STUDI ANALITIS KRITIS TERHADAP FILSAFAT HERMENEUTIK AL QUR’AN
Al-Qur’an
seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hudan, petunjuk bagi manusia dalam
membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam berbagai versinya, Al-Qur’an
sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di
antaranya bersifat “transformatif”; yaitu membawa misi perubahan untuk
mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumât (di bidang akidah,
hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nûr petunjuk
ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia,
dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha
manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk Allah yang
dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam rangka
penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur’ani yang berdimensi keilahian dan
kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan
Dialektika
antara manusia dengan realitasnya ditengarai turut masuk mempengaruhi proses
penafsiran itu. Bukankah Al-Qur’an diturunkan bagi manusia, untuk kemaslahatan
manusia dan last but not least untuk “memanusiakan” manusia (bukan
menjadikannya makhluk otomatis seperti robot, mesin, hewan ataupun malaikat)?
Maka dari diktum itu pula lah, konsep tentang manusia dan identitasnya dalam
menjabarkan misi kekhalifahan dan ubudiyyah di muka bumi menjadi faktor
determinan dalam proses mengkaji dan memahami teks suci yang diyakini akan
memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.
Akan tetapi,
posisi sentral manusia yang oleh peradaban Barat menjadi tema utama abad
pencerahan juga bukan tanpa cela dalam sudut pandang Islam. Manusia dalam
kacamata Islam tidak lah hidup dari, oleh dan untuk dirinya sendiri dan
terkungkung dalam dunia yang profan ini. Falsafah hidup Islam tidak mengenal
mazhab sekularisme yang memisahkan manusia dari dimensi keilahian dan melucuti
aspek moral dan nilai dari kegiatan manusia. Falsafah hidup Islam menggariskan
perpaduan nilai agama dan dunia, kehidupan manusia untuk misi khilâfah/’imârat
al-ardl (keduniaan) dan ‘ubûdiyyah (keakhiratan). Prinsip-prinsip tersebut yang
senantiasa harus diindahkan ketika kaum muslim berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Dewasa ini pola
interaksi kaum muslim dengan Al-Qur’an bukan hanya bercorak hudâ’iy, ijtimâ’iy
dan ishlâhiy (mencari petunjuk untuk kebahagiaan), tetapi juga ‘ilmiy (dalam
pengertiannya yang luas mencakup intellectual exercise, tidak hanya mencari
pembenaran teori-teori sains dengan landasan ayat suci Al-Qur’an), bahkan
cenderung filosofis murni dan tak ada kaitannya dengan misi transformatif yang
menjadi ciri utama kehadiran Al-Qur’an di pentas kehidupan manusia. Hal ini
bisa dilihat terutama dari berbagai kecenderungan (ittijâhât) upaya penafsiran
dan penakwilan kitab suci yang terseret ke dalam diskusi panjang apakah manusia
(secara umum sebagai pembaca dan penafsir teks) merupakan makhluk historis atau
filosofis? Makhluk yang setiap saat berubah (sesuai dengan pengayaan pengalaman
hidup) atau yang konstan? Sejauh mana posisi dan peran manusia dalam proses
penafsiran; apakah tugasnya hanya menganalisa dan kemudian menerima otoritas
tafsir di era pembentukannya ataukah hanya melibatkan pengetahuan dan
pengalaman penafsir/pembaca teks sebagai barometer dan menganggap penafsiran
otoritas di masa lalu hanya berlaku untuk saat itu (historisitas)? Apakah tugas
penafsir kitab suci diarahkan semata untuk menangkap maksud pemilik dan
pencipta teks ataukah justru bebas menciptakan maksud dan makna baru seiring
dengan jarak waktu yang memisahkan antara pengarang dan pembaca teks, bahkan
“kematian” pengarang dianggap “berkah” untuk melahirkan makna-makna segar yang
tidak terkungkung oleh kehendak dan maksud pengarangnya?
Pertanyaan
filosofis diatas mulai menggerogoti upaya sebagian elit muslim dalam banyak
kajian mereka terhadap Al-Qur’an. Persinggungan intens dunia pemikiran muslim
(yang tereleminasi dari pergaulan dunia) dengan dunia pemikiran Barat (yang
dominan dan hegemonik) telah menyeret wacana ‘Hermeneutika’ masuk ke dalam
kajian Al-Qur’an kontemporer. Dunia pemikiran muslim telah kehilangan world
view dan jati dirinya ketika berhadapan dengan dunia pemikiran Barat yang
notabene hegemonik dan kuat baik secara program/agenda maupun funding untuk
tujuan ekspansinya. Sadar atau tidak, elit muslim telah masuk dalam agenda dan
propaganda Barat bahwa budaya, teknologi dan bahkan metodologi Barat lebih
unggul dan karena itu mesti digugu dan ditiru. Yang sungguh mengkhawatirkan
bagi penulis adalah peniruan terhadap metodologi Barat di bidang Humaniora
(sastra, psikologi, sosiologi, antropologi, dll) yang terbukti membawa arus
sekulerisme yang tidak sesuai dengan falsafah hidup Islam.
Ide dan
pemikiran untuk mencari-cari aspek kesamaan-kesamaan (Fiqh al-Muqârabât) antara
metodologi Barat dan Islam di bidang kajian humaniora (sastra dan sejarah agama
secara khusus, yang terkuak jelas dalam kasus hermeneutika) menjadi trend pada
dekade akhir abad 20 dan awal abad 21 ini. Dalam kajian Al-Qur’an, Fiqh
al-Muqârabât antara tafsir (terlebih khusus lagi takwil) dengan hermeneutika
yang berkembang di Barat (baik dalam studi biblikal/teologis maupun filsafat
sastra secara umum) menjadi tak terelakkan.
II. Studi
komparatif antara ta’wil dalam tradisi keilmuan Islam dan hermeneutika dalam
tradisi filsafat Barat.
Dalam
membandingkan terminologi takwil sebagai teori penafsiran khas peradaban Islam
dan hermeneutika yang lahir dari rahim dan khas miliu peradaban Barat- Kristen,
kita akan bertolak dari pernyataan Mustafa Kaylani yang menerangkan proses
transformasi dalam sejarah perjalanan takwil sebagai berikut:
“Dahulu takwil
pada awalnya sangat kental bernuansa gramatikal sebatas penjelasan lafal dan
susunan kalimat yang telah termakan zaman dengan lafal dan susunan kalimat baru
sambil tetap menjaga maknanya yang cocok untuk setiap zaman. Sedangkan jenis
takwil kedua (dalam peradaban Barat modern), telah merasuk jauh ke dalam dunia metafor
(majaz); hermeneutika adalah takwil semiotis atas tanda-tanda (signs) yang
telah terasa asing pada era terkini untuk mendapatkan makna semantik baru yang
akan merujuk secara langsung kepada idea pengarang teks” (Wujud al-Nash wa Nash
al-Wujud; hlm. 34).
Dari kutipan di
atas, kita dapat mencandra dua aliran yang memperebutkan hakikat makna teks.
Aliran pertama (tradisionalistik), berupaya membakukan makna dalam petenjuk
semantik tertentu dengan cara menjadikan makna itu muhkam yang tidak bisa
serampangan ditarik ke dalam wacana metaforis. Tentu saja aliran ini berupaya
mempertahankan makna asli suatu teks. Sehingga takwil dalam tradisi aliran
pertama difungsikan untuk mengalihkan pemahaman lahir suatu lafal dari makna
aslinya kepada makna lain dengan indikasi tertentu yang menyebabkan makna
aslinya ditinggalkan. Posisi dasar pemahaman teks adalah lahiriahnya, ia hanya
dapat ditinggalkan jika ada indikasi kuat untuk keserasian makna itu dengan
tujuan syariah. Dari situ, maka konsep takwil menurut para ahli ushul fiqh
berjalin kelindan dengan pembagian tingkatan lafal teks agama:
Setiap bentuk
lafal yang hanya menerima satu makna tertentu, ia disebut sebagai Nash; teks.
(dari sana kita dapat menyimpulkan bahwa kosakata bahasa Arab mengidentikkan
teks dengan pembakuan dan penunggalan makna suatu teks)
Jika bentuk
lafal teks dapat menerima lebih dari satu makna/pemahaman yang sama-sama kuat,
maka ia disebut sebagai Mujmal; teks global (yang memerlukan perincian)
Jika bentuk
lafal teks menerima lebih dari satu makna/pemahaman yang salah satunya lebih
kuat dari makna lain, maka makna yang kuat itu disebut Zhahir (teks yang asli)
dan makna yang lemah itu disebut Mu’awwal (teks yang dialihkan maknanya).
Perubahan dari makna zhahir kepada makna mu’awwal itu mensyaratkan adanya
dalil; indikator yang kuat dan memperkuat satu makna atas makna lainnya.
Sedangkan
aliran kedua (modernistik) dalam teori pentakwilan telah mengalami lompatan
kualitatif dalam tradisi filsafat Jerman, terutama di tangan F.D.E.
Schleirmacher (1768-1834 M) yang mengadakan reorientasi paradigma dari “makna”
teks kepada “pemahaman” teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab
protestantisme telah mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh
mazhab resmi gereja sebagai “makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang
segala sesuatunya merujuk kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa
silam itu menyebabkan kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan;
mengapa teks yang merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem
kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena
realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu?
Rasionalitas
protestantisme itu telah menantang otoritas gereja yang selalu mengklaim arti
Bible yang sah, serta meneguhkan semangat liberalisasi simbol-simbol otoritas
agama yang eksklusif dan tertutup. Akibatnya, metodologi tafsir tradisionalis
telah tergantikan dan disaingi metodologi yang lebih humanis dan memberi ruang
kesadaran kritis atas keseluruhan sumber teks-teks agama. Semangat liberalisasi
dan humanisasi inilah yang ikut andil merobohkan tembok sakralisasi teks
sehingga teks agama tak lagi sakral dan bahkan mengalami proses humanisasi.
(lihat Isykaliyyat al-Qira’ah fi al-Fikr al-’Araby al-Mu’ashir, hlm. 88)
Schleirmacher
telah menubuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait
mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang
lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian
sedemikian meluas dan membentang, sehingga diperlukan ilmu yang mencegah
kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman
teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (tata bahasa
yang dipakai pengarang) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang.
Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya. (Isykaliyyat al-Qira’ah
wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 21). Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu
adalah untuk sejauh mungkin memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya
dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang. Tugas itulah
yang kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”.
Lingkar
hermeneutik itu akan mengubah yang konstan menjadi dinamis dan terus bergerak,
dikarenakan teori “makna” dalam teori penafsiran klasik diubah menjadi
“pemahaman” yang terkait dengan akal manusia yang terus berkembang dan berubah.
Oleh karena itu, pemahaman teks adalah apa yang diinginkan oleh pembaca teks,
bukan yang dimaksudkan oleh pengarang teks. Dikarenakan masa kelahiran teks
telah menjadi bagian masa lalu, maka tidak ada makna yang tetap seperti
sediakala. Lingkar hermeneutik meniscayakan produksi makna-makna baru yang
tidak pernah final. Orientasi heremeneutik inilah yang kemudian dikembangkan oleh
para filosof aliran eksistensialisme pasca-Schleirmacher.
Adalah Martin
Heidegger (1889-1976 M) yang mencoba memahami teks dengan metode
eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan
“tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada.
Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud
transendent dan horisontal. Sejak abad pencerahan dan humanisme Barat dimulai,
eksistensi bersifat tunggal; eksistensi humanisme! Semakin dalam kesadaran
manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas
teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang
terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah
manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas
dalam proses memahami suatu teks.
Pemahaman
eksistensialis model Heidegger teraplikasikan secara penuh terhadap semua jenis
teks. Amat wajar jika kekhasan teks agama dari sudut pentakwilan menjadi
terabaikan. Jika hermeneutika dahulu berarti pentakwilan teks suci yang
terpasung oleh makna yang ditentukan pihak otoritas gereja, maka ia kini telah
bebas dari belenggu sakralitas dan memungkinkan pentakwilan semua jenis teks,
karena bagi hermeneut modern semua teks sama secara hirarkis. Sakralitas teks
agama tidak lagi mendapatkan tempat dalam rasionalitas modern.
Resepsi dan
pembacaan manusia adalah dasar bagi kebangkitan dan transformasi teks dari
sesuatu yang diwarisi antar generasi menjadi warisan masal silam. Ketika kita
membaca suatu teks kuno maka teks itu kembali dihidupkan dan berubah dari
sesuatu yang tadinya mati dan asing kepada keadaan sesuatu yang hidup saat ini.
Dengan demikian, pembacaan dan pemahaman adalah asas bagi transformasi teks
dari ketiadaan kepada keefektifan.
Hermeneutika
Heidegger kemudian dilanjutkan oleh Hans George Gadamer (1900-2002 M) yang
menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger
dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya.
Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami
teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat
kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan
pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan
keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya
seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita;
pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa
Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 40)
Filsafat
hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis,
dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Eksistensi yang
dibangun Heidegger dan Gadamer terasa idealis yang dipengaruhi logika dialektik
Hegellian, yang menyatakan historisitas yang tidak dipersyaratkan wujud materil
yang dikendalikan oleh faktor sosial ekonomi. Untuk menautkan proses pemahaman
dengan wujud materil, maka telah menjadi keharusan untuk keluar dari metafisika
transendent yang khusus dalam konsep eksistensial. Penubuhan asas konsep wujud
itu akan mengubah proses pemahaman. Selain itu ia akan disyaratkan dengan
prasyarat materil yang akan mengendalikan wujud ini. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa
Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 44)
Menghadapi
dialektika Heidegger dan Gadamer, tokoh-tokoh filsafat hermeneutika seperti:
Paul Ricoer (1913-2005 M), Eric D. Hirsch (1928-….), dan Emillio Betti
(1890-1968 M) mengajukan teori objektifitas dalam aliran hermeneutika. Mereka
berusaha mendirikan hermeneutika sebagai ilmu penafsiran teks yang menekankan
metode objektif, sehingga melampaui subjektifitas hermeneutika Gadamer.
Hermeneutika, bagi mereka, tidak berdiri atas asas filsafat. Sederhananya,
hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir. (Isykaliyyat
al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 49)
Jika kita
kaitkan dengan Dr. Nasr Hamid AbuZayd (1943-…) yang terkenal lewat pendekatan
hermeneutiknya dalam membaca teks-teks Islam, maka kita akan menemukan
penekanan Nasr Hamid atas prinsip simbol teks yang berafiliasi kepada kondisi
sosial dan realitas ketika teks itu diciptakan. Artinya teks adalah produk
lingkungan tertentu yang dilingkupi oleh faktor ekonomi-sosial yang menjadi
pra-kondisi kelahiran dan kemunculan suatu teks. Oleh sebab itu, realitas yang
berdialektik dengan teks mendapat apresiasi dan perhatian serius Nasr Hamid.
Untuk menuju arah tafsir yang objektif dan ilmiah atas teks agama, ia berangkat
dari simbol sosial dengan penekanan melampaui makna lahiriah teks kepada makna
batinnya.
Bagaimana Nasr
Hamid meresepsi teks dan cara dia memperlakukannya? Pertama sekali dia
mendukung orientasi Gadamer yang berangkat dari posisi penafsir saat ini karena
setiap asas epistemologi pemahaman apa saja berawal dari posisi eksistensial.
(Isykaliyyat al-Qira’ah, hlm. 49) Kedua, dia mengajukan upaya modifikasi
terhadap orientasi hermeneutika Gadamer dengan perspektif materialisme; dua
tahap yang saling mendukung itulah, dalam persepsi Nasr Hamid, titik tolak asli
bagi upaya pembacaan ulang seluruh dasar agama Islam dan upaya menyingkap
kepalsuan pembacaan-pembacaan masa silam atas teks Islam. (Isykaliyyat
al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 49)
III. Perbedaan
esensial antara ta’wil dengan hermeneutika.
Takwil dalam
tradisi keilmuan Islam mengakui dan tunduk kepada kesucian teks dan keilahian
sumbernya, terlebih khusus dalam masalah teks-teks agama. Sedangkan
hermeneutika di Barat memperlakukan teks sebagai murni fenomena bahasa, dan
tidak mengakui kesucian teks yang menuntut perlakuan khusus.
Takwil dalam
tradisi keilmuan Islam mengakui jenis tingkatan lafal, dalam pengertian bahwa
di antara jenis-jenis teks itu ada yang bisa menerima takwil seperti lafal
“zhahir”, dan ada pula yang hanya menunjukkan satu makna dan tidak dapat
ditakwil seperti lafal “nash”. Sedangkan hermeneutika Barat memukul rata semua
jenis teks dengan memisahkan mana yang menjadi makna tanda (signifier) dan
tujuan dasar teks (significance).
Takwil dalam
tradisi keilmuan Islam menekankan makna yang tetap tidak berubah kecuali jika
ada dalil lain yang mengharuskan takwil. Dan makna takwil yang baru itu masih
dapat diterima oleh lafal zhahirnya dan juga sesuai dengan sirkulasi penggunaan
bahasa dan adat kebisaaan yang lazim dalam syariah. Sedangkan hermeneutika di
Barat berarti perpindahan orientasi dari “makna” kepada “pemahaman” yang dapat
berubah setiap saat sesuai dengan perkembangan pembaca teks. Pemahaman adalah
apa yang diinginkan oleh pembaca, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang. Pemahaman
tidak pernah final, karena selalu memperhatikan dimensi realitas kemanusiaan.
Bahkan dalam bentuk ekstrim, hermeneutika menganggap Sunnah (yang berfungsi
sebagai penjelas Alquran) sebatas ijtihad manusia dan terbatas pada skup budaya
tertentu.
Takwil dalam
tradisi keilmuan Islam adalah suatu cara untuk mempertahankan norma keimanan
terhadap dasar-dasar keyakinan agama. Ia juga metode yang baik untuk
menghilangkan keragu-raguan dan semakin menambah mantap keimanan. Jelasnya,
takwil bukanlah alat untuk membatalkan keimanan atau untuk mengosongkan teks
agama dari ruh agama seperti yang dipraktekkan dalam filsafat hermeneutika di
Barat. (Muhammad ‘Imarah, hlm. 55)
IV. Pengaruh
hermeneutika dalam pemikiran agama.
Perlu
ditekankan di sini bahwa perspektif hermeneutika filosofis atas pemahaman
eksistensial secara umum dan pemahaman teks secara khusus merupakan terobosan
mutakhir dan tidak pernah dikenal sebelumnya. Diskusi dan perdebatan seputar
sah tidaknya aplikasi hermeneutika juga betul-betul tidak ada presedennya dalam
benak para ulama muslim yang masih meyakini keampuhan terminologi tafsir dan
takwil klasik dalam memecahkan isu-isu kontemporer. Dengan demikian, tidak
memungkinkan kita mencari berbagai perspektif hermeneutika dalam cabang-cabang
Islamic Studies yang telah mapan. Sebaliknya, jika kita telusuri dan dalami
filsafat pemahaman teks-teks Islam yang telah dikonstruk dan diaplikasikan
selama berabad-abad oleh ulama muslim, kita dapatkan kesimpulan yang
kontraproduktif dengan perspektif filsafat “pemahaman” Barat.
Pemikiran agama
mutakhir saat ini menyaksikan kajian-kajian dan pertanyaan-pertanyaan baru yang
memiliki akar dalam filsafat hermeneutika. Di antaranya adalah:
Kemungkinan
mengajukan bacaan-bacaan yang berbeda dan tak terbatas bagi teks agama.
Historisitas
pemahaman dan keajegan perubahan pemahaman itu sendiri.
Batasan
legalitas terlibatnya subjektifitas penafsir dalam proses penafsiran teks.
Pengaruh
pra-konsepsi, kecenderungan, dan harapan penafsir teks kepada pemahaman agama.
Sejatinya
hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi
perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja
berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger
(sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi
pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran
filsafat hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya
dalam teori-teori kritik sastra dan semantik telah merintis jalan bagi
tantangan serius yang membentur metode klasik dan pengetahuan agama.
Sebelum kita
menyinggung tantangan pemikiran yang disebabkan hermeneutika filsafat
kontemporer, ada baiknya kita menyimak secara global metode umum dalam
pemahaman teks yang selama ini kita kenal:
1- Tugas
mufassir adalah menangkap makna teks. Makna teks adalah apa yang dikehendaki
oleh pembicara atau pengarang teks. Maksud atau makna yang pasti adalah tujuan
utama pengarang teks. Makna yang final itu adalah suatu hal yang objektif dan
ril, mufasir berusaha untuk sampai dan menangkap makna itu.
2- Untuk
mencapai tujuan di atas, sewajarnya penafsir teks menempuh alur metode yang
umum dalam menangkap teks. Hal ini diformulasikan dalam bentuk bahasa teks
sebagai jembatan memahami tujuan hakiki atau makna yang diinginkan. Karena
pengarang teks menjadikan bahasa sebagai sarana mengungkapkan kehendaknya, maka
penafsir teks harus menguasai bahasa serta tata bahasa yang lazim dipakai oleh
pengarang. Tanpanya, maka tindakan penafsir yang semena-mena akan mencederai
proses pemahaman teks.
3- Kondisi
penafsir yang diidealkan adalah sampai kepada pemahaman yang valid dan
meyakinkan terhadap kehendak pengarang teks. Meskipun pemahaman yang valid
hanya dapat ditangkap melalui bentuk “nash” yang berindikasi pemahaman objektif
yang sesuai dengan fakta, dalam bentuk “zhahir”nya pun redaksi teks tetap tidak
tercerabut dari objektifitas dan norma asli pemahaman.
4- Jarak waktu
yang memisahkan masa penafsir dengan masa teks diproduksi tidak akan
menghalangi penafsir untuk menangkap makna hakiki yang dimaksud oleh teks
agama. Karena dalam sinaran metode klasik, amat dimungkinkan pemahaman objektif
atas teks meski terdapat jarak waktu dan tempat antara pengarang dengan
penafsir teks.
5- Perhatian
penafsir harus terpusat kepada kesadaran memahami misi teks. Seperti dimaklumi,
proses pemahaman teks berporos kepada dua aspek: teks dan pengarang, sehingga
tugas penafsir adalah untuk menangkap maksud pengarang melalui fungsi semantik
teks. Dalam teori tafsir semacam ini, tidak diperkenankan munculnya
pra-konsepsi dan pra-asumsi penafsir, karena hal itu akan mengotori upaya
penafsiran, sehingga dikategorikan sebagai tafsir dengan pandangan akal semata
yang dicela agama (bil ra’yi al-madzmum).
6- Teori tafsir
klasik sangat menentang teori relativitas tafsir. Metode tafsir klasik menolak
setiap upaya penafsiran yang merelatifkan dan menyamakan setiap pemahaman
sebagai upaya subjektif penafsir. Sebab, teks agama, -menurut teori tafsir
klasik- tidak akan menerima segala bentuk penafsiran yang sembarangan. Dengan
kata lain, ketika terjadi perbedaan penafsiran sebuah teks, maka otoritas
pemahaman tetap berada pada aspek teks dan pengarang teks itu sendiri, alias
kewenangan mufasir terabaikan sama sekali.
Demikianlah,
dari paparan sekilas di atas, dapat dikatakan bahwa teori penafsiran klasik
sebagaimana dalam pembahasan metode takwil dalam cabang ilmu ushul fiqh dan
ulumul quran, mulai digugat dan ditantang oleh aliran-aliran hermeneutika
filsafat pada abad ke 20. Problem isu hermeneutika filsafat kontemporer telah
melontarkan berbagai diktum yang mengkritisi dan berambisi menjadi alternatif
pintas bagi kebuntuan dan kebekuan penafsiran teks agama yang rigid, kaku dan
kehilangan elan vital “maqashid syariah”. Berikut ini akan kita saksikan
bagaimana teori tafsir model hermeneutika mulai merangsek dan menawarkan dahaga
intelektual bagi kaum muslim modernis:
1- Pemahaman
teks adalah hasil perpaduan antara cakrawala pemahaman penafsir dengan
cakrawala makna dalam teks. Intuisi dan cakrawala berfikir setiap penafsir
dalam proses pamahaman tidak dicela, karena ia merupakan prasyarat eksistensial
bagi tercapainya suatu pemahaman.
2- Upaya
pemahaman teks adalah proses tiada henti; seperti halnya pluralitas pemahaman
teks tidak mengenal batas-batas. Karena pemahaman adalah: upaya kreatif dan
perpaduan antara cakrawala penafsir dengan wawasan teks. Dengan demikian setiap
terjadi perubahan dalam diri penafsir berikut cakrawala pikirannya, maka
dimungkinkan lahirnya pemahaman baru.
3- Suatu
pemahaman objektif atas teks dalam arti pemahaman yang benar-benar sesuai
dengan fakta ril, tidak dimungkinkan oleh karena pra konsepsi penafsir adalah
syarat tercapainya suatu pemahaman.
4- Tidak ada
pemahaman yang tetap dan tidak berubah; tidak dibenarkan pula suatu pembatasan
dan finalisasi pemahaman yang tidak bisa berubah-ubah.
5- Tujuan
penafsiran teks bukan untuk menangkap maksud pengarang teks. Sebab, penafsir
saat ini menghadapi sebuah teks, dan bukannya pengarang teks. Dalam teori filsafat
hermeneutika, posisi pengarang tak lebih sebagai salah satu pembaca teks yang
tidak berbeda dari penafsir-pembaca teks yang lain. Teks sebagai entitas
mandiri dan berdaulat, berdialog dengan penafsir sehingga melahirkan suatu
pemahaman, dengan demikian setiap penafsir tidak diharuskan mencari dan
menangkap maksud dan tujuan yang ingin diungkapkan si pengarang teks.
6- Tidak ada
patokan dan standarisasi dalam menilai salah atau benar suatu penafsiran.
Karena sejatinya tidak ada tafsir yang benar dan tunggal. Antitesa dari teori
klasik yang mengandaikan maksud pengarang sebagai tujuan penafsiran,
hermeneutika filsafat mengakui otoritas penafsir dan mengabaikan tujuan
pengarang sama sekali. Karena setiap penafsir di setiap zaman memiliki
cakrawala yang khas zamannya, maka terbuka kemungkinan pemahaman-pemahaman
baru, yang tidak bisa dikatakan salah satunya lebih baik dan benar dari yang
lain.
7- Hermeneutika
filsafat sesuai dengan teori relatifitas penafsiran, dan membuka ruang yang
sangat luas bagi penafsiran-penafsiran yang radikal sekalipun.
V. Mungkinkah
aplikasi hermeneutika atas Alquran?
Para filosof
hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang
batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu
yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu
membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan
dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan
epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika.
Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang
berdampingan. Dari sudut ini, Alquran bisa dilihat secara hermeneutis sama
dengan kitab atau teks tertulis yang lain, sebab Alquran mengafirmasi
kemungkinan melihat segala sesuatu yang ada dari segi petunjuknya atas hal
lain. Tidakkah Alquran selalu menyeru kita untuk memikirkan segala sesuatu dan
menganggap semua eksistensi dan fenomena sebagai tanda (ayat, signs) bagi
keagungan Allah swt.?
Tetapi
masalahnya tidak sesimpel itu. Pertanyaaan apakah filsafat hermeneutika dapat
diterapkan atas Alquran atau tidak? Dan sejauh apa hermeneutika dapat
diaplikasikan atas Alquran?
Meskipun
beberapa kaedah hermeneutika dapat dengan mudah diaplikasikan bagi Alquran,
namun menurut Musthafa Malakyan, perbedaan Alquran dengan buku-buku atau karya
religius atau non-religius dalam dua hal berikut ini mengharuskan kita untuk
tidak gegabah dan hati-hati dalam penerapan kaedah hermeneutika atas Alquran.
Kedua distingsi penting itu adalah:
Seluruh lafal
dan kalimat dalam Alquran, sesuai kepercayaan seluruh kaum muslim, berasal dan
diciptakan dari Allah swt. Tidak ada klaim semacam ini bagi kitab selain
Alquran.
Penyusunan isi
Alquran kini tidak sama dengan kronologi turunnya dan urut-urutan sejarahnya.
Hemat kami,
seluruh kaedah hermeneutika dapat diterapkan baik kepada teks oral atau teks
tertulis semuanya jika tidak memiliki dua karakteristik di atas yang hanya
dimiliki oleh Alquran.
Metode
hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen.
Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru,
dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan
usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak
ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya
langsung dari Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar “Juru bicara ada”
(loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah
dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal:
1. Alquran
sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk
spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya
dan kata-kata dari Alquran.
2. Kaum Muslim
tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika
Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini,
dan ditambah fakta bahwa Alquran mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam
dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu
hal yang di Barat dipaksakan kemunculannya oleh kebuTuhan mendesak. Belum ada
seorang pemikir Muslim pun yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema
utama pemikirannya.
VI. Model
aplikasi hermeneutika atas al-Quran ala N.H. AbuZayd (1943-…)
Di antara
sekian banyak pemikir modernis muslim, kiranya Nasr Hamid paling pas mewakili
sekian banyak suara intelektual yang menuntut segera diterapkannya hermeneutika
dalam memahami ulang teks-teks primer agama Islam (Alquran dan Sunnah) sebagai
pengganti metode tafsir dan takwil yang telah dikenal dalam literatur ulumul
quran. Bahkan dalam perkembangan pemikirannya terkini, setelah dia hengkang ke
Belanda karena kasus penolakan promosi guru besarnya di fakultas sastra
Universitas Kairo sejak tahun 1995, ia mulai mempromosikan metode dan aplikasi
ijtihad terbarunya dalam buku “Dawa’ir al-Khawf fi Khithab al-Mar’ah”.
Dinilai oleh
banyak kalangan, bahwa Nasr Hamid mulai serius mengaplikasi metode hermeneutika
untuk mendekonstruksi syariah Islam, setelah sebelumnya hanya bergulat dalam
perdebatan-perdebatan kebudayaan di forum-forum seminar tentang perlunya
hermeneutika bagi “kemajuan” syariah Islam.
Nasr Hamid dan
Desakralisasi Nash Alquran
Nasr sangat
menekankan aspek desakralisasi teks Alquran ketika bersenTuhan dengan bumi dan
pemahaman akal manusia. Bahkan dalam perjalanannya justru aspek historisitas
manusia lah yang akan mengkonstruksi teks. Bagi Nasr, teks Alquran yang sakral
itu ada di level metafisis dan oleh karena itu di luar jangkauan manusia. Tidak
ada yang dapat dipahami darinya kecuali apa yang telah jelas ditegasksan oleh
teks secara tersurat dan sesuai dengan kenisbian manusia.
Teks Alquran
menurut AbuZayd, sejak diturunkannya pertama kali yang kemudian dibaca oleh
Rasul sebagai wahyu, telah otomatis berubah secara kualitatif dari teks ilahi
menuju teks pemahaman insani. Dalam terminologi terkaan Nasr, dari tanzil
berubah menjadi takwil. Lebih jauh lagi dengan berani AbuZayd berteori bahwa
pemahaman Nabi Muhammad saw atas Alquran hanyalah sebatas periode awal gerakan
teks Alquran dalam intensitas pergumulannya dengan akal manusia. (Nasr Hamid,
Naqd al-Khithob al-Dini, Kairo: Maktabah Madbouli, hal. 125-126)
Alquran, lebih
jauh AbuZayd menilai, sebagai teks verbal dari otoritas keagamaan konstan dan
tidak berubah, tetapi pada saat ia menyentuh ranah akal manusia sehingga
membentuk sebuah konsep dan abstraksi, sejatinya telah kehilangan sifat
konstan, terus bergerak dan penandaannya semakin plural.
Beberapa
kesimpulan yang dihasilkan oleh teori AbuZayd diatas, di antaranya:
Teks hakiki yang
berfungsi secara aktif dalam ranah kemanusiaan dan kesejarahannya adalah teks
hasil pemahaman (takwil) manusia, bukannya teks yang ditanzilkan lagi. Ini
disebabkan karakter teks Alquran pada level metafisis yang tidak memiliki akses
dan efektifitas kemanusiaan.
Teori ini
berusaha memanusiawikan teks Alquran, dalam pengertian bahwa petunjuk dan
kandungannya adalah hasil pencapaian dan prestasi manusia sebagai makhluk
berbudaya. Meski di samping itu juga Nasr mengafirmasi sumber keilahian Alquran
di tingkat verbal; sebuah afirmasi yang cukup baik tapi sangat artifisial,
karena sedari awal telah menolak pengaruh teks ilahi atas kesadaran dan
realitas manusia sekaligus. Karena kesadaran historis, kesiapan faktor waktu
dan ruang untuk memproduksi makna teks hanya bisa, bagi Nasr, diterapkan atas
teks yang dikonstruksi secara manusiawi. Dalam perspektif ini nilai penting
yang ditekankan adalah sistem penandaan berupa takwil manusiawi.
Konsekwensi
lain yang dihasilkannya berupa realitas sebagai produsen teks. Dengan kata lain
teks suci adalah produk output akumulasi realitas dengan pelbagai symbol dan
iklim yang membentuknya. Sesuai dengan alur ini faktor sejati pembentuk teks
tak lain adalah realitas manusia yang historis.
Asumsi ini
diperparah lagi dengan mengkategorikan pribadi Rasul sebagai penerima teks
tanzili ke dalam level nisbi. Sementara itu kaedah relativisme inilah yang
menjadi pemicu gerakan realitas dalam membentuk tingkatan dan substansi uji
coba manusia dalam pembumian teks. Dengan demikian semua unsur realitas dalam
seluruh dimensinya tergolongkan ke dalam corak takwil insani atas teks tanzili.
Oleh karena itu takwil yang dihasilkan sejatinya adalah pembenaran dan pantulan
dari realitas manusia.
Teori ini juga
akan berujung kepada formalitas teks yang menjadi rujukan secara simbolis tanpa
efektifitas petunjuk dan petanda wahyu yang konstan. Alias tidak meyakini
adanya makna substantif dan objektif dari wahyu tanzili ini. Asumsi ini hanya
mungkin diretas oleh teori yang menyatakan bahwa realitas manusia adalah faktor
pembentuk yang mengkonstruk sistem petunjuknya sendiri. Dengan hukum realitas
yang senantiasa bergerak dinamis, maka demikian pula petunjuk-petunjuk teks
selalu berubah dan tidak pernah mandek atau bermakna tunggal. Menurut pandangan
ini realitas insani lah yang berhak menentukan substansi dan petunjuk dari
teks.
Jika
digambarkan maka kita akan mendapati bahwa dialektika antara realitas pembentuk
teks tanzili dengan pemahaman akal manusia berupa teks takwili ini akan
menghasilkan suatu teks tanzili yang semu dan simbolik belaka yang
sewaktu-waktu dapat diabaikan dan dikorbankan. Lihat bagan berikut:
REALITAS → NASH
TANZILI →
NASH TAKWILI →
REALITAS ═ NASH SIMBOLIK
Superioritas
Realitas atas Teks: Sebuah Kritik
Nasr menulis:
“Realitas lah yang menjadi pangkal mula teks dan tidak bisa diabaikan. Karena
dari realitas teks terbentuk, melalui bahasa dan budaya manusia konseptualisasi
teks terjadi, dan melalui dialektikanya dengan efektifitas manusia maka
petunjuknya selalu up to date. Maka pangkal, pertengahan, dan ujungnya kembali
kepada otoritas realitas manusia!” (Naqd al-Khithob al-Dini, hal. 130)
Jawaban bagi
tesis yang diajukan Nasr adalah tidak mungkin nash wahyu dapat mengkonstruk
bangunan epistemologi, ontologi dan aksiologi yang kokoh jika dirinya
kehilangan komponen-komponen sistem petunjuk yang menyingkap kemauan Allah swt
dibalik pesan wahyu. Bukti penting bahwa wahyu memiliki kekokohan dan
objektifitas sistem penandanya adalah keberhasilannya melandasi teori dan
praktek kemanusiaan sepanjang eksperimen dan historisitas manusia muslim selama
berabad-abad.
Maka disini
penting sekali untuk dicatat bahwa garis demarkasi antara subjek dan objek
dalam kajian teks agama yang sakral, bergerak pada 2 level:
level vertikal,
yang di dalamnya mencakup Allah swt (Mursil), wahyu (Risalah), Nabi Muhammad
saw (Mursal).
level
horisontal, yaitu upaya manusia dalam pembumian risalah ilahi.
Sehingga pada
dasarnya jika kita menuruti kerangka diatas, tidak ada problematika isu
memanusiawikan teks Alquran dalam pengertian eliminasi karakter petunjuk
ilahiyah dari teks tanzili. Problematika ini hanya akan mungkin terjadi jika
kita mengeluarkan posisi Rasul (Mursal, atau “recipient” dalam teori komunikasi
modern ala Jacobson; al-Mutalaqqi al-Awwal dalam istilah Nasr) dari level
vertikal hingga menjadi horisontal. Alias menisbikan penafsiran Rasul atas
wahyu Allah dalam proses pembumiannya. Dalam sinaran teori ini Nabi tak lebih
dari sekedar robot yang atomistis dan mekanistik berfungsi hanya pada saat
tanzilnya wahyu saja, atau serupa kanal yang berguna sebagai penyampai pesan
Allah kepada manusia. Pembumian nilai wahyu oleh Nabi diasumsikan masuk
kategori nash takwili yang berubah-ubah, dinamis dan tidak harus sesuai
petunjuk tanzil ilahiyah.
Posisi Tafsir
Nabi dalam Hermeneutika Nasr Hamid
Hal ini bagi
penulis akan banyak bersinggungan dengan tugas dan fungsi Nabi dalam mengemban
risalah ilahi sekaligus pembumiannya. Hemat kita asumsi ini dapat
dikonfirmasikan bahkan dikonfrontasikan “vis a vis” visi Alquran sendiri
tentang fungsi kenabian. Allah swt berfirman: “Dan Kami tidak menurunkan
kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada
mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman”. (Q.s. al-Nahl: 64)
Aspek humanitas
Nabi sebagaimana dinyatakan oleh Alquran bahwa: Dan mereka berkata: “Mengapa
tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat?” dan kalau Kami turunkan
(kepadanya) malaikat, tentulah selesai urusan itu, kemudian mereka tidak diberi
tangguh (sedikitpun). Dan kalau Kami jadikan Rasul itu malaikat, tentulah Kami
jadikan dia seorang laki-laki dan (kalau Kami jadikan ia seorang laki-laki),
tentulah Kami meragu-ragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri
mereka sendiri (Qs. Al-An’am: 8-9), tidak sebagaimana yang difahami Nasr,
justru tidak menjadi penghalang diperolehnya petunjuk hakiki pesan wahyu
(karena Nabi tidak berdiri sendiri dan selalu dibimbing oleh pemilik risalah),
bahkan aspek ini menjadi bagian integral dan fundamental dalam sistem
komunikasi wahyu yang mengharuskan jalur kemanusiaan dalam proses penurunan dan
pembumian wahyu di level realitas manusia.
Lebih jauh Nasr
Hamid menyatakan bahwa: “Tidak perlu anggapan yang menyatakan kesesuaian
pemahaman Rasul atas nash mutlak sebagai petunjuk hakiki nash, karena jika pun
ada, asumsi itu akan menjurus kepada “kemusyrikan” karena telah menyetarakan
yang absolut dengan pemahaman yang nisbi (tafsir Nabi), antara yang konstan
dengan yang dinamis, maksud Tuhan dengan pemahaman manusia, sekalipun ia
seorang Rasul. Anggapan ini akan menaikkan derajat Nabi menjadi Tuhan, dan
dengan itu akan mensakralkan pribadi Nabi dengan menutup-nutupi aspek manusiawinya”.
(Naqd al-Khithab al-Dini: hal. 126)
Tesis Nasr
menimbulkan setidaknya dua kerancuan berpikir: pertama, Nasr dengan ungkapannya
telah menganggap bahwa teks ilahi tidak memiliki petunjuk hakiki. Dengan
demikian petunjuk teks ilahi akan terbentuk di kemudian hari seiring dengan
persinggungan dan dialektika manusia dengan pesan wahyu. Apalagi peran dan
posisi penafsiran Nabi oleh Nasr dikelompokkan dalam level horisontal seperti
manusia bisaa lainnya. Karena realitas manusia adalah satu-satunya acuan dalam
mengkonstruk petunjuk nash, maka wahyu atau nash dalam preposisi Nasr tak lain
bertugas memberi insentif dan menggerakkan potensi olah fikir manusia dalam
mengkonstruk petunjuk wahyu.
Hemat kami,
jika kita dapat mendudukkan aspek humanitas Rasul sesuai proporsi yang adil dan
petunjuk nash-nash Qurani sendiri, tidak ada lagi klaim kesenjangan berupa
ketidaksesuaian maksud Tuhan dengan pemahaman Nabi atas nash yang ditanzilkan
kepadanya. Karena terang sekali bahwa fungsi utama risalah ilahi yang berupa
nash-nash verbal dan Rasul pilihan Allah swt adalah untuk membina sistem
kehidupan berupa din yang Ia ridhoi, yang untuk memenuhi tujuan itu nash-nash
ilahi diturunkan dan Rasul-Rasul pilihan-Nya diutus ke tengah manusia.
Keterangan
Alquran menyatakan bahwa dalam menyampaikan wahyu dan menjelaskan petunjuk dan
kandungannya kepada manusia, Rasul tidak bekerja sendirian melainkan bekerja
menyampaikan dan menjelaskan nash ilahi di bawah bimbingan dan pantauan
ilahiyah. Alquran juga menegaskan bahwa proyek ilahi dalam membina sistem agama
yang ia ridhoi di bumi dan untuk kemaslahatan manusia tidak cukup sampai taraf
pemilihan seorang Nabi dan selesai begitu saja dengan tersampaikannya wahyu
kepada manusia. Sehingga petunjuk wahyu dibiarkan berjalan secara otomatis dan
terus ber-”evolusi” sesuai dengan perkembangan manusia. Sesuai dengan
keterangan dari Alquran, pembinaan sistem agama dimulai dari periode
“persiapan” (al-i’dad) sebagaimana tersirat dari keterangan Qs. Thoha: 39,
al-Dhuha: 6-8, al-Insyiroh: 1-2, kemudian diikuti oleh fase “pemilihan”
(ikhtiyar) sebagaimana dalam Qs. Thoha: 13, lalu fase dukungan dan bimbingan
(tasdid ilahi) sebagaimana keterangan Qs. Thoha: 46 dan al-Tawbah: 26, hingga
dipungkasi oleh fase pengawasan (riqobah ilahiyyah) agar Nabi dalam menjalankan
tugasnya tidak menyeleweng dan jika keliru langsung ditegur dan diluruskan,
sesuai keterangan Qs. Al-Haqqah: 43-47. Dari visi qurani tentang pentahapan
pembinaan sistem agama Allah tadi dapat dilihat suatu hubungan yang abadi,
hangat dan sangat intim antara Allah swt dan Rasul pilihan-Nya. Visi ini
setidaknya menjadi kontra produktif dengan teori Nasr, sehingga sulit diterima
dan dengan sendirinya tertolak.
Kerancuan
berpikir kedua yang ditimbulkan tesis Nasr adalah “cap syirik” (menyekutukan
Allah) yang dilontarkannya ketika seorang muslim menyatakan adanya kesesuaian
maksud antara yang mutlak (zat ilahi yang dalam hal ini dilambangkan dalam nash
tanzili) dengan yang nisbi (untuk menunjuk kepada pemahaman Rasul atas nash
ilahi), dan mencampuradukkan antara keduanya. Lontaran semacam ini sungguh
tidak relevan. Karena dari segi konstruksi awal, wahyu ilahi berikut
penjelasannya adalah berasal dari Allah swt melalui perantara Rasul pilihan-Nya
yang dibimbing dan dipantau secara terus-menerus oleh-Nya. Bahkan oleh Alquran
ditegaskan bahwa manusia akan dapat sampai kepada stasiun yang mutlak (zat
ilahi yang diwakili oleh maksud nash ilahi) dengan menempuh jalur ittiba’
kepada Nabi yang nisbi dan manusiawi itu. Jika mengikuti logika berpikir yang rancu
ala Nasr ini bagaimana kita memahami petunjuk untuk mentaati Rasul dengan
seizin Allah dalam Qs. Al-Nisa’: 64 atau perintah mentaati Rasul dan sikap
ittiba’ kepada Nabi Muhammad saw sebagai indikasi kecintaan hamba kepada
rob-Nya dalam Qs. Ali Imran: 31-32. Apakah petunjuk ayat-ayat tadi menyuruh
umat muslim pengikut Muhammad saw untuk syirik, menduakan Allah dengan mentaati
perintah selain-Nya? Atau bisa jadi pemahaman seperti itu adalah produk
aplikasi hermeneutika Nasr sendiri dalam memahami ayat-ayat Alquran….!?
Padahal
kekhasan din yang berkarakter ilahiyah ini memasukkan unsur Rasul sebagai
bagian penting dari konstruksi risalah agama sesuai izin, restu dan
pantauan-Nya. Hal ini misalnya dijelaskan secara gamblang melalui Qs. Al-Jinn:
19-28 “….. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan
risalah-Nya. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya…. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya Rasul-Rasul itu
telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya
meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu
persatu.”
Singkatnya,
pandangan seperti ini hanya akan bertentangan dan meruntuhkan visi Alquran
tentang fungsi kenabian dan risalah dalam pembinaan sistem agama (lihat
misalnya petunjuk Qs. Al-Hasyr: 7 dan al-Ahzab: 21)
Dari uraian di
atas, jelas sekali jika dipetakan bahwa Nasr Hamid sebelum meluncurkan gagasan
perlunya metode hermeneutika dalam menganalisa wacana al-Quran, dia merasa
perlu untuk melicinkan jalan ke arah sana dengan cara:
1) Memangkas
upaya sakralisasi terhadap kitab suci hakiki yang diturunkan Allah swt kepada
Rasul-Nya,
2) Mengajukan
tesis bandingan bahwa realitas manusia lah yang mengkonstruk bentuk dan
substansi wahyu Ilahi. Realitas manusia lebih superior dari wahyu itu sendiri.
3) Mengerdilkan
posisi tafsir Rasulullah atas wahyu Ilahi yang ditanzilkan kepadanya, alias
pemahaman Rasul adalah bentuk “primitif” dalam intensitas persinggungan wahyu
ke dalam ranah historisitas manusia.
Metode
Pembacaan Kontekstual dalam Ayat-ayat Gender
Bagi Nasr
Hamid, metode pembacaan kontekstual lebih berguna dan efektif dari pada metode
istinbat fikih tradisional yang mengandalkan mekanisme qiyas (memindahkan hukum
dari asal ke cabangnya atas dasar kesamaan illat). Metode kontekstual dilakukan
melalui dua tahap: pertama, konteks historis-sosiologis-eksternal dari teks,
dan kedua, konteks semantik-internal dari teks. Ia berusaha memindahkan cakupan
konsep konteks dari luar batasan klasik (seperti ilmu nasikh-mansukh, asbab
nuzul, dan ilmu-ilmu bahasa) ke dalam konteks historis-sosiologis turunnya
wahyu, untuk tujuan pemilahan hukum syariah antara yang benar-benar ciptaan
wahyu dengan yang berasal dari adat dan tradisi sosial religius pra-Islam.
(Dawa’ir al-Khawf, hlm. 202)
Nasr Hamid
memandang tahap kedua dari metode kontekstual sebagai inti ijtihadnya. Metode
pembacaan kontekstual meniscayakan pembedaan antara “makna” dan petunjuk
historis yang digali dari konteks, dengan “signifikansi” yang ditunjukkan oleh
makna dalam konteks historis-sosiologis di zaman penafsir. Ia kemudian
menentukan beberapa tingkatan konteks: ada konteks universal atau
sosiologis-historis pada masa pra-wahyu yang mana urgensinya untuk menemukan
perkembangan makna semantik dalam struktur teks. Ada juga konteks asbab nuzul
atau konteks historis-kronologis wahyu. Ada lagi konteks narasi kisah-kisah,
kabar umat-umat masa lalu, yang mana urgensinya untuk memilah mana yang menjadi
bagian tasyri’, bagian konteks perdebatan, ancaman atau pelajaran. Konteks
terakhir adalah tingkatan konstruksi teks. (Dawa’ir al-Khawf, hlm. 202-203)
Nasr Hamid
mencoba mendiskusikan ayat-ayat gender dalam Alquran secara analitis kritis
historis. Metode itu jika diterima akan menjadi solusi atas dilemma yang
dihadapi pemikiran Islam kontemporer. Ia berkesimpulan bahwa banyak hukum Islam
terkait hak-hak perempuan yang menjadi sasaran serangan orang Barat ternyata
secara historis bukanlah aturan hukum yang dibawa oleh Alquran. (hlm. 206).
Untuk mengetahui posisi Islam sesungguhnya dalam menyikapi hak asasi manusia,
terutama hak wanita, sewajarnya dilakukan kajian perbandingan sejarah antara
hak wanita di masa pra-Islam dan hak-hak baru yang ditentukan pasca kehadiran
Islam. Antara kedua fase tersebut ada area bersama yang menjadi melting-pot
antara nilai lama dan baru. Proses kreatif inilah yang dinamakan proses
pengembalian makna asli wacana melalui rekonstruksi konteks historis 14 abad
silam. Sehingga secara latah kita mengelabui banyak orang bahwa semua hal yang
disinggung Alquran tentang wanita adalah tasyri’ padahal bukan..! (hlm. 206)
Dengan
pemilahan antara “makna” dan “signifikansi”, teks primer dan sekunder, yang
terkait hukum pembagian waris bagi perempun, bagi Nasr Hamid, melalui
tahap-tahap yang tidak teratur dan tumpang tindih satu sama lain.
“Makna”:
ditafsirkan oleh Abu Zayd secara bebas dan tidak ditunjuk sama sekali oleh teks
mantuqnya. Makna bagian waris perempuan 1/2 dari laki-laki adalah: laki-laki
tidak boleh diberikan jatah waris lebih dari dua kali lipat bagian perempuan,
dan perempuan tidak boleh diberikan jatah waris kurang dari 1/2 bagian
laki-laki.
“Signifikansi”:
gender equality adalah salah satu tujuan dasar tasyri’. Teks-teks persamaan
religius dan humanitas laki-laki dan perempuan adalah teks yang bersifat final
dan mengikat (qath’i). dengan demikian teks-teks itu mengizinkan mujtahid untuk
menetapkan bahwa gender equality antara laki-laki dan perempuan tidak melanggar
batasan dan ketetapan Allah swt.
“Ijtihad”: atas
dasar pemikiran di atas, keharusan pemerataan jatah bagian waris laki-laki dan
perempuan dengan pertimbangan realitas kontemporer yang mengharuskan demikian.
Sehingga, bagi Nasr Hamid, “tidak bisa diterima ijtihad berhenti pada batas
yang ditentukan oleh wahyu karena jika tidak demikian maka klaim kecocokan
Islam di segala tempat dan waktu akan gugur dan jurang pemisah antara realitas
yang terus berubah dan teks-teks yang difahami secara harafiah oleh diskursus
agama kontemporer semakin menganga lebar…”
Istidlal dan
Generalisasi: hal itu disimpulkan oleh Nasr Hamid sebagai berikut: “… setiap
ijtihad yang menghendaki terciptanya persamaan penuh (antara laki-laki dan
perempuan) merupakan ijtihad yang mulia dan selaras dengan orientasi
tujuan-tujuan umum tasyri’. Sedangkan ijtihad atau takwil yang terpaku pada
cakrawala momen historis wahyu, keduanya terjebak ke dalam kekeliruan
epistemologis terlepas dari faktor niat baik dan ketulusan dogma. Karena itu,
jika batasan dan ketetapan Tuhan yang tidak boleh kita langgar yaitu kita tidak
boleh memberikan jatah waris laki-laki lebih dari dua kali lipat jatah
perempuan dan kita tidak boleh memberi perempuan kurang dari setengah jatah
laki-laki, maka hal itu tidak melanggar ketetapan allah swt. Persamaan artinya
adalah persamaan batas maksimal laki-laki dan batas minimal perempuan tidak
melanggar apa yang telah dibatasi allah. Secara otomatis pula hal ini mencakup
semua bidang fikih Islam yang selama ini dimaknai salah kaprah, berangkat dari
gambaran nilai perempuan setengah nilai laki-laki dengan sample masalah
warisan. Di antara bidang-bidang itu adalah: kesaksian di depan pengadilan,
kelayakan perempuan untuk mengisi bidang yang dikuasainya seperti bidang
advokasi dan hakim pengadilan.
Konsep ijtihad
yang ditawarkan oleh Nasr Hamid adalah ijtihad di luar pakem teks. Cukup jelas
kiranya bahwa tawaran model ijtihad “modern” ala AbuZayd yang berpihak secara
total kepada realitas manusia dan meminggirkan teks, semacam kredo atas aliran
positifis-liberal yang sama sekali menyingkirkan hakikat dan batasan-batasan
teks (batasan-batasan “makna”, dalam istilah Nasr Hamid). Berbeda dengan kredo
Nasr Hamid tentang ijtihad modern, di dalam fiqih Islam, ijtihad harus
berangkat dari obligasi dan mandatori teks primer Alquran dan Sunnah. Ijtihad
tidak dibenarkan dalam masalah yang sudah tegas dijelaskan oleh nash yang
sharih atau qath’i, seperti ayat-ayat hukum yang diperjelas oleh ayat atau
Sunnah nabi sehingga tidak menerima takwil lain maka tidak diperkenankan
ijtihad liberal tanpa batas secara kode etik keilmuan yang sederhana sekalipun.
Anehnya, Nasr Hamid dalam banyak kasus, mengkategorikan ayat-ayat hukum sebagai
teks sekunder di bawah teks-teks keimanan dan dogma sebagai teks primer..!
Sejatinya usaha
reaktualisasi ijtihad yang didengungkan banyak cendekiawan muslim di berbagai
kawasan dunia, telah menjadi aksioma dalam usaha pembaharuan Islam (tajdid).
Aktualisasi ijtihad sebagai bagian proses hermeneutis dalam sudut pandang Islam
terkait erat dengan teks/nash; baik ijtihad dalam arti reinterpretasi internal
teks (berupa takwil makna nash, ‘am dan khash, mutlaq dan muqayyad, dll) maupun
dalam arti reinterpretasi dengan merujuk kepada hukum teks primer dengan metode
qiyas, atau yang bisa dipraktikkan secara luas dalam koridor umum nash melalui
perangkat metode qiyas, istihsan, istishhab, ‘urf, dan mashlahat mursalah yang
dibingkai oleh maqashid syariah.
Sementara itu,
ijtihad yang dilontarkan AbuZayd adalah ijtihad di luar koridor teks; ia
bergerak linear di luar teks lewat upaya pembekuan “makna” dan menghidupkan
“signifikansi” yang liar dan terus berubah dengan menjadikan ideologi, budaya,
dan solusi-solusi pragmatis/sosiologis sebagai pengesah dan rujukan utama. Atau
dalam bahasa lain Abu Zayd, ijtihad yang berangkat dari dialektika bottom-up;
dari realitas menuju teks. Metode ijtihad yang menjadikan realitas sosiologis
sebagai primadona, model Abu Zayd, berangkat dari pentakwilan nash dan berakhir
secara tragis kepada pengabaian nash itu sendiri. Mekanisme ijtihad semacam itu
berangkat dari diktum wahyu bukan untuk meraih petunjuk darinya, melainkan
untuk melampaui dan mengeleminasi wahyu atau syariah dari kehidupan manusia;
alias sekulerisasi masyarakat muslim. Ungkapan Abu Zayd bahwa: “Tak bisa
diterima suatu ijtihad yang berhenti pada batas-batas yang ditentukan wahyu,
sebab hal itu akan merobohkan tesa kecocokan syariah Islam untuk setiap waktu
dan tempat”, bagi penulis, tak lebih dari sebuah upaya pengelabuan luar biasa,
baik dari segi “makna” ataupun “signifikansi” statemen tersebut. Karena secara
manthuq, yang disembunyikan oleh Nasr Hamid lewat statemen itu, ijtihad
“modern” yang ia tawarkan adalah bagian tak terpisahkan dari proyek
dekonstruksi-kritis atas Islam sebagai sistem yang total mengatur pranata
sosial, intelektual dan nilai hidup.
VIII. Upaya
modernisasi Islam melalui pembacaan teks agama dengan piranti hermeneutika dan
perspektif ilmu humaniora Barat.
Terakhir,
penulis kutipkan beberapa buah pikiran termaju dari usaha gencar proyek
modernisasi Islam melalui piranti hermeneutika menurut perspektif ilmu
humaniora Barat:
Dr. Nasr Hamid
Abu Zayd menulis: “…Tanpa menyoal ulang pertanyaan yang dikebiri seputar
karakter firman Tuhan, takwil akan tetap sebagai alat pembacaan modernitas
dalam teks-teks agama, bukan sebagai alat untuk memahami nash itu sendiri.
Sesuai dengan buah pikiran Abu Zayd, pemilahan antara nilai historis dengan
nilai eternalis dalam teks Alquran akan membuat kita memahami tujuan firman
Tuhan dan petunjuk-petunjuk semantiknya. Dengan pendekatan ini, kita akan
menyingkap bahwa hukuman hudud dalam Islam seperti: potong tangan bagi pencuri,
cambuk bagi pezina, dll adalah produk nilai dan budaya masyarakat pra-wahyu.
Dengan kata lain, nilai eternal Alquran adalah menciptakan keadilan dengan
adanya hukuman tindak kriminal, adapun bentuk hukuman dalam Alquran adalah
produk sejarah belaka. Tentu saja kita tidak dibenarkan berpihak kepada produk
sejarah dengan mengabaikan nilai abadi “eternal” Alquran…”. (dalam
DW-World.de.deutsche welle, tsaqafa wa mujtama, 26.11.2005)
Prof. Routhrawd
Fyland dari Universitas Bamberg Jerman, ketika mengomentari kontribusi Abu Zayd
dalam reformasi agama (Islam) sehingga dianugerahi “Averroes Award for Free
Thinking” pada tahun 2005 silam, memuji usaha inokulasi pemikiran yang khas
Nasr Hamid Abu Zayd. Ia menjelaskan bahwa konsep teks model Abu Zayd adalah
perkembangan mutakhir dari prestasi Yuri Luttman dan Claud Shanon di bidang
kritik sastra, yang berangkat dari diktum bahwa Alquran adalah teks peringkat
atas. Oleh karena itu kaedah dan undang-undang bahasa dapat diterapkan atas
Alquran sebagai teks. Kita harus memahami teks Alquran dengan menganalogikannya
seperti transmisi radio yang ditulis dengan kode-kode khusus. Agar penerima/reseptor
dapat memahami teks/kode yang sampai kepadanya, pengirim harus mengirimkan teks
dengan kode yang difahami oleh reseptor. Di sinilah artinya teks Alquran yang
ditanzilkan dalam bentuk wahyu seperti pengiriman pesan bahasa dari Tuhan
kepada manusia. Akan tetapi bahasa mampu menyimpulkan makna-maknanya yang halus
berdasar dari tradisi manusia penerima pesan yang mencerminkan cakrawala
peradaban dan sejarah orang-orang yang berbicara dengan kode tersebut. Sehingga
menjadi jelas bahwa firman Tuhan niscaya memakai kode bahasa dan peradaban yang
khas bagi para reseptor risalah kenabian yang mula-mula. Nah, oleh karena
bahasa dan gambaran manusia abad ke 21 berbeda sama sekali dengan manusia
muslim era pertama, maka kewajiban para hermeneut adalah menerjemahkan kehendak
dan maksud Tuhan yang terungkap dalam Alquran melalui kode bahasa dan budaya
masa 14 abad silam ke dalam bahasa dan konteks pemikiran para pembaca dan
pendengar Alquran di masa kini.
Wallahu A’lam
bil Shawab
No comments:
Post a Comment