Sunday, 23 April 2017

Toleransi ala Gusdur obat Bangsa kita yang sakit.





Sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tak asing dengan gagasan toleransi antarumat beragama. Bagi Indonesia dan dunia, sosok Presiden keempat RI itu nomor wahid bila berbicara soal toleransi.
Merawat toleransi bagi Gus Dur merupakan proses penting untuk menciptakan keharmonisan hubungan antarumat beragama. Toleransi itu tidak hanya untuk menciptakan, tetapi juga merawat. Gus Dur sadar betul bahwa keharmonisan harus dijaga karena akan sulit memulihkan bila sudah retak.

Oleh karena itu, setiap bangsa, termasuk Indonesia, setidaknya perlu memiliki kemampuan pemulihan hubungan.
"Kegagalan dalam hal ini (memulihkan hubungan) dapat mengakibatkan ujung traumatik yang mengerikan: terpecah-belahnya kita sebagai bangsa," tulis Gus Dur dalam judul 'Islam dan Hubungan Antarumat Beragama' dalam harian Kompas, Senin 14 Desember 1992.
Pandangan Gus Dur ini tentu tak lepas dari keberagaman umat beragama di Indonesia. Bahkan, Indonesia juga ragam akan keyakinan, kelompok, ras, dan etnis. Sebuah negeri di mana semua tumbuh dengan tanpa rasa takut. (Baca: Jokowi: Gus Dur Pasti "Geregetan" sama Kelompok yang Memaksakan Kehendak)

Negeri ini tak didirikan atas dasar kelompok tertentu, tetapi keragaman. Akan tetapi, di Indonesia pula, menurut Gus Dur, keharmonisan akan rapuh sendiri bila ada benturan kepentingan. Dia menggambarkan akan muncul sikap saling menyalahkan.

Di titik ini, sebuah bangsa memerlukan kemampuan pemulihan atas keretakan tersebut. Lantas, bagaimana pandangan Gus Dur soal pemulihan keretakan hubungan?
Secara gamblang, Gus Dur dalam tulisannya mengatakan bahwa masalah pokok dalam hal hubungan antarumat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan.
Menurut dia, bangsa akan kukuh bila umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekadar saling menghormati.
"Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain," tulis Gus Dur. (Baca: Gusdurian Kecewa Gus Dur Tak Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional)
Pemikiran Gus Dur tentu bisa menjadi rujukan Indonesia saat ini, di mana kita tengah berada di antara hiruk pikuk toleransi antarumat beragama. Keriuhan yang kerap kali membuat kita kerap melupakan rasa saling memiliki satu sama lain. Bahkan, untuk tenggang rasa pun tampak sulit tercipta.

Tuesday, 18 April 2017

6.024 MUSLIM WARGA AS TELAH BERGABUNG DI MILITER AS






Washington, 29 Syawwal 1437/3 Agustus 2016 (MINA) – Baru-baru ini Amerika Serikat (AS) diramaikan dengan pemberitaan mengenai pidato seorang ayah tentara Muslim yang gugur di medan perang pada 2010.
Khizr Khan adalah ayah dari Kapten Humayun Khan yang meninggal saat menyelamatkan anak buahnya yang dekat dengan mobil berisi bom di Irak. Humayun dianugerahi beberapa penghargaan atas jasanya tersebut.

Humayun bukanlah satu-satunya tentara Muslim di AS. Berdasarkan data, lebih dari 15.000 orang Amerika keturunan Arab menjadi tentara selama Perang Dunia Kedua dan ratusan lainnya bertugas di posisi diplomatik atau sebagai penerjemah.
Sebuah laporan pada 2011 menunjukkan 6.024 Muslim telah bergabung di militer AS sejak peristiwa 9/11, angka itu terus bertambah hingga hari ini, demikian Dailymail melaporkannya.
Salah satu tentara Muslim yang berpangkat tertinggi adalah Marinir Kolonel Douglas Burpee yang menghabiskan lebih dari 20 tahun hidupnya di militer.
Berikut beberapa profil nama para tentara yang dihimpun media:

1.Kapten Mohsin Naqvi
kapten Mohsin meninggal di Afghanistan pada 17 September 2008, tiga bulan setelah menikahi istrinya, Raazia.
Jenazahnya diberi penghormatan terakhir di Pusat Islam Al-Fatemah di Colonie, New York, dengan cara militer dan para Muslim melakukan shalat jenazah.
Setelah itu sang Kapten dimakamkan dengan penghormatan militer di Pemakaman Evergreen untuk militer.

2. Mayor James Michael Ahearn
Mayor James adalah seorang mualaf yang menikah dengan seorang wanita Irak. Pasangan ini dianugerahi seorang bayi perempuan.
Dia belajar bahasa Arab dan memiliki rasa hormat yang mendalam dan pemahaman tentang budaya dan adat istiadat Irak.
Mayor James meninggal pada 5 Juli 2007 akibat cedera yang disebabkan bahan peledak saat berpatroli di Baghdad, Irak.
Pria yang berusia 43 tahun ini adalah seorang perwira urusan sipil ditugaskan untuk Batalion Urusan Sipil ke-96, Brigade Urusan Sipil ke-95 (Airbone) di Fort Bragg, North Carolina.
Berasal dari Concord, California, ia menjabat 18 tahun di militer termasuk tugas selama Perang Teluk di mana ia ditugaskan untuk kru tank.
Dia meninggal mendekati akhir tugas ketiga tugas dalam Perang Irak, dimakamkan dengan cara Islam di Pemakaman Nasional Arlington.

3. Staf Sersan Ayman Taha
Staf Angkatan Darat Sersan Ayman A. Taha hampir menyelesaikan gelar PhD di bidang ekonomi tetapi memutuskan untuk mendaftar menjadi Pasukan Khusus.
Pria berusia 31 tahun ini dikenal baik di kalangannya dan besar kecintaannya untuk mengabdi di militer.
Dia pernah ditugaskan di Batalion 3, Grup Pasukan Khusus 5, Fort Campbell, Kentucky.
Sersan Taha meninggal pada 30 Desember 2005 saat hendak mempersiapkan isi ulang amunisi di Irak.
Dia berasal dari Sudan, namun dibesarkan di Virginia dan lulus dari Universitas California di Berkeley sebelum mendapatkan gelar master di bidang ekonomi.
Taha secara anumerta dianugerahi Medali Bintang Perunggu, Purple Heart, Medali Meritorious Service, Medali Kampanye Irak, Medali Tentara Berperilaku Baik, dan lencana Infantryman Combat.

4. Kopral Kareem Khan
Kopral Kareem Rashad Sultan Khan tengah berusia 20 tahun, mantan Menteri Luar Negeri Colin Powell menyebutnya sebagai contoh bagaimana umat Islam dapat menjadi pahlawan Amerika.
Colin mengatakan Kopral Khan ‘berusia 14 tahun pada saat peristiwa 9/11, dan ia menunggu sampai ia cukup usia untuk melayani negaranya, dan ia memberikan hidupnya’.
Kopral itu meninggal pada 6 Agustus 2007 di Baqouba, Irak, bersama dengan empat orang lainnya ketika rumah yang mereka sedang cek diserang oleh sebuah ledakan.
Pria yang lahir di Neptune, New Jersey itu kerap mengirimkan gambar tengah bermain bola bersama anak-anak Irak kepada keluarganya.

5. Sersan Damon Waters-Bey
Sersan Angkatan Laut Kendall Damon Waters-Bey adalah seorang mualaf dari Baltimore, Maryland yang bertugas di Perang Teluk.
Pria berusia 29 tahun itu meninggal dalam kecelakaan helikopter pada 20 Maret 2003 di dekat Umm Qasr, port Irak dekat perbatasan Kuwait, yang juga merenggut nyawa tiga Marinir lainnya dan delapan Marinir Kerajaan Inggris.
Sersan Damon dimakamkan di Pusat pelayanan antaragama di Baltimore yang dihadiri oleh mantan Gubernur Maryland Robert Ehrlich dan mantan Walikota Baltimore Martin O’Malley.(T/R04/R05)

SUMBER: Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Monday, 17 April 2017

Asal Usul Suku Anak Dalam (Orang Kubu) Provinsi Jambi Pendahuluan





Jambi adalah sebuah propinsi yang ada di Indonesia. Di sana ada sebuah masyarakat yang dikategorikan sebagai terasing, yaitu masyarakat Kubu. Mereka tersebar secara mengelompok di daerah pedalaman (hutan) pada beberapa kabupaten yang tergabung dalam wilayah Provinsi Jambi, yakni: Bungo Tebo, Sarolangun Bangko dan Batanghari. Ini artinya hanya Kotamadya Jambi, Kerinci, dan Tanjungjabung yang “bebas” dari orang Kubu. Mungkin inilah yang kemudian membuat seseorang jika mendengar kata “Kubu” maka yang ada di kepalanya adalah Jambi, walaupun orang Kubu ada juga di daerah Sumatera Selatan; tepatnya di Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas (Melalatoa, 1995).

Pada tahun 2000, tepatnya tanggal 23 Agustus 2000, sebagian wilayahnya diresmikan sebagai Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan, dan dideklamasikan oleh Presiden RI pada tahun 2001 di Jambi. Taman yang merupakan kawasan hutan konservasi ini secara keseluruhan luasnya 60.500 hektar, dengan rincian: 6.758 hektar ada di wilayah kabupaten Sarolangon, 40.669 hektar ada di Kabupaten Batanghari, 12.483 hektar ada di Kabupaten Tebo (ada selisih 590 hektar dengan yang disebutkan dalam SK Menteri Kehutanan). Ini artinya, TNBD yang secara astronomis terletak di antara 1º45’--1º58’ Lintang Selatan dan 102º32’--102º59’ Bujur Selatan ini, secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten yang bersangkutan.

Alamnya berupa dataran rendah, bergelombang (dengan kemiringan 2--40º Celcius) dan perbukitan dengan ketinggian 50--438 meter dari permukaan air laut. Bukit tertinggi adalah Bukit Kuran yang tingginya kurang lebih 438 meter dari permukaan air laut. Perbukitan itu sebagian besar diselimuti oleh hutan sekunder, bekas areal konsesi HPH. Hutan alam yang masih tersisa, selain terdpat di areal cagar biosfer Bukit Dua Belas, juga di bagian utara cagar tersebut yang sebagian besr berstatus sebagai Hutan produksi Terbatas (HPT), dan sebelah timur cagar yang luasnya terbatas. Hutan ini merupakan hutan tropis dataran rendah yang menjadi habitat satwa liar, seperti tapir (tapirus indicus), dan harimau sumatera (panthera tigris sumatera). Jenis tanahnya didominasi oleh podsolik yang tidak terlalu subur dan mudah tererosi.

Wilayah yang disebut sebagai Bukit Dua Belas ini berada di bagian tengah Propinsi Jambi. Ia berada di antara jalur-jalur perhubungan darat, yakni di antara lintas tengah dan timur Sumatera, serta lintas tengah Jambi. Ia juga diapit oleh empat sungai yang cukup besar, yakni Sungai: Batang-hari yang berada di bagian utara, Tabur yang berada di bagian barat, Tembesi yang berada di bagian timur, dan Merangin yang berada di bagian selatan.

Asal Usul
Berdasarkan Kelisanan
Ada berbagai versi tentang asal-usul orang Kubu. Versi pertama mengatakan bahwa mereka berasal dari Sumatera Barat. Konon, mereka adalah orang-orang yang tidak mau dijajah oleh Belanda. Untuk itu, mereka masuk ke hutan dan mengembara sampai akhirnya ada di daerah Jambi.

Versi kedua mengatakan bahwa mereka adalah tentara yang tersesat. Konon, pada zaman Kerajaan Jambi diperintah oleh Putri Selaras Pinang Masak, kerajaan diserang oleh Orang Kayo Hitam yang menguasai Ujung Jabung (Selat Berhala). Serangan itu membuat Jambi kewalahan. Untuk itu, Ratu Jambi yang notabene adalah keturunan Kerajaan Minangkabau mohon bantuan kepada Raja Pagaruyung. Dan, Sang Raja memperkenankan permohonannya dengan mengirimkan pasukan ke Jambi melalui jalan darat (menyusuri hutan belantara). Suatu saat ketika sampai di Bukit Duabelas mereka kehabisan bekal, padahal sudah jauh dari Pagaruyung dan masih jauh dari Jambi. Kemudian, mereka bermusyawarah dan hasilnya kesepakatan untuk tetap tinggal di tempat tersebut, dengan pertimbangan jika kembali ke Pagaruyung disamping malu juga bukan hal yang mustahil akan dihukum oleh rajanya. Sementara itu, jika meneruskan perjalanan ke Jambi disamping masih jauh juga bekal tidak ada lagi. Kemudian, mereka bersumpah untuk tetap tinggal di tempat itu dengan ketentuan siapa saja melanggarnya akan terkutuk dan hidupnya sengsara. Sumpah itu adalah sebagai berikut:

“Ke mudik dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir kena kutuk Rajo Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, kebawah tidak berurat, ditimpo kayu punggur” (Kembali ke Minangkabau dikutuk Raja Minangkabau, ke hilir dikutuk Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan, kumbang, ke bawah tidak berakar, ditimpa kayu lapuk).

Para tentara Pagaruyung yang membawa isteri dan tersest di Bukit Duabelas itulah yang kemudian menurunkan orang Kubu. Terpilihnya bukit ini sangat beralasan karena di sana banyak batu-batu besar yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai benteng. Selain itu, di sana asa sumber air dan sungai-sungai kecil yang menyediakan berbagai jenis ikan yang sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup mereka.

Versi ketiga mengatakan bahwa orang Kubu adalah keturunan Bujang Perantau dan Puteri Buah Gelumpang. Konon, pada zaman dahulu ada seorang perantau laki-laki yang bernama Bujang Perantau. Ketika perantau itu sampai di Bukit Duabelas, suatu malam ia bermimpi. Di dalam mimpinya ia disuruh agar mengambil buah gelumpang, kemudian buah itu dibungkus dengan kain putih. Jika itu dilakukan maka akan timbul keajaiban. Begitu bangun, ia langsung melakukannya. Buah gelumpang yang dibungkus dengan kain putih itu menjelma menjadi seorang puteri yang sangat cantik (Puteri Buah Gelumpang). Setelah besar, Sang Puteri mengajak kawin. Akan tetapi, Bujang Perantau menjawab bahwa tidak ada orang yang mau mengawinkan. Mendengar jawaban itu Sang Puteri menyarankan agar Bujang Perantau menebang pohon bayur kemudian dikupas agar licin dan dilintangkan di sungai. Bujang Perantau disuruhnya meniti dari salah satu ujung batangnya. Sementara, Puteri Buah Gelum-pang meniti dari ujung yang satunya lagi. Jika di tengah titian tersebut mereka bertemu dan beradu kening, maka itu berarti syah menjadi suami-isteri. Dan, ternyata mereka dapat melakukannya dengan baik. Oleh karena itu, mereka syah menjadi suami-isteri. Perkawinan mereka membuahkan 4 orang anak, yaitu Bujang Malangi, Bujang Dewo, Puteri Gading, dan Puteri Selaro Pinang Masak. Anak pertama disebut pangkal waris dan anak terakhir disebut ujung waris.

Alkisah, Bujang Malapangi dan Puteri Selaro Pinang Masak keluar hutan dan mendirikan kampung. Dan, ini berarti mengikuti jejak ayahnya sebagai orang terang. Sementara itu, Bujang Dewo dan Puteri Gading tetap berada di hutan mengikuti jejak ibunya sebagai Orang Rimbo. Perpisahan kedua kelompok saudara ini menimbulkan perselisihan, tetapi masing-masing tetap mengakui sebagai kerabat. Untuk itu, perlu dibedakan antara yang berkampung dengan yang tetap di hutan dengan persumpahan. Sumpah Bujang Malapangi yang ditujukan kepada Bujang Dewo adalah sebagai berikut:

“Yang tidak menyam-but arah perintah diri waris dusun, bilo waris menemui di rimbo dilancungkan dengan maka seperti babi, biawak, tenuk, dan ular sawa; keno kutuk ayak pertuanan, keno sumpah seluruh Jambi ....”. Artinya dari sumpah ini ialah bahwa orang Rimbo itu adalah orang yang tidak mau nurut saudara tua (pangkal waris), bila saudara tua menemuinya di hutan disuguhi babi, benuk, biawak, dan ular (semua binatang ini, orang terang dilarang memakannya); bakal dimarahi seluruh orang Jambi.

Sumpah Bujang Dewo ditujukan kepada Bujang Malapangi yang sudah menjadi orang Terang:
”Di air ditangkap buaya, di darat ditangkap harimau kumbang, d-itimpo kayu punggur, ke atas dikutuk pisau kawi, ke bawah keno masrum kalimah Allah, di arak kabangiyang, ditimpo langit berbelang, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, .... dan orang yang berkampung itu adalah: “berpadang pinang, berpadang kelapo, dislamkan, rapat dilur rencong di dalam, bersuruk budi bertanam akal, berdaging dua, bergantang dua, bercupak dua”. Arti dari sumpah itu ialah bahwa orang yang berkampung itu adalah orang yang celaka ibarat orang yang kemanapun celaka, ke air dimakan buaya, ke darat dimakan harimau, ditimpa kayu punggur, dikutuk oleh senjata keramat, terkena laknat kalimah Allah, selalu diikuti setan, tertimpa langit di sore hari, tidak punya atasan dan tidak punya bawahan; adapun tandanya adalah: menanam pinang, kelapa, dislamkan; baik di luar busuk di dalam, tidak berbudi dan mengakali orang, berpedoman dua/tidak punya pendirian.

Walaupun demikian, ada semacam kesepakatan bahwa Bujang Malapangi dan keturunannya tetap dianggap pangkal waris dan berkedudukan di desa, sedangkan yang tetap tinggal di hutan dapat terus mempertahankan adat nenek moyang (Bujang Perantau dengan Putri Buah Gelumpang).

Versi keempat menceriterakan bahwa, konon pada masa lalu pantai Pulau Sumatera sering didatangi para bajak laut. Mereka biasanya datang bersama isteri dan anaknya. Suatu saat seorang anak lelakinya diketahui berhubungan intim dengan adik perempuannya. Padahal, hubungan seperti itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh mereka. Oleh karena itu, kedua insan yang berbeda jenis kelaminnya itu dikenakan sanksi berupa pengucilan, yaitu ditinggalkan atau dibiarkan hidup berdua di hutan. Bahkan, bukan hanya itu; mereka tidak diperbolehkan untuk memper-lihatkan diri kepada orang lain. Di sanalah mereka akhirnya beranak-pinak kemudian mendirikan suatu perkampungan di daerah Ulu Kepayang, dekat Dusun Penamping yang terletak di pinggir sungai Lalan (sekarang termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Konon, inilah perkampungan pertama mereka.

Tampaknya perlu diketahui juga bahwa orang Kubu banyak yang berpindah ke Tanjung Semiring; tepatnya di tepi sungai Lalan, di hilir Dusun Karang Agung. Di daerah tersebut ada seorang yang bernama Temenggung. Orang itu kemudian diangkat sebagai kepala suku. Oleh karena itu, kepala Orang Kubu disebut sebagai temenggung. Mereka yang berada di daerah ini disebut dengan nama lebar Telapak, karena ciri fisik mereka yaitu dengan bentuk kaki yang lebar terutama kaum laki-lakinya. Dari Tumenggung yang berasal dari Blidah, Dusun Cambai dengan istrinya yang bernama Polot dari marga betung di daerah Banyuasin, Dusun Gemuruh, mereka memperoleh 6 (enam) orang anak laki-laki yang setiap orangnya mempunyai sifat dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat Kubu, yakni: 1) sejaring pandai dalam hal menangkap ikan atau menjala ikan, 2) semincan atau semancam adalah sifat pengancam atau sifat pemberani, 3) semobah atau perobah adalah sifat yang senang berpindah-pindah/pemindah, 4) sebauk adalah ciri orang yang dihormati biasanya orang yang berjanggut atau berdagu ganda, 5) senanding adalah sifat pedagang, 6) semubung adalah sifat pendukung atau bekerjasama atau perantara. Nama-nama tersebut di atas juga dikenakan oleh Temenggung sendiri, dengan harapan seorang Tumenggung akan memiliki atau mempunyai keenak sifat dan keahlian tadi. Sifat yang paling menonjol bagi seorang Temengung adalah senang mengem-bara, berpindah-pindah tempat bersama istri dan anak-anaknya. Seperti halnya perpindahan mereka ke teluk Sendawar di tepi sungai Lalan, antara daerah Bayung Lincir dan Muara Bahar. Di tempat ini pun mereka tidak bertahan lama, mereka berpindah lagi ke daerah Rambahan di tepi sungai ke arah hulu Muara Bahar. Di daerah ini mereka menetap agal lama, sampai mereka beranak-pinak. Setelah itu Temenggung beserta istrinya scara tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali lagi, menurut kepercayaan masyarakat suku Anak Dalam temenggung dan istrinya tidak meninggal dunia. Setelah ditinggal pergi Temenggung dan istrinya, seluruh keturunan mereka mengadakan pertemuan atau mu-syawarah di Muara Bahar. Mereka berkeinginan untuk memisahkan diri, masing-masing ingin mencari tempat tinggal sendiri-sendiri, oleh karena itulah nama Muara Bahar juga dikenal dengan nama Muara Lebaran yakni tempat dimana mereka mulai berpencar, berpisah. Tetapi ada juga masyarakat Kubu yang tetap tinggal di ulu Kepayang, tidak ikut dalam perpindahan tetapi menetap di sekitar dusun penamping (daerah sekitar Muara Bahar).

Mereka sangat jarang menceritakan asal usul, keturunan atau atau silsilah mereka, karena mereka tahu dan merasa bahwa mereka merupakan keturunan dari hasil perbuatan sumbang (incest). Disamping dianggap kurang sopan juga merupakan aib atau noda bagi diri mereka sendiri. Untuk menyebutkan nama orang tuanya pun mereka merasa cemas, karena mereka takut akan mendapatkan malapetaka, mendatangkan pengaruh jahat. Apalagi menyebutkan cikal bakal mereka yang melakukan zinah. Oleh sebab itu mereka lebih senang mengatakan bahwa cikal bakal mereka berasal dari Temenggung dan Polot. Dari keturunan Temenggung dari sebagian pergi ke Nyarang yakni sebuah sungai kecil di sebelah hilir dusun bakung. Sebagian lagi pergi ke arah hulu sungai Bahar, sebagian lain menetap di sepanjang sungai Bayat dan mendirikan perkampungan Kelapa Sebatang. Dinamakan kampung Kelapa Sebatang karena orang kubu disitu telah menanam sebatang pohon kelapa sebagai hiasan. Namun, buah kelapa yang telah dihasilkan dari pohon tersebut, tidak ada yang berani mengambil dan memakannya, karena menurut anggapan mereka sesuatu yang ditanam atau dipelihara apabila dimakan akan membuat mereka jatuh sakit. Suatu ketika ada orang luar yang datang ke perkampungan mereka dan bertanya mengapa buah kelapa tersebut tidak dimanfaatkan atau dimakan, orang Kubu menjawab bahwa buah kelapa bisa membuat orang mabuk dan tidak baik. Oleh orang luar tadi diberitahukan bahwa air kelapa manis rasanya dan dagingnya enak, orang tersebut mengambil sebutir kelapa dan mengupasnya serta meminum air serta memakan daging-nya. Setelah melihat bahwa memang tidak berakibat apa-apa, maka orang-orang Kubu pun baru percaya bahwa air kelapa dan daing kelapa ternyata bermanfaat bagi manusia. Setelah kedatngan orang luar tadi, mereka berpindah tempat lagi dan mendirikan perkampungan baru yang terletak di antara daerah Lubuk Malang dan Laman Petai, mereka menamakan kampung tersebut dengan nama Kelapa Banyak, karena mereka mulai menanami daerah tersebut dengan pohon-pohon kelapa. Demikianlah sampai akhirnya perpindahan masyarakat Kubu sampai ke daerah Jambi sekarang ini.

Versi kelima mengatakan bahwa masyarakat Suku Anak Dalam atau Kubu adalah orang-orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat Sriwijaya mengalami keruntuhan karena serangan kerajaan Cola (India), orang-orang Sriwijaya yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan asing tadi melarikan diri ke hutan, sehingga mereka akhirnya dikenal sebagai orang Kubu seperti saat sekarang ini.

Berdasarkan Literatur
Ras Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu yang paling banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt digolongan atau dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan Deustero Melayu. Salah satu unsur dari sisa ras tersebut yang dapat dijumpai di Indonesia adalah yang disebut dengan nama Weddid atau Weddoid. Nama tersebut berasal dari nama bangsa Wedda yang hidup di Sri langka, dengan ciri-ciri fisik antara lain rambut berombak tegang atau kaku, dan lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia tipe itu terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala, Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu, semua itu masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik antara lain badan agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama, ramping, bundar wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut kejur hitam, dan wajah mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi menonjol dan mata sipit. Golongan pertama dianggap yang mula-mula datang ke nusantara, kemudian didesak atau terdesak oleh golongan yang kedua ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai pengaruh atau campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang Kubu termasuk dalam Paleo-Mongoloid. (ali gufron)

Foto: http://www.bbc.co.uk
Sumber:
Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)

Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...