Tuesday, 28 March 2017

TANTANGAN PENDIDIKAN NASIONAL



TANTANGAN PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh: Ari Wardoyo[1]
BAB I
PENDAHULUAN

Sampai saat ini kenyataan menunjukan bahwa secara umum tujuan pendidikan nasional belum terwujud secara optimal. Indikasi dari hal ini adalah, banyaknya pengangguran baik yang berpendidikan dasar maupun sarjana, sebab minimnya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki. Dan juga persoalan yang masih meliputi adalah  rendahnya akhlak dan moral, siswa atau mahasiswa, bahkan guru, serta terkikisnya rasa nasionalisme.
Banyak indikator yang menunjukkan bahwa mutu pendidikan kita masih sedemikian memprihatinkan, seperti rendahnya nilai NEM yang dapat dicapai oleh siswa dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Keterpurukan pendidikan nasional akan nampak jelas jika dilihat dari hasil survai the Political Economic Risk Consultation (PERC) yang melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke 12 dari 12 negara yang disurvai, juga satu peringkat di bawah Vietnam. Survei itu bertujuan untuk melihat profil kualitas tenaga kerja di asia. Asumsinya ialah, untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas harus dilihat dari kualitas system pendidikan yang ada disuatu negara. Artinya, jika suatu negara memiliki system pendidikan yang baik, maka system itu akan mampu melahirkan tenaga kerja yang baik, begitu pula sebaliknya.[2]
Kegagalan pendidikan Indonesia banyak dinisbatkan kepada burukya kurikulum yang digunakan, sehingga hanya dalam beberapa tahun saja telah berganti kurikulum pendidikan yang digunkan. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975, diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994, KBK hingga KTSP. Padahal, jika kita mau jujur, sebenarnya banyak sekali factor penyebab dari kegagalan pendidikan kita, dan hal yang tak kalah penting adalah profesionalisme guru, lebih-lebih saat ini guru harus mampu menghadapi tantangan di era globalisasi yang penuh dengan permasalahan yang sangat komplek.

BAB II
TANTANGAN PROFESIONALISME GURU
DI ERA GLOBALISASI

A. MEMAKNAI GLOBALISASI
Menurut J.A. Scholte (2002) bahwa setidaknya ada 5 kategori pengertian globalisasi.[3] Kelima kategori definisi tersebut berkaitan satu sama lain
1.      Globalisasi sebagai internasionalisasi
Dalam konteks ini, globalisasi dipandang untuk menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara. Ia menggambarkan pertumbuhan dalam pertukaran dan interdependensi internasional.
2.      Globalisasi sebagai liberalisasi
Dalam konteks ini, globalisasi merujuk pada sebuah proses penghapusan hambatan-hambatan yang dibuat oleh pemerintah dalam gerak antar negara untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang terbuka dan tanpa-batas.
3.      Globalisasi sebagai universalisasi
Dalam konteks ini, kata global dipandang sebagai proses mendunia dan globalisasi sebagai proses penyebaran berbagai obyek dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru dunia, melalui teknologi.
4.      Globalisasi sebagai westernisasi
Dalam konteks ini, globalisasi dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana struktur-struktur sosial modernitas seperti kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, disebarkan keseluruh penjuru dunia.
5.      Globalisasi sebagai penghapusan batas-batas teritorial
Dalam konteks ini, globalisasi mendorong rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan dengan kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas teritorial. Dalam hal ini batas territorial tidak berarti lagi.


B. LANDASAN PROFESIONALISME GURU
Tuntutan profesionalisme guru merupakan salah satu amanah Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2003 No. 20 Tentang Sitem Pendidikan Nasional, pada pasal 40 ayat (2) dijelaskan bahwa:
Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a.       Menciptakan suasa pendidikan yang bermakna, meyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis,
b.      Mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
c.       Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.     
Sangat jelas bahwa dalam pasal 40 ayat 2 tersebut di atas seorang guru dituntut untuk memiliki sifat dan karakteristik profesionalis. Terlebih pada saat ini, globalisasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, profesionalisme seorang guru sangat dibutuhkan.
Globalisasi atau abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua, guru, dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka
Trilling dan Hood, (1999) mengatakan bahwa, memasuki abad 21 dikenal dengan abad pengetahuan, sebab pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Tuntutan profesionalisme bagi seorang guru disebabkan adanya perubahan yang menuntut perubahan pada dunia pendidikan, sehingga pada  abad globalisasi  ini,  ada kecenderungan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau ke pilihan majemuk.
Profesionalisme merupakan pengakuan atau pernyataan, bahwa pada mulanya kata profesionalisme yang kita gunakan tidak lain adalah dari pernyataan atau pengakuan tentang bidang pekerjaan atau bidang pengabdian yang dipilih.[4]  Sehingga implikasi dari profesionalisme seorang guru sangat besar, dan menuntut keahlian dan kelebihan khusus bagi guru (pendidik). Criteria professional bagi seorang guru sebenarnya telah tercantum dalam undang-undang guru dan dosen. Profesi guru menurut Undang-Undang tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu; ‘Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut:
  1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
  2. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya.
  3. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
  4. Mematuhi kode etik profesi.
  5. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.
  6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.
  7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan.
  8. Memperoleh perlindungan hukurn dalam melaksanakan tugas profesisionalnya.
  9. Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.
Lalu apakah pendidikan kita telah mempunyai kekuatan untuk menghadapi era globalisasi saat ini? seharusnya permasalahan ini harus telah difikirkan dan dilaksanakan jauh-jauh hari, meski terkesan terlambat, persoalaan in memang harus mendapat perhatian. Terlebih pendidikan di Indonesia mempunyai fungsi yang sangat besar bagi pembangunan bangsa.

B. KARAKTER PENDIDIKAN INDONESIA 
Dalam pendidikan hal yang penting untuk dicermati guna melihat pendidikan masa depan adalah karekter pendidikan. Pendidikan di Indonesia umpamanya, tentu   memiliki karakter yang berbeda dengan pendidikan di negara-negara lain. Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad globalissi (21) mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1.      Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi;
2.      Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional;
3.      Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional;
4.      Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya. Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan;
5.      Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan jaman;
6.      Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan,
7.      Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan;
8.      Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.
Dari uraian karakteristik pendidikan nasional kita di atas, tentu beban seorang guru sangat besar, terlebih guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan factor penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Itulah sebabnya setiap perbincangan mengenai pembahruan kurikulum, pengadaan alat-alat belajar sampai pada criteria sumber daya manusia yang dihasilkan oleh usaha pendidikan, selalu bermuara pada guru. Hal ini menunjukan betapa signifikan (berarti penting) posisi guru dalam dunia pendidikan.[5] Artinya, peran seorang guru dalam kesuksesan pendidikan nasional sangat besar, tanpa seorang guru yang berkompeten, pendidikan mustahil akan berhasil.           

C. STANDAR PROFESIONALIME GURU  
Saat ini, harus ada standar profesionalisme seorang guru yang harus diterapkan di Indonesia, banyak dari kalangan ahli pendidikan mengemukakan syarat bagi seorang guru yang professional. Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai;
1.      Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
2.      Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
3.      Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Perlu dikemukan bahwa, saat ini, masih banyak factor penghambat dari tercapainya taraf profesional bagi seorang guru, dan hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap pendidikan di Indonesia. Permasalahan ini merupakan hal yang harus segera diselesaikan. Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada 5 penyebab rendahnya profesionalisme guru;
1.      Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total.
2.       Rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan.
3.      Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan,
4.      Masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru,
5.      Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggotanya. Dengan melihat adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.
Dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru pemerintah telah berupaya untuk meningkatkannya, diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi.
Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan. Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajar.
Profesionalisasi merupakan proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll. secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.

D. STANDAR KOMPETENSI GURU (SEBUAH ANALISIS)
Dari berbagai permasalah dan tantangan yang akan dihadapi pendidikan saat ini, maka paling tidak ada tiga standar kompetensi bagi seorang guru, yaitu kompetensi materi, kompetensi, kepribadian, kompetensi profesi (skill).
1.      Kompetensi Materi   
Di era persaingan ini, hal yang tidak bisa lepas dari keberhasilan pendidikan adalah factor materi ajar atau kurikulum. Pendidikan saat ini harus mampu menyediakan materi ajar yang mempunyai daya saing, tidak hanya dalam lingkup local akan tetapi sudah meluas pada daya saing internasional, sebab dengan penyediaan materi ajar yang baik dan sesuai dengan kebutuhan zaman akan dapat mengurangi keterpurukan pendidikan saat ini. Artinya, materi ajar yang dilaksanakan merupakan hasil dari proses ‘analisis kebutuhan’ dan sebuah kurikulum tidak boleh lepas juga dari tujuan pendidikan. ‘Kurikulum itu ditentukan oleh tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Sementara tujuan pendidikan itu mesti ditetapkan berdasarkan kehendak manusia yang membuat kurikulum itu’[6]. Tentunya dalam pembuatan kurikulum, tujuan yang hendak dicapai harus disesuaikan dengan kebutuhan manusia pada era globalisasi saat ini.
Di samping kurikulum, hal yang tidak kalah penting untuk mencapai perbaikan dan keberhasilan pendidikan adalah kompetensi guru dalam penguasaan kurikulum atau materi ajar sesuai dengan bidangnya masing-masing. Tidak ada artinya kurikulum yang baik tanpa didukung oleh seorang guru yang kompeten.           
Bagi seorang guru, penguasaan materi pengajaran merupakan hal yang mutlak diperlukan. Kesuksesan dan keberhasilan pendidikan banyak ditentukan oleh penguasaan guru dalam penyampaian materi. Sebuah contoh, kurikum ekonomi yang baik tidak akan mempunyai daya perubahan bagi peserta didik ketika disampaikan oleh seorang guru yang tidak berkompeten. ‘Hal ini juga berarti bahwa kurikulum pendidikan ekonomi ‘yang baik’ tadi akan menjadi program pengajaran yang kurang bermakna jika kurikulum itu jatuh ditangan guru-guru ekonomi yang tidak professional. Sebaliknya, kurikulum pendidikan eknomi yang ‘kurang baik’ akan dapat diubah menjadi program pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik jika kurikulum itu berada ditangan guru-guru ekonomi yang memiliki profesionalisme yang tinggi’[7]. Artinya, antara kurikulum dan guru yang kompeten, merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan.     
2.      Kompetensi Pribadi
Pada dasarnya institusi pendidikan merupakan wadah yang akan mencetak manusia-manusia yang unggul pada bidang yang digeluti masing-masing. Artinya, ‘tujuan pendidikan sama dengan tujuan manusia. Manusia menginginkan semua manusia, termasuk anak kandungnya, menjadi manusia yang terbaik’[8]. Tujuan pendidikan menurut M. Naquib al Atas sebagaimana yang dinukil oleh Wan Mohd Wan Daud adalah untuk mencetak manusia yang beradab[9], yaitu manusia yang terbaik atau yang sempurna.
Untuk mencetak manusia yang unggul, yang baik atau pun yang sempurna, logis jika diperlukan sosok pribadi pendidik yang unggul pula, yaitu sosok yang mempunyai kompetensi pribadi, yaitu akhlak. Sebab, ‘akhlak merupakan nilai terpenting dalam kehidupan. Akhlak menjadi salah satu unsure peradaban dan dasar kemanusiaan’[10]. Dengan kompetensi pribadi seorang pendidik, masa depan pendidikan akan tercetak generasi yang tidak hanya sukses dalam material saja, akan tetapi juga sukses dari sudut spiritual.           
3.      Kompetensi Profesi (Skill)
Profesionalisme merupakan pengakuan atau pernyataan. Pada mulanya kata profesionalisme yang kita gunakan tidak lain adalah dari pernyataan atau pengakuan tentang bidang pekerjaan atau bidang pengabdian yang dipilih.[11] Pada saat ini, dunia pendidikan memerlukan seorang pendidik yang mempunyai kompetensi dibidangnya. Seorang guru harus benar-benar terdidik dari sebuah lembaga yang mengasahnya menjadi seorang pendidik yang professional.
Tuntutan globalisasi dengan kemajuan teknologi ilmu pengetahuan yang begitu pesat, tentu tidak mudah bagi dunia pendidikan tanpa seorang guru yang professional. Lemabaga pendidikan yang tidak mampu menyediakan tenaga pendidik yang professional akan tertinggal jauh dari lemabaga-lembaga lainya. Bahkan hal ini merupakan penyebab bagi kegagalan pendidikan yang dilaksanakan secara nasional.      


BAB III
PENUTUP

Dari uraian di atas tentu dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, peran seorang guru dalam pendidikan mempunyai posisi yang sangat signifikan. Keberhasilan usaha pendidikan tidak terlepas dari peran seorang guru. Terlebih berkaitan dengan profesionalisme seorang guru.
Tidak sepenuhnya bahwa kemerosotan pendidikan yang dialami bangsa Indonesia saat ini disebabkan oleh kurikulum maupun system pendidikan nasional, akan tetapi seorang gurupun dapat menjadi penyebab terjadinya kemerosotan dan rusaknya kualitas pendidikan. Peningatan profesionalisme guru merupakan hal yang harus segara diupayakan, terlebih saat ini banyak sekali hal yang dihadapi dalam masa globalisasi. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama.  
















DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta, Grasindo, 2001),
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, Rosda, 2006),
Akadum. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. (http://www.suara pembaharuan.com
M. Ali Ghanim Ath Thawil, Mencetak Pribadi magnetis, (Solo, Era Intermedia, 2004),
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikanm Dengan Pendekatan Baru, (Bandung, Rosda, 2006),
Naisbitt, J., Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, terj Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata, (Jakarta: Gramdeia. 1995)
Scholte, J. A. Globalization: A critical Introduction. (London: Palgrave, 2000) 
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional, (Jakarta, PSAP, 2006),
Surya, H.M., Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); 1998. Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998.
Trilling, B. dan Hood, P., Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or We're Wired, Webbed, and Windowed, Now What? Educational Technology may-June 1999.
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Atas, (Bandung, Mizan, 2003)



[1] Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[2] Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional, (Jakarta, PSAP, 2006), hlm.3-4
[3] J. A Scholte, Globalization: A critical Introduction. (London: Palgrave, 2000)  hal. 15-17.
[4] Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta, Grasindo, 2001), hlm.136
[5] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikanm Dengan Pendekatan Baru, (Bandung, Rosda, 2006), hlm.223
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, Rosda, 2006), hlm.99-100
[7] Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional, hlm.43-44
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, hlm.76
[9] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Atas, (Bandung, Mizan, 2003), hlm.174
[10] M. Ali Ghanim Ath Thawil, Mencetak Pribadi magnetis, (Solo, Era Intermedia, 2004), hlm.6
[11] Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, hlm.136

No comments:

Post a Comment

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...