A.
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, Syi'ah dan
politik seringkali diletakkan sebagai dua kata yang tidak mungkin dipisahkan.
Dibanding dengan paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama'ah), Syi'ah dianggap
lebih politis. Dilihat dari aspek sejarahnya pun, Syi'ah memang lahir karena
faktor politik, yakni menyangkut masalah siapa yang berhak menggantikan
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sepeninggal beliau. Masalah politik (kekuasaan)
dalam Islam inilah yang menjadi sumber "perpecahan" antara Sunni dan
Syi'ah.
Keterkaitan yang
sangat erat antara Syi'ah dan politik, memang dapat dimaklumi. Sayid Muhammad
Husein Jafri mengatakan: "Sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang pada dasarnya
seorang guru keagamaan, namun pada saat yang sama, karena keadaan, juga
sekaligus sebagai penguasa duniawi dan negarawan."[1]
Begitu juga Syi'isme, dalam watak yang dibawanya selalu bersifat religius dan
politik, dan oleh sebab itu, pada tingkat eksistensinya, sulit dibedakan mana
"Syi'ah religius" dan mana "Syi'ah politik."[2]
Di kalangan umat
Syi'ah hampir tidak dikenal pemisahan antara agama dan politik, baik dalam
tataran konseptual maupun praktek politik. Setiap bentuk ritual keagamaan
selalu dikaitkan dengan "ritual politik". Dengan kata lain, hampir
selalu ada dimensi sosio-politik dalam setiap upacara keagamaan. Salah satu
contoh yang paling jelas adalah shalat Jum'at. Di Iran yang bermazhab Syi'ah,
shalat Jum'at sangat "politis". Ayatullah Khomeini pernah menegaskan
bahwa selama gaibnya Imam al-Mahdi, shalat Jum'at tidak wajib, melainkan hanya
sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Alasannya, shalat Jum'at hanya wajib
jika hukum Islam sudah ditegakkan dengan sempurna, dan ini hanya bisa dilakukan
oleh Imam al-Mahdi. Oleh sebab itu, selama berkuasanya Dinasti Pahlevi, tidak
ada shalat Jum'at di Iran. Sebaliknya, bagi umat Islam bermazhab Sunni, shalat
Jum'at tetap wajib bagaimana pun sistem yang berjalan.[3]
Sejauh menyangkut
sistem politik dan model pemerintahan, Syi'ah seringkali dikritik karena
dianggap tidak demokratis. Kritik semacam ini memang dapat dimaklumi, karena
sebagaimana diketahui, secara historis sistem pemerintahan Syi'ah mengacu pada
sistem imamah, yaitu suatu doktrin politik yang menyebutkan bahwa pemerintahan
Islam sepeninggal Nabi SAW adalah hak mutlak ahlul bait (keluarga Nabi
SAW.) yakni Ali bin Abi Thalib dan sebelas keturunannya.[4]
Hal ini oleh banyak pengamat dianggap tidak memberikan peluang bagi pihak lain
untuk mendapat hak yang sama, yaitu hak
untuk dipilih sebagai pemimpin negara.
Dilihat dari sudut
pandang ini, kritik tersebut memang bisa diterima. Namun yang seringkali
dilupakan adalah, bahwa dalam mazhab Syi'ah selama ini terus mengalami
perkembangan-perkembangan yang sangat penting. Sistem imamah sebenarnya
hanyalah doktrin politik yang hanya berlaku semasa para imam (keturunan Ali bin
Abi Thalib) masih hidup. Setelah mereka semuanya wafat, maka mazhab Syi'ah,
terutama setelah Imam Khomeini berhasil menjatuhkan kekuasaan rejim Pahlevi
pada tahun 1979, maka di kalangan Syi'isme dikenal istilah konsep Wilayat
al-Faqih (kekuasaan para faqih), atau ahli hukum Islam. Dengan sistem baru
ini, maka Islam Syi'ah telah mengawali babak baru sistem pemerintahan yang
cukup demokratis. Oleh sebab itu, dapat dimengerti jika pemerintahan Islam di
Iran menggunakan sistem "republik", yaitu Republik Islam Iran.
Dalam sistem Wilayat
al-Faqih, menurut Ayatullah Khomeini (seorang tokoh penggagas konsep
tersebut), menyatakan bahwa negara Islam akan menjamin keadilan sosial,
demokrasi yang sebenarnya dan kemerdekaan yang murni. Islam dan pemerintah
Islam adalah fenomena Ilahi, yang penggunaannya menjamin kebahagiaan di dunia
dan akhirat.[5]
Sebuah sistem
pemerintahan yang mengamalkan hukum Tuhan, yang mendapat pengawasan dari para
ahli hukum agama (faqih), sebagaimana dalam praktek sistem Wilayat
al-Faqih, akan mengungguli semua sistem pemerintahan yang tidak adil di
dunia ini. Sebab dengan sistem pemerintahan seperti ini maka umat Islam akan
terhindar dari kesalahan dalam melaksanakan roda pemerintahan.
Menurut Ayatullah
Khomeini, Islam bukan sekedar agama etika (ethical religion) tetapi di
dalam Islam terkandung seluruh hukum dan prinsip-prinsip yang diperlukan bagi
pemerintahan dan administrasi sosial. Karena itu, pemerintahan Islam yang benar
adalah sebuah pemerintahan konstitusional dengan Qur'an dan Hadis sebagai
undang-undangnya. Kendati tidak ada aturan khusus di dalam Qur'an dan Hadis
bagi ditegakkannya suatu pemerintahan selama kegaiban Imam al-Mahdi, tetapi
tatanan sosial tetap diperlukan bagi pelaksanaan syari'at.[6]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pokok masalah sebagai
berikut, yaitu:
- Bagaimana kedudukan Wilayat al-Faqih dalam sistem pemerintahan Islam Syi'ah Imamiyah?
- Bagaimana fungsi dan bentuk pemerintahan dalam sistem pemerintahan Wilayat al-Faqih?
- Bagaimana tujuan pemerintahan dalam wilayat al-faqih?
- Bagaimana relevansi Wilayat al-Faqih dengan sistem demokrasi modern?
C.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
Penelitian ini
bertujuan yaitu:
1.
Untuk menjelaskan kedudukan Wilayat
al-Faqih dan sistem pemerintahan Islam syi’ah Imamiyah.
2.
Untuk menjelaskan fungsi dan
bentuk pemerintahan dalam Wilayat al-Faqih.
3.
Untuk menjelaskan tujuan
pemerintahan dalam wilayat al-faqih
4.
Untuk mengetahui relevansi
Wilayat al-Faqih dengan sistem demokrasi modern.
Sedangkan dari segi
kegunaan, penelitian ini diharapkan dapat berguna:
1.
Upaya pengembangan pemikiran
politik Islam, khususnya dalam khazanah siyasyah syar’iyah
2.
Sebagai usaha untuk memperoleh
gelar sarjana S-1 dalam bidang Ilmu Hukum Islam di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
D.
Telaah Pustaka
Wacana pemikiran yang berkembang di kalangan masyarakat Syi'ah
seputar politik kewarganegaraan, agaknya telah merangsang minat cukup besar di
kalangan intelektual dan peneliti untuk melakukan kajian dan analisis yang
mendalam terhadap karakteristik dan subtansi dari pemikiran tersebut. beberapa
buku dan makalah yang telah disusun untuk keperluan ini.
Tulisan
cukup menarik adalah ditulis oleh Ahmad Mousawi, berjudul: "Teori
Wilayat al-Faqih: Asal Mula dan Penampilannya Dalam Literatur Hukum
Syi'ah".[7]
Seperti nampak pada judulnya, tulisan Ahmad Mousawi mencoba menelusuri jejak historis lahirnya gagasan Wilayat
al-Faqih dan pemberlakuan dalam mazhab Syi'ah.
Kedua,
adalah buku yang ditulis oleh Jonh L. Esposito dan John O. Voll, berjudul:
"Demokrasi di Negara-negara Muslim".[8]
Buku ini di samping mengkaji perkembangan demokrasi di negara-negara Muslim
seperti Pakistan, Al-Jazair, Sudan, Malaysia, juga membahas perkembangan
demokrasi Iran. Pembahasan demokrasi di Iran mau tidak mau telah
bersentuhan dengan gagasan Wilayat al-Faqih.
Buku lain adalah ditulis oleh Hamid Enayah, berjudul: "Reaksi
Politik Sunni dan Syi'ah".[9]
Buku ini secara spesifik mencoba
melakukan studi perbandingan tentang pemikiran politik antara Sunni san Syi'ah.
Kendatipun tidak secara khusus membahas Wilayat al-Faqih, namun buku ini
relatif detail dalam mengupas pemikiran politik dan hukum ketatanegaraan Syi'ah
modern.
Tulisan
lainnya adalah dari makalah yang tulis oleh M. Riza Sihbudi, berjudul: "Tinjauan
Teoritis dan Praktis Atas Konsep Wilayat al-Faqih".[10]
Makalah ini, meskipun kurang begitu memadai, namun cukup istimewa, karena di
dalam penulisannya menghadirkan sebuah pemikiran yang bukan hanya teoritis
belaka dari gagasan Wilayat al-Faqih, melainkan juga dari sisi
praktisnya.
Meskipun
konsep Wilayat al-Faqih telah banyak dibahas dan dikaji oleh para
intelektual dan peneliti, namun itu bukan berarti telah tertutup bagi peneliti
untuk melakukan kajian. Konsep Wilayat al-Faqih memiliki relevansi
dengan sistem pemerintahan modern, khususnya dengan demokrasi. Dalam konteks
inilah, penyusun tertarik ikut andil di dalamnya.
E.
Kerangka Teoritik
Secara teoritis, bentuk wilayat (kekuasaan) politik dalam
Syi'ah dapat dibagi menjadi tiga periode. Dalam
wilayat bentuk pertama, adalah doktrin keagamaan yang diyakini oleh kaum
Syi'ah bahwa Nabi Muhammad SAW. telah mengangkat Ali sebagai penggantinya
kelak. Pengangkatan ini dikemukakan oleh Nabi di suatu tempat yang bernama
Ghadir Khum, yakni ketika Nabi SAW. bersama kaum Muslimin sedang dalam
perjalanan pulang dari Haji Wada' (Haji Perpisahan). Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 28 Zulhijjah tahun 10 Hijriyyah, 81 hari sebelum wafatnya Nabi SAW. Di
sini Nabi Bersabda:
Berdasarkan
Hadis-hadis di atas, maka kaum Syi'ah meyakini bahwa sepeninggal wafatnya
beliau, maka yang berhak menggantikan kedudukan beliau sebagai pemimpin kaum
Muslimin adalah Ali bin Abi Thalib dan
sebelas keturunannya.
Wilayat
bentuk kedua adalah ketika Imam al-Mahdi sedang dalam keadaan "gaib
kecil". Pada masa ini, kepemimpinan umat Islam dipegang oleh empat orang
wakil, yaitu: Abu Asr Usman, Abu Ja'far Muhammad, Abu Qasim al-Husein, dan Abu
Hasan al-Ali.[12]
Keempat wakil imam ini secara eksplisit ditunjuk oleh Imam al-Mahdi.[13]
Tugas mereka adalah menyampaikan pesan-pesan keagamaan dari Imam al-Mahdi untuk
disampaikan kepada umat Islam.[14]
Dengan kata lain, tugas keempat wakil imam tersebut adalah sebagai perantara
kesinambungan gagasan dan pemikiran antara Imam al-Mahdi dengan umat.
Bentuk
wilayat yang ketiga adalah, ketika Imam al-Mahdi dalam keadaan
"gaib besar", yakni ketika keempat wakil imam tersebut telah wafat,
sampai kedatangan kembali Imam al-Mahdi. Pada masa "kegaiban besar"
inilah kepemimpinan dipegang oleh para faqih, atau yang dikenal dengan istilah Wilayat
al-Faqih.[15]
Dalam pemerintahan
sistem Wilayat al-Faqih, kaum ulama (para faqih) menduduki posisi, baik
sebagai pengawal, penafsir maupun pelaksana hukum-hukum Tuhan. Sedangkan
kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang) sepenuhnya menjadi hak Tuhan.
Dengan demikian, pemerintahan Islam yang didasarkan pada konsep Wilayat
al-Faqih juga bisa disebut "pemerintahan hukum Tuhan atas
manusia".[16]
Jika para imam bertugas membimbing umat setelah berakhirnya "siklus
wahyu", maka para faqih membimbing umat setelah berakhirnya "siklus
imamah", dengan satu perbedaan, jika para imam memiliki atribut
keistimewaan, seperti memiliki sifat ma'shum, sementara para faqih tidak
memilikinya.[17]
Lahirnya gagasal wilayat
al-faqih tersebut menunjukkan betapa pentingnya kedudukan pemerintah bagi
kehidupan umat manusia. Fungsi pemerintahan itu sendiri adalah sebagai
pelaksana hukum Tuhan. Artinya, dengan adanya kekuasaan para faqih, maka
diharapkan hukum-hukum Tuhan tersebut dapat dilaksanakan secara baik dan benar.
Dengan demikian, tujuan utama dari wilayat al-faqih adalah melanjutkan
misi kenabian yang sebelumnya diemban oleh para imam, namun karena para imam
sudah meninggal, maka harus ada sekelompok manusia terpilih yang harus
melanjutkannya, dan kelompok manusia tersebut tiada lain adalah para faqih,
yaitu orang yang ahli dalam bidang hukum Islam.
Praktek pemerintahan
dalam sistem Wilayat al-Faqih, sebagaimana nampak pada pemerintahan
Islam Iran,
dikenal tiga bentuk pemilihan, yaitu: pemilihan presiden, pemilihan majelis
syura, dan pemilihan khubregan (dewan ahli).[18]
Ketiga lembaga ini dipilih oleh rakyat.
Tugas presiden adalah
menjalankan roda-roda pemerintahan, terutama di bidang politik. Majelis Syura
mengajukan perindang-undangan untuk dilaksanakan oleh presiden. Sedangkan
Majelis Khubregan adalah tugas memilih Rahbar (pemimpin revolusi
atau pemimpin tertinggi). Karena posisi Majelis Khubregan sangat
penting, maka hanya orang-orang yang sudah mencapai tingkatan ulama-mujtahid
sajalah yang dapat mencalonkan diri, yakni dengan cara melalui tes tertulis dan
wawancara yang dilakukan oleh Asosiasi Guru Besar Ilmu-ilmu Islam (Jam'iyat-ye
Madarresen-e Hawzeh-ye Ilmiyeh). Sementara untuk jabatan Rahbar
tidak dibatasi oleh waktu, melainkan sejauhmana ia mampu menjaga
kualifikasi-kualifikasi yang dimiliki. Dengan kata lain, jika Rahbar
melanggar beberapa syarat, misalnya harus hidup sederhana, dan kemudian
ternyata ia diketahui hidup mewah, maka Majelis Khubregan dapat
berlangsung mendiskualifikasinya atau memecatnya.[19]
Pada masa pemerintahan Islam Iran sejak tahun 1979, sampai saat ini baru dua
orang yang pernah menduduki jabatan Rahbar, yang pertama dijabat oleh
Ayatullah Khomeini, dan setelah dia wafat jabatan Rahbar jatuh di tangan
anaknya yang bernama Ali Khamenei, hingga saat ini.
Dengan memperhatikan
aplikasi konsep wilayat al-faqih, maka konsep tersebut memiliki
kemiripan dengan konsep demokrasi modern, yaitu dengan ditemukannya sistem
pemilihan dan pemerintahan berdasarkan undang-undang. Namun demikian, yang
membedakan dengan demokrasi modern, bahwa suara rakyat tidak bersifat mutlak,
melainkan dibatasi oleh hukum Tuhan, yakni syari’ah. Atau dengan kata lain,
semua kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga negara harus berdasarkan
kepada hukum Tuhan dan tidak bileh bertentangan dengan hukum Tuhan tersebut.
F. Metode Penelitian
Ada beberapa metode yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Jenis penelitian
Studi
ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu menjadikan
bahan pustaka yang berhubungan dengan gagasan Wilayat al-Faqih sebagai
sumber utama.
2.
Sifat Penelitian
Sifat
penelitian ini adalah deskriptif interpretatif. Penelitian ini akan berusaha
memaparkan bangunan pemikiran politik Syi'ah Imamiyyah secara umum, kemudian
akhirnya akan dideskripsikan kerangka pemikiran dalam konsep Wilayat
al-Faqih dan konsekuensinya dalam aplikasi sistem perundang-undangan
(konstitusi) dalam suatu sistem pemerintahan Wilayat al-Faqih.
3.
Pengumpulan Data
Penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan, karenanya, pengumpulan daya yang
digunakan adalah dengan menelusuri dan me-recover buku-buku atau tulisan-tulisan yang berhubungan
dengan kajian seputar konsep Wilayat al-Faqih dalam pemikiran politik
Syi'ah Imamiyyah. Data primer diambil dari buku-buku yang membahas pemikiran Wilayat
al-Faqih, seperti buku yang ditulis oleh Imam Khomeini, Abdul Aziz
Sachedina dan lain-lain. Sedangkan data sekunder diambil dari beberapa buku
yang secara umum membahas tentang pemikiran politik Islam. Seperti buku yang
ditulis Ibnu Taimiyah, Maududi, dan seterusnya.
4.
Pendekatan
a.
Pendekatan historis.
Pendekatan
ini digunakan untuk menelusuri bagaiman sebenarnya sejarah pertumbuhan dan
perkembangan pemikiran politik Syi'ah Imamiyyah, mulai dari konsep Imamah
sampai munculnya suatu pemikiran Wilayat al-Faqih.
b.
Pendekatan yuridis-normatif
(hukum Islam)
Pendekatan
ini dimaksudkan sebagai pendekatan dengan menggunakan cara pandang fiqh.
Konsep Wilayat al-Faqih akan ditarik dalam kerangka hukum (konstitusi
Islam) menyangkut realisasi kemaslahatan publik dalam pengambilan keputusan
politik, sehingga akan diperoleh jawaban mengenai keabsahan sistem pemerintahan
Islam dalam konsep Wilayat al-Faqih di mata hukum agama dan relevansinya
dengan sistem pemerintahan Islam kontemporer.
5.
Analisis Data
Data
yang ada akan dianalisis dengan menggunakan instrumen analisis induktif.
Induksi merupakan langkah analisis data dengan cara menerangkan data yang
bersifat umum untuk membentuk suatu pandangan yang bersifat khusus.[20]
Dalam konteks ini akan dianalisis kerangka umum pemikiran politik Syi'ah
Imamiyyah, khususnya dalam konsep Wilayat al-Faqih, kemudian
mendeduksikannya dengan pendekatan normatif menjadi suatu kesimpulan yang legitimate
di mata hukum Islam (fiqh).
G. Sistematika Pembahasan
Rancangan
penelitian ini tersusun atas beberapa bab. Bab pertama berisi tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah (yang didalamnya memuat berbagai pokok
masalah sebagai tema penelitian), dan juga kerangka teoritik, serta telaah
pustaka. Kerangka teoritik menjelaskan tentang konsep pokok gagasan Wilayat
al-Faqih yang akan dijadikan dasar utama penyelesaian masalah. Sedangkan
telaah pustaka berisi tentang analisis akan kemungkinan, apakah penelitian ini
sudah dibahas atau belum.
Bab dua membahas
tentang gambaran umum politik Islam. Di sini ada tiga pembahasan, yaitu
prinsip-prinsip politik Islam, kedudukan negara dalam Islam, dan tujuan negara
dalam Islam. Tiga sub pembahasan ini mencoba menerangkan secara ringkas seputar
politik Islam secara umum dalam upaya mencari korelasi dengan tema kajian yang
sedang dilakukan.
Bab tiga membahas
tentang doktrin politik Syi’ah Imamiyah, meliputi: imamah, wilayat, dan ishmah.
Sedangkan perkembangan Wilayat al-Faqih meliputi pengertian Wilayat
al-Faqih dan perkembangannya.
Bab empat berisi analisis terhadap kedudukan,
fungsi, dan tujuan pemerintahan dalam Wilayat al-Faqih serta
relevansinya dengan sistem demokrasi modern. Sedangkan bab lima berisi penutup dan kesimpulan.
[1] Sayyid
Muhammad Husein Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Meth Kierena,
(Jakarta: Pustaka Hidayat, 1989), hlm. 26.
[3] M. Riza
Sihbudi, "Tinjauan
Teoritis dan Praktis atas Konsep Wilayati Faqih," makalah seminar
tentang Sistem Ketatanegaraan dan Politik dalam Prospektif Islam, (Jakarta: 1993), hlm. 2
[4] Mehdi Muzaffari, Kekuasaan Dalam Islam, terj. Abdurrahman Ahmed, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1994), hlm. 40.
[7] Lihat, Ahmad Mousawi, dalam Mumtaz
Ahmad (ed), Masalah-masalah Teori
Politik Islam, terj. Ena Hadi, (Bandung : Mizan, 1993) hlm. 133.
[8] John L
Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, terj.
Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1999).
[9] Lihat, Hamid Enayat, Reaksi
Politik Suni-Syi’ah, terj. Asep Hikmat (Bandung : Pustaka, 1988), hlm. 7.
[10] Lihat, Riza Sihbudi, “Tinjauan
Teoritis”, hlm. 20.
[11] Imam Ahmad
Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirut:
Maktabah al-Islami Dar as-Shawae, tt.),III: 17. Hadis diriwayatkan dari Sa’id
al-Khudzri.
[13] Abdul Azis
A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam: Prespektif Syi'ah, terj. Ilyas
Hasan, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 159.
[18] Jalaluddin
Rahmat, 'Demokrasi Tanpa Pesta: Melihat Pemilu di Iran," Republika, 15
Januari 1993, hlm. 3.
No comments:
Post a Comment