POLA PENELITIAN HADIS,KLASIK DAN KONTEMPORER
Oleh: Ari Wardoyo
BAB I
PENDAHULUAN
Kedudukan
hadis[1] atau
sunnah[2] sebagai
sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur'an telah disepakati oleh seluruh
ulama dan umat Islam. Dikatakan sebagai sumber ajaran kedua karena hadis
berfungsi sebagai penjelas dan pensyarah al-Qur'an. Al-Qur'an dan hadis Nabi saw., adalah sumber
hukum Islam sekaligus sumber berita/informasi yang benar dan meyakinkan tentang
apa yang terjadi sebelum umat manusia ada, maupun kelak, setelah dunia dan
seisinya hancur pada hari Kiamat.
‘Oleh
karena itu, umat Islam pada masa nabi Muhammad (al-shahabah) dan
pengikut jejaknya, mengunakan hadis sebagi hujjah keagamaan yang diikuti dengan
mengamalkan isinya dengan penuh semangat, kepatuhan dan ketulusan. Dalam
praktek, di samping menjadikan al-qur’an sebagai hujjah keagamaan, mereka juga
mengunakan hadis sebagai hujjah yang serupa secara seimbang, karena keduanya
sama-sama diyakini berasal dari wahyu Allah swt’[3].
Penelitian
hadis merupakan salah satu usaha yang positif, sebab usaha ini merupakan salah
satu cara untuk mempertahankan eksistensi hadis dalam Islam. Mewneurut syuhudi
Isma’il (1992:7), ada beberapa alasan yang relevan mengapa perlu diadakannya
penelitian hadis, diantaranya adalah:
Pertama, hadis nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Hal ini telah
menjadi kesepakatan ulama bahwa, hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam.
Arinya, hadis mempunyai kekuatan hukum di dalam hukum Islam. Bahkan pemahaman
semacam ini diperkuat dengan firman Allah SWT., di dalam al-Qur’an; “… Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya”. (Q.S.al-Hasr 59:7) dan firmannya dalam ayat yang lain yaitu;
Kedua, tidaklah seluruh hadis tertulis pada zaman nabi. Penyebab tidak
tertulisnya seluruh hadis nabi adalah dikarenakan nabi pernah melarang para
sahabat agar tidak menulis seluruh perkataannya, dikuatirkan akan tercampur
antara al-Qur’an dan hadis Nabi. Hal ini menyebabkan timbulnya perbedaan
dikalangan ulama dan sahabat, tentang boleh tidaknya menulis hadis nabi. Namun,
ada beberapa sahabat yang menulis hadis nabi, penulisan itu dilakukan atas
kehendak diri pribadi, sehingga wajar jika tidak seluruh hadis nabi tertulis.
Hadis nabi pada saat itu berkembang dengan hafalan dari pada tulisan. Dari sini
dapat dipastikan bahwa hadis nabi tidak terhindar dari kemungkinan salah dalam
periwayataan. Dengan demikian, kedudukan penelitian yang menerangkan tingkat
kebenaran suatu riwayat menjadi sangat penting.
Ketiga, telah timbul berbagai pemalsuan hadis. Pemalsuan hadis ini para
ahli sejarah mengatakan bahwa telah terjadi sejak masa khalifah Imam Ali bin
Abi Thalib. Faktor yang mendorong pemalsuan hadis ini adalah terutama factor
politik, perselisihan mazhab dan teologi, kepentingan ekonomi, usaha kaum
zindiq, fanatic terhadap bangsa (suku, negeri, bahasa, dan pimpinan),
mempengaruhi kaum awam untuk nasihat, mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan
nasihat, menjilat penguasa. Dengan adanya pemalsua-pemalsuan hadis tersebut,
maka kegiatan penelitian hadis sangat penting. Tanpa adanya penelitian, hadis
nabi akan bercampur aduk dengan hal yang bukan hadis dan perkara yang
menyesatkan.
Keempat, Proses penghimpunan hadis yang terlalu lama. Proses penghimpunan
hadis dimulai sejak kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H/720 M).[4] Khalifah
memerintahkan kepada seluruh gubernur dan para ulama ahli hadis untuk
menuliskan hadis Nabi. Terlihat bahwa, penyusunan hadis dilakukan setelah masa
yang jauh dari wafatnya Nabi.
Kelima, Jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang
beragam. Jumlah kitab hadis yang dikeluarkan oleh ulama ahli hadis sangatlah
banyak, ini disebabkan banyaknya ulama ahli hadis dan adanya ulama yang
mengeluarkan kitab hadis lebih dari satu kitab dengan metode berbeda. Perbedaan
ini disebabkan yang menjadi penekanan dalam kegiatan penulisan itu bukanlah
metode penyusunannya, melainkan penghimpunan hadisnya. ‘Dalam criteria yang
beragam dalam hadis-hadis yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut, maka
kualitas hadis-hadisnya tidak selalu sama. Untuk mengetahui hadis-hadis yang
termuat dalam berbagai kitab himpunan itu berkualitas shahih ataukah tidak
shahih, diperlukan kegiatan penelitian.’[5]
Keenam, telah terjadi periwayatan hadis secara makna. Periwayatan hadis
secara makna, telah ada sejak zaman nabi Muhammad, walaupun para sahabat dan ulama berbeda pendapat
tentang boleh atau tidaknya meriwayatkan hadis secara makna. Sebab dalam
periwayatan hadis secara makna memerlukan persaratan yang harus dipenuhi,
seperti periwayat harus memdalam ilmunya tentang bahasa Arab, hadis yang
diriwayatkan bukanlah termasuk kedalam persoalan ta’abudi. Permasalahan
yang timbul dengan adanya periwayatan hadis secara maknawi adalah adanya
kesulitan dalam mengetahui kandungan petunjuk hadis tersebut, sebab untuk
mengetahui kandungan suatu hadis perlu mengetahui susunan redaksi/tekstualitas
hadis tersebut.
Dari
beberapa factor di atas, jelas bahwa sampai dengan saat ini masih diperlukan
adanya penelitian terhadap hadis nabi.
BAB II
LANGKAH AWAL PENELITIAN HADIS
1. Pola penelitian hadis klasik
Pada abad-abad terakhir untuk
meneliti keshahihan hadis, para ulama ahli hadis mengunakan metode kritik Hadis
Nabi SAW. Metode kritik hadis telah berkembang sejak lama. Terbagi dalam tiga
periode yang disebutnya sebagai periodisasi dalam naqd al-hadits. Yaitu sebagai
berikut, pertama, periode Shahabat dan Tabi'in (sampai paruh abad II
Hijriyah), kedua, periode tadwin hadis dan ta'sis funun an-naqdiyah
(hingga akhir abad IV Hijriyah) dan terakhir adalah periode penyempurnaan dari
periode sebelumnya, mulai abad IV-IX Hijriyyah.
Setelah itu, perkembangan kritik hadis
terus berlanjut, baik melalui
metodologi ataupun segi sanad dan matn-nya, bahkan terkesan semakin
ketat dan kritis hingga dewasa ini.
metodologi ataupun segi sanad dan matn-nya, bahkan terkesan semakin
ketat dan kritis hingga dewasa ini.
a. Pengertian Kritik Hadis
Kritik secara bahasa adalah kecaman[6], dan
cela, celaan, kecam, kupas (masalah karya)[7]. Arti
yang agak luas adalah memberi pertimbangan dan menunjukkan mana yang salah dan
yang benar. Kritik dalam kamus Arab disebut dengan kata naqd adalah mashdar
dari kata naqada digunakan dengan arti ‘kritik’, ‘meneliti dengan
seksama’.[8] Jadi
dalam arti bahasa (lugawi), naqd itu dapat menjelaskan pada setiap
sesuatu untuk menyingkapkan dan mengujikannya.
Menurut Muhammad Mustafa Azami kata naqd
sudah dipergunakan oleh ahli hadis masa awal. Pada masa nabi istilah ini hanya
berarti pergi menemui nabi untuk membuktikan sesuatu yang dilaporkan telah
dikatakan beliau.[9]
Para ulama ahli hadis mengunakan kata naqd, tetapi istilah ini tidak
populer dikalangan mereka, mereka menamakan ilmu yang berurusan dengan kritik
hadis dengan sebutan al Jarh wa al ta’dil, yang berarti, ilmu
menunjukkan ketidak-shahihan dan keandalan dalam hadis.[10] Ilmu
kritik hadis ('ilm naqd al-hadis), adalah menetapkan status para perawi hadis,
baik tajrih (kecacatan), maupun ta'dil (keadilan) dengan
menggunakan kata-kata tertentu yang ditentukan oleh para ahli hadis, dan
meneliti matn-matn hadis yang sanadnya shahih untuk di-tashih
atau sebaliknya (di-tadla'if), dan untuk menghilangkan (kesahihan matn)
dari yang musykil, lalu menolak atau menghindarkan dari matn yang bertentangan dengan cara menerapkan
aturan standar yang tepat.
b. Sejarah dan Perkembangan Kritik Hadis
Dari ‘kritik’ di atas, dapat
dikatakan bahwa kritik terhadap hadis Nabi SAW., telah dimulai sejak zaman Nabi
SAW Jika demikian, ‘ilmu’ ini mengalami proses yang panjang, sesuai dengan perkembangan
intelektual.
Kritik hadis dimulai dengan pertumbuhan,
kemudian mengalami fase-fase (tahapan) tertentu dalam perkembangan menuju
kesempurnaannya, sehingga mempunyai kaidah dan metodologinya. Pada fase awal
pertumbuhan, pengajaran hadis dilakukan oleh Rasul dengan cara pengajaran
secara verbal/lisan, pengajaran tertulis (dikte kepada para ahli), demonstrasi
secara praktis. Kemudian para sahabat menghafalkan hadis dan menyampaikannya
kepada sahabat yang lain atau dengan pola periwayatan.
Untuk membuktikan kebenaran hadis
yang disampaikan para sahabat, sahabat lain yang mendengar hadis tersebut dapat
langsung menanyakan kebenarannya kepada Rasulullah. Pada zaman Nabi SAW.,
penelitian hadis masih bersifat verifikatif dan konfirmatif. Kritik hadis Nabi
SAW. memasuki tahapan baru, setelah periode di atas. Tahap baru tersebut adalah
dengan melakukan perjalanan (journay) untuk memperoleh hadis.
Setelah hadis-hadis dibukukan oleh
ulama ahli hadis, untuk membuktikan kebenaran suatu hadis dapat melihat
langsung kedalam buku-buku hadis yang ditulis tersebut. Hingga sekarang
penelitian hadis terus berkembang guna pembuktian kebenaran hadis dengan
melahirkan berbagai macam ilmu hadis, termasuk ilmu kritik sanad dan matn
hadis.
Kritik hadis sebagaimana dipaparkan
di depan telah mempunyai beberapa aturan, kaidah yang standar. Kaidah-kaidah
yang dimaksud atau standar kritik Hadis Nabi SAW., secara global dan sederhana
dapat dilihat dari pengertian tentang hadis shahih. Hadis shahih adalah hadis
yang bersambung sanadnya (sampai ke Nabi SAW.), diriwayatkan oleh rawi yang
adil dan dlabit sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan (syadz)
dan cacat ('illah).
c. Kaidah Kritik Sanad dan Matn Hadis.
Dari definisi tersebut dapat
diuraikan unsur-unsur kaidah hadis
shahih dalam dua kategori; pertama, shahih karena sanad, yakni
bersambung, rawinya adil, dan dabit. Kedua, shahih karena
matn, yakni tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan tidak terdapat
cacat ('illah).
shahih dalam dua kategori; pertama, shahih karena sanad, yakni
bersambung, rawinya adil, dan dabit. Kedua, shahih karena
matn, yakni tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan tidak terdapat
cacat ('illah).
a. Sanad
Kedudukan sanad dalam
periwayatan sebuah hadis sangat penting, jika sebuah berita tanpa adanya sanad
yang jelas maka para ulama sepakat bahwa berita itu tidak dapat disebut sebagai
hadis. Mengingat pentingnya sanad, Muhammad bin Sirrin mengatakan bahwa,
‘Sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa
kamu mengambil agamamu’.[11]
Sedangkan ‘Abdullah bin al-Mubarak mengatakan bahwa, ‘sanad hadis
merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada, niscaya
siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dihendakinya.’[12] Dari
pernyataan di atas, menunjukkan bahwa pentingnya penelitian sanad hadis,
sebab sanad merupakan bagian yang sangat dari periwayatan hadis.
Sanad
menurut bahasa berarti sandaran, atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Yang
dimaksud disini adalah menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya atau
lebih khusus kepada Nabi SAW. Sanad merupakan, ‘Silsilah para perawi
yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.’[13]
Pembahasan tentang sanad
hadis, tentu mengandung dua bagian penting yakni, pertama, nama-nama
periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadis yang bersangkutan. Kedua,
lambang-lambang periwayatan hadis yang telah digunakan oleh masing-masing
periwayat dalam meriwayatkan hadis yang bersangkutan, misalnya sami’tu,
akhbaroni, ‘an, dan anna.[14]
b. Matn
Matn
atau al matn menurut bahasa berarti ma irtafa’a min al ardhi,
tanah yang meninggi, ‘suatu kalimat tempat berakhirnya sanad’[15], atau
‘lafaz-lafaz hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu’[16]. Dalam
penelitian matn hadis ada beberapa kesulitan diantaranya adalah,
1.
Adanya periwayatan secara
makna,
2.
Acuan yang digunakan sebagai
pendekatan tidak satu macam saja,
3.
Latar belakang timbulnya
petunjuk hadis selalu tidak selalu mudah dapat diketahui,
4.
Adanya kandungan petunjuk hadis
yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi supra rasional,
5.
Masih langkanya kitab-kitab
yang membahas secara khusus penelitian matn hadis.[17]
2.
Langkah-Langkah Penelitian Hadis Klasik
Langkah awal dalam penelitian hadis
adalah takhrijul hadis. Pengertian takhrijul hadis dalam kegiatan
penelitian hadis adalah ‘penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab
sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu
dikemukakan secara lengkap matn dan sanad hadis yang
bersangkutan’.[18]
Adapun sebab pentingnya takhrijul
hadis adalah;
a.
Untuk mengetahui asal usul
riwayat hadis yang akan diteliti,
b.
Untuk mengetahui seluruh
riwayat bagi hadis yang akan diteliti,
c.
Untuk mengetahui ada atau tidak
adanya syahid (periwayat tingkat sahabat nabi) dan mutabi’ (periwayat
bukan tingkat sahabat nabi) pada sanad yang diteliti.[19]
Ada dua metode penelitian dalam takhrijul
hadis. Pertama, metode takhrijul hadis bil lafz (penelusuran
hadis melalui lafz). Kedua, metode takhrijul hadis bil maudu’
(penelusuran hadis melalui topic masalah)[20].
BAB III
PENELITIAN PADA SANAD HADIS
A.
Langkah-langkah
penelitian sanad hadis
Penelitian ini diawali dengan takhrijul
hadis, seluruh sanad dicatat dan dihimpun kemudian dilakukan
kegiatan I’tibar.
1. I’tibar
I’tibar secara bahasa berarti ‘peninjauan terhadap berbagai hal dengan
maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis’, menurut istilah adalah
‘menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu,
yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang
periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sandnya yang
tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada
untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud’[21].
Dalam I’tibar ini diperlukan
pembuatan skema seluruh sanad dari hadis yang akan diteliti, terdiri
dari beberapa hal yaitu jalur seluruh sanad, nama-nama periwayat untuk
seluruh sanad, metode periwayatan yang yang digunakan oleh masing-masing
periwayat.
2. Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya
a. adil
Penelitian pada pribadi periwayat
meliputi kualitas pribadi dan kapasitas intelektual. Kualitas pribadi periwayat
adalah berkaitan dengan adil atau tidaknya perawi hadis. ‘Perawi yang adil
ialah yang bersifat konsisten dan komitmen tinggi terhadap urusan agama, yang
bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang dapat merusak kepribadian’[22]. Ada
beberapa criteria adil yaitu, pertama, beragama Islam. kedua, mukalaf
(mukallaf). Ketiga, melaksanakan ketentuan agama. Keempat,
memelihara muru’ah.[23]
- Dabit.
Dabid
atau kapasitas intelektual periwayat berkaitan dengan ke-dabit-an
periwayat hadis. Paling tidak ada dua criteria ke-dabit-an rawi sesuai
dengan pendapat ulama hadis, yaitu, pertama, periwayat yang bersifat dabit
adalah periwayat yang (a) hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya, dan (b)
mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain. Kedua,
priwayat yang bersifat dabit ialah periwayat yang selain disebutkan
dalam butir pertama di atas, juga dia mampu memahami dengan baik hadis yang
dihafalkannya itu.[24]
c. Jarh wa ta’dil
Dalam penelitian pribadi periwayat
hadis diperlukan juga penelitian Jarh wa ta’dil seorang rawi. Jarh
secara bahasa berarti luka, cela atau cacat, maka jarh adalah ilmu yang
mempelajari ‘kecacatan pada perawi hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat
merusak keadilan atau ke-dabit-an perawi’.[25] Jadi
dapat disimpulkan dari ulama hadis bahwa, jarh wa taqdil merupakan ilmu
yang memabahas tentang para rawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan
mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan
atau lafaz tertentu.[26]
Adapun informasi jarh wa taqdil
seorang rawi dapat diketahui melalui dua jalan, yaitu;
Pertama, popularitas para
rawi dikalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil,
atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah dikenal dikalangan ahli ilmu
tenang keadilanya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya,
begi pula dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak
perlu lagi dipersoalkan.
Kedua, berdasarkan pujian
atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila perawi yang adil menta’dilkan
seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap
cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa
diterima. Begitu pula rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil
telah mentajrihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.[27]
d.
persambungan sanad yang
diteliti
a) lambang-lambang
metode periwayatan
Hal selanjutnya yang perlu
diperhatikan adalah lambang-lambang metode periwayatan. Periwayatan hadis,
yakni kegiatan menerima dan menyampaikan riwayat hadis secara lengkap, baik sanad
maupun matn-nya, dikenal dengan istilah tahammul waada’ul hadis.
Lambang-lambang atau kata-kata yang
disepakati misalnya, sami’na, haddasani, nawalana, dan nawalani.
Kedua lambang yang disebutkan pertama disepakati penggunaannya untuk
periwayatan dengan metode as sama’ (arti harfiahnya, pendengaran),
sebagai metode yang menurut jumhur ulama hadis memiliki tingkat akurasi yang
tinggi. Dua lambang yang disebutkan berikutnya disepakati sebagai lambang
periwayatan al munawalah, yakni metode periwayatan yang masih
dipersoalkan tingkat akurasinya. … untuk kata sami’tu sebagian periwayat
mengunakannya untuk metode as sama’ dan sebagian periwayat lagi
mengunakannya untuk al qira’an. Kata-kata hadasana, akhbarona, dan
qala lana, oleh sebagian periwayat digunakan untuk lambang metode as
sama’. Oleh sebagian periwayat digunakan untuk lambang al qira’ah,
dan oleh sebagian periwayat lagi digunakan untuk lambang metode al ijazah.[28]
Ada delapan macam periwayatan hadis
sesuai didalam kitab-kitab hadis, yaitu;
1.
sama’, yaitu seorang guru membaca hadis didepan murit,
2.
‘Ardh, seorang murit
membacakan hadis (yang didapat) didepan gurunya,
3.
Ijazah, pemberian izin oleh seorang guru kepda murit untuk meriwayatkan
sebuah buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu persatu,
4.
Munawalah, seorang guru memberikan sebuah materi tertulis kepada seseorang
untuk meriwayatkannya,
5.
Kitabah, seorang guru menuliskan rangkaian hadis untuk seseorang,
6.
I’lam, memberikan informasi kepada seseorang bahwa ia memberikan izin untuk
meriwayatkan hadis tertentu,
7.
Washiyah, seorang guru (syaikhul hadis) mewariskan buku-buku hadisnya kepada
seseorang,
8.
Wajadah, seseorang menemukan sejumlah buku-buku hadis yang ditulis oleh
seseorang yang tidak dikenal namanya.[29]
Dari kedelapan ini ulama hadis ada
yang menilai sebagai metode sah dan yang tidak sah. Untuk mengetahui kualitas
hadis, sangatlah penting untuk meneliti hubungan antara periwayat hadis dengan
metode yang digunakan dalam meriwayatkan hadis.
b) meneliti syuzuz
(kejanggalan) dan ‘illah (cacat)
Menentukan kualitas hadis, hal
selanjutnya yang harus diteliti adalah kemungkinan adanya syuzuz
(kejanggalan) dan ‘illah (cacat) dalam sanad hadis. Ada beberapa
pendapat tentang hadis syuzuz, yaitu;
1.
Hadis yang diriwayatkan oleh
orang yang siqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang
dikemukakan oleh banyak periwayat yang siqah juga. (pendapat imam syafi’I wafat
204 H/820 M)
2.
Hadis yang diriwayatkan oleh
orang yang siqah, tetapi orang-orang yang siqah lainya tidak
meriwayatkan hadis itu. (pendapat al Hakim an Naisaburi wafat 405 H/1014 M)
3.
Hadis yang sanad-nya
hanya satu buah saja, baik periwayatannya bersifat siqah maupun tidak
bersifat siqah. (pendapat Abu Ya’la al Khalili wafat 446 H)[30]
Penelitian ‘illah hadis sangat
sulit, sehingga dalam penelitian ini memerlukan langkah-langkah yang
sistematis. Ibnul Madini (wafat 234 H/849 M) dan al Khatib al Bagdadi (wafat
463 H/1072 M) memberi petunjuk untuk meneliti ‘illah hadis, maka
langkah-langkah yang harus ditempuh adalah: pertama, seluruh sanad hadis
untuk matn yang semakna dihimpunkan dan diteliti, bila hadis yang
bersangkutan memang memiliki mutabi’ ataupun syahid. Kedua,
seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang
telah dikemukakan oleh para ahli kritik hadis. Sesudah itu, lalu sanad
yang satu diperbandingkan dengan sanad yang lain. Berdasarklan
ketinggian pengetahuan ilmu hadis yang telah dimiliki oleh peneliti hadis
tersebut, maka akan dapat ditemukan, apabila sanad hadis yang
bersangkutan mengandung ‘illah atau tidak.[31]
Adapun ‘illah hadis dapat
ditemukan pada;
1.
Sanad yang tampak muttasil
(bersambung) dari marfu’ (bersandar kepada nabi) tetapi kenyataannya mauquf
(bersandar kepada shahabat nabi) walaupun sanadnya dalam keadaan muttasil (bersambung).
2.
Sanad yang tampak muttasil dan marfu’, tetapi kenyataannya mursal
(bersandar kepada tabi’in, orang Islam generasi sesudah sahabat nabi dan sempat
bertemu dengan shahabat Nabi) walaupun sanad-nya dalam keadaan muttasil.
3.
Dalam hadis itu telah terjadi
kerancuan Karena bercampur dengan hadis yang lain.
4.
Dalam sanad hadis itu
terjadi kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki kemiripan atau
kesamaan dengan periwayat yang lain yang kualitanya berbeda[32].
Tahap akhir dalam penelitian sanad
ini adalah menyimpulkan hasil penelitian, yaitu membuat natijah atau konklusi
dengan disertai argument yang jelas dan kuat.
BAB IV
PENELITIAN PADA MATN HADIS
A. Langkah-Langkah Penelitian
Matn Hadis
1. Meneliti matn dengan melihat kualitas sanadnya.
Keberadaan matn sangatlah
penting dalam sebuah hadis, begitu juga sanad. Kedua komponen hadis
tersebut, saling melengkapi, sebab setiap matn harus ada sanadnya,
jika tidak, sebuah hadis tidak dapat dikatakan berasal dari Rasulullah. Dalam
penelitian matn sangatlah penting dilakukan setelah penelitaian sanad,
sebab dari sini akan diketehui keshahihan dan kedho’ifan sanad dari matn
yang akan diteliti. Jika sanadnya dho’if, maka matn yang
shahih tidak dapat menjadikannya hadis yang bersangkutan shahih.
Kualitas matn hadis tidak
selalu sama kualitasnya dengan kualitas sanad hadis, ulama hadis sepakat
bahwa kualitas hadis dinyatakan shahih (li zatihi) bila sanad dan
matn hadis ini sama-sama berkualitas shahih. Jika hanya salah satu saja
yang shahih maka tidak bisa disebut sebagai hadis shahih. Adanya hadis yang sanadnya
shahih tetapi matnnya dho’if, atau sebaliknya, itu ada beberapa
sebab yaitu;
1.
Karena telah terjadi kesalahan
dalam melaksanakan penelitian matn, umpamanya karena kesalahan dalam
mengunakan pendekatan ketika meneliti matn yang bersangkutan,
2.
Karena telah terjadi kesalahan
dalam melaksanakan penelitian sanad,
3.
Karena matn hadis yang
bersangkutan telah mengalami periwayatan secara makna yang ternyata mengalami
kesalahpahaman[33].
Unsur-unsur keshahihan matn
terdiri dari dua hal yaitu, terhindar dari syuzuz (kejanggalan), dan
terhindar dari ‘illah (cacat). Penelitaian kedua unsur tersebut
terbilang agak sulit, sebab belum ada kitab yang menghimpun secara khusus matn
hadis yang mengandung syuzuz atau ‘illah. Sehingga dalam matn,
kualitas matn sama halnya dengan kualitas sanad terbagi menjadi
beberapa kualitas yaitu, shahih, hasan, dho’if. Namun dalam matn istilah
hasan tidak dikenal.
Menentukan matn hadis dalam
kualitas shahih, dho’if dan palsu, para ulama ahli hadis mempunyai tolak ukur.
Menurut Salahuddin al Adlabi menyimpulkan bahwa tolak ukur untuk penelitian matn
(ma’yir naqdil matn) ada empat macam, yaitu;
1.
Tidak bertentangan dengan
petunjuk al Qur’an,
2.
Tidak bertentangan dengan hadis
yang lebih kuat,
3.
Tidak bertentangan dengan akal
yang sehat, indra, dan sejarah,
4.
Susunan pernyataannya
menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian[34].
Jumhur ulama hadis, menyimpulkan
bahwa ada beberapa tanda-tanda matn hadis yang palsu itu ialah;
1.
Susunan bahasanya rancu.
Rasulullah yang sangat fasih dalam berbahasa Arab dan memiliki gaya bahasa yang
khas, mustahil menyabdakan peryataan yang rancu tersebut.
2.
Kandungan pernyataan
bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara
rasional.
3.
Kandungan pernyataannya
bertenatangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, misalnya saja ajakan untuk
berbuat maksiat.
4.
Kandungan pernyataannya
bertentangan dengan sunnatullah (hukum alam).
5.
Kandungan pernyataannya
bertentangan dengan fakta sejarah.
6.
Kandungan pernyataannya
bertentangan dengan petunjuk al Qur’an ataupun hadis mutawatir yang
telah mengandung petunjuk secara pasti.
7.
Kandungan pernyataannya berada
diluar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam, misalnya saja amalan
tertentu yang menuntut petunjuk umum ajaran Islam dinyatakan sebagai amalan
yang tidak seberapa, tetapi diiming-iming dengan pahala yang sangat luar biasa.[35]
2. Meneliti susunan matn yang semakna.
Meneliti susunan matn yang
semakna. Adanya perbedaan lafal pada matn disebatkan karena adanya
periwayatan hadis secara makna. Namun perbedaan lafal matn dapat terjadi
karena adanya kesalahan dalam periwayatan hadis tersebut. Untuk menentukan
keshahihan sebuah hadis, maka diperlukan penelitian matn yang semakna,
yaitu dengan mengunakan muqaranah (perbandingan). Dengan adanya metode
penelitian muqaranah akan dapat diketahui kemungkinan adanya ziyadah
(tambahan), menurut istilah ilmu hadis, ziyadah pada matn ialah
tambahan lafal ataupun kalimat (pernyataan) yang terdapat pada matn,
tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedang periwayat tertentu
lainnya tidak mengemukakannya. Ulama hadis pada umumnya menekankan bahwa ziyadah
itu dikemukakan oleh seorang periwayat. Pada kenyataannya, ada juga ziyadah
yang dikemukakan oleh sejumlah periwayat.
Penambahan selanjutnya berkenaan
dengan idraj. Idraj berarti memasukkan pernyataan-pernyataan dari
periwayat kedalam suatu matn hadis yang diriwayatkannya sehingga
menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari nabi karena tidak adanya
penjelasan dalam matn hadis itu.
Idraj
dan ziyadah memiliki kemiripan, yakni tambahan yang terdapat pada
riwayat matn hadis. Bedanya, idraj berasal dari diri periwayat,
sedangkan ziyadah (yang memenuhi syarat) merupakan bagian tak
terpisahkan dari matn hadis nabi. Hadis yang mengandung idraj
disebut sebagai hadis mudraj, sedangkan hadis yang mengandung ziyadah
disebut sebagai hadis mazid.
3. Meneliti kandungan matn.
Dalam meneliti kandungan matn
adalah dengan, pertama, membandingkan kandungan matn yang sejalan
atau tidak bertentangan. Yang harus dilakukan adalah memperhatikan matn-matn
dan dalil-dalil lain yang mempunyai topic masalah yang sama. Untuk mengetahui
ada atau tidak adanya matn lain yang memiliki topic masalah yang sama,
perlu dilakukan takhrijul hadis bil maudu’. Apa bila ada matn
lain yang topiknya sama, maka matn itu perlu diteliti sanad-nya.
Apa bila sanad-nya memenuhi syarat, maka kegiatan muqaranah kandungan
matn-matn tersebut dilakukan. Apa bila kandungan matn yang
diperbandingkan ternyata sama, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan penelitian
sudah berakhir.[36]
Bila sebaliknya, maka penelitian masih harus dilanjutkan.
Kedua,
membandingkan kandungan matn yang tidak sejalan atau tampak
bertentangan. Sebenarnya adanya pertentangan matn madis merupakan suatu
hal yang hapir mustahil, sebab seluruh hadis berasal dari Rasul sehingga tidak
mungkin Rasulullah mengatakan hal yang bertentangan. Lebih-lebih jika sebuah matn
hadis bertentangan dengan al Qur’an, hapir sesuatu yang mustahil sebab keduanya
diyakini berasal dari Allah. Para ulama ahli hadis berbeda pendapat dalam
menyelesaikan pertentangan matn hadis. Ibnu Hajar al Asqalani,
sebagaimana dikutip oleh Syuhudi Ismail, memberikan tahapan dalam menyelesaikan
permasalahan ini, pertama, at taufiq (jam’u atau al talfiq). Kedua,
an nasikh wal mansukh. Ketiga, at tarjih, dan keempat, at taufiq[37].
Tahap akhir dalan penelitian matan
ini adalah menyimpulkan hasil penelitian. Yaitu dengan membuat sebuah konklusi
atau natijah dengan disertai argument yang kuat.
BAB V
POLA PENELITIAN HADIS
KONTEMPORER
A. Langkah-Langkah
Penelitian Hadis (Kontemporer)
Kritik hadis adalah usaha untuk
mengetahui shahih tidaknya suatu hadis dan mempertanyakan apakah hadis tersebut
benar-benar berasal dari Nabi SAW. atau bukan. Berarti, sasarannya adalah
dokumen dan teks sumber yang menginformasikan tentang Nabi SAW. Penelitian
sejarah, berupaya meneliti sumber dalam rangka memperoleh data yang autentik
dan dapat dipercaya. Sumber data, dilihat dari sifatnya ada dua, yaitu sumber
primer dan sekunder, penelitian pada sumber tersebut ada dua macam, kritik
ekstern dan kritik intern.
Penelitian hadis Nabi SAW., kritik
yang ditujukan pada sanad (perawi) atau naqd as-sanad disebut kritik
ekstern dalam ilmu sejarah atau naqd al-hadis al-khariji, an-naqd
adh-dhahiri; dan kritik pada matn (naqd al-matn), disebut
juga kritik intern dalam ilmu sejarah (an-naqd ad-dakhili, an-naqd
al-bathini). Jadi, kritik hadis Nabi SAW., itu terbagi menjadi dua aspek atau
segi, yakni segi sanad dan segi matn .
Penelitian hadis Nabi SAW., tersebut,
terdapat beberapa metode yang digunakan, baik pada zaman Nabi SAW., ataupun era
saat ini, kontemporer. Metode-metode yang dimaksud adalah metode komparatif,
metode rasionalisasi, dan kontekstual.
1. Metode Komparatif.
a.
Untuk mencapai pernyataan yang
otentik, peneliti perlu membandingkan kata-kata ulama satu dengan yang lainnya.
b.
Perbandingan hadis-hadis dari
berbagai murid seorang ulama
ahli hadis. Yaitu dengan cara mengumpulkan berbagai hadis, kemudian dibandingkan dengan yang lainnya.
ahli hadis. Yaitu dengan cara mengumpulkan berbagai hadis, kemudian dibandingkan dengan yang lainnya.
c.
Perbandingan pernyataan seorang
ulama setelah jarak waktu
tertentu.
tertentu.
d.
Perbandingan dokumen yang
tertulis dengan hadis yang disampaikan
dari ingatan.
dari ingatan.
e.
Perbandingan hadis dengan ayat
Al-Qur'an yang berkaitan.
2. Metode Rasional.
Metode rasional juga dapat dilakukan
karena berbagai hal,
setidaknya ada empat, yaitu pertentangan antara hadis dan Al-Qur'an,
hadis-hadis yang saling bertentangan, dan hadis-hadis yang
berkaitan dengan sains dan sunnatullah, tapi tidak bisa diterima
secara rasional.[38]
setidaknya ada empat, yaitu pertentangan antara hadis dan Al-Qur'an,
hadis-hadis yang saling bertentangan, dan hadis-hadis yang
berkaitan dengan sains dan sunnatullah, tapi tidak bisa diterima
secara rasional.[38]
a.
Pertentangan antara hadis
dengan Al-Qur'an.
Metode ini diawali dengan meneliti matn hadis dan
Al-Qur'an. Jika hadisnya bertentangan dengan Al-Qur'an dan tidak bisa
dikompromikan, maka hadis tersebut harus ditolak dan yang dijadikan
pegangan adalah Al-Qur'an.
dikompromikan, maka hadis tersebut harus ditolak dan yang dijadikan
pegangan adalah Al-Qur'an.
b.
Hadis-hadis yang saling
bertentangan.
Motode ini adalah dengan membandingkan satu hadis dengan
hadis lainnya, bila keduanya bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka
yang dipakai adalah hadis yang lebih kuat dan lebih shahih dari segala seginya.
c.
Hadis yang berkaitan dengan
sains dan sunnatullah, tapi tidak bisa
diterima secara rasional.
diterima secara rasional.
Sains dapat dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran, jika
memang telah menjadi kesepakan saintis, namun tidak mutlak sebagai satu-satunya
penentu kebenaran.
3. Metode Kontekstual.
Maksudnya dengan metode ini atau
pendekatan kontekstual atas hadis
Nabi SAW., adalah memahami hadis berdasarkan dengan peristiwa-peristiwa situasi ketika hadis itu disampaikan, dan kepada siapa ditujukan. Dengan perkataan lain, bahwa metode kontekstual diperlukan sabab al-wurud al-hadis. Untuk dapat melakukan kritik hadis lebih lanjut akan dibahas dalam ‘standarisasi’ sebagai patokan, atau kaidah-kaidahnya.
Nabi SAW., adalah memahami hadis berdasarkan dengan peristiwa-peristiwa situasi ketika hadis itu disampaikan, dan kepada siapa ditujukan. Dengan perkataan lain, bahwa metode kontekstual diperlukan sabab al-wurud al-hadis. Untuk dapat melakukan kritik hadis lebih lanjut akan dibahas dalam ‘standarisasi’ sebagai patokan, atau kaidah-kaidahnya.
Kritik hadis sebagaimana dipaparkan
di depan telah mempunyai beberapa aturan, kaidah yang standar. Kaidah-kaidah
yang dimaksud atau standar kritik Hadis Nabi SAW., secara global dan sederhana
dapat dilihat dari
pengertian tentang hadis shahih. Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanad-nya (sampai ke Nabi SAW.), diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dlabit sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat ('illah).
pengertian tentang hadis shahih. Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanad-nya (sampai ke Nabi SAW.), diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dlabit sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat ('illah).
a.
Sanad (Periwayatan)
Sanad adalah penjelasan tentang jalan yang menyampaikan
kita pada
materi hadis. Untuk menentukan kualitas hadis (metode kritik), kedudukan sanad itu sangat penting sekali.
materi hadis. Untuk menentukan kualitas hadis (metode kritik), kedudukan sanad itu sangat penting sekali.
Unsur-Unsur Kaidah Kritik Sanad
1.
Unsur pertama sanadnya
bersambung, antara lain; muttashil, marfu', mahfudh, dan bukan
mu'allal.
2.
Perawi bersifat adil, antara
lain; beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, dan
memelihara muru'ah.
3.
Unsur ketiga adalah perawinya
bersifat dabit, antara lain; hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya,
mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadis yang dihafalnya kepada orang lain,
terhindar dari syuzuz, dan terhindar dari 'illah.
b.
Matn (Materi/Isi)
Yang dimaksud matn adalah
sabda Nabi SAW., setelah disebutkan sanadnya. Dalam ulum al-hadis
terdapat tiga kemungkinan pembagian tentang matn. Pertama dari
segi penyampainya, meliputi; al-hadis al-Qudsi, al-marfu', al-mauquf, dan
al-maqthu'. Kedua dari segi ilmu-ilmu yang menjelaskan pada matn,
meliputi; garib al-hadis, asbab wurud al-hadis, nasikh al-hadis wa
mansukhuh, mukhtalaf al-hadis, dan muhkam al-hadis. Ketiga,
ilmu-ilmu yang berkembang dari aspek matn yang diriwayatkan dengan
berbagai periwayatan dan hadis-hadis lainnya.
Kaidah Kritik Matn Hadis
Terhindar dari syadz dan
terhindar dari 'illah merupakan dua kaidah
matn hadis. Untuk menjabarkan dua kaidah tersebut dalam kritik hadis, sebagaimana dalam sanad di atas, nampaknya masih cukup kesulitan bagi para pemikir al-hadis. Namun sebagian pemikir dan pemerhati Hadis Nabi SAW. telah melakukannya dengan cara yang berbeda (secara sendiri) sebagai kesahihah suatu matn, sehingga tidak mengherankan jika tidak semua ulama dalam mengungkapkannya sama persis.
matn hadis. Untuk menjabarkan dua kaidah tersebut dalam kritik hadis, sebagaimana dalam sanad di atas, nampaknya masih cukup kesulitan bagi para pemikir al-hadis. Namun sebagian pemikir dan pemerhati Hadis Nabi SAW. telah melakukannya dengan cara yang berbeda (secara sendiri) sebagai kesahihah suatu matn, sehingga tidak mengherankan jika tidak semua ulama dalam mengungkapkannya sama persis.
Unsur-Unsur Kaidah Kritik matn hadis
Matn tidak
bertentangan dengan akal sehat, tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur'an yang
muhkam, tidak bertentangan dengan hadis mutawatir; tidak bertentangan dengan
amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama
sebelumnya, tidak bertentangan dengan dalil yang pasti, tidak
bertentangan dengan hadis Ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat, tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah, dan terakhir susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri kenabian[39].
sebelumnya, tidak bertentangan dengan dalil yang pasti, tidak
bertentangan dengan hadis Ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat, tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah, dan terakhir susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri kenabian[39].
Dari penjelsan di atas dapat dibuat
sebuah table tentang pola penelitian hadis klasik dan konemporer sebagai
berikut;
No
|
Pola penelitian klasik
|
Pola penelitian kontemporer
|
1
|
Verifikatif,
Melakukan
perjalanan untuk mencari hadis,
Kritik sanad dan
matn,
|
Metode Komparatif.
Metode Rasional.
Metode Kontekstual.
Kritik sanad dan matn
|
BAB VI
PENUTUP
Penelitian hadis secara kritis oleh ulama
ahli hadis, baik zaman Sahabat maupun dewasa ini terus berkembang. Ini
menunjukkan fungsi dan peran hadis yang sangat penting kedudukannya sebagai
sumber ajaran Islam. Studi kritik hadis Nabi SAW., dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW., secara esensial kritik digunakan untuk mengetahui kebenaran
suatu hadis.
Kritik hadis Nabi SAW., juga mengarah
pada dua aspek, yaitu aspek sanad dan aspek matn. Karena obyek
kritik hadis adalah sumber dokumen dan teks, maka penelitiannya itu tidak berbeda
dengan penelitian sejarah. Seperti metode sejarah, kritik sumber terbagi
menjadi dua, yaitu kritik intern untuk kritik matn (naqd al-khariji)
dan kritik ekstern bagi kritik sanad (naqd
al-bathini). Untuk dapat melakukan kritik pada dua aspek tersebut,
telah digunakan berbagai metode, antara lain, metode komparatif, rasional, dan kontekstual.
al-bathini). Untuk dapat melakukan kritik pada dua aspek tersebut,
telah digunakan berbagai metode, antara lain, metode komparatif, rasional, dan kontekstual.
Dari perkembangan kritik terhadap hadis
Nabi SAW., masih
tetap mempunyai relevansi sampai saat ini. Setidaknya, urgensitas tersebut dilihat berbagai perkembangan kritik hadis yang ada pada abad mutakhir, sehingga kita dapat membedakan kritik-kritik manakah yang relevan untuk konteks saat ini, tentu saja sesuai dengan metodologi yang dipakainya.
tetap mempunyai relevansi sampai saat ini. Setidaknya, urgensitas tersebut dilihat berbagai perkembangan kritik hadis yang ada pada abad mutakhir, sehingga kita dapat membedakan kritik-kritik manakah yang relevan untuk konteks saat ini, tentu saja sesuai dengan metodologi yang dipakainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Husain Muslim bin al Hajaj al Qusyairi, al-jami’ as
shahih (shahih Muslim), disunting kembali oleh Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi
(‘Isa al Babi al Halabi wa syurakah, 1375/1955M),
Ahmad W. Munawir, Kamus al Munawir Arab-Indonesia
Terlengkap, (Surabaya, Pustaka Progresif, 2002),
Erfan soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah,
(Jakarta, Kencana, 2003),
Muhammad Mustafa Azami, Studies In Hadith Methodology and
literature, terj. A. Yamin, (Jakarta; Pustaka Hidayah, 1992),
Muhammad Hajjaj Al-khatib, As Sunnah Qabla Al-Tadwin,
(Bairut: Dar Al-Fikr, 1997), Mahmud al Thahhan, Taisir Mushthalah al Hadits,
(Bairut: Dar al Qur’an al Karim, 1399 H/1979 M),
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta; Rajagrafindo Persada,
2002),
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis,
(Jakarta; Pustaka Hidayah, 1992),
Nur Al Din ‘Itr, Manhaj al Naqdi Fi Ulumul Hadis,
(Beirut; Al Fikr, 1979),
Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,
(Jakarta, Bulan Bintang, 1992),
Pius A Partanto dan M Dahlan al Bari, Kamus Ilmiah popular,
(Surabaya, Arloka, 1994),
Salahuddin bin Ahmad al Adlabi, Manhaj Naqdil matn
(Beirut, Daru al Afaq al Jadidah, 1403 H/1983 M),
Subhi As Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta,
pustaka firdaus, 2000),
Subhi al Shalih, Ulumul al Hadis Wa Mushthalahuhu,
(Beirut, Al ‘Ilmu Al Malayin, tt),
Syuhudi Isna’il, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis,
(Jakarta, Bulan Bintang, 1988)
Yulius dkk, Kamus
Bahasa Indonesia, (Surabaya; Usaha Nasional, 1984)
[1] Hadis adalah isim (kata benda) dari
tahdist yang berarti perkataan, kemudian didevinisikan segala sesuatu
yang dinisbatkan kepada Nabi saw baik berupa perkataan (qaul), perbuatan
(fi'l), atau ketetapan (taqri’r) atau sifat khuluqiyyah
(sifat akhlak Nabi) atau sifat khalqiyyah (sifat ciptaan atau bentuk
tubuh Nabi) sebelum bi'sah (diutus manjadi Rasul) atau sesudahnya. Hadis
diartikan sebagai pembicaraan/perkataan, sesuai dengan firman Allah SWT, “Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang
mendustakan perkataan (al-hadist) ini (Al Quran). Nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang
tidak mereka ketahui” (al-Qalam 68:44). Dan firman Allah, “Allah telah
menurunkan perkataan (al-hadist) yang paling baik (yaitu) Al Quran yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang…”. (Az-Zumar 39 : 23)
[2] Kata sunnah, menurut kamus bahasa Arab bermakna; jalan,
arah, peraturan, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup. Kata sunnah
dan bentuk jamaknya, sunan, telah digunakan sebanayak 16 kali didalam
al-Qur’an. Kata sunnah seringkali dipakai dalam pengertian arah
peraturan yang sudah mapan, mode kehidupan dan garisan sikap. Kata sunnah
selalu dipakai dalam pengertian yang berbeda, seperti dalam syari’at (hukum
Islam), kata sunnah bermakna praktek religius yang tidak diwajibkan, hanya
sebatas dianjurkan. Hal ini juga menunjukkan kepada sunnah dalam
pengertian kepada salam satu sumber hokum yang empat. Sedangkan dalam tariqat
ad din kata sunnah memiliki makna perilaku keteladanan Nabi Saw.
Lihat, Muhammad Mustafa Azami, Studies In Hadith Methodology and literature,
terj. A. Yamin, (Jakarta; Pustaka Hidayah, 1992), hlm.20
[3] Erfan soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah, (Jakarta,
Kencana, 2003), hlm.3
[4] Lihat, Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,
(Jakarta, Bulan Bintang, 1992), hlm.16 dan Syuhudi Isna’il, Kaedah
Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta, Bulan Bintang, 1988), hlm.98 dan 100
[5] Ibid, hlm20
[6] Yulius dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Surabaya; Usaha
Nasional, 1984)
[7] Pius A Partanto dan M Dahlan al Bari, Kamus Ilmiah popular,
(Surabaya, Arloka, 1994), hlm.380
[8] Ahmad W. Munawir, Kamus al Munawir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya, Pustaka Progresif, 2002), hlm1452
[9] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta;
Pustaka Hidayah, 1992), hlm.82
[10] Ibid, hlm.82
[11] Al-Qusyairi, al-jami’ as shahih (shahih muslim), disunting
kembali oleh Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi (‘Isa al Babi al Halabi wa syurakah,
1375/1955M), juz I, h.14, Via, Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis
Nabi, hlm.24
[12] Ibid, hlm.24
[13] Muhammad Hajjaj Al-khatib, As Sunnah Qabla Al-Tadwin,
(Bairut: Dar Al-Fikr, 1997), Via, Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta;
Rajagrafindo Persada, 2002), hlm.46
[14] Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm.25
[15] Mahmud al Thahhan, Taisir Mushthalah al Hadits, (Bairut: Dar
al Qur’an al Karim, 1399 H/1979 M), hlm.7, Via, Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
hlm.46
[16] Muhammad Hajjaj Al-khatib, As Sunnah Qabla Al-Tadwin, Via,
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hlm.47
[17] Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm.28
[18] Ibid, hlm.43
[19] Ibid, hlm.44
[20] Ibid, hlm.46 dan 49
[21] Ibid, hlm.51
[22] Subhi As Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta, pustaka
firdaus, 2000), hlm.117
[23] Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm.67
[24] Ibid, hlm.70
[25] Nur Al Din ‘Itr, Manhaj al Naqdi Fi Ulumul Hadis, (Beirut;
Al Fikr, 1979), hlm.92, Via, Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hlm.31
[26] Subhi al Shalih, Ulumul al Hadis Wa Mushthalahuhu, (Beirut, Al
‘Ilmu Al Malayin, tt), hlm.109
[27] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta; Rajagrafindo Persada,
2002), hlm.33
[28] Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm.82-83
[29] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, hlm37-38
[30] Ibid, hlm.85-86
[31] Ibid, hlm.88
[32] Ibid, hlm.89
[33] Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm.124
[34] Salahuddin bin Ahmad al Adlabi, Manhaj Naqdil matn (Beirut,
Daru al Afaq al Jadidah, 1403 H/1983 M), hlm.238, Via, Syuhudi Isma’il, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, hlm.129
[35] Ibid, hlm.237-238, Via, Syuhudi Isma’il, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, hlm.127-128
[36] Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm.141
[37] Ibid, hlm.144-145
[38] Salahuddin bin Ahmad al Adlabi, Manhaj Naqdil matn (Beirut,
Daru al Afaq al Jadidah, 1403 H/1983 M), hlm.238, Via, Syuhudi Isma’il, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, hlm.129
[39] Ibid, hlm.237-238, Via, Syuhudi Isma’il, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, hlm.127-128
No comments:
Post a Comment