Monday, 10 April 2017

KOSEP WILAYAT AL-FAQIH DALAM SISTEM POLITIK ISLAM SYI’AH IMAMIYAH (Pandangan Imam Kahaini)




A.     Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, Syi'ah dan politik seringkali diletakkan sebagai dua kata yang tidak mungkin dipisahkan. Dibanding dengan paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama'ah), Syi'ah dianggap lebih politis. Dilihat dari aspek sejarahnya pun, Syi'ah memang lahir karena faktor politik, yakni menyangkut masalah siapa yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sepeninggal beliau. Masalah politik (kekuasaan) dalam Islam inilah yang menjadi sumber "perpecahan" antara Sunni dan Syi'ah.
Keterkaitan yang sangat erat antara Syi'ah dan politik, memang dapat dimaklumi. Sayid Muhammad Husein Jafri mengatakan: "Sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang pada dasarnya seorang guru keagamaan, namun pada saat yang sama, karena keadaan, juga sekaligus sebagai penguasa duniawi dan negarawan."[1] Begitu juga Syi'isme, dalam watak yang dibawanya selalu bersifat religius dan politik, dan oleh sebab itu, pada tingkat eksistensinya, sulit dibedakan mana "Syi'ah religius" dan mana "Syi'ah politik."[2]    
Di kalangan umat Syi'ah hampir tidak dikenal pemisahan antara agama dan politik, baik dalam tataran konseptual maupun praktek politik. Setiap bentuk ritual keagamaan selalu dikaitkan dengan "ritual politik". Dengan kata lain, hampir selalu ada dimensi sosio-politik dalam setiap upacara keagamaan. Salah satu contoh yang paling jelas adalah shalat Jum'at. Di Iran yang bermazhab Syi'ah, shalat Jum'at sangat "politis". Ayatullah Khomeini pernah menegaskan bahwa selama gaibnya Imam al-Mahdi, shalat Jum'at tidak wajib, melainkan hanya sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Alasannya, shalat Jum'at hanya wajib jika hukum Islam sudah ditegakkan dengan sempurna, dan ini hanya bisa dilakukan oleh Imam al-Mahdi. Oleh sebab itu, selama berkuasanya Dinasti Pahlevi, tidak ada shalat Jum'at di Iran. Sebaliknya, bagi umat Islam bermazhab Sunni, shalat Jum'at tetap wajib bagaimana pun sistem yang berjalan.[3]
Sejauh menyangkut sistem politik dan model pemerintahan, Syi'ah seringkali dikritik karena dianggap tidak demokratis. Kritik semacam ini memang dapat dimaklumi, karena sebagaimana diketahui, secara historis sistem pemerintahan Syi'ah mengacu pada sistem imamah, yaitu suatu doktrin politik yang menyebutkan bahwa pemerintahan Islam sepeninggal Nabi SAW adalah hak mutlak ahlul bait (keluarga Nabi SAW.) yakni Ali bin Abi Thalib dan sebelas keturunannya.[4] Hal ini oleh banyak pengamat dianggap tidak memberikan peluang bagi pihak lain untuk  mendapat hak yang sama, yaitu hak untuk dipilih sebagai pemimpin negara.
Dilihat dari sudut pandang ini, kritik tersebut memang bisa diterima. Namun yang seringkali dilupakan adalah, bahwa dalam mazhab Syi'ah selama ini terus mengalami perkembangan-perkembangan yang sangat penting. Sistem imamah sebenarnya hanyalah doktrin politik yang hanya berlaku semasa para imam (keturunan Ali bin Abi Thalib) masih hidup. Setelah mereka semuanya wafat, maka mazhab Syi'ah, terutama setelah Imam Khomeini berhasil menjatuhkan kekuasaan rejim Pahlevi pada tahun 1979, maka di kalangan Syi'isme dikenal istilah konsep Wilayat al-Faqih (kekuasaan para faqih), atau ahli hukum Islam. Dengan sistem baru ini, maka Islam Syi'ah telah mengawali babak baru sistem pemerintahan yang cukup demokratis. Oleh sebab itu, dapat dimengerti jika pemerintahan Islam di Iran menggunakan sistem "republik", yaitu Republik Islam Iran.
Dalam sistem Wilayat al-Faqih, menurut Ayatullah Khomeini (seorang tokoh penggagas konsep tersebut), menyatakan bahwa negara Islam akan menjamin keadilan sosial, demokrasi yang sebenarnya dan kemerdekaan yang murni. Islam dan pemerintah Islam adalah fenomena Ilahi, yang penggunaannya menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.[5]
Sebuah sistem pemerintahan yang mengamalkan hukum Tuhan, yang mendapat pengawasan dari para ahli hukum agama (faqih), sebagaimana dalam praktek sistem Wilayat al-Faqih, akan mengungguli semua sistem pemerintahan yang tidak adil di dunia ini. Sebab dengan sistem pemerintahan seperti ini maka umat Islam akan terhindar dari kesalahan dalam melaksanakan roda pemerintahan.
Menurut Ayatullah Khomeini, Islam bukan sekedar agama etika (ethical religion) tetapi di dalam Islam terkandung seluruh hukum dan prinsip-prinsip yang diperlukan bagi pemerintahan dan administrasi sosial. Karena itu, pemerintahan Islam yang benar adalah sebuah pemerintahan konstitusional dengan Qur'an dan Hadis sebagai undang-undangnya. Kendati tidak ada aturan khusus di dalam Qur'an dan Hadis bagi ditegakkannya suatu pemerintahan selama kegaiban Imam al-Mahdi, tetapi tatanan sosial tetap diperlukan bagi pelaksanaan syari'at.[6]     

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pokok masalah sebagai berikut, yaitu:
  1. Bagaimana kedudukan Wilayat al-Faqih dalam sistem pemerintahan Islam Syi'ah Imamiyah?
  2. Bagaimana fungsi dan bentuk pemerintahan dalam sistem pemerintahan Wilayat al-Faqih?
  3. Bagaimana tujuan pemerintahan dalam wilayat al-faqih?
  4. Bagaimana relevansi Wilayat al-Faqih dengan sistem demokrasi modern?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan yaitu:
1.      Untuk menjelaskan kedudukan Wilayat al-Faqih dan sistem pemerintahan Islam syi’ah Imamiyah.
2.      Untuk menjelaskan fungsi dan bentuk pemerintahan dalam Wilayat al-Faqih.
3.      Untuk menjelaskan tujuan pemerintahan dalam wilayat al-faqih
4.      Untuk mengetahui relevansi Wilayat al-Faqih dengan sistem demokrasi modern.
Sedangkan dari segi kegunaan, penelitian ini diharapkan dapat berguna:
1.      Upaya pengembangan pemikiran politik Islam, khususnya dalam khazanah siyasyah syar’iyah
2.      Sebagai usaha untuk memperoleh gelar sarjana S-1 dalam bidang Ilmu Hukum Islam di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

D.    Telaah Pustaka
            Wacana pemikiran yang berkembang di kalangan masyarakat Syi'ah seputar politik kewarganegaraan, agaknya telah merangsang minat cukup besar di kalangan intelektual dan peneliti untuk melakukan kajian dan analisis yang mendalam terhadap karakteristik dan subtansi dari pemikiran tersebut. beberapa buku dan makalah yang telah disusun untuk keperluan ini.
            Tulisan cukup menarik adalah ditulis oleh Ahmad Mousawi, berjudul: "Teori Wilayat al-Faqih: Asal Mula dan Penampilannya Dalam Literatur Hukum Syi'ah".[7] Seperti nampak pada judulnya, tulisan Ahmad Mousawi mencoba  menelusuri jejak historis lahirnya gagasan Wilayat al-Faqih dan pemberlakuan dalam mazhab Syi'ah.
            Kedua, adalah buku yang ditulis oleh Jonh L. Esposito dan John O. Voll, berjudul: "Demokrasi di Negara-negara Muslim".[8] Buku ini di samping mengkaji perkembangan demokrasi di negara-negara Muslim seperti Pakistan, Al-Jazair, Sudan, Malaysia, juga membahas perkembangan demokrasi Iran. Pembahasan demokrasi di Iran mau tidak mau telah bersentuhan dengan gagasan Wilayat al-Faqih.
            Buku lain adalah ditulis oleh Hamid Enayah, berjudul: "Reaksi Politik Sunni dan Syi'ah".[9]  Buku ini secara spesifik mencoba melakukan studi perbandingan tentang pemikiran politik antara Sunni san Syi'ah. Kendatipun tidak secara khusus membahas Wilayat al-Faqih, namun buku ini relatif detail dalam mengupas pemikiran politik dan hukum ketatanegaraan Syi'ah modern.
            Tulisan lainnya adalah dari makalah yang tulis oleh M. Riza Sihbudi, berjudul: "Tinjauan Teoritis dan Praktis Atas Konsep Wilayat al-Faqih".[10] Makalah ini, meskipun kurang begitu memadai, namun cukup istimewa, karena di dalam penulisannya menghadirkan sebuah pemikiran yang bukan hanya teoritis belaka dari gagasan Wilayat al-Faqih, melainkan juga dari sisi praktisnya.
            Meskipun konsep Wilayat al-Faqih telah banyak dibahas dan dikaji oleh para intelektual dan peneliti, namun itu bukan berarti telah tertutup bagi peneliti untuk melakukan kajian. Konsep Wilayat al-Faqih memiliki relevansi dengan sistem pemerintahan modern, khususnya dengan demokrasi. Dalam konteks inilah, penyusun tertarik ikut andil di dalamnya.

E.     Kerangka Teoritik
            Secara teoritis, bentuk wilayat (kekuasaan) politik dalam Syi'ah dapat dibagi menjadi tiga periode.            Dalam wilayat bentuk pertama, adalah doktrin keagamaan yang diyakini oleh kaum Syi'ah bahwa Nabi Muhammad SAW. telah mengangkat Ali sebagai penggantinya kelak. Pengangkatan ini dikemukakan oleh Nabi di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum, yakni ketika Nabi SAW. bersama kaum Muslimin sedang dalam perjalanan pulang dari Haji Wada' (Haji Perpisahan). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Zulhijjah tahun 10 Hijriyyah, 81 hari sebelum wafatnya Nabi SAW. Di sini Nabi Bersabda:












            Berdasarkan Hadis-hadis di atas, maka kaum Syi'ah meyakini bahwa sepeninggal wafatnya beliau, maka yang berhak menggantikan kedudukan beliau sebagai pemimpin kaum Muslimin adalah Ali bin Abi  Thalib dan sebelas keturunannya.
            Wilayat bentuk kedua adalah ketika Imam al-Mahdi sedang dalam keadaan "gaib kecil". Pada masa ini, kepemimpinan umat Islam dipegang oleh empat orang wakil, yaitu: Abu Asr Usman, Abu Ja'far Muhammad, Abu Qasim al-Husein, dan Abu Hasan al-Ali.[12] Keempat wakil imam ini secara eksplisit ditunjuk oleh Imam al-Mahdi.[13] Tugas mereka adalah menyampaikan pesan-pesan keagamaan dari Imam al-Mahdi untuk disampaikan kepada umat Islam.[14] Dengan kata lain, tugas keempat wakil imam tersebut adalah sebagai perantara kesinambungan gagasan dan pemikiran antara Imam al-Mahdi dengan umat.
            Bentuk wilayat yang ketiga adalah, ketika Imam al-Mahdi dalam keadaan "gaib besar", yakni ketika keempat wakil imam tersebut telah wafat, sampai kedatangan kembali Imam al-Mahdi. Pada masa "kegaiban besar" inilah kepemimpinan dipegang oleh para faqih, atau yang dikenal dengan istilah Wilayat al-Faqih.[15] 
Dalam pemerintahan sistem Wilayat al-Faqih, kaum ulama (para faqih) menduduki posisi, baik sebagai pengawal, penafsir maupun pelaksana hukum-hukum Tuhan. Sedangkan kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang) sepenuhnya menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, pemerintahan Islam yang didasarkan pada konsep Wilayat al-Faqih juga bisa disebut "pemerintahan hukum Tuhan atas manusia".[16] Jika para imam bertugas membimbing umat setelah berakhirnya "siklus wahyu", maka para faqih membimbing umat setelah berakhirnya "siklus imamah", dengan satu perbedaan, jika para imam memiliki atribut keistimewaan, seperti memiliki sifat ma'shum, sementara para faqih tidak memilikinya.[17]
Lahirnya gagasal wilayat al-faqih tersebut menunjukkan betapa pentingnya kedudukan pemerintah bagi kehidupan umat manusia. Fungsi pemerintahan itu sendiri adalah sebagai pelaksana hukum Tuhan. Artinya, dengan adanya kekuasaan para faqih, maka diharapkan hukum-hukum Tuhan tersebut dapat dilaksanakan secara baik dan benar. Dengan demikian, tujuan utama dari wilayat al-faqih adalah melanjutkan misi kenabian yang sebelumnya diemban oleh para imam, namun karena para imam sudah meninggal, maka harus ada sekelompok manusia terpilih yang harus melanjutkannya, dan kelompok manusia tersebut tiada lain adalah para faqih, yaitu orang yang ahli dalam bidang hukum Islam.
Praktek pemerintahan dalam sistem Wilayat al-Faqih, sebagaimana nampak pada pemerintahan Islam Iran, dikenal tiga bentuk pemilihan, yaitu: pemilihan presiden, pemilihan majelis syura, dan pemilihan khubregan (dewan ahli).[18] Ketiga lembaga ini dipilih oleh rakyat.
Tugas presiden adalah menjalankan roda-roda pemerintahan, terutama di bidang politik. Majelis Syura mengajukan perindang-undangan untuk dilaksanakan oleh presiden. Sedangkan Majelis Khubregan adalah tugas memilih Rahbar (pemimpin revolusi atau pemimpin tertinggi). Karena posisi Majelis Khubregan sangat penting, maka hanya orang-orang yang sudah mencapai tingkatan ulama-mujtahid sajalah yang dapat mencalonkan diri, yakni dengan cara melalui tes tertulis dan wawancara yang dilakukan oleh Asosiasi Guru Besar Ilmu-ilmu Islam (Jam'iyat-ye Madarresen-e Hawzeh-ye Ilmiyeh). Sementara untuk jabatan Rahbar tidak dibatasi oleh waktu, melainkan sejauhmana ia mampu menjaga kualifikasi-kualifikasi yang dimiliki. Dengan kata lain, jika Rahbar melanggar beberapa syarat, misalnya harus hidup sederhana, dan kemudian ternyata ia diketahui hidup mewah, maka Majelis Khubregan dapat berlangsung mendiskualifikasinya atau memecatnya.[19] Pada masa pemerintahan Islam Iran sejak tahun 1979, sampai saat ini baru dua orang yang pernah menduduki jabatan Rahbar, yang pertama dijabat oleh Ayatullah Khomeini, dan setelah dia wafat jabatan Rahbar jatuh di tangan anaknya yang bernama Ali Khamenei, hingga saat ini.
Dengan memperhatikan aplikasi konsep wilayat al-faqih, maka konsep tersebut memiliki kemiripan dengan konsep demokrasi modern, yaitu dengan ditemukannya sistem pemilihan dan pemerintahan berdasarkan undang-undang. Namun demikian, yang membedakan dengan demokrasi modern, bahwa suara rakyat tidak bersifat mutlak, melainkan dibatasi oleh hukum Tuhan, yakni syari’ah. Atau dengan kata lain, semua kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga negara harus berdasarkan kepada hukum Tuhan dan tidak bileh bertentangan dengan hukum Tuhan tersebut.






F. Metode Penelitian
            Ada beberapa metode yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1.      Jenis penelitian
Studi ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu menjadikan bahan pustaka yang berhubungan dengan gagasan Wilayat al-Faqih sebagai sumber utama.
2.      Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif interpretatif. Penelitian ini akan berusaha memaparkan bangunan pemikiran politik Syi'ah Imamiyyah secara umum, kemudian akhirnya akan dideskripsikan kerangka pemikiran dalam konsep Wilayat al-Faqih dan konsekuensinya dalam aplikasi sistem perundang-undangan (konstitusi) dalam suatu sistem pemerintahan Wilayat al-Faqih.
3.      Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, karenanya, pengumpulan daya yang digunakan adalah dengan menelusuri dan me-recover  buku-buku atau tulisan-tulisan yang berhubungan dengan kajian seputar konsep Wilayat al-Faqih dalam pemikiran politik Syi'ah Imamiyyah. Data primer diambil dari buku-buku yang membahas pemikiran Wilayat al-Faqih, seperti buku yang ditulis oleh Imam Khomeini, Abdul Aziz Sachedina dan lain-lain. Sedangkan data sekunder diambil dari beberapa buku yang secara umum membahas tentang pemikiran politik Islam. Seperti buku yang ditulis Ibnu Taimiyah, Maududi, dan seterusnya.

4.      Pendekatan
a.       Pendekatan historis.
Pendekatan ini digunakan untuk menelusuri bagaiman sebenarnya sejarah pertumbuhan dan perkembangan pemikiran politik Syi'ah Imamiyyah, mulai dari konsep Imamah sampai munculnya suatu pemikiran Wilayat al-Faqih.
b.      Pendekatan yuridis-normatif (hukum Islam)
Pendekatan ini dimaksudkan sebagai pendekatan dengan menggunakan cara pandang fiqh. Konsep Wilayat al-Faqih akan ditarik dalam kerangka hukum (konstitusi Islam) menyangkut realisasi kemaslahatan publik dalam pengambilan keputusan politik, sehingga akan diperoleh jawaban mengenai keabsahan sistem pemerintahan Islam dalam konsep Wilayat al-Faqih di mata hukum agama dan relevansinya dengan sistem pemerintahan Islam kontemporer.
5.      Analisis Data
Data yang ada akan dianalisis dengan menggunakan instrumen analisis induktif. Induksi merupakan langkah analisis data dengan cara menerangkan data yang bersifat umum untuk membentuk suatu pandangan yang bersifat khusus.[20] Dalam konteks ini akan dianalisis kerangka umum pemikiran politik Syi'ah Imamiyyah, khususnya dalam konsep Wilayat al-Faqih, kemudian mendeduksikannya dengan pendekatan normatif menjadi suatu kesimpulan yang legitimate  di mata hukum Islam (fiqh).

G. Sistematika Pembahasan
Rancangan penelitian ini tersusun atas beberapa bab. Bab pertama berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah (yang didalamnya memuat berbagai pokok masalah sebagai tema penelitian), dan juga kerangka teoritik, serta telaah pustaka. Kerangka teoritik menjelaskan tentang konsep pokok gagasan Wilayat al-Faqih yang akan dijadikan dasar utama penyelesaian masalah. Sedangkan telaah pustaka berisi tentang analisis akan kemungkinan, apakah penelitian ini sudah dibahas atau belum.
Bab dua membahas tentang gambaran umum politik Islam. Di sini ada tiga pembahasan, yaitu prinsip-prinsip politik Islam, kedudukan negara dalam Islam, dan tujuan negara dalam Islam. Tiga sub pembahasan ini mencoba menerangkan secara ringkas seputar politik Islam secara umum dalam upaya mencari korelasi dengan tema kajian yang sedang dilakukan.
Bab tiga membahas tentang doktrin politik Syi’ah Imamiyah, meliputi: imamah, wilayat, dan ishmah. Sedangkan perkembangan Wilayat al-Faqih meliputi pengertian Wilayat al-Faqih dan perkembangannya.
Bab empat berisi analisis terhadap kedudukan, fungsi, dan tujuan pemerintahan dalam Wilayat al-Faqih serta relevansinya dengan sistem demokrasi modern. Sedangkan bab lima berisi penutup dan kesimpulan.


[1] Sayyid Muhammad Husein Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Meth Kierena, (Jakarta: Pustaka Hidayat, 1989), hlm. 26.

[2] Ibid, hlm. 27.

[3] M. Riza Sihbudi, "Tinjauan Teoritis dan Praktis atas Konsep Wilayati Faqih," makalah seminar tentang Sistem Ketatanegaraan dan Politik dalam Prospektif Islam, (Jakarta: 1993), hlm. 2

[4] Mehdi Muzaffari, Kekuasaan Dalam Islam, terj. Abdurrahman Ahmed, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), hlm. 40.
[5] M. Riza Sihbudi, “Tinjauan Teoritis”, hlm. 13

[6] Ibid., hlm.18.
[7] Lihat, Ahmad Mousawi, dalam Mumtaz Ahmad (ed),  Masalah-masalah Teori Politik Islam, terj. Ena Hadi, (Bandung : Mizan, 1993)  hlm. 133.

[8] John L Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1999).

[9] Lihat, Hamid Enayat, Reaksi Politik Suni-Syi’ah, terj. Asep Hikmat (Bandung : Pustaka, 1988), hlm. 7.

[10] Lihat, Riza Sihbudi, “Tinjauan Teoritis”,  hlm. 20.
[11] Imam Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirut: Maktabah al-Islami Dar as-Shawae, tt.),III: 17. Hadis diriwayatkan dari Sa’id al-Khudzri.

[12] M. Riza Sihbudi, “Tinjauan Teoritis” ,hlm. 8.

[13] Abdul Azis A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam: Prespektif Syi'ah, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 159.  

[14] Ahmad Mousawi, dalam Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah, hlm. 133.   

[15] Ibid., hlm. 133.
[16] M. Riza Sihbudi, “Tinjauan Teoritis”, hlm. 20.

[17] Hamid Enayat, Reaksi Politik, hlm. 7-8.

[18] Jalaluddin Rahmat, 'Demokrasi Tanpa Pesta: Melihat Pemilu di Iran," Republika, 15 Januari 1993, hlm. 3.
[19] Ibid.

26 Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1984), hlm. 42

No comments:

Post a Comment

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...