Perubahan-perubahan
sosial yang dihadapi kaum muslimin pada periode modern telah mengundang masalah
serius, khususnya yang berkaitan dengan
hukum Islam,[1]
walaupun hukum di dalam Islam merupakan pemberian Tuhan, tetapi manusia
berpotensi untuk merumuskan dan mempergunakannya. Tuhan yang merencanakan,
manusia yang memformulasikan.[2]
Salah satu
aspek hukum yang diatur sedemikian terperinci dan sistematis dalam hukum Islam
adalah soal pewarisan. Aspek ini menarik dan penting, bukan semata adanya
pengaturan kompleksitas peralihan kekayaan antar generasi itu sendiri, tetapi
juga menyangkut kedudukan dan hak-hak perempuan di dalamnya vis a vis kedudukan
dan hak-hak perempuan.
Perdebatan
tentang elastisitas dan adaptabilitas hukum waris Islam dengan tuntutan kondisi
sosial telah menjadi perdebatan yang serius dalam sejarah pemikiran hukum
Islam. Hal ini didasari karena adanya perbedaan penangkapan seseorang terhadap
arti yang terkandung dalam suatu nas, dan yang demikian ini bukanlah suatu hal
yang mustahil, melainkan suatu kewajaran yang harus ditolerir karena nas
al-Qur’an maupun Sunnah tidak lepas dari kenyataan ini.[3] Adanya gagasan atau
gerakan untuk memformulasikan fikih atau hukum Islam telah dirintis bersamaan dengan pembaharuan
pemikiran Islam secara keseluruhan. Namun, sejauh ini perhatian yang relatif
menyeluruh dan berdiri sendiri terhadap kecenderungan pemikiran pembaruan hukum
Islam kebanyakan masih didekati secara parsial.[4]
Pemikiran
tentang perlunya pembaruan hukum Islam, secara konsisten dan concern yang tinggi
telah dilakukan oleh Hazairin. Dalam upaya mereformulasikan hukum Islam
(ijtihad), beliau melakukan interpretasi baru terhadap teks-teks ayat al-Qur’an
atau Sunnah.[5]
Dalam memahami teks-teks ayat al-Qur’an dan al-Sunnah, Hazairin berupaya
membaca teks-teks ayat al-Qur’an dan Sunnah tersebut menurut penafsirannya
sendiri dengan melepaskannya dari konsteks masa turunnya teks-teks ayat
al-Qur’an dan Sunnah tersebut, untuk kemudian ditata kembali secara progresif
berdasarkan tuntutan konteks yang baru. Ijtihad Hazairin ini menghasilkan
konsep baru dalam bidang hukum waris Islam, yang dikenal dengan hukum waris
bilateral sui
generis.[6]
Teorinya itu,
meskipun bersumber dari al-Qur’an dan terinspirasi atas fenomena bentuk
kemasyarakatan yang ada di Indonesia yang pada akhirnya berdampak pada
pembagian harta warisan, belum banyak dikenal di kalangan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut
paham Ahl
as-Sunnah, padahal teorinya ini merupakan sesuatu yang baru.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang
dipakai Hazairin untuk dijadikan dasar dalam mengistinbat hukum waris adalah[7] :
§
للرجال نصيب
مما ترك الوالدان والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأقربون مما قل منه
أو كثر نصيبا مفروضا [8]
§
يوصيكم الله
في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين فإن كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ما ترك وإن
كانت واحدة فلها النصف ولأبويه لكل واحد منهما السدس مما ترك إن كان له ولد فإن لم
يكن له ولد وورثه أبواه فلأمه الثلث فإن كان له إخوة فلأمه السدس من بعد وصية يوصي
بها أو دين ءاباؤكم وأبناؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعا فريضة من الله إن الله
كان عليما حكيما[9]
§
ولكم نصف ما
ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد فإن كان لهن ولد فلكم الربع مما تركن من بعد وصية
يوصين بها أو دين ولهن الربع مما تركتم إن لم يكن لكم ولد فإن كان لكم ولد فلهن
الثمن مما تركتم من بعد وصية توصون بها أو دين وإن كان رجل يورث كلالة أو امرأة
وله أخ أو أخت فلكل واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في الثلث من
بعد وصية يوصى بها أو دين غير مضار وصية من الله والله عليم حليم [10]
§
ولا تتمنوا ما
فضل الله به بعضكم على بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن
واسألوا الله من فضله إن الله كان بكل شيء عليما[11]
§
ولكل جعلنا
موالي مما ترك الوالدان والأقربون والذين عقدت أيمانكم فآتوهم نصيبهم إن الله كان
على كل شيء شهيدا[12]
§
يستفتونك قل
الله يفتيكم في الكلالة إن امرؤ هلك ليس له ولد وله أخت فلها نصف ما ترك وهو يرثها
إن لم يكن لها ولد فإن كانتا اثنتين فلهما الثلثان مما ترك وإن كانوا إخوة رجالا
ونساء فللذكر مثل حظ الأنثيين يبين الله لكم أن تضلوا والله بكل شيء عليم[13]
§
ما جعل الله
لرجل من قلبين في جوفه وما جعل أزواجكم اللائي تظاهرون منهن أمهاتكم وما جعل
أدعياءكم أبناءكم ذلكم قولكم بأفواهكم والله يقول الحق وهو يهدي السبيل[14]
Dalam hal faraid, yakni bagian
tertentu untuk ahli waris tertentu dalam keadaan tertentu sebagaimana tercantum
dalam al-Qur’an, teori Hazairin terdapat
perbedaan dengan Ahl as-Sunnah, khususnya mengenai bagian untuk saudara, meskipun
sama-sama menjadikan al-Qur’an sebagai dasarnya, begitu juga mengenai sisa kecil, yakni
bagian harta sesudah diambil faraid, apabila masih ada kelebihannya terdapat pandangan
yang berbeda. Dalam hal ini timbullah perbedaan mengenai penggolongan ahli
waris, Ahl
as-Sunnah membaginya ke dalam tiga golongan, yaitu golongan ‘asabah dan zawu al-arham selain zawu al-faraid, sedangkan
Hazairin menggolongkannya menjadi zawu al-faraid, zawu al-qarabah dan mawali,[15] yakni ahli
waris pengganti yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi
penghubung antara mereka dengan sipewaris.[16] Hal ini beliau lakukan
sebagai upaya mengatasi bagian warisan cucu dari garis keturunan perempuan, hal
ini bila dibandingkan dengan sistem kewarisan yang terdapat dalam fikih sunni,
sangat bertentangan, karena ulama
sunni menjadikan cucu dari garis keturunan perempuan sebagai zawu al-arham (tidak berhak
mewarisi).[17]
Perbedaan
hasil istinbat di atas
disebabkan karena adanya perbedaan pemahaman terhadap beberapa lafal pokok
dalam ayat-ayat waris di atas, seperti dalam memahami kata al-walad, al-abna, al-ab,
akhun, ukhtun ikhwatun dan kalalah. Hazairin
menafsirkan kata al-walad dan al-abna dalam ayat-ayat kewarisan dengan arti
anak langsung, sebagaimana konsep anak dalam sistem bilateral. Namun demikian beliau
sendiri tidak mengingkari adanya kemungkinan untuk menafsirkan potongan kalimat
“.....ءاباؤكم وأبناؤكم....”
dalam Q.S. 4:11 secara patrilineal menjadi ”.....ayah-ayah kamu dan anak-anak
lelaki kamu....." tetapi jika melihat tempat potongan kalimat ini dalam
keseluruhan ayat, dimana disebut في أولادكم (laki-laki dan perempuan) dan لأبويه
( ayah dan ibu), maka telah dengan sendirinya pikiran tertuju pada urusan
mengenai ayah dan ibu dan semua jenis anak. Kesimpulan ini beliau kuatkan
dengan kata al-abna dan al-aba yang ada
dalam surat al-Ahzab ayat 4 ”.... وما جعل أدعياءكم أبناءكم.....” yang artinya ”Allah tidak menjadikan anak angkatmu
sebagai anakmu”. Menurut Hazairin, ayat ini harus dipahami secara bilateral,
bahwa pengangkatan anak yang ditolak itu mencakup yang laki-laki dan perempuan.[18]
Hazairin
sendiri dalam upaya memahami kata-kata kunci tersebut dan ayat-ayat yang
berhubungan dengan masalah waris, lebih cenderung menggunakan akalnya sendiri
dengan menjadikan ilmu kontemporer dalam hal ini ilmu antropologi sebagai
landasan dalam menafsirkan ayat-ayat waris dengan tidak menggunakan kaidah
bahasa Arab. Hal ini menyebabkan metode istinbat Hazairin tidak bertumpu kuat pada
kerangka usul fikih, walaupun secara formal masih mengaku memperhatikan dan
menggunakan kaedah-kaedahnya sehingga berdampak pada perbedaan hasil istinbat Hazairin
dalam pengelompokkan ahli-waris.
Oleh karena
itu, dalam upaya untuk menghasilkan hukum waris Islam yang komprehensif dan
berkembang secara konsisten yang didasarkan pada metode istinbat yang
sistematis serta dapat dijadikan landasan bagi formulasi hukum waris Islam masa
kini dan masa mendatang serta untuk menjaga kebenaran ajaran al-Qur’an dan bisa
mengikuti modernisasi, maka perlu ada pembahasan dan pengkajian yang obyektif.
Dalam hal ini, studi tentang metode istinbat Hazairin dalam mengelompokkan ahli-waris
menjadi penting.
Penelitian
ini bertujuan menganalisa lebih lanjut metode istinbat yang dipakai Hazairin dalam
mengelompokkan ahli waris beserta bagian-bagian
yang diterima oleh setiap ahli waris. Pemilihan penyusun untuk membahas
pemikiran Hazairin, adalah karena ia selain dipandang sebagai salah seorang
sarjana hukum juga pemerhati masalah-masalah hukum Islam, yang intens untuk
melakukan reformulasi tentang fikih yang bercorak ke-Indonesiaan.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat
dari latar belakang masalah tersebut, agar dapat diperoleh pembahasan yang
konsisten mengenai obyek material yang dikaji, maka masalah yang menjadi
perhatian dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana metode istinbat hukum yang dipakai oleh Hazairin dalam mengelompokkan
ahli waris ?
2. Bagaimana relevansi antara
metode istinbat Hazairin dan
teori usul fikih, seta konstribusinya bagi pembaruan hukum waris Islam ?
C.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
Semua
kegiatan penelitian yang bersifat ilmiah tentu mempunyai tujuan yang ingin
dicapai. Penulisan skripsi ini juga mempunyai tujuan, yaitu :
1.
Menguraikan
secara sistematis tentang pokok-pokok pemikiran Hazairin dalam hal kewarisan
serta menemukan metode istinbat yang dipakai Hazairin dalam
mengelompokkan ahli-waris.
2.
Menganalisa
metode istinbat Hazairin dalam mengelompokkan ahli-waris, serta bagaimana
relevansinya dengan teori usul fikih dan apa konstribusinya bagi pembaruan hukum kewarisan Islam.
Adapun kegunaan dari penyusunan skripsi ini, adalah :
1.
Sebagai
sumbangan pemikiran metodologis dalam upaya mereformulasi hukum Islam,
khususnya yang berkenaan dengan masalah kewarisan.
2.
Memberikan
informasi dan pemahaman bagi yang ingin mendalami metode-metode istinbat
hukum Islam maupun bagi yang tergerak untuk mengkaji lebih dalam tentang konsep waris dalam
Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Pemikiran
kritis dan progresif yang berkaitan dengan masalah konsep waris Islam yang
dikembangkan oleh Hazairin telah merangsang minat yang sangat tinggi di kalangan intelektual dan peneliti
untuk melakukan kajian dan analisis substantif dari karakteristik pemikirannya. Beberapa
buku, disertasi, skripsi serta tulisan-tulisan lepas telah dibuat untuk
keperluan ini.
Sejauh
penelusuran penyusun terdapat beberapa referensi yang relevan dengan tema ini,
di antaranya Al
Yasa Abu Bakar dalam disertasinya yang berjudul : Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab. Di dalam disertasi tersebut dilakukan
penelaahan terhadap nas-nas baik al-Qur’an, ataupun Sunnah tentang kewarisan,
yang mana nas-nas yang dipakai oleh para jumhur ulama tersebut dipakai juga
oleh Hazairin sebagai dalil dalam kewarisan, kemudian dalam pendekatan
pemahaman dalil, Hazairin menggunakan metode baru, yaitu dengan pendekatan
antropologi, dan Hazairin mengajukan metode pemahaman yang baru dan sistematis
dalam memahami dalil-dalil tersebut, yaitu dengan memadukan secara menyeluruh
terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis (dalil nas) seraya memanfaatkan hasil kajian
ilmu kontemporer dengan tujuan akhirnya menciptakan sebuah sistem yang lebih
universal. Dalam disertasi tersebut, Al- Yasa Abu Bakar melakukan komparasi
penalaran antara pemikiran Hazairin dan fikih Mazhab dalam hal ahli waris
sepertalian darah, dengan tidak menganalisa secara khusus metode istinbat hukum yang
dipakai Hazairin dalam mengelompokkan ahli-waris, yang berdasar pada kaidah
usul fikih.
Hal ini dapat
diketahui dari kesimpulannya yang menyebutkan bahwa Hazairin berupaya
memanfaatkan hasil ilmu kontemporer (antropologi) ketika mengijtihadkan
hukum-hukum fikih (kewarisan), dalam rangka menciptakan sebuah sistem yang
lebih terpadu dan menyeluruh. Karena dalam pandangan Hazairin, kelahiran dan
perkembangan ilmu antropologi telah membuka peluang untuk melihat ayat-ayat
kewarisan dalam rangka yang lebih luas, yaitu sistem kekeluargaan dalam
berbagai masyarakat di dunia[19].
Selain itu,
dalam skripsi Kalalah
menurut Asy-Syafi’i dan Hazairin[20] yang ditulis
oleh Ayi Wildan Hilman, juga membahas tentang pemikiran Hazairin yang berkaitan
dengan kalalah. Dalam
skripsi tersebut ia mengomparasikan konsep kalalah menurut Asy-Syafi’i dan Hazairin. Sama
halnya dengan Abdul Hayyi, dalam skripsinya yang berjudul Studi Perbandingan Tentang
Kalalah Menurut T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dan Hazairin,[21] ia juga
melakukan kajian tentang pemikiran Hazairin yang sifatnya komparatif dalam hal kalalah antara
pemikiran Hazairin dengan T.M Hasbi Ash-Shiddieqy.
Belum adanya
penelitian yang bersifat analisis terhadap metode istinbat yang dipakai
Hazairin dalam pengelompokkan ahli waris ini mendorong penyusun untuk
menelitinya. Dalam penelitian ini, penyusun akan menganalisa metode istinbat yang dipakai
Hazairin dalam pengelompokkan ahli waris serta relevansi dan konstribusinya bagi pembaharuan
hukum waris Islam.
E.
Kerangka Teoretik
Untuk
memahami metode istinbat
Hazairin
dalam pembaruan hukum waris Islam, diperlukan beberapa teori pendukung yang
memiliki relevansi kuat. Salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam
yang bersumber pada al-Qur'an dan Sunnah adalah maqasid asy-syari'ah yaitu tentang tujuan ditetapkannya
hukum dalam Islam, yang intinya adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus
menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak madarat. Dengan alasan
itu, maka para ahli teori hukum Islam menjadikan maqasid asy-syari'ah sebagai salah satu kriteria bagi
mujahid dalam melakukan ijtihad karena hal ini dianggap penting dalam penetapan
hukum Islam.[22]
Oleh karena
semua permasalahan hukum Islam harus merujuk pada sumber pokok, yakni al-Qur'an
dan Sunnah, sedangkan banyak persoalan kehidupan yang timbul, selalu membawa
perubahan ataupun mengikuti perkembangan dinamika kehidupan manusia yang belum
disikapi secara tegas oleh al-Qur'an dan Sunnah yang juga harus dipertimbangkan, maka campur tangan
manusia dalam menegakkan prinsip dan aturan dalam kehidupan nyata tersebut
menjadi suatu keniscayaan,[23] dalam hal ini, para
spesialis hukum Islam dituntut untuk mencari solusi hukum melalui studi dan
telaah secara mendalam terhadap nas yang tercatum dalam sumber pokok tadi.
Menurut
Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip oleh Ghufron A Mas'adi, legislasi
al-Qur’an terdiri dari dua unsur: prinsip umum dan legal spesifik. Prinsip umum
yang merupakan makna dan alasan di balik ketentuan legal spesifik, terkadang dinyatakan secara
eksplisit. Kalau tidak demikian, maka prinsip umum tersebut tersimpan secara
implisit yang dapat diketahui dengan cara menarik kesimpulan secara generalis
dari ungkapan-ungkapan legal spesifik dengan mempertimbangkan latar belakang
dan konteks sosiologis periode legislasi dan sebelumnya.[24]
Berdasarkan
pada asumsi di atas, maka
lahirlah aneka macam pola metode istinbat hukum dalam rangka menemukan hukum bagi
setiap permasalahan kehidupan manusia.
Secara umum
pola ijtihad[25]
dapat dibagi ke dalam tiga
pola yaitu : pertama, pola bayani (kajian semantik), yaitu suatu pola dengan memasukkan semua
kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik): kapan suatu lafal
diartikan secara majaz; bagaimana
memilih salah satu arti dari lafal musytarak, mana ayat yang umum, yang diterangkan (‘am, mubayyan) dan mana
yang khusus, yang menerangkan (khas, mubayyin), mana ayat yang qat’i dan mana
pula yang zanni, kapan suatu
perintah dianggap untuk wajib dan kapan pula untuk sunnah, kapan
larangan itu untuk haram dan kapan pula untuk makruh dan seterusnya. Karena itu
dasar metode ini adalah analisis lafal-lafal al-Qur’an dan Hadis dengan bertitik tolak pada
kaidah-kaidah kebahasaan Arab. Dalam metode ini dijelaskan tentang bagaimana
cara suatu lafal syari’ah menunjukkan makna yang dikehendakinya, bagaimana
menyimpulkan makna itu dari kata-kata tersebut
dan bagaimana mengkompromikan berbagai makna yang secara sepintas tampak
saling bertentangan.[26] Kedua, pola ta’lili, yaitu pola
dengan memasukkan semua penalaran yang menjadikan ‘illat (keadaan
atau sifat yang menjadi tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Metode ini
digunakan sebagai upaya untuk memperoleh suatu hukum Islam dengan cara
pemekaran dan perluasan suatu teks syari’ah yang bersifat eksplisit.[27] Ketiga, pola istislahi, yaitu pola
ijtihad dengan melakukan identifikasi terhadap masalah-masalah yang tidak
mempunyai nas khusus sebagai rujukan dengan cara mengumpulkan ayat-ayat umum
guna menciptakan beberapa prinsip umum untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan tertentu.[28]
Sebagai suatu
metode istinbat, istislah menurut para
ulama ahli usul pada hakekatnya merupakan sebuah proses ijtihad bi ar-ra’yi terhadap
masalah-masalah yang didasarkan kepada maslahat. Segmentasi pemeliharaan
maslahat menjangkau lima kebutuhan mendasar bagi manusia atau yang lebih
dikenal dengan al-kulliyyat
al-khamsah, yaitu pemeliharaan bagi jiwa dan raga termasuk kehormatan,
akal, harta benda, nasab atau keturunan dan agama.
Selanjutnya,
kaitannya dengan skripsi ini, maka prinsip legislasi al-Qur’an menurut
Fazlurrahman dan pola metode (rumusan teori) istinbat di atas digunakan penyusun dalam
menganalisa metode istinbat yang
digunakan Hazairin dalam mengelompokkan ahli waris. Sebab penyusun menganggap
bahwa pendekatan seperti ini lebih mudah membantu penyusun dalam menganalisa
metode istinbat yang beliau
gunakan dalam melahirkan gagasannya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Studi ini
merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu menjadikan bahan pustaka
sebagai sumber (data) utama, dengan cara menuliskan, mengklasifikasikan dan
mereduksi data-data tentang metode istinbat hukum Islam yang diperoleh dari buku-buku,
majalah, arsip-arsip maupun manuskrip yang akan dijadikan sebagai landasan
teoritis dari permasalahan penelitiannya.[29]
2. Sifat Penelitian
Sifat
penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-analitis. Penelitian
ini akan berusaha memaparkan konsep dan metode istinbat Hazairin mengenai pengelompokkan ahli
waris. Kemudian
metode istinbat tersebut
dianalisis dengan menggunakan ilmu usul fikih.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan, karenanya, pengumpulan data yang
digunakan adalah dengan menelusuri buku-buku usul fikih, seperti al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, karangan
Saifuddin Abi Hasan ibn Abi 'Ali Ibn Muhammad al-Amidi, Usul al-Fiqh, karangan
Muhammad Abu Zahrah dan 'Ilmu Usul al-Fiqh, karangan Abdul Wahab Khalaf, dan buku-buku
yang disusun oleh Hazairin, seperti Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur'an dan Hadith,
Hukum Kekeluargaan Nasional dan Hendak Kemana Hukum Islam, sebagai data
primer, serta buku-buku lain yang mendukung pendalaman dan ketajaman analisis
sebagai data skunder.
4. Pendekatan Penelitian
Obyek
penelitian ini adalah metode istinbat Hazairin dalam mengelompokkan ahli waris serta bagian yang diperoleh
setiap ahli waris. Oleh sebab itu pendekatan permasalahan yang digunakan
adalah pendekatan usul fikih, dimana pokok pikiran Hazairin tentang metode istinbat dalam
mengelompokkan ahli waris serta bagian yang diperoleh setiap ahli waris akan
dilihat dari perspektif usul fikih. Lalu, agar metode istinbat yang dipakai
Hazairin kelihatan lebih jelas diantara konsep-konsep yang telah ada, sehingga
diperoleh karakteristik substantif metode istinbat yang dikemukakan Hazairin diantara
metode istinbat yang telah
ada.
5. Analisis Data
Data-data
akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan instrumen analisis
deduktif. Deduksi dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data-data yang ada,
kemudian dianalisis dan diinterpretasikan sedemikian rupa supaya data yang
diperoleh dapat menghasilkan kesimpulan yang valid. Dalam hal ini, analisa
terhadap metode istinbat hukum Hazairin dalam mengelompokkan ahli waris. Dengan demikian, akan terlihat
secara lebih utuh dan proporsional metode istinbat yang dipakai Hazairin dalam
mengelompokkan ahli-waris.
G. Sistematika Pembahasan
Penelitian
ini terdiri dari lima bab. Bab pertama, merupakan pendahuluan. Hal-hal yang
dibahas dalam pendahuluan adalah latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Pada bab kedua penyusun
melihat latar belakang kehidupan Hazairin. Hal ini penting untuk dilihat karena
terkait dengan metode istinbat yang dibawanya. Untuk
itu, dalam bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang kehidupannya,
pemikiran dan karya-karyanya, serta karakteristik substantif pemikiran dan
metode istinbat hukumnya, berkaitan
dengan hukum waris Islam.
Pada bab
ketiga penyusun menguraikan kerangka teoritis dan konsepsional tentang metode istinbat hukum Islam
dan sumber-sumber hukum Islam sebagai tempat bertolak dalam pembahasan tentang
metode istinbat yang dipakai
Hazairin dalam mengelompokkan ahli waris.
Bab keempat,
merupakan fokus penelitian ini. Yaitu analisis terhadap metode istinbat Hazairin
dalam mengelompokkan ahli waris secara komprehensif dan obyektif, sehingga
terdapat kejelasan tentang metode istinbat yang dipakai Hazairin dalam masalah ini
dan relevansi serta konstribusinya bagi pembaharuan hukum Islam. Untuk itu, bab
ini akan dimulai dengan pengelompokkan ahli waris menurut Hazairin, lalu
diteruskan dengan metode istinbat yang dipakainya, setelah itu pembahasan dilanjutkan dengan
melihat lebih jauh bagaimana relevansi metode istinbat Hazairin dalam pengelompokkan ahli
waris dan perubahan pembaharuan hukum
waris Islam.
Akhirnya, pada bab
kelima,
yakni bab penutup, pada bab ini penyusun mengemukakan kesimpulan dan
saran-saran.
[1] Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum :
Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin at-Tufi, (Yogyakarta
: UII Press, 2000), hlm. 2.
[2] Noel J. Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, penerjemah:
H. Fuad Zein, (Yogyakarta : Navila,2001), hlm.
2.
[3] Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta : Gama Media, 2002 ), hlm. 256.
[4]Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Gama Media, 2001), hlm. 155.
[6]Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, (Jakarta : Tintamas,
1976), hlm. 15.
[7] Hazairin, Hukum Kewarisan
Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith, (Jakarta :Tintamas, 1982), hlm. 6.
[11]An-Nisa (4) : 32.
[14]Al-Ahzab (3) : 4.
[17] Ibid., hlm. 29.
[19]Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan
Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta : INIS,
1998), hlm. 205.
[20]Ayi Wildan Hilman, Kalalah Menurut Asy-Syafi'i dan Hazairin, Skripsi
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Tahun 2002.
[21]Abdul Hayyi, Studi Perbandingan Tentang Kalalah Menurut T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Skripsi Fakultas
Syari’ah : IAIN Sunan Kalijaga Tahun 1997.
[22]Amir Mu’allin dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam,
(Yogyakarta : UII Press, 2001), hlm. 50.
[23]Abdul Mun'im Saleh, Madhab Syafi'i, Kajian Konsep Al-Maslahah,
(Yogyakarta : Ittaqa Press, 2001), hlm. 41.
[24]Ghufron A Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi
Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998),
hlm.123.
[25]ijtihad : Kesungguhan dan pengerahan segala kemampuan pemikiran
secara optimal untuk menemukan hukum-hukum syara’ dan pengamalannya. Muhammad
Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Dar al-Fikr, tt,tt), hlm. 379.
[26]Amir Mu’allin dan Yusdani, Konfigurasi ...., hlm. 91.
[29] Bambang Sunggono, M.S, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm.114.
No comments:
Post a Comment