ILMU MUNASABAH
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, ilmu-ilmu mengenai kitab suci umat
islam, al-Qur’an al-Karim sudah tidak terlalu diminati oleh kaum pemuda.
Padahal, kaum pemuda saat inilah yang akan menggantikan dan meneruskan estafet
keilmuan pedoman umat islam tersebut. Padahal, dalam keeharian, al-Qur’an
sangatlah berperan aktif dalam setiap aktivitas dalam masyarakat. Secara tidak
sadar, ilmu al-Qur’an telah menjad bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat
muslim, namun sayangnya, kajian mengenai perkembangan ulum al-Qur’an semakin
banyak ditinggalkan.
Al-Qur’an sebagai pegangan hidup umat islam
memegang peran yang sangat besar terhadap perkembangan keilmuan teologi islam
karena al-Qur’an ialah sumber terbesa dan terpercaya dari seluruh disiplin ilmu
pengetahuan baik agama maupun umum. Maka, kajian terhadap al-Qur’an seharusnya
menjadi hal yang sangat menarik dan tak ada habismya.
Salah satu kajian dalam disiplin ilmu ini ialah
“munasabah”. Istilah tersebut mungkin terdengar asing untuk kalangan awam,
ataupun akademisi yang tidak berkecimpung di dunia ulum al-Qur’an. Hal ini
tentulah sangat disayangkan mengingat betapa besarnya peran munasabah dalam
penafsiran al-Qur’an.
Selama ini, kebanyakan orang lebih mengenal
“asbab an-Nuzul” daripada “munasabah”. Padahal, dengan mengetahui sebab-sebab
turunnya saja, para mufassir (ahli tafsir) masih mendapat kesulitan dalam
menemukan tafsiran yang tepat mengenai suatu ayat atau surat dalam al-Qur’an.
Dengan mengetahui munasabah dalam al-Qur’an, seseorang akan lebih mudah
mengetahui maksud dari suatu ayat ataupun surat dalam al-Qur’an.
Hubungan antara ayat ataupun surat dalam
al-Qur’an tentulah tidak disususn secara sembarangan karena setiap penyusunan
dalam al-Qur’an memiliki makna yang saling berkaitan dan sangat membantu dalam
penafsiran al-Qur’an. Bahkan, sebagian mufassir ada yang lebih mempercayai
munasabah dalam al-Qur’an daripada asbab an-nuzul yang belum diketahui betul
kebenarannya.
Maka, diharapkan bahwa para akademisi akan lebih
mengenal dan memahami arti munasabah dalam al-Qur’an sehingga dapat menganalisa
keterkaitan antar ayat, surat, maupun juz dalam al-Qur’an sehingga akan
mempermudah mempelajari al-Qur’an dan mengkaji lebih dalam apa-apa yang terkandung
dalam al-Qur’an secara komprehensif dan ilmiah.
Kami akan menjelaskan “munasabah” lebih rinci
dalam makalah sederhana ini dengan berpatokan pada tiga pokok pembahasan yang
sesuai dengan Rumusan Masalah dalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan Munasabah?
2. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu Munasabah al-Qur’an?
3. Apa pokok bahasan ilmu Munasabah?
4. Apa macam-macam munasabah dalam al-Qur’an?
5. Apa fungsi mempelajari ilmu munasabah?
6. Bagaimana pandangan para ulama’ mengenai munasabah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MUNASABAH
Secara etimologi, munasabah
berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang
berarti musyakalah (keserupaan), dan muqarabah. Lebih
jelas mengenai pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab Al
burhan fi ulumil Qur”an bahwa munasabah merupakan ilmu yag mulia yang menjadi
teka-teki akal fikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai
(kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara
terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait
dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah
sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya,
mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat
yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan
(ta’arudh).
Manna Al-Qathan dalam
mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan munasabah
dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata
yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu surat dengan
surat yang lain. Menurut M Hasbi Ash Shiddieq membatasi pengertian munasabah
kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.
Dalam pengertian istilah,
munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat
Al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia
dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh
akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia illahi,
sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu.
Sedangkan menurut para ulama
:
1. Menurut Manna’
al-Qattan
Manna’ al-Qattan dalam
kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti
muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an
berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi
: Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara
nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih
al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat
terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain;
keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat;
ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan
antara penutup surat dengan awal surat.
Jadi Menurut Manna’ Khalil Qattan :
وجـهُ الإرتـبــاطِ
بـين الجـمـلـةِ والجـمـلـةِ فى الأيـةِ الـواحــدة أوبـين الأيـة والأيــة فـي
الأيــة الـمـتـعــددةِ أو بــينَ الســورة والســـورة.
Artinya :
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara
beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau
antar surat didalam Al-Qur’an”.
2. Menurut Imam al-Zarkasyi
Menurut Imam al-Zarkasyi
kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam
contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata
nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan
semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka
namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai
ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan
lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan
sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan
sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah
“menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi
seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Jadi Menurut Az-Zarkasyi, adalah :
المـناسبة أمر معـقـولٌ
إذاعُــِرِض عـلى الـمـقـول تـلـقّــتـه بــاالـقـبـُول.
Artinya :
“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami,
tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya”.
3. Menurut Ibn Al-Arabi :
إرتـبــاط أ ِيّ
الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـدةِ مـتّـسقــةِ المعـاني
مـنتـظـمـةِ المـبــــاني ,عـلمٌ عـظـيـــمٌ
Artinya :
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an
sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan
keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.
4. Menurut Al-Biqa’i, yaitu :
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba
mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an,
baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat”.
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an,
Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik
korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy),
atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan
ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau
hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena
telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang mufassir dan
tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan
segi keterangannya yang mandiri.
Seperti halnya pengetahuan
tentang Asbabun Nuzul yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan
menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat
dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan
pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama
menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam
pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika
(perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah
Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum
Al-Qur’an walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh
para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik
Redaksi maupun pesan ilahi-Nya.
B.
SEJARAH PERKEMBANGAN MUNASABAH
Menurut Asy Syarahbani, seperti
dikutip Az Zarkasyi dalam Al Burhan, orang pertama yang menampakkan munasabaah
dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Abu Nakar An Naisaburi (wafat tahun 324 H).
Besarnya perhatian An Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan As
Suyuti sebagai berikut : “Setiap kali ia duduk di atas kursi, apabila dibacakan
Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan di samping
ayat inibdan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?” Beliau
mengkritik para ulama Bagdad sebab mereka tidak mengetahui.”
Tindakan An Naisaburu merupakan
kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai
kemampuan untuk menyingkap persesuian, baik antarayat ataupun antarsurat,
terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang
dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau di pandang sebagai Bapak Ilmu
Munasabah.
Tokoh yang mula-mula membicarakan
tentang ilmu ini ialah al-Imam Abu Bakar an-Naisaburi (meninggal 324 H). Selain
beliau terdapat banyak lagi ulama yang membahas. Antara lain:
1. Al-Imam al-Biqa‘ie - Nazm ad-Durar fi
Tanasub al-Ayi was Suwar
2. Al-Imam as-Suyuti – Tanasuq ad-Durar wa
Tanasub as-Suwar
3. Al-Imam al-Farahi al-Hindi –
Dala’il an-Nizam
Selain mereka para ulama seperti az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baidhawi, Abu
Hayyan, al-Alusi, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, Dr. Muhammad Abdullah Darraz dan
lain-lain turut menyentuh tentang ilmu ini dan mempraktikkannya dalam penulisan
kitab-kitab tafsir mereka.
Sungguhpun begitu, ilmu ini bukanlah disepakati
kewujudannya atau diterima oleh semua ulama, mereka yang kontra mewajibkan
syarat yang ketat untuk ilmu ini ialah: ‘Izzudin Bin Abdis Salam, as-Syaukani,
as-Syinqiti dan sebagainya. Mereka ini berhujah bahwa ilmu al-Munasabah ini
adalah takalluf (beban) dan ia tidak dituntut oleh syara’.
C.
POKOK PEMBAHASAN MUNASABAH
Pembahasan Ilmu Munasabah ini terkait dengan
bagian-bagian Ulumul Qur’an, baik ayat-ayat ataupun surah-surahnya yang satu
dengan yang lain persesuaian dan persambungannya. Hubungan dan persambungan
dari bagian-bagian Al-Qur’an itu bermacam-macam. Ada yang berupa hubungan
antara makna umum dan khusus, atau hubunngan pertalian (talazum), seperti
hubungan antara sebab dengan akibatnya, ilat dengan ma’lulnya, atau antara dua
hal yang sama, maupun antara dua hal yang kontradiksi.
Jadi, pembahasan Ilmu Munasabah atau Ilmu
Tanaasubul Ayat Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan dan persambungan,
serta kaitan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain, dan antara
surah Al-Quran yang satu dengan yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian
dan persambungan.
D.
MACAM-MACAM MUNASABAH
Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang
telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah al-Qur’an mencakup
hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surat. Macam-macam hubungan
tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1. Munasabah antara surat dengan surat.
2. Munasabah antara nama surat dengan
kandungan isinya.
3. Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam
satu surat.
5. Munasabah antara ayat dengan isi ayat
itu sendiri.
6. Munasabah antara uraian surat dengan
akhir uraian surat.
7. Munasabah antara akhir surat dengan awal
surat berikutnya.
8. Munasabah antara ayat tentang satu tema.
Dalam upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah
diterangkan di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1. Munasabah Antara Surat dengan Surat
Keserasian hubungan atau mnasabah antar surat ini
pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surat dengan surat
lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surat, kelihatannya
memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan
surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara
umum maupun parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah
munasabah yang dapat ditarik pada tiga surat beruntun, masing-masing Q. S
al-Fatihah (1), Q. S al-Baqarah (2), dan Q. S al-Imran (3).
Satu surah berfungsi menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat
al-Fatihah / 1 : 6 disebutkan :
إهدنا الصراط المستقيم (6)
Artinya : “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 : 6)
Lalu dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah
mengikuti petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :
تلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين( 2)
Artinya : “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk
bagi mereka yang bertakwa” (Q. S al-Baqarah / 2 : 2)
2. Munasabah Antara Nama Surat dengan
Kandungan Isinya
Nama satu surat pada dasarnya bersifat tauqifi
(tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan
bahwa suatu surat terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau
lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir
sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara
nama-nama surat dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat. Kaitan
antara nama surat dengan isi ini dapat di identifikasikan sebagai berikut :
a. Nama diambil dari urgensi isi
serta kedudukan surat. Nama surat al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena
urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b. Nama diambil dari perumpamaan ,
peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian
ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu
sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath,
al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c. Nama sebagai cerminan isi
pokoknya, misalnya al-Ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling
mendalam serta kepasrahan : al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan
sebagainya.
d. Nama diambil dari tema spesifik untuk
dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surat. Contoh
al-Hajj (dengan spesifik tema haji), al-Nisa’ (dengan spesifik tema tentang
tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa’ yang berarti kaum wanita adalah
irrig keharmonisan rumah tangga.
e. Nama diambil dari huruf-huruf
tertentu yang terletak dipermulaan surat, sekaligus untuk menuntut perhatian
khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya :
Thaha, Yasin, Shad, dan Qaf.
3. Munasabah Antara Satu Kalimat
dengan Kalimat Lainnya dalam Satu Ayat
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang
lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan
langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu
kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini
memperlihatkan irri-ciri ta’kid / tasydid (penguat / penegasan) dan tafsir /
i’tiradh (interfretasi /penjelasan dan cirri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid
:
"فإن
لم تفعلوا", diikuti "ولن تفعلوا" (Q.S al-Baqarah / 2:24).
Contoh tafsir:
سبحان الذي اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسد الأقصى
Kemudian diikuti dengan (1:17/الإسراء) الذي باركنا حوله لنريه من اياتنا
Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak
langsung secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘athaf’ dan terkadang
tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a. Susunan kalimat-kalimatnya
berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat
diputus dengan fashilah. Salah satu contoh :
ولإن سألتهم من خلق السماوات والأرض___ليقولون الله___قل الحمد لله (لقمن 25)
b. Munasabah berbentuk istishrad
(penjelasan lebih lanjut). Contoh :
يسألونك عن الأهله___قل هي___ (البقره 189)
c. Munasabah berbentuk nazhir /
matsil (hubungan sebanding) atau mudhaddah / ta’kis (hubungan kontradiksi).
Contoh :
ليس البر ان تولوا وجوهكم قبل المشرك والمغرب___ولكن البر___(البقرة 177)
4. Munasabah Antara Ayat dengan Ayat dalam
Satu Surat
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu
diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu
surat tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun
dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan
informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q. S
al-Baqarah : 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan,
kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir
dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surat al-Mu’minun dimulai dengan :
قد افلح المؤمنون
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat
انه لا يفلح الكافرون
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.
5. Munasabah Antara Penutup Ayat dengan Isi
Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi
menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir (memberikan
sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih (mempertajam relevansi makna) dan
al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai contoh :
فتبارك الله احسن الخالقين
mengukuhkan ثم
خلقنا النطفة علقة bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua
ayat sebelumnya (al-mukminun: 12-14).
6. Munasabah Antara Awal Uraian Surat
dengan Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah
adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat
dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari
demikian juga al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan (respek Tuhan
kepada orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Allah tidak
menaruh respek terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash, al-Sayuthi
melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa
menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surat dengan Nabi Muhammad SAW
yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi
oleh Musa AS dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan memperoleh
kemenangan.
7. Munasabah Antara Penutup Suatu Surat
dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح باسم ربك العظيم
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :
سبح الله ما في السموات والأرض وهو الزيز الحكيم
“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
8. Munasabah Antar Ayat dengan Satu Tema
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini,
sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’i
dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah dalam
membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi
Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah
al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abdullah al-Razi dan Malak al-Ta’wil
oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah
(tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling
bermunasabah, yakni Q. S al-Nisa’ / 4 : 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم.
Dan Q. S al-Mujadalah / 58 : 11 :
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات والله بما تعملون خبير.
Tegaknya qiwamah (konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa’) erat
sekali kaitannya dengan faktor ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi.
Q. S an-Nisa’ menunjuk kata kunci “bimaa fadhdhala” dan “al-ilm”. Antara “bimaa
fadhdhala” dengan “yarfa” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci
nilai lebih yang muncul karena faktor ‘ilm.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk
Nabi (tauqifi). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal
dalam kitab al-Qur’an.
E.
FUNGSI MEMPELAJARI MUNASABAH
Fungsi dari munasabah Al-Qur’an, Di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui persambungan / hubungan antara bagian
al-Qur’an, baik antarakalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang
satu dengan yanglain sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan
terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.Karena
itu, Izzuddin Abd. Salam mengatakan bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang
baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain,
beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang betul-betul berkaitan, baik
di awal ataupun di akhirnya.
2. Mempermudah pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat
enam dari surat Al-Fatihah yang artinya, “Tujukilah kami kepada jalan yang
lurus” disambungdengan ayat tujuh yang artinya, “Yaitu, jalan orang-orang yang
Engkau anugerahinikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan
penjelasan bahwa jalanyang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah
mendapat nikmat dariAllah SWT.
3. Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau.
Tuduhan misalnya munculkarena penempatan surat al-Fatihah pada awal Mushhaf
sehingga surat inilahyang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat
dari surat al-‘Alaqsebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. akan
tetapi, Nabi menetapkan letak al-Fatihah di awal Mushhaf yang kemudian disusul
dengan surat al-Baqarah.Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat
munasabah. Surat al-Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan
pada surat ini termuat doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus.
Surat al-Baqarah diawali dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan
uang lurus. Dengandemikian, surat al-Fatihah merupakan titk bahasan yang akan
diprinci pada surat berikutnya, al-Baqarah. Dengan mengemukakan munasabah
tersebut, ternyatasusunan ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak kacau
melainkan mengandungmakna yang dalam.
4. Dengan ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu
dan tingkat ke-Balaghah-an bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang
satu dengan yang lain,serta persesuaian ayat / surahnya yang satu dari yang
lain, sehingga lebihmenyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu
benar-benar wahyu dariAllah SWT dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW. karena itu,
Abdul Djalaldalam bukunya menambahkan Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan kebanyakan
keindahan-keindahan al-Qur’an terletak pada susunan dan penyesuaiannya,
sedangkan susunan kalimat yang paling bersetaraadalah saling berhubungan antara
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.Sebagaimana yang dinyatakan oleh
ahli ulumul Qur’an diantaranya adalahAbu Bakar bin al-Arabi, Izzuddin bin
Abdus-Salam bahwa ilmu munasabah adalahilmu yang baik ( ilmun hasanun ), ilmu
mulia ( ilmun syarifun ), ilmu yang agung ( ilmun adzimun ). Dari semua julukan
ini menandakan bahwa ilmu munasabah mendapat tempat dan penghargaan yang cukup
tinggi atau peran yang cukupsignifikan dalam memahami dan menafsirkan
al-Qur’an. Sehingga az-Zarkasyi berpendapat bahwa ilmu ini dapat dijadikan
tolak ukur untuk mengetahui kecerdasanseorang mufassir. Kedudukan ilmu ini
semakin terasa kebutuhannya manakalah seseorangmenafsirkan al-Qur’an
menggunakan metode tafsir al-maudhu’I (tematik) atau al-muqaran (komparasi),
karena metode ini memperhatikan keterkaitan ( munasabah)antara ayat yang
berbicara tentang masalah yang sejenis. (A Zarkasyi,1988: 63) Berlainan dengan
ilmu asbabun-nuzul yang digolongkan kedalam ilmu sima’I dan karenanya
maka bersifat naqli (periwayatan), maka ilmu munasabah digolongkan ke dalam
kelompok ilmu-ilmu ijtihadi yang karenanya bersifat penalaran. Sebagai ilmu
ijtihadi ilmu ini sangat berpeluang untuk dikembangkan dalam upayamemperkaya
dan memperkuat penafsiran al-Qur’an, yaitu dengan cara mencarihubungan antara
ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya.
F.
PANDANGAN ULAMA’ MENGENAI MUNASABAH
Dalam menyikapi munasabah, para ulama terbagi
kedalam dua golongan yang pertama: golongan yang tertarik dengan munasabah, dan
yang kedua, Golongan yang tidak tertarik dan menganggap munasabah tidak perlu
di kaji. Golongan pertama diwakili oleh Abu Bakar al-Nisabury, Fakhrudin
al-Razi, Fakhrudin al-Razi seorang ulama yang sangat peduli terhadap munasabah,
baik munasabah antar ayat atau antar surat.
Ia pernah memberikan apresiasi terhadap surat
al-Baqarah dengan mengatakan bahwa “barangsiapa yang menghayati dan merenungkan
bagian-bagian dari susunan dan keindahan urutan surat ini, maka pastiia akan
mengetahui bahwa al-Quran itu merupakan mukjizat lantaran kefasihan
lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-maknanya. Jalaluddin al-Suyuthiy, ibn
al-Arabiy , Izzuddin ibn Abdis Salam, dll.
Golongan ulama yang menolak adanya munasabah
dalam al-Quran diwakili oleh Ma’ruf Dualibi. Ia paling keras menentang
menggunakan munasabah untuk menafsirkan ayat-ayat dan surat-surat dalam
al-Quran. Ia mengatakan, ‘maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan adalah
mencari-cari hubungan di antara ayat-ayat dan surat-surat al-Quran.’ Karena
menurutnya, “al-Quran dalam berbagai ayat yang ditampilkannya hanya
mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabd’a) dan norma umum (kaidah)
saja. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras dan
memaksakan diri mencari korelasi (tanasub) antara ayat-ayat dan surat-surat
yang bersifat tafshil lantaran kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu
makna-maknanya.
Mahmud Syaltut seorang ulama kontemporer, kurang
setuju dengan analisis munasabah dan menolak menjadikan munasabah sebagai
bagian dari ilmu-ilmu al-Quran. Ia tidak setuju dengan mufasir yang
menggunakan munasabah untuk menafsirkan al-Quran.
Di sisi lain terdapat pendapat-pendapat tentang
munasabah: tertib surah dan ayat:
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam al-qur’an adalah
tauQifiy, artinya penetapan dari Rasul, Sementara tertib surah dalam
Al-Qur’an masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Ath-Thibb
bahwa tertib surat Al-Quran di perselisihkan, Dalam hal ini ada tiga golongan:
a. Tertib surat berdasarkan ijtihad para sahabat.
Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr
At-Thibb. Beberapa alasan mereka adalah :
1. Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentang
tertib surah dalam Al-Quran.
2. Sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran
berbeda dengan susunan surah sekarang, hal ini di buktikan dengan munculnya
empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara yang
satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud,
mushaf Ibnu Abbas.
3. Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda
ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada petunjuk resmi dari Rasul.
4. Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi
bahwa Umar memerintahkan agar mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat
ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuthi agar diteliti kembali.
b. Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw
(taukifi).
Di antara ulama yang yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu
Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan
sebagai berikut :
1. Ijma’ sahabat terhadap mushaf Utsman.
Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy,
seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya akan berpegang
teguh pada mushafnya.
2. Hadist tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah As-Syaqafi.
c. Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian
ijtihadiy. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya:
“seluruh surat susunannya berdasarkan tauqif Rasul kecuali surat Baraah
dan Al-Anfal.
Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini, Dan alasan Lainnya:
Ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi
sebagiannya diberikan oleh Nabi. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah
misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan
oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah
Thaha dan Yasin.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian tentang
“Munasabah Al-Qur’an” diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ‘Ilm Munâsabah
adalah ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat
lainnya yang merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup
urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan
yang utuh (holistik). Sedangkan Munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam
menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal.
Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia Ilahi, sekaligus
sanggahan-Nya, bagi mereka yang meragukan keberadaan Al-Qur’an sebagai wahyu.
Secara umum Munasabah
terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Munasabah antara surah dengan surah
2. Munasabah antara nama surah dengan kandunganya
3. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam surah
yang sama.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dan hubungan
antara satu sama lain.
5. Munasabah antara akhir suatu surat dengan awal
surat berikunya.
6. Munasabah antara kalimah dengan kalimah dalam
satu surah.
7. Munasabah awal uraian surat dengan akhirnya
Pengetahuan antara Munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian
antara makna, kejelasan, keterangan, keteraturan susunan kalimatnya dan
keindahan gaya bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ad-Darraz, ‘Abdullah. An-Naba’ Al-‘Azhim,
Dar-‘Urubah, Mesir, 1974.
2.
al-Zarkasyi, Badr al-Din. al Burhany fii ulum
Al-Qur’an, (beirut:Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al_Nasyir, 1972).
3.
Ash Shiddiqy, Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmui
Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang, 1965).
7.
http://www.scribd.com/doc/45969536/Munasabah-Al-Qur-An#scribd
Badr al-Din al-Zarkasyi, al Burhany fii ulum
Al-Qur’an, (beirut:Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al_Nasyir, 1972), hal.
35-36.
http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/2012/09/munasabah-al-quran.html
di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
http://najmadanzahra.blogspot.com/2013/12/makalah-munasabah-ayat-dalam-al-quran.html
di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
No comments:
Post a Comment