Tuesday, 28 March 2017

SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN



Oleh: Ari Wardoyo[1]

BAB I
PENDAHULUAN

Dunia pendidikan kita dalam beberapa tahun yang silam telah mengalami berbagai hal yang serat dengan nilai sejarah untuk masa yang akan datang. Berbagai peraturan telah dikeluarkan untuk menyempurnakan system pendidikan di tanah air. Diantaranya adalah tentang system pendidikan nasional, pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar, menengah, pendidikan tinggi dan berbagai peraturan yang berkaitan langsung dengan system pendidikan.
Terkait dengan munculnya berbagai peraturan tentang pendidikan nasional, tentu berbagai asumsipun muncul sebagai bentuk usaha untuk mengkritisi peraturan tersebut. Tentu tidak semua asumsi bernada positif, terdapat pula asumsi yang bernada negative. Ada yang berasumsi bahwa, mutu pendidikan akan dapat ditingkatkan apa bila ditangani dengan efisien. Artinya berbagai sumber yang mempengaruhi terjadinya proses pendidikan perlu ditangani secara jelas, terkendali dan terarah. Kurikulum harus diarahkan dan dirinci, para gurupun harus dipersiapkan dan ditugaskan keberbagai daerah, sarana dan dana pendidikan harus diprogramkan secara efisien.
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dari setiap warga negara, maka kewajiban pemerintah untuk memformulasikan pendidikan dengan sebaik mungkin. Dalam hal ini unit pendidikan yang paling dekat, pemerintah pusat dan daerah, berkewajiban untuk melaksanakannya. Pendidikan menjadi salah satu masalah terutama pembagian wewenang kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Inilah yang kemudian disebut sebagai tarik menarik antara sentralisasi dan desentralisasi pendidikan.
Sentralisasi dan desentraslisi pendidikan menjadi permasalahan yang sangat urgen untuk didiskusikan, sebab pendidikan sebagai pilar pembangunan bangsa, dan sekaligus sebagai alat transformasi pembangunan nasional. Berkait dengan hal tersebut, mutu pendidikan merupakan masalah yang berkait dengan pengelolaan system pendidikan dan kebijakan yang diterapkan. Pendidikan harus mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan dalam setiap lini kehidupan, setiap kawasan dan daerah mempunyai kebutuhan yang berbeda, dan tentu mempunyai potensi yang berbeda pula. Dalam hal ini kebijakan pemerintah pusat menjadi penentu dalam kesuksesan pendidikan kita dimasa yang akan datang.               


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SENTRALISASI/DESENTRALISASI
1. Sentralisasi
Sentralisasi secara bahasa berasal dari bahasa ingris yaitu dari kata ‘center’ yang dapat berarti pusat[2], sentralisasi adalah pemusatan.[3] Sentralisasi merupakan memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sistem ini digunakan sebelum adanya otonomi daerah atau desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi seluruh keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat tidak akan mengalami kekuatiran akan adanya permasalah yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, sebab keputusan dan kebijakan dikontrol oleh pemerintah pusat.
Pada dasarnya Pusat mempunyai kecenderungan untuk mendorong sentralisasi, seperti juga di Indonesia yang telah melaksanakan system sentralisasi. Tentu dalam system sentralisasi terdapat alasan yang positif maupun negative.  Seperti alasan kontrol sumber daya dan alasan kestabilan politik, ekonomi, menjaga batas kesenjangan agar tidak terlalu buruk, dan mendorong program secara cepat.
Pada dasarnya sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan organisasi atau perusahaan bahkan negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang yang ada pada pusat dan daerah. Artinya, dalam penerapan kedua system tersebut, system apa pun yang dipakai mempunyai konsekuensi yang mengiringinya. Pembagian, pengurangan atau penambahan wewenang merupakan konsekuensi logis yang harus diterima. Dalam bahasa yang lebih ekstrim, bahkan ada salah satu pihak yang dirugikan.     
2. Desentralisasi
Desentralisasi secara bahasa berasal dari bahasa ingris, yang artinya pendaerahan pemerintahan, pemberian wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri.[4]
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada pemimpin atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur organisasi. Sistem ini, desentralisasi, banyak digunakan oleh organisasi ataupun perusahaan pada saat ini, sebab dapat memperbaiki serta meningkatkan efektifitas dan produktivitas organisasi. Artinya, sistem penyelengaraan organisasi, perusahaan atau pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah yang memberikan sebagian wewenang untuk memutuskan berbagai persoalan ditingkat pemerintah daerah atau pemda.
Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Daerah dapat menetapkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing. Kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah adanya peluang yang sangat besar terjadinya penyelewengan wewenang untuk kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah ditingkat pusat.
Bila dibandingkan, kelemahan pengambilan keputusan yang terpusat lebih besar, sebab sebahagian keputusan yang dihasilkan lepas dari konteks yang selalu berubah pada level daerah, hal ini disebabkan pemerintah pusat yang tidak memahami kondisi yang dialami oleh daerah. Pengalaman menunjukan bahwa sistem yang terpusat tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Desentralisasi/otonomi daerah adalah sebuah proses yang komplek dan dapat membawa perubahan-perunahan yang penting berkaitan dengan menciptakan kebijakan, sumber daya, pengeluaran dana, serta pengelolaan organisasi, pemerintah daerah.
Dalam konteks Indonesia, kelahiran otonomi daerah tidak lepas pula dari tuntutan pembangunan. ‘Kita telah melihat bahwa keputusan politik untuk memberi otonomi kepada daerah didorong pula oleh tuntunan pembangunan nasional yang semakin meningkat dan semakin kompleks sehingga meminta penanganan yang lebih efisien serta mengikut sertakan masyarakat sedapat-dapatnya dalam mengambil keputusan, dalam merencanakan, melaksanakan dan bertanggungjawab atas pembangunan di daerahnya.’[5]     
2. DARI SENTRALISASI MENUJU DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Indonesia dalam sejarah pernah mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan dibanding dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia. Kemajuan itu tentu juga merupakan hasil jerih payah pemerintah dan masyarakat. Malaysia pada waktu itu banyak mengirimkan mahasiswanya ke-Indonesia, bahkan banyak guru-guru yang dikirim ke Malaysia, kemudian Malaysia mampu memperbaiki pendidikannya. Ironisnya, saat ini justru Indonesia tertinggal dibanding negara Malaysia dalam bidang pendidikan, Indonesia tidak mampu mempertahankan kesuksesannya, bahkan pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran.
Dari permasalahan di atas, tentu kita akan berfikir mendalam bagaimana ini bisa terjadi? apa yang salah dengan pendidikan kita saat ini? Sebab jika hal ini dibiarkan, tentu akan berdampak pada aspek-aspek yang lain, bahkan dapat menjadi tolak ukur untuk kemajuan dan kemunduran suatu bangsa.    
Pendidikan dimanapun memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pembangunan suatu bangsa, pendidikan merupakan tempat untuk menanamkan dan menerjemahkan pesan-pesan konstitusi, undang-undang, untuk membentuk watak masyarakat. Keberhasilan dalam mengarahkan, pencapaian tujuan pendidikan tersebut, tentu memerlukan kerangka sistem penyelengaraan pendidikan, yang meliputi arah kebijakan pendidikan.
a.      Arah kebijakan Pendidikan
Arah kebijakan pendidikan Indonesia menurut Isbandi[6] bahwa ada beberapa poin, diantara;
  1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan;
  2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
  3. Melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional;
  4.  Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan pra sarana memadai;
  5.  Melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
  6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk menetapkan sistem pendidikan yang efektif dan efesien dalam mengahadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
  7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.
Dalam upaya peningkatan mutu pendidian pemerintah telah memperluas dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan pra sarana memadai. Hal ini telah memperjelas bahwa pemerintah telah memberikan keluasan kepada penyelengara pendidikan ditingkat daerah untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan potensi daerah dan sekolah masing-masing. Atau dengan kata lain, pemerintah telah memberlakukan sistem desentralisasi pendidikan. Desentralisasi pendidikan merupakan terobosan besar dalam pembangunan bangsa yang selama ini memakai paradigma top-down berubah menjadi memakai paradigma bottom-up. Sesuai dengan PP No. 25 tahun 2000 maka sejumlah kewenangan dalam bidang pendidikan yang selama ini berada di pusat akan dilimpahkan kepada institusi penyelenggara pendidikan dalam bingkai pemerintah daerah dan sekolah, termasuk dalam hal pengembangan kurikulum sekolah yang sekarang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bentuk desentralisasi pendidikan tidak terlepas juga dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
‘… suksesnya pembangunan nasional kita dimasa yang akan datang antara lain akan ditentukan oleh pengembangan manajemen pembangunan kita diberbagai bidang. Transformasi ekonomi dan social yang begitu cepat meminta pengelolaan sumber dengan strategi pengembangan kelembagaan dan kepemimpinan yang kondusif bagi tumbuhnya masyarakat yang aktif dan partisipasif dalam pembangunan sehingga dapat memanfaatkan berbagai sumber yang tersedia dalam lingkungan social budaya dan potensi ekonominya. Arah pendekatan manajemen pembangunan kita kiranya sudah jelas, dari sentralisasi yang berlebihan menuju kepada desentralisasi yang positif’.[7]    
Dengan demikian sekolah secara penuh memiliki otonomi dalam mengembangkan pendidikan. Sekolah diizinkan untuk menyusun sendiri kurikulum yang akan diajarkan, tentunya tetap berdasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Depdiknas. Sekolah dapat memilih kurikulum mana yang sekiranya dibutuhkan di sekolah dapat dijalankan dengan keleluasaan. Begitu juga proses pembelajarannya dapat dilakukan sesuai kebutuhan.
Ada beberapa alasan desentralisasi pendidikan diterapkan, sesuai dengan penjelasan Isjoni bahwa, ‘Dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan diberbagai masyarakat di dunia, terdapat beberapa alasan mengapa konsep ini diberlakukan. Alasannya beragam seperti, ketidak mampuan pemerintah pusat untuk mengangkat mutu pendidikan secara merata, alasan politis untuk memenangkan pertarungan para calon politik, dan untuk pemenangan pemilu yang demokratis. Demikian pula berbagai alasan tersembunyi seperti mengurangi tanggung jawab pemerintah pusat terhadap pengurusan daerah, sampai pada bantuan pemerintah pusat kepada daerah. Begitu pula dengan anggapan bahwa desentralisasi dipicu oleh kebutuhan pembangunan yang lebih merata keberbagai daerah.’.[8] Alasan ini merupakan sebuah pelarian ketikmampuan dari pemerintah pusat untuk menyerahkan pendidikan kepada pemerintah daerah, tentu alasan ini tidak mendasar dan terbilang sangat klise.
Dalam penyelengaraan pendidikan, kebutuhan daerah dan masyarakat tentu sangat beragam, komplek dan tidak semua kebutuhan tersebut mampu dipenuhi oleh pemerintah. Oleh sebab itu, akan lebih bijak dan sudah selayaknya tanggung jawab pendidikan diserahkan kepada masyarakat untuk mengelolanya. Inilah alasan yang tepat, mengapa harus diterapkan system desentralisasi pendidikan. Lebih lanjut Isjoni mengatakan, ‘pengembalian tanggung jawab pendidikan kepada rakyat sebagai pemiliknya merupakan suatu proses pembangunan demokrasi yang sangat mendasar. Hanya anggota masyarakat yang terdidik yang dapat menjadi warga demokratis yang produktif. Penyelengaraan pendidikan harus mengikut-sertakan masyarakat karena masyarakat yang menjadi stekholders yang pertama dan utama dari proses pendidikan tersebut. Hal ini berarti proses pendidikan, tujuan pendidikan, dan sarana pendidikan termasuk pula mutu pendidikan merupakan tanggung jawab masyarakat setempat’.[9] Inilah yang disebut dengan masyarakat sebagai basis pendidikan. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat, membebaskan masyarakat dari keterpurukan, baik ekonomi, social, budaya dan politik. Tentu masyarakat lebih mengetahui kebutuhannya.
Institusi pendidikan yang dikelola secara desentralistik, sekolah lebih dominant sebagai institusi akademik, berbeda dengan institusi sekolah yang dikelola secara sentralistik, sekolah akan tampil sebagai unit birokrasi ketimbang sebagai institusi akademik. Kepala sekolah, guru, staff akan tampil sebagai aparat birokrasi yang terkontaminasi dengan kekuasaan yang terikat dengan prilaku politisi katimbang sebagai tenaga akademik yang professional.
‘Konsep desentralisasi pendidikan memberikan keleluasaan kewenangan bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mengatur dan mengelola pendidikan di wilayahnya. Proses kebijakan pemerintah daerah dalam dunia pendidikan harus melibatkan peran serta masyarakat, sebagai salah satu amanat dari diberlakukannya otonomi daerah. Alasan utama diberlakukannya desentralisasi pendidikan adalah mengubah paradigma pendidikan sentralistis pada desentralisasi. Hal tersebut sebagai alternatif pengembangan keberagaman potensi pendidikan yang tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, sehingga suatu saat diharapkan dapat membentuk citra dan kewibawaan pendidikan sebagai motor penggerak bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.’.[10]
b. Strategi kebijakan manajemen pendidikan
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan memerlukan perumusan kebijakan-kebijakan manajemen pendidikan dasar yang sesuai dengan kondisi social budaya serta komitmen politik nasional. Menurut H.A.R. Tilaar (2006:35-46) ada beberapa hal yang perlu dirumuskan, diantaranya adalah:
  1. Wawasan Nusantara
Banyak anggapan bahwa pendidikan, dengan system desentralisasi, merupakan musuh bagi pemerintah pusat yang kuat. Sebab pendidikan yang baik akan menghasilkan lulusan yang baik, dan mempunyai kesadaran kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah. Desentralisasi juga dapat mengurangi rasa nasionalisme, sebagaimana yang dinyatakan oleh H.A.R. Tilaar bahwa, ‘Desentralisasi manajemen pendidikan dasar memang tidak dengan sendirinya akan melemahkan tumbuh berkembangnya perasaan nasionalisme yang sehat. Namun desentralisasi cenderung memberi perioritas kepada penghayatan-penghayatan nasionalisme yang konkrit dan menjauhi hal-hal yang abstrak seperti nasionalisme, patriotisme dan cita-cita nasional. Dengan demikian dapat dimengerti bahaya yang mengintai dibalik pendekatan desentralisasi seperti sparatisme, apalagi sejarah kehidupan nasional kita pernah mengalami trauma akibat rasa daerahisme yang sempit. Dengan pengakuan dan kesepakatan kita untuk menjadikan pancasila sebagai satu-satunya weltanschauung bangsa dan masyarakat indonesisa, momok sparatisme kiranya tidak merupakan bahaya lagi asal tetap kita waspada’.[11]     
  1. Demokrasi
‘Pelaksanaan pendidikan dengan desentralisasi menuntut untuk mengikutsertakan peran masayarakat. Penyelengaraan pendidikan berdasarkan asas-asas demokrasi ialah mengikut-sertakan unsure-unsur pemerintah setempat, masyarakat, orang tua saling bahu-membahu menyelenggarakan pendidikan yang dikehendaki bagi anak-anaknya, dengan berpedoman pada patokan-patokan umum yang berlaku’.[12]    
Dengan adanya demokrasi, setiap unsure masyarakat mempunyai hak untuk menyumbangkan dan ikut serta dalam setiap proses pembangunan untuk memajukan bangsa dan negara. Keikut-sertaan masyarakat dalam proses pembangunan menjadi salah satu kelebihan tersendiri, sebab pada dasarnya masyarakat lebih mengetahui tentang kebutuhannya dan potensi yang dimiliki.     
  1. Kurikulum
Desentralisasi memerlukan berbagai macam sarana dan tenaga pendidik, kemampuan untuk menyusun kurikulum local yang dijabarkan dari kurikulum nasional serta menyiapkan alat-alat batu belajar (teknologi pendidikan) yang sesuai dengan kurikulum jabaran itu. Penyusunan kurikulum harus mampu menyerap kebutuhan lingkungan, pengembangan kebudayaan local dan nasional, sebab keduanya saling mengisi, tentu memerlukan inovasi pendidikan.   
  1. Proses Belajar Mengajar
Penguasaan ilmu pengetahuan, dalam proses belajar mengajar, akan mudah diserap jika dilaksanakan secara kontektual. Proses belajar tidak terjadi dalam ruang hampa, data, ilmu pengetahuan, hanya dapat diserap dalam kaitannya dengan dunia nyata. Inilah kelebihan desentralistik, memberi peluang penyajian situasi belajar mengajar yang konkrit sehingga dengan demikian proses pengasahan penalaran dapat terjadi secara wajar, dan oleh sebab itu, akan lebih berhasil. Lingkungan pendidikan adalah sumber belajar yang pertama dan utama, oleh sebab itu proses belajar mengajar yang tidak memperhatikan lingkungan bukan hanya menjauhkan peserta didik dari sadar lingkungan, juga tidak akan membuahkan hasil belajar yang maksimal.  
  1. Efisiensi
Pendidikan yang dikelola secara sentralistik cenderung melahirkan system yang sangat makro dan kurang memperhatikan kebutuhan daerah yang beraneka ragam. Dengan system ujian nasional yang sentralistik semakin menjauhkan dari relevansinya terhadap kebutuhan kehidupan yang nyata. Sehingga lulusan yang dihasilkan pun tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, dan tidak mampu mengisi celah-celah yang membutuhkan tenaga professional, ini adalah pemborosan. Sistem pendidikan desentralisasi sebenarnya tidak menjamin dapat mengatasi permasalahan tersebut, akan tetapi, desentralisasi penyelengaraan pendidikan akan meningkatkan efisiensi eksternal karena masyarakat local mengetahui benar kebutuhannya.   
  1. Pembiayaan Pendidikan
Permasalahan pendidikan kita yang selama ini menjadi hambatan salah satunya adalah anggaran dana pendidikan. Indonesia dibading dengan negara-negara ASEAN lainnya, merupakan negara yang mengalokasikan dana APBN terkecil untuk anggaran pendidikan. Walaupun ada perencanaan untuk mengalokasikan 20 % untuk anggaran pendidikan, namun sampai saat ini belum maksimal terealisasikan. Dengan adanya desentralisasi pendidikan, proses mobilisasi sumber dana dari masyarakat diharapkan akan mudah dilaksanakan, sebab desentralisasi pendidikan mendekatkan pendidikan kepada masyarakat, dengan demikian akan dapat memobilisasi dan menjaring sumber yang ada dalam masyarakat untuk kepentingan pendidikan.        
  1. Ketenagaan
Keberadaan tenaga pendidik memang sangat urgan dalam pendidikan. Pengadaan dan pemanfaatan guru sekolah harus ditangani secara desentralisasi sebab masalah penempatnnya harus betul-betul berdsarkan keadaan dan kebutuhan pada sekolah-sekolah.  
Dengan pertimbangan perumusan kebijakan-kebijakan manajemen pendidikan dasar yang sesuai dengan kondisi social budaya serta komitmen politik nasional, menjadi sebuah poros baru bagi kita untuk mengatasi dikotomi sentralisasi vs desentralisasi. Dengan adanya pertimbangan ke-7 unsur di atas, sentralisasi maupun desentralisasi pendidikan masa depan akan saling mengisi kekurangan dan kelebihannya masing-masing.  


BAB III
PENUTUP

Penyelengaraan system pendidikan bukan merupakan masalah yang sederhana, yang tidak akan selesai dengan hanya penerapan pendekatan system sentralisasi maupun desentralisasi pendidikan. Masing-masing pendekatan mempunyai kekuatan dan kelemahan. Akan tetapi pembangunan pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang semakin mendekatkan kepda masyarakat atau dalam arti desentralisasi. Desentralisasi pendidikan memerlukan persiapan yang matang dari semua kompenen dan juga pemerintah. Tentu hal ini memerlukan waktu yang panjang untuk memperoleh hasil yang sempurna.
Desentralisasi pendidikan memberikan keleluasaan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola pendidikan di Wilayahnya masing-masing. Proses kebijakan pemerintah daerah dalam dunia pendidikan harus melibatkan peran serta masyarakat, sebagai salah satu amanat dari diberlakukannya otonomi daerah. Adanaya tarik-menarik dalam pelaksanaan system pendidikan antara sentralisasi dan desentralisasi pendidikan, unsure yang merupakan poros penentu perumusan strategi pengelolaan pendidikan adalah wawasan nusantara, asas demokrasi, kurikulum, tenaga kependidikan, PBM, efesiensi, pembiayaan, dan partisipasi.











DAFTAR PUSTAKA

H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Cet.VIII, (Bandung; Rosdakarya, 2006)
Hasan Langulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta, Al-Husna Zikra, 2000)
http://www.icmimudabanten.org
Isjoni, Membangun visi bersama: Aspek-Aspek Penting Dalam Reformasi Pendidikan, (Jakarta, Buku Obor, 2006)
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Ingris Indonesia, Cet. xxvii, (Jakarta; Gramedia, 2003)
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya; Arloka, 1994)



[1] Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[2] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Ingris Indonesia, Cet. xxvii, (Jakarta; Gramedia, 2003), hlm.104
[3] Ibid, hlm.702
[4] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya; Arloka, 1994), hlm.104

[5] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Cet.VIII, (Bandung; Rosdakarya, 2006), hlm.31
[6] http://www.icmimudabanten.org, Isbandi, Desentralisasi Pendidikan, download 14 November 2007.     
[7] H.A.R. Tilaar, Op.Cit. hlm.33
[8] Isjoni, Membangun visi bersama: Aspek-Aspek Penting Dalam Reformasi Pendidikan, (Jakarta, Buku Obor, 2006), hlm.10-11
[9] Ibid, hlm.11
[10] http://www.icmimudabanten.org, download 14 November 2007  
[11] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, hlm.36
[12] Ibid, hlm.37

No comments:

Post a Comment

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...