenangan Revolusi Islam yang spektakuler itu. Sebagai peringatan atas jasa-jasa beliau, rakyat Iran mempersembahkan kepadanya sebuah mars yang acapkali didengungkan hingga kini, menyusul kepergian jenazahnya ke pemakaman di kota Qum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Balaghah al-Mubin, Kritik Atas Non Argumentatifnya Keberadaan Tuhan, dalam artikel, wisdoms4all.com, dikutip dari Majmu-eh Atsâr, jld. 6, hal. 958 – 961 diakses 31 Maret 2009.
Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi. Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi oleh al-Jili, (Jakarta: Penerbit Paramadian, 1997.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terjemahan The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Bandung: Penerbit Mizan, 2002.
Hasan Asari. Etika Akademis dalam Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2008.
Katimin. Studi Islam dari Pemikiran Yunani Ke Pengalaman Indonesia Kontemporer. Dalam Hasan Asari (ed), Bandung: Cipta Pustaka Media, 2006.
Muthahharî, Murtadhâ. Islam dan Kebahagiaan Manusia, Terjemahan, Bandung: CV Rosda, 1987.
__________________. Manusia Sempurna. Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia, Terjemahan ‘Perfect Man’, Jakarta: Lentera, 1994.
__________________. Masyarakat dan Sejarah, terjemahan Society and History, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
__________________. Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, dalam Haidar Bagir (ed.), Terjemahan Beberapa buku. Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
__________________. Akhlak Suci Nabi yang Ummi, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.
__________________. Manusia dan Alam Semesta. Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, terjemahan “Man and Universe”, `Jakarta: Lentera Basritama, 2002.
__________________, Sirah Sang Nabi, Cara Lain Melihat Sejarah Nabi, Terjemahan “Sire-ye Nabawi”, Jakarta: al-Huda, 2006.
__________________. Quantum Akhlak, Terjemahan “Falsafatul Akhlaq”, Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008.
__________________. Keadilan Ilahi. Asas Pandangan Dunia Islam, Bandung: Penerbit Mizan-ICAS, 2009.
Yamani, May (Ed.). Feminisme dan Islam, Bandung: Penerbit Nuansa, 2000.
Yasin, Yuli. Mencermati Kisah Bilqis dan Bintu Kisra; Upaya Menggali Hukum Kepemimpinan Wanita Dalam Islam, Website Wihdah, 14 September 2008. Diakses 24 Mei 2009.

No comments:

Post a Comment

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...