MENGGAGAS EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Ari Wardoyo
BAB I
PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia Barat saat
ini memang sulit untuk dipungkiri. Berbagai macam teknologi telah dihasilkan
dan mampu digunakan untuk menguasai sebagian besar belahan dunia. Tak pelak
barat saat ini menjadi negara adi kuasa yang ditunjang dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Lebih dari itu, negara-negara lain menjadikan Barat
sebagai referensi dalam bidang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut,
sebab barat dianggap mampu memberikan harapan bagi kemajuan dunia saat ini dan
mendatang.
Kemajuan Barat tersebut tentu tidak lepas dari usahanya
untuk mengembangkan epistemology ilmu pengetahuan. Penguasaan epistemology oleh
dunia Barat telah dimanfaatkan untuk mengembangkan sain dan teknologi, baik usaha
untuk menghasilkan temuan baru, menyempurnakan atau menyangkal temuan yang
telah ada. Tradisi penalaran secara dialogis ini merupakan suatu hal yang
sangat wajar dalam dunia ilmiah dan telah hidup dibelahan dunia barat.
Tradisi ilmiah dunia barat telah menjadi hal yang
menarik bagi kalangan ilmuan dan peneliti dibelahan dunia Muslim, dan tentu
para ilmuan Muslim telah banyak dipengaruhi oleh epistemology barat. Kondisi ini
sangat memprihatinkan, sebab banyak dari kalangan ilmuwan Muslim telah menjadi
korban imperialisme epistemology barat. Mereka telah menjadi pengagum sekaligus
budak-budak yang siap jadi pioneer Barat. Kondisi demikian telah mengakibatkan
mandulnya kreativitas pemikiran-pemikiran yang bersifat Islami. Sebab
ketergantungan terhadap epistemology barat telah memasung sebagian para ilmuan Muslim.
Seolah epistemology dari bagian barat yang telah menjadi cara pemikiran dan
penyelidikan yang dominant dewasa ini, dan telah menutupi cara-cara
penyelidikan lain.
Pertanyaan selanjutnya adakah usaha dari para
cendekiawan Muslim untuk mengkritisi epistemology barat tersebut? Sebab bangunan
keilmuan barat merupakan bangunan keilmuan yang sekuler dan telah diseterilkan
dari nilai dan unsur agama. Sejarah barat telah membuktikan bahwa ketika gereja
menjadi satu-satunya sumber kebenaran bahkan ada kata yang menjustifikasi
bahwa, “tidak ada kebenaran selain dari gereja”. Artinya saat itu standard
kebenaran, salah atau benar adalah gereja. Adapun kebenaran yang datang dari
luar gereja tentu ditolak oleh pihak gereja.
Dengan berbagai persoalan bangsa yang kita hadapi saat
ini, tentu sebuah usaha yang sungguh-sungguh sangat diperlukan. Terlebih dengan
terjadinya kerosotan kualitas pendidikan Indonesia saat ini, yang tidak mampu
melahirkan sosok manusia yang mampu memperbaiki kerusakan, justru sebaliknya
menciptakan kerusakan dimana-mana, korupsi, pembunuhan, pengrusakan alam dan
berbagai kasus yang lain. Menandakan bahwa ada hal yang perlu diperbaiki dalam
pendidikan kita.
Umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini,
tentu harus menjadi pelopor utama dalam usaha yang serius yang kaitan dengan
masa depan bangsa dan agama. Sebab, sebagai penduduk mayoritas tentu mempunyai
beban yang lebih dibanding dengan yang lain. Jika diamati dari sisi keilmuan
saat ini, konsep ilmu pengetahuan yang diterapkan umat islam belum mampu
menciptakan manusia yang baik, konsep tersebut hanya mnghasilkan lulusan yang
sekuler jauh dari pandangan agama. Konsep ilmu pengetahuan yang diterapkan saat
ini masih menganut pandangan barat, yang notabene adalah sekuler, tentu ini bertentangan
dengan keyakinan kita yang bersandar pada agama. Maka dari itu, perlu
pembentukan konsep ilmu pengetahuan dalam perseptif Islam. Untuk melaksanakan
semua ini tentu kita memerlukan konsep epistemology pendidikan Islam atau
epistemology qur’ani.
BAB II
EPISTEMOLOGI
A.
PENGERTIAN
Epistemologi merupakan kata yang
berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti knowledge atau
pengetahuan dan logos yang berarti study of[1]. Secara
jelas bahwa epistemology merupakan teori atau filsafat pengetahuan. P. Handono
menjelaskan bahwa epistemology atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat
yang mempelajari dan mencoba menentukan kotrat dan skop pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki.[2] Secara
lebih jelas Dagobert D. Runes menjelaskan bahwa, epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas
pengetahuan[3].
Menurut Musa Asy’ari epistemology
adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu
sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk
menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu[4]. Dari beberapa
pengertian ini, epistemology atau teori pengetahuan membahas tentang sumber,
struktur dan metode untuk menguji kevaliditasan pernyataan mengenai
pengetahuan. Epistemology menjawab pertanyaan bagaimana memperoleh ilmu
pengetahuan?
Pengertian epistemology di atas
mengindikasikan bahwa epistemology mempunyai ruang lingkup dan cakupan yang
sangat luas, sama luasnya dengan filsafat. M. Arifin merinci ruang lingkup
epistemology meliputi hakikat, sumber, dan validitas pengetahuan[5]. Luasnya
cakupan epistemology membuat para ahli atau filosof tidak membahas secara
keseluruhan, pada umumnya para ahli hanya membahas sebagian kecil dari
epistemology, sehingga terkesan bahwa seolah-oleh wilayah pembahasan
epistemology hanya pada aspek-aspek tertentu. Lebih jauh lagi, hal ini
menimbulkan kesan bahwa seolah-olah cakupan wilayah pembahasan epistemology itu
hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemology sering
hanya diidentikan dengan metode pengetahuan[6]. Walaupun
pada sisi yang lain, hal ini akan cukup memudahkan bagi pemula yang ingin
mempelajari filsafat khususnya pada sub bagian epistemology.
Epistemology sebagai sub system
filsafat mempunyai objek pembahasan. Objek epistemology menurut Jujun S.
Suriasumantri adalah segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan[7]. Proses
untuk memperoleh inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus
berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu
tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu
sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa tujuan, maka sasaran
menjadi tidak terarah sama sekali[8].
Sedangkan tujuan dari epistemology
menurut Jacques Martain adalah, bukan hal yang utama untuk menjawab pertanyaan,
apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan
saya dapat tahu[9].
Hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemology bukan untuk memperoleh
pengetahuan kendatipun keadaan ini tak dapat dihindari, akan tetapi yang
menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemology adalah lebih penting dari itu,
yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan[10].
Tujuan epistemology tidak sekedar
untuk mendapatkan ilmu atau kebenaran, akan tetapi lebih dari itu, yaitu
memperoleh cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan. Dalam hal ini tujuan
epistemology berorientasi pada proses. Seseorang tentu tidak akan puas dengan
pengetahuan, lebih dari itu seseorang akan lebih puas jika ia memperoleh alat
bagaimana mendapatkan pengetahuan, yaitu proses memperoleh pengetahuan.
Sehingga jika seseorang menguasai cara memperoleh pengetahuan, tidak akan
tergantung pada orang lain, sebab ia mampu memperoleh pengetahuan dengan alat
yang telah dikuasainya itu.
Memperoleh pengetahuan merupakan hal
yang tidak mudah, sebab dalam memperoleh ilmu penegetahuan harus mengunakan
cara yang sistematis dan ilmiah, serta mampu diuji dengan cara ilmiah pula.
Dengan demikian, epistemology memerlukan landasan yang kokoh sebagai tempat
berpijak. Landasan epistemology ilmu disebut adalah metode ilmiah, yaitu cara
yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. ‘Hukum ilmiah
merupakan hipotesis universal yang dapat diuji kembali atau dibuktikan kembali
kebenarannya melalui penemuan empiris serupa’[11]. Dalam
perspektif Islam, metodologi merupakan ilmu tentang cara, yaitu cara-cara yang
dikembangkan oleh para pemikir Muslim untuk mengatasi berbagai problem yang
sedang mereka hadapi[12].
Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu pengetahuan
merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua
pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode
ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak tidaknya
pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam
bangunan ilmu pengetahuan[13].
Metode ilmiah merupakan alat untuk
menuju kepada ilmu pengetahuan, sebab pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan
tergantung dari metode ilmiah. Metode ilmiah menjadi alat ukur dan standar bagi
ilmu pengetahuan. Pengetahuan akan disebut sebagai ilmu pengetahuan jika ilmu
pengetahuan tersebut bersifat logis. Juga rasio atau akal sebagai instrument
utama dalam memperoleh pengetahuan, dengan pemikiran yang sistematis dengan
pendekatan rasional, ke-validan sebuah ilmu pengetahuan dapat diketahui. Ilmu
pengetahuan juga dapat dibuktikan dengan pengamatan secara empiris dengan
mengunakan indra, cara ini lebih menekankan pada instrumental atau mengadakan
percobaan-percobaan.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa, ilmu pengetahuan dapat diperoleh dengan metode ilmiah, yaitu suatu
prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang
sistematis. Namun, sebelum memperoleh ilmu pengetahuan, tentu hal harus
dilakukan adalah menciptakan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu
metodelogi, atau ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau
cara-cara mengetahui sesuatu.
BAB III
METODE PENDEKATAN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Bangunan epistemology yang berkembang saat ini banyak
dipengaruhi oleh bangunan pola pikir barat, bahkan dapat dikatakan pola pikir
barat telah menjadi paradigma ilmu pengetahuan secara umum pada saat ini. Lebih
jauh, ada yang beranggapan bahwa barat merupakan tonggak ilmu pengetahuan.
Kondisi demikian ini telah membawa konsekuensi yang sangat jauh, banyak kalangan
ilmuan dari negara-negara lain, seperti juga negara-negara yang notabene Islam,
sangat bergantung pada barat. Padahal, dari sudut pandang lain, paradigma barat
merupakan paradigma sekuler, atau dengan kata lain paradigma keilmuan barat
telah seteril dari nilai, baik nilai agama maupun nilai-nilai yang lain, yang
berbeda dengan Islam yang penuh dengan nilai religiusitas.
Pendekatan yang digunakan dalam epistemology barat
sangat menjauhi nilai agama, maupun pengaruh nilai yang lain, atau dengan kata
lain dengan paradigma objektif. Sedangkan, Islam memasukkan nilai agama dalam
bangunan keilmuannya, sebab dalam Islam tidak ada dikotomi antara ilmu dan
agama, bahkan keduanya saling menopang. Dari sudut pandang ini saja, umat Islam
seharusnya sadar bahwa, ada perbedaan yang sangat jauh dalam konsep ilmu
pengetahuan barat dan Islam. Namun, sampai saat ini umat Islam belaum begitu
mampu menciptakan paradigma yang lain dari pengaruh barat. Hal ini pun, tidak
terlepas dari sejarah panjang umat Islam yang pernah mengalami penjajahan oleh
barat.
Ada beberapa cici-ciri pendekatan
dalam epistemology barat.
1.
pendekatan skeptis
2.
pendekatan rasional empiris
3.
pendekatan dikotomik
4.
pendekatn positif-objektif
5.
pendekatan yang menentang
dimesi spiritual
Metode epistemology pendidikan Islam adalah dimaksudkan
sebagai metode-metode yang dipakai dalam menggali, menyusun dan mengembangkan
pendidikan Islam. Dengan kata lain, adalah metode-metode yang dipakai dalam
membangun ilmu pendidikan Islam[14]. Metode
epistemology Islam juga merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan tentang pendidikan Islam.
Menurut Mujamil Qomar (2005:270-362), ada beberapa
pendekatan yang dapat digunakan dalam epistemology pendidikan Islam, yaitu
antara lain:
1.
Metode Rasional
Metode rasionalisme merupakan metede
yang menyakini bahwa sebuah konsep kebenaran dapat didapat dengan mengunakan
pemikiran murni tanpa adanya pengaruh dari luar. Pada abad 19, paham idealisme
hegel merupakan salah satu paham rasionalisme[15], yang
telah banyak mendapat pengikut di Inggris.
Rasionalisme menyakini bahwa sejumlah
ide atau konsep adalah terlepas dari pengalaman dan bahkan kebenaran itu dapat
diketahui hanya dengan nalar[16].
Tentunya dalam pendekatan ini mengunakan penalaran sehingga didapatkan sebuah
konsep pemikiran khususnya pendidikan Islam yang ideal dan sesuai dengan nalar
syariat. Dalam Islam perintah untuk mengunakan akal secara maksimal sangat
dianjurkan, terlebih dengan tujuan untuk
kejayaan Islam. Antara agama dan akal di dalam Islam tidak bertentangan,
justru saling melengkapi, agama adalah akal, tidak dianggap beragama orang yang
tidak berakal. Metode rasional merupakan metode yang lebih menekanakan pada
penjelasan-penjelasan yang logis dari pada aspek yang lain, karena batas
kebenaran yang dicapai adalah terbatas pada akal. Demikian pula, ukuran
kebenaran yang dicapai adalah ukuran akal[17].
Dengan adanya anjuran untuk
mengunakan akal dalam al Qur’an, tentu memberikan peluang yang sangat besar
bagi umat Islam untuk mengunakan potensi fikirnya dalam rangka kemajuan Islam.
Seiring dengan banyaknya permasalah yang dihadapi pendidikan Islam saat ini
metode ini cukup untuk mnghadapi rumusan teori-teori pendidikan yang salah,
menurut ukuran logika.
Mekanisme kerja metode rasional dalam
mencapai pengetahuan pendidikan Islam dapat dilakukan dengan[18];
a.
Pengembangan objek pembahasan.
b.
Mempertanyakan kembali
pemikiran yang telah ada.
c.
Menyangsikan sesuatu yang telah
dianggap benar.
d.
Pemberian contoh-contoh.
e.
Evaluasi.
Mekanisme di atas merupakan jalan
yang ditempuh untuk memudahkan dalam proses memciptakan sebuah konsep ataupun teori
pendidikan yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman saat ini, sehingga
walaupun paradigma yang dibangun bertolak dari agama, namun tetap berpijak
dibumi.
2.
Metode Intuitif
Metode intuisi pada era modern ini
tidak banyak diakui keberadaannya oleh kalangan pemikir modern, sebab sangat
susuh sekali untuk dibuktikan. Namun, berbeda dengan barat, sejak awal Islam,
metode intuisi merupakan metode yang banyak digunkan oleh kalangan filosof Muslim
dalam meraih kebenaran pengetahuan hingga saat ini.
Metode intuitif dalam filsafat
disebut sebagai metode apriori. Apriori dalam pembahasan filsafat
dimaksudkan sebagai adanya pengetahuan yang diperoleh sebelum didahului oleh
pengalaman. Jika metode intuitif bisa disebut metode apriori itu, karena
pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan intuitif adalah pengetahuan yang
tiba-tiba secara teranugrahkan dan tidak melalui pengalaman sekali[19]. Sehingga
kelemahan dari metode ini adalah dengan alat apa yang dipakai untuk menguji
kebenaran yang dihasilkan oleh intuisi.
Ada tiga alasan intuisi digunakan
sebagai metode dalam memperoleh ilmu pengetahuan;
a.
Metode ini adalah metode yang
sangat banyak digunakan oleh manusia. Metode ini dikenal sangat berhasil dan
efektif dikalangan orang-orang yang bergelut di dunia spiritual.
b.
Metode intuisi dapat diuji
kemampuannya memahami realitas secara objektif. Objekfitas merupakan sesuatu
yang diharapkan setelah diberlakukan suatu metode dapat dicapai oleh metode
intuisi.
c.
Metode intuisi dapat dipelajari
dan dikuasai oleh siapapun dengan usaha-usaha yang intend dan terbimbing.
Metode intuisi sebenarnya tidak
terlepas dari kegiatan berpikir, sebab intuisi dapat hadir ketika seseorang
sedang melakukan aktifitas berpikir ataupun perenungan untuk mendapatkan jalan
keluar dari permasalahan. Namun, intuisi juga merupakan ilmu khusus yang tidak
dapat dimiliki oleh setiap orang, sebab untuk menguasai dan dapat mengunakan
intuisi secara baik, diperlukan latihan khusus, mujahadah.
3.
Metode Dialogis
Dalam metode dialogis, tehnis
pengunaannya adalah dengan menghadirkan beberapa pendapat dari kalangan ilmuan,
yang memiliki argument yang kuat, untuk mencari konsep pendidikan Islam yang
lebih baik. Dialog juga dapat dilakukan oleh karena sebab bermacam-macamnya
kebutuhan, dengan adanya komunikasi akan menyebabkan sikap terbuka, saling
tukar pemikiran, dan kemudian mencari kebenaran pengetahuan. ‘Disini letak dari
karakter dialog tersebut. Dialog didasari motif mencari pengetahuan, sehingga yang
dijunjung tinggi adalah kebenaran. Konsekuensinya, pendapat atau pandagan dari
mana pun datangnya, asalkan kebenarannya telah betul-betul teruji secara
rasional ataupun empiric, maka harus diterima secara terbuka…dialog ilmiah
tidak mengenal ideologi, politik, dan sebagainya, kecuali hanya kebenaran
pengetahuan’[20].
Jelas bahwa kebenaran pengetahuan merupakan tujuan utama dari metode dialogis.
Di dalam al Qur’an banyak sekali
konsep tentang pendidikan yang belum mendapatkan perhatian yang baik dari
kalangan intelektual Muslim, konsep itu masih berserekan, belum diproses secara
ilmiah menjadi konsep teoritis. Jika konsep-konsep pendidikan dalam al Qur’an telah
diproses menjadi sebuah teori-teoiri, maka tentunya Islam mempunyai teori
pendidikan yang berdimensi transcendental. Dengan teori tersebut tentu pula
dapat di komparasikan dengan teori ilmiah yang berkembang pada saat ini.
Untuk menerapkan metode dialogis,
dapat dilakukan dengan beberapa cara:
a.
Menetapkan pasangan dialog, b. Membentuk
forum dialog. c. Mempertemukan dua forum dialog. d. Mengundang pakar-pakar
pendidikan Islam[21].
Dialog yang dilaksanakan harus dengan
memilih tema-tema yang memang sangat dibutuhkan oleh pendidikan Islam.
Tema-tema tersebut didialogkan dalam forum yang telah ditentukan. Tentu setelah
teori-teori pendidikan telah dihasilkan, teori-teori tersebut perlu untuk diterapkan.
Dalam tahap ini merupakan tahap yang berkaitan dengan pengujian kevalidan
sebuah teori.
4.
Metode Komparatif
Metode komparatif adalah metode
memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan pendidikan Islam) dengan cara
membandingkan teori maupun praktek pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam
maupun pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya. Metode ini ditempuh guna
memperoleh keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian maupun pemahaman,
supaya didapatkan ketegasan maksud dari permasalah pendidikan[22]. Keunggulan
teori-teori yang dipilih ini sesungguhnya merupakan cara untuk memperbaiki
pendidikan yang telah ada.
Metode komparatif merupakan metode untuk
membandingkan teori-teori pendidikan, maupun praktek pendidikan, terutama
pendidikan Islam. ‘metode komparatif sebagai metode epistemology pendidikan Islam
tidak hanya bertujuan yang sifatnya perluasan pengetahuan, tetapi yang lebih
penting justru pembentukan dan penyusunan pengetahuan yang baru sama sekali[23]. Dengan
metode komparasi ini, teori pendidikan yang dihasilkan akan mempunyai
keunggulan yang lebih, sebab dihasilkan dari beberapa teori-teori yang lain.
Metode komparatif sebagai salah satu
metode epistemology pendidikan Islam memiliki objek yang beragam untuk
diperbandingkan, antara lain:
a.
Perbandingan sesama ayat-ayat
al Qur’an tentang pendidikan.
b.
Perbandingan antara ayat-ayat
pendidikan dengan hadis-hadis pendidikan.
c.
Perbandingan anatar sesama
hadis-hadis pendidikan.
d.
Perbandingan sesama teori
pendidikan dari para ahli pndidikan Islam.
e.
Perbandingan teori pendidikan dari para ahli
pndidikan Islam dengan non Islam.
f.
Perbandingan antar sesama
lembaga pendidikan Islam.
g.
Perbandingan lemabaga
pendidikan Islam dengan lembaga non-Islam.
h.
Perbandingan antar sejarah umat
Islam dahulu dan sekarang.
Metode komparatif ini diaplikasikan
melalui langkah kerja secara bertahap sebagai berikut: pertama,
menelusuri permasalahan-permasalahan yang setara tingkat dan jenisnya. Kedua,
mempertemukan dua atau lebih permasalah yang setara tersebut. Ketiga,
mengungkapkan ciri-ciri dari objek yang sedang dibandingkan secara jelas dan
terinci. Keempat, mengungkapkan hasil perbandingan. Kelima,
menyusun atau memformulasikan teori-teori yang bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah[24].
Dari beberapa tahap di atas, secara sistematis akan dihasilkan teori-teori
pendidikan yang dibutuhkan umat Islam saat ini, dalam rangka mengatasi
kemerosotan pendidikan Islam.
5.
Metode Kritik
Metode kritik disini dimaksudkan
sebagai usaha menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara
mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian
menawarkan solusi sebagai pemecahannya[25]. Metode
kritik merupakan metode yang dapat digunakan untuk menguji kevalidan suatu
konsep atau teori. Proses mempertanyakan kembali suatu teori, hanyalah sarana
untuk melihat kelemahan dari teori tersebut kemudian diambil suatu keputusan sebagai
solusinya.
Adapun pelaksanaan metode kritik ini menurut
Qomar Mujamil (2005:358) adalah melalui tahapan-tahapan, yaitu:
a.
Mencari objek kritik (bisa
teori maupun praktek pendidikan)
b.
Usaha merelevansikan objek
kritik pedoman atau pijakan.
c.
Usaha-usaha menemukan
kesalahan-kesalahan.
d.
Usaha mencari alternative
pemecahan.
e.
Usaha menawarkan teori baru
sebagai alternative pemecahan dan menguji teori alternative pemecahan itu.
Metode kritik ini, banyak digunakan
oleh cendekiawan Muslim modern, baik dalam pemahaman keagamaan maupun dalam hal
khusus seperti haknya pendidikan. Dengan metode kritik segala sesuatu
dapatdipertanykan kembali, akan tetapi ujuan dari kritik bukan hanya itu, lebih
jauh untuk mendapatkan sebuah konsep yang lebih baik.
BAB IV
PENUTUP
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa, pada saat ini umat Islam sangat membutuhkan sebuah konsep metode dalam
epistemology keilmuan, khususnya metode pendekatan epistemology pendidikan
Islam. Hal ini ditujukan agar umat Islam mempunyai konsep keilmuan yang
orisinil, dan merupakan konsep alternative yang dapat ditawarkan sebagai solusi
atas kemerosotan umat Islam pada saat ini.
Epistemologi merupakan sebuah alat yang dapat digunakan
untuk menghasilkan kebenaran ilmu, sehingga sebuah alat perlu didesain
sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan praduk yang benar-benar diharapkan.
Epistemology perlu mendapat perhatian yang lebih, sebab epistemology dalam
Islam mempunyai kedudukan yang khusus, sebab dapat mempengaruhi pola pikir
umat, ini artinya dapat mempengarhi pula cara beragama pada umat.
Epistemology Islam harus dibangun yang sesuai dengan al
Qur’an dan sunah, sebab dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan lmu
pengetahuan. Kondisi ini memungkinkan umat Islam terjauh dari paradigma sekuler.
Walaupun demikian, umat islam harus tetap melihat pengalaman Barat yang
selangkah lebih maju dari Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Peter A. Angeles, Dictionary of philosophy, (New York,
Barnes & Noble Books, 1981).
Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian Terhadap Metode,
Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2006),
P. Handono Hadi, Epistemology; Filsafat pengetahuan,
(Yogyakarta, Kanisius, 1994).
Dagobert D. Runes, Dictionary of philosophy, (New
Jersey, Litel Field Adam & CO, 1963).
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode
Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta, Erlangga, 2005).
Musa Asy’ari, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam berfikir,
Cet.III, (Yogyakarta, LESFI, 2002).
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara,
1991).
Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat Ilmu, Sebuah
Pengantar Redaksi, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam
Perspektif, (Jakarta, Gramedia, 1989).
Jacques Maritain, The Degrees of Knowledge, transl, By
Gerold B. Phelan, (New York Scribner, 1959).
Milton D Hunnex, Peta Filsafat; Pendekatan Kronologis
& Tematis, (Bandung, Teraju, 2004).
Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian Terhadap Metode,
Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006).
Muhammad Taqi Mishbah az Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam,
(Bandung, Mizan, 2003).
[1] Peter A. Angeles, Dictionary of philosophy, (New York,
Barnes & Noble Books, 1981), hlm.78. Via Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian
Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006), hlm.30
[2] P. Handono Hadi, Epistemology; Filsafat pengetahuan,
(Yogyakarta, Kanisius, 1994), hlm.5
[3] Dagobert D. Runes, Dictionary of philosophy, (New Jersey,
Litel Field Adam & CO, 1963), hlm.49, Via Mujamil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta,
Erlangga, 2005), hlm.4
[4] Musa Asy’ari, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam berfikir,
Cet.III, (Yogyakarta, LESFI, 2002), hlm.63
[5] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 1991),
hlm.6, Via Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode
Rasional hingga Metode Kritik, hlm.4
[6] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode
Rasional hingga Metode Kritik, hlm.6
[7] Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat Ilmu, Sebuah Pengantar
Redaksi, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspektif,
(Jakarta, Gramedia, 1989), hlm.6, Via Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan
Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, hlm.8
[8] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode
Rasional hingga Metode Kritik, hlm.8
[9] Jacques Maritain, The Degrees of Knowledge, transl, By
Gerold B. Phelan, (New York Scribner, 1959), hlm.73, Mujamil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, hlm.8
[10] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode
Rasional hingga Metode Kritik, hlm.8
[11] Milton D Hunnex, Peta Filsafat; Pendekatan Kronologis &
Tematis, (Bandung, Teraju, 2004), hlm.12
[12] Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian Terhadap Metode, Epistemologi
dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006), hlm.24
[13] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode
Rasional hingga Metode Kritik, hlm.11
[14] Ibid, hlm.271
[15] Muhammad Taqi Mishbah az Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam,
(Bandung, Mizan, 2003), hlm.20
[16] Milton D Hunnex, Peta Filsafat; Pendekatan Kronologis &
Tematis, hlm.8
[17] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode
Rasional hingga Metode Kritik, hlm.272
[18] Ibid, hlm.291
[19] Ibid, hlm.296
[20] Ibid, hlm.330
[21] Ibid, hlm.337
[22] Ibid, hlm.342
[23] Ibid, hlm.342-343
[24] Ibid, hlm.348-349
[25] Ibid, hlm.350
No comments:
Post a Comment