Tuesday, 28 March 2017

MENGGAGAS EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM



MENGGAGAS EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Ari Wardoyo

BAB I
PENDAHULUAN

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia Barat saat ini memang sulit untuk dipungkiri. Berbagai macam teknologi telah dihasilkan dan mampu digunakan untuk menguasai sebagian besar belahan dunia. Tak pelak barat saat ini menjadi negara adi kuasa yang ditunjang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih dari itu, negara-negara lain menjadikan Barat sebagai referensi dalam bidang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, sebab barat dianggap mampu memberikan harapan bagi kemajuan dunia saat ini dan mendatang.  
Kemajuan Barat tersebut tentu tidak lepas dari usahanya untuk mengembangkan epistemology ilmu pengetahuan. Penguasaan epistemology oleh dunia Barat telah dimanfaatkan untuk mengembangkan sain dan teknologi, baik usaha untuk menghasilkan temuan baru, menyempurnakan atau menyangkal temuan yang telah ada. Tradisi penalaran secara dialogis ini merupakan suatu hal yang sangat wajar dalam dunia ilmiah dan telah hidup dibelahan dunia barat.
Tradisi ilmiah dunia barat telah menjadi hal yang menarik bagi kalangan ilmuan dan peneliti dibelahan dunia Muslim, dan tentu para ilmuan Muslim telah banyak dipengaruhi oleh epistemology barat. Kondisi ini sangat memprihatinkan, sebab banyak dari kalangan ilmuwan Muslim telah menjadi korban imperialisme epistemology barat. Mereka telah menjadi pengagum sekaligus budak-budak yang siap jadi pioneer Barat. Kondisi demikian telah mengakibatkan mandulnya kreativitas pemikiran-pemikiran yang bersifat Islami. Sebab ketergantungan terhadap epistemology barat telah memasung sebagian para ilmuan Muslim. Seolah epistemology dari bagian barat yang telah menjadi cara pemikiran dan penyelidikan yang dominant dewasa ini, dan telah menutupi cara-cara penyelidikan lain.   
Pertanyaan selanjutnya adakah usaha dari para cendekiawan Muslim untuk mengkritisi epistemology barat tersebut? Sebab bangunan keilmuan barat merupakan bangunan keilmuan yang sekuler dan telah diseterilkan dari nilai dan unsur agama. Sejarah barat telah membuktikan bahwa ketika gereja menjadi satu-satunya sumber kebenaran bahkan ada kata yang menjustifikasi bahwa, “tidak ada kebenaran selain dari gereja”. Artinya saat itu standard kebenaran, salah atau benar adalah gereja. Adapun kebenaran yang datang dari luar gereja tentu ditolak oleh pihak gereja.
Dengan berbagai persoalan bangsa yang kita hadapi saat ini, tentu sebuah usaha yang sungguh-sungguh sangat diperlukan. Terlebih dengan terjadinya kerosotan kualitas pendidikan Indonesia saat ini, yang tidak mampu melahirkan sosok manusia yang mampu memperbaiki kerusakan, justru sebaliknya menciptakan kerusakan dimana-mana, korupsi, pembunuhan, pengrusakan alam dan berbagai kasus yang lain. Menandakan bahwa ada hal yang perlu diperbaiki dalam pendidikan kita.
Umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, tentu harus menjadi pelopor utama dalam usaha yang serius yang kaitan dengan masa depan bangsa dan agama. Sebab, sebagai penduduk mayoritas tentu mempunyai beban yang lebih dibanding dengan yang lain. Jika diamati dari sisi keilmuan saat ini, konsep ilmu pengetahuan yang diterapkan umat islam belum mampu menciptakan manusia yang baik, konsep tersebut hanya mnghasilkan lulusan yang sekuler jauh dari pandangan agama. Konsep ilmu pengetahuan yang diterapkan saat ini masih menganut pandangan barat, yang notabene adalah sekuler, tentu ini bertentangan dengan keyakinan kita yang bersandar pada agama. Maka dari itu, perlu pembentukan konsep ilmu pengetahuan dalam perseptif Islam. Untuk melaksanakan semua ini tentu kita memerlukan konsep epistemology pendidikan Islam atau epistemology qur’ani.







BAB II
EPISTEMOLOGI

A.    PENGERTIAN
Epistemologi merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti knowledge atau pengetahuan dan logos yang berarti study of[1]. Secara jelas bahwa epistemology merupakan teori atau filsafat pengetahuan. P. Handono menjelaskan bahwa epistemology atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kotrat dan skop pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[2] Secara lebih jelas Dagobert D. Runes menjelaskan bahwa, epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan[3].
Menurut Musa Asy’ari epistemology adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu[4]. Dari beberapa pengertian ini, epistemology atau teori pengetahuan membahas tentang sumber, struktur dan metode untuk menguji kevaliditasan pernyataan mengenai pengetahuan. Epistemology menjawab pertanyaan bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan?
Pengertian epistemology di atas mengindikasikan bahwa epistemology mempunyai ruang lingkup dan cakupan yang sangat luas, sama luasnya dengan filsafat. M. Arifin merinci ruang lingkup epistemology meliputi hakikat, sumber, dan validitas pengetahuan[5]. Luasnya cakupan epistemology membuat para ahli atau filosof tidak membahas secara keseluruhan, pada umumnya para ahli hanya membahas sebagian kecil dari epistemology, sehingga terkesan bahwa seolah-oleh wilayah pembahasan epistemology hanya pada aspek-aspek tertentu. Lebih jauh lagi, hal ini menimbulkan kesan bahwa seolah-olah cakupan wilayah pembahasan epistemology itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemology sering hanya diidentikan dengan metode pengetahuan[6]. Walaupun pada sisi yang lain, hal ini akan cukup memudahkan bagi pemula yang ingin mempelajari filsafat khususnya pada sub bagian epistemology.
Epistemology sebagai sub system filsafat mempunyai objek pembahasan. Objek epistemology menurut Jujun S. Suriasumantri adalah segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan[7]. Proses untuk memperoleh inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali[8]. 
Sedangkan tujuan dari epistemology menurut Jacques Martain adalah, bukan hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu[9]. Hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemology bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak dapat dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemology adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan[10].  
Tujuan epistemology tidak sekedar untuk mendapatkan ilmu atau kebenaran, akan tetapi lebih dari itu, yaitu memperoleh cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan. Dalam hal ini tujuan epistemology berorientasi pada proses. Seseorang tentu tidak akan puas dengan pengetahuan, lebih dari itu seseorang akan lebih puas jika ia memperoleh alat bagaimana mendapatkan pengetahuan, yaitu proses memperoleh pengetahuan. Sehingga jika seseorang menguasai cara memperoleh pengetahuan, tidak akan tergantung pada orang lain, sebab ia mampu memperoleh pengetahuan dengan alat yang telah dikuasainya itu.
Memperoleh pengetahuan merupakan hal yang tidak mudah, sebab dalam memperoleh ilmu penegetahuan harus mengunakan cara yang sistematis dan ilmiah, serta mampu diuji dengan cara ilmiah pula. Dengan demikian, epistemology memerlukan landasan yang kokoh sebagai tempat berpijak. Landasan epistemology ilmu disebut adalah metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. ‘Hukum ilmiah merupakan hipotesis universal yang dapat diuji kembali atau dibuktikan kembali kebenarannya melalui penemuan empiris serupa’[11]. Dalam perspektif Islam, metodologi merupakan ilmu tentang cara, yaitu cara-cara yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim untuk mengatasi berbagai problem yang sedang mereka hadapi[12].        
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan[13].   
Metode ilmiah merupakan alat untuk menuju kepada ilmu pengetahuan, sebab pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan tergantung dari metode ilmiah. Metode ilmiah menjadi alat ukur dan standar bagi ilmu pengetahuan. Pengetahuan akan disebut sebagai ilmu pengetahuan jika ilmu pengetahuan tersebut bersifat logis. Juga rasio atau akal sebagai instrument utama dalam memperoleh pengetahuan, dengan pemikiran yang sistematis dengan pendekatan rasional, ke-validan sebuah ilmu pengetahuan dapat diketahui. Ilmu pengetahuan juga dapat dibuktikan dengan pengamatan secara empiris dengan mengunakan indra, cara ini lebih menekankan pada instrumental atau mengadakan percobaan-percobaan.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, ilmu pengetahuan dapat diperoleh dengan metode ilmiah, yaitu suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Namun, sebelum memperoleh ilmu pengetahuan, tentu hal harus dilakukan adalah menciptakan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu metodelogi, atau ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu.
        
           






BAB III
METODE PENDEKATAN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Bangunan epistemology yang berkembang saat ini banyak dipengaruhi oleh bangunan pola pikir barat, bahkan dapat dikatakan pola pikir barat telah menjadi paradigma ilmu pengetahuan secara umum pada saat ini. Lebih jauh, ada yang beranggapan bahwa barat merupakan tonggak ilmu pengetahuan. Kondisi demikian ini telah membawa konsekuensi yang sangat jauh, banyak kalangan ilmuan dari negara-negara lain, seperti juga negara-negara yang notabene Islam, sangat bergantung pada barat. Padahal, dari sudut pandang lain, paradigma barat merupakan paradigma sekuler, atau dengan kata lain paradigma keilmuan barat telah seteril dari nilai, baik nilai agama maupun nilai-nilai yang lain, yang berbeda dengan Islam yang penuh dengan nilai religiusitas.
Pendekatan yang digunakan dalam epistemology barat sangat menjauhi nilai agama, maupun pengaruh nilai yang lain, atau dengan kata lain dengan paradigma objektif. Sedangkan, Islam memasukkan nilai agama dalam bangunan keilmuannya, sebab dalam Islam tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama, bahkan keduanya saling menopang. Dari sudut pandang ini saja, umat Islam seharusnya sadar bahwa, ada perbedaan yang sangat jauh dalam konsep ilmu pengetahuan barat dan Islam. Namun, sampai saat ini umat Islam belaum begitu mampu menciptakan paradigma yang lain dari pengaruh barat. Hal ini pun, tidak terlepas dari sejarah panjang umat Islam yang pernah mengalami penjajahan oleh barat.         
Ada beberapa cici-ciri pendekatan dalam epistemology barat.
1.      pendekatan skeptis
2.      pendekatan rasional empiris
3.      pendekatan dikotomik
4.      pendekatn positif-objektif
5.      pendekatan yang menentang dimesi spiritual 
Metode epistemology pendidikan Islam adalah dimaksudkan sebagai metode-metode yang dipakai dalam menggali, menyusun dan mengembangkan pendidikan Islam. Dengan kata lain, adalah metode-metode yang dipakai dalam membangun ilmu pendidikan Islam[14]. Metode epistemology Islam juga merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang pendidikan Islam.   
Menurut Mujamil Qomar (2005:270-362), ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam epistemology pendidikan Islam, yaitu antara lain:  

1.      Metode Rasional
Metode rasionalisme merupakan metede yang menyakini bahwa sebuah konsep kebenaran dapat didapat dengan mengunakan pemikiran murni tanpa adanya pengaruh dari luar. Pada abad 19, paham idealisme hegel merupakan salah satu paham rasionalisme[15], yang telah banyak mendapat pengikut di Inggris.
Rasionalisme menyakini bahwa sejumlah ide atau konsep adalah terlepas dari pengalaman dan bahkan kebenaran itu dapat diketahui hanya dengan nalar[16]. Tentunya dalam pendekatan ini mengunakan penalaran sehingga didapatkan sebuah konsep pemikiran khususnya pendidikan Islam yang ideal dan sesuai dengan nalar syariat. Dalam Islam perintah untuk mengunakan akal secara maksimal sangat dianjurkan, terlebih dengan tujuan untuk  kejayaan Islam. Antara agama dan akal di dalam Islam tidak bertentangan, justru saling melengkapi, agama adalah akal, tidak dianggap beragama orang yang tidak berakal. Metode rasional merupakan metode yang lebih menekanakan pada penjelasan-penjelasan yang logis dari pada aspek yang lain, karena batas kebenaran yang dicapai adalah terbatas pada akal. Demikian pula, ukuran kebenaran yang dicapai adalah ukuran akal[17].
Dengan adanya anjuran untuk mengunakan akal dalam al Qur’an, tentu memberikan peluang yang sangat besar bagi umat Islam untuk mengunakan potensi fikirnya dalam rangka kemajuan Islam. Seiring dengan banyaknya permasalah yang dihadapi pendidikan Islam saat ini metode ini cukup untuk mnghadapi rumusan teori-teori pendidikan yang salah, menurut ukuran logika.
Mekanisme kerja metode rasional dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam dapat dilakukan dengan[18];
a.       Pengembangan objek pembahasan.
b.      Mempertanyakan kembali pemikiran yang telah ada.
c.       Menyangsikan sesuatu yang telah dianggap benar.
d.      Pemberian contoh-contoh.
e.       Evaluasi.
Mekanisme di atas merupakan jalan yang ditempuh untuk memudahkan dalam proses memciptakan sebuah konsep ataupun teori pendidikan yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman saat ini, sehingga walaupun paradigma yang dibangun bertolak dari agama, namun tetap berpijak dibumi.

2.      Metode Intuitif
Metode intuisi pada era modern ini tidak banyak diakui keberadaannya oleh kalangan pemikir modern, sebab sangat susuh sekali untuk dibuktikan. Namun, berbeda dengan barat, sejak awal Islam, metode intuisi merupakan metode yang banyak digunkan oleh kalangan filosof Muslim dalam meraih kebenaran pengetahuan hingga saat ini.
Metode intuitif dalam filsafat disebut sebagai metode apriori. Apriori dalam pembahasan filsafat dimaksudkan sebagai adanya pengetahuan yang diperoleh sebelum didahului oleh pengalaman. Jika metode intuitif bisa disebut metode apriori itu, karena pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan intuitif adalah pengetahuan yang tiba-tiba secara teranugrahkan dan tidak melalui pengalaman sekali[19]. Sehingga kelemahan dari metode ini adalah dengan alat apa yang dipakai untuk menguji kebenaran yang dihasilkan oleh intuisi.
Ada tiga alasan intuisi digunakan sebagai metode dalam memperoleh ilmu pengetahuan;
a.       Metode ini adalah metode yang sangat banyak digunakan oleh manusia. Metode ini dikenal sangat berhasil dan efektif dikalangan orang-orang yang bergelut di dunia spiritual.
b.      Metode intuisi dapat diuji kemampuannya memahami realitas secara objektif. Objekfitas merupakan sesuatu yang diharapkan setelah diberlakukan suatu metode dapat dicapai oleh metode intuisi.
c.       Metode intuisi dapat dipelajari dan dikuasai oleh siapapun dengan usaha-usaha yang intend dan terbimbing.           
Metode intuisi sebenarnya tidak terlepas dari kegiatan berpikir, sebab intuisi dapat hadir ketika seseorang sedang melakukan aktifitas berpikir ataupun perenungan untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahan. Namun, intuisi juga merupakan ilmu khusus yang tidak dapat dimiliki oleh setiap orang, sebab untuk menguasai dan dapat mengunakan intuisi secara baik, diperlukan latihan khusus, mujahadah.

3.      Metode Dialogis
Dalam metode dialogis, tehnis pengunaannya adalah dengan menghadirkan beberapa pendapat dari kalangan ilmuan, yang memiliki argument yang kuat, untuk mencari konsep pendidikan Islam yang lebih baik. Dialog juga dapat dilakukan oleh karena sebab bermacam-macamnya kebutuhan, dengan adanya komunikasi akan menyebabkan sikap terbuka, saling tukar pemikiran, dan kemudian mencari kebenaran pengetahuan. ‘Disini letak dari karakter dialog tersebut. Dialog didasari motif mencari pengetahuan, sehingga yang dijunjung tinggi adalah kebenaran. Konsekuensinya, pendapat atau pandagan dari mana pun datangnya, asalkan kebenarannya telah betul-betul teruji secara rasional ataupun empiric, maka harus diterima secara terbuka…dialog ilmiah tidak mengenal ideologi, politik, dan sebagainya, kecuali hanya kebenaran pengetahuan’[20]. Jelas bahwa kebenaran pengetahuan merupakan tujuan utama dari metode dialogis.        
Di dalam al Qur’an banyak sekali konsep tentang pendidikan yang belum mendapatkan perhatian yang baik dari kalangan intelektual Muslim, konsep itu masih berserekan, belum diproses secara ilmiah menjadi konsep teoritis. Jika konsep-konsep pendidikan dalam al Qur’an telah diproses menjadi sebuah teori-teoiri, maka tentunya Islam mempunyai teori pendidikan yang berdimensi transcendental. Dengan teori tersebut tentu pula dapat di komparasikan dengan teori ilmiah yang berkembang pada saat ini.
Untuk menerapkan metode dialogis, dapat dilakukan dengan beberapa cara:
a.       Menetapkan pasangan dialog, b. Membentuk forum dialog. c. Mempertemukan dua forum dialog. d. Mengundang pakar-pakar pendidikan Islam[21].
Dialog yang dilaksanakan harus dengan memilih tema-tema yang memang sangat dibutuhkan oleh pendidikan Islam. Tema-tema tersebut didialogkan dalam forum yang telah ditentukan. Tentu setelah teori-teori pendidikan telah dihasilkan, teori-teori tersebut perlu untuk diterapkan. Dalam tahap ini merupakan tahap yang berkaitan dengan pengujian kevalidan sebuah teori.   

4.      Metode Komparatif
Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan pendidikan Islam) dengan cara membandingkan teori maupun praktek pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya. Metode ini ditempuh guna memperoleh keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian maupun pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud dari permasalah pendidikan[22]. Keunggulan teori-teori yang dipilih ini sesungguhnya merupakan cara untuk memperbaiki pendidikan yang telah ada.
Metode komparatif merupakan metode untuk membandingkan teori-teori pendidikan, maupun praktek pendidikan, terutama pendidikan Islam. ‘metode komparatif sebagai metode epistemology pendidikan Islam tidak hanya bertujuan yang sifatnya perluasan pengetahuan, tetapi yang lebih penting justru pembentukan dan penyusunan pengetahuan yang baru sama sekali[23]. Dengan metode komparasi ini, teori pendidikan yang dihasilkan akan mempunyai keunggulan yang lebih, sebab dihasilkan dari beberapa teori-teori yang lain.
Metode komparatif sebagai salah satu metode epistemology pendidikan Islam memiliki objek yang beragam untuk diperbandingkan, antara lain:
a.       Perbandingan sesama ayat-ayat al Qur’an tentang pendidikan.
b.      Perbandingan antara ayat-ayat pendidikan dengan hadis-hadis pendidikan.
c.       Perbandingan anatar sesama hadis-hadis pendidikan.
d.      Perbandingan sesama teori pendidikan dari para ahli pndidikan Islam.
e.        Perbandingan teori pendidikan dari para ahli pndidikan Islam dengan non Islam.
f.       Perbandingan antar sesama lembaga pendidikan Islam.
g.      Perbandingan lemabaga pendidikan Islam dengan lembaga non-Islam.
h.      Perbandingan antar sejarah umat Islam dahulu dan sekarang.
Metode komparatif ini diaplikasikan melalui langkah kerja secara bertahap sebagai berikut: pertama, menelusuri permasalahan-permasalahan yang setara tingkat dan jenisnya. Kedua, mempertemukan dua atau lebih permasalah yang setara tersebut. Ketiga, mengungkapkan ciri-ciri dari objek yang sedang dibandingkan secara jelas dan terinci. Keempat, mengungkapkan hasil perbandingan. Kelima, menyusun atau memformulasikan teori-teori yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah[24]. Dari beberapa tahap di atas, secara sistematis akan dihasilkan teori-teori pendidikan yang dibutuhkan umat Islam saat ini, dalam rangka mengatasi kemerosotan pendidikan Islam.  
    
5.      Metode Kritik
Metode kritik disini dimaksudkan sebagai usaha menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai pemecahannya[25]. Metode kritik merupakan metode yang dapat digunakan untuk menguji kevalidan suatu konsep atau teori. Proses mempertanyakan kembali suatu teori, hanyalah sarana untuk melihat kelemahan dari teori tersebut kemudian diambil suatu keputusan sebagai solusinya.
Adapun pelaksanaan metode kritik ini menurut Qomar Mujamil (2005:358) adalah melalui tahapan-tahapan, yaitu:
a.       Mencari objek kritik (bisa teori maupun praktek pendidikan)
b.      Usaha merelevansikan objek kritik pedoman atau pijakan.
c.       Usaha-usaha menemukan kesalahan-kesalahan.
d.      Usaha mencari alternative pemecahan.
e.       Usaha menawarkan teori baru sebagai alternative pemecahan dan menguji teori alternative pemecahan itu.
Metode kritik ini, banyak digunakan oleh cendekiawan Muslim modern, baik dalam pemahaman keagamaan maupun dalam hal khusus seperti haknya pendidikan. Dengan metode kritik segala sesuatu dapatdipertanykan kembali, akan tetapi ujuan dari kritik bukan hanya itu, lebih jauh untuk mendapatkan sebuah konsep yang lebih baik.   






BAB IV
PENUTUP

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, pada saat ini umat Islam sangat membutuhkan sebuah konsep metode dalam epistemology keilmuan, khususnya metode pendekatan epistemology pendidikan Islam. Hal ini ditujukan agar umat Islam mempunyai konsep keilmuan yang orisinil, dan merupakan konsep alternative yang dapat ditawarkan sebagai solusi atas kemerosotan umat Islam pada saat ini.
Epistemologi merupakan sebuah alat yang dapat digunakan untuk menghasilkan kebenaran ilmu, sehingga sebuah alat perlu didesain sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan praduk yang benar-benar diharapkan. Epistemology perlu mendapat perhatian yang lebih, sebab epistemology dalam Islam mempunyai kedudukan yang khusus, sebab dapat mempengaruhi pola pikir umat, ini artinya dapat mempengarhi pula cara beragama pada umat.
Epistemology Islam harus dibangun yang sesuai dengan al Qur’an dan sunah, sebab dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan lmu pengetahuan. Kondisi ini memungkinkan umat Islam terjauh dari paradigma sekuler. Walaupun demikian, umat islam harus tetap melihat pengalaman Barat yang selangkah lebih maju dari Islam.              











DAFTAR PUSTAKA

Peter A. Angeles, Dictionary of philosophy, (New York, Barnes & Noble Books, 1981).
Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006), 
P. Handono Hadi, Epistemology; Filsafat pengetahuan, (Yogyakarta, Kanisius, 1994).
Dagobert D. Runes, Dictionary of philosophy, (New Jersey, Litel Field Adam & CO, 1963).
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta, Erlangga, 2005).
Musa Asy’ari, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam berfikir, Cet.III, (Yogyakarta, LESFI, 2002).
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 1991).
Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat Ilmu, Sebuah Pengantar Redaksi, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta, Gramedia, 1989).
Jacques Maritain, The Degrees of Knowledge, transl, By Gerold B. Phelan, (New York Scribner, 1959).
Milton D Hunnex, Peta Filsafat; Pendekatan Kronologis & Tematis, (Bandung, Teraju, 2004).
Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006).
Muhammad Taqi Mishbah az Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2003).


[1] Peter A. Angeles, Dictionary of philosophy, (New York, Barnes & Noble Books, 1981), hlm.78. Via Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006),  hlm.30 
[2] P. Handono Hadi, Epistemology; Filsafat pengetahuan, (Yogyakarta, Kanisius, 1994), hlm.5 
[3] Dagobert D. Runes, Dictionary of philosophy, (New Jersey, Litel Field Adam & CO, 1963), hlm.49, Via Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta, Erlangga, 2005), hlm.4
[4] Musa Asy’ari, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam berfikir, Cet.III, (Yogyakarta, LESFI, 2002), hlm.63
[5] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 1991), hlm.6, Via Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, hlm.4
[6] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, hlm.6
[7] Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat Ilmu, Sebuah Pengantar Redaksi, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta, Gramedia, 1989), hlm.6, Via Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, hlm.8
[8] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, hlm.8
[9] Jacques Maritain, The Degrees of Knowledge, transl, By Gerold B. Phelan, (New York Scribner, 1959), hlm.73, Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, hlm.8
[10] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, hlm.8
[11] Milton D Hunnex, Peta Filsafat; Pendekatan Kronologis & Tematis, (Bandung, Teraju, 2004), hlm.12  
[12] Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006),  hlm.24
[13] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, hlm.11
[14] Ibid, hlm.271
[15] Muhammad Taqi Mishbah az Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2003), hlm.20
[16] Milton D Hunnex, Peta Filsafat; Pendekatan Kronologis & Tematis, hlm.8
[17] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, hlm.272
[18] Ibid, hlm.291
[19] Ibid, hlm.296
[20] Ibid, hlm.330
[21] Ibid, hlm.337
[22] Ibid, hlm.342
[23] Ibid, hlm.342-343
[24] Ibid, hlm.348-349
[25] Ibid, hlm.350

No comments:

Post a Comment

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...