BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah s.w.t. menurunkan al-Qur’an kepada Rasul kita
Muhammad s.a.w. untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an
merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni
langit dan penghuni bumi. Turunnya al-Qur’an pada malam lailatul qadar
merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari
Malaikat-Malaikat akan kemuliaan umat Muhammad s.a.w. Turunnya al-Qur’an yang
kedua kalinya secara bertahap, berbeda dengan kitab yang sebelumnya, sangat
mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya, sebelum jelas bagi
mereka rahasia hikmah ilahi yang ada dibalik itu. Rasulullah tidak menerima
risalah agung ini sekaligus dan kaumnya pun tidak puas dengan risalah tersebut karena kesombongan dan permusuhan mereka. Olehnya itu wahyupun turun berangsur-angsur untuk menguatkan hati rasul dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat-Nya.1
Berbicara tentang Nuzul al-Qur’an (turunnya al-Qur’an) seakan kita
membicarakan suatu peristiwa yang sakral yang terjadi pada beribu-ribu tahun
yang lampau. Olehnya itu pantas seorang Nasr Hamid Abu Zaid, mempertanyakan
eksistensi peristiwa tersebut, sebagaimana ia katakana bahwa konsep tentang
Nuzul al-Qur’an masih menyisakan pertanyaan mengenai bagaimana komunikasi
antara Allah dan Malaikat-Nya : pertama, berkaitan dengan kode yang digunakan
dalam komunikasi tersebut, dan kedua, komunikasi antara Malaikat dengan Rasul
mengenai proses penerimaan wahyu selama kode yang dipergunakan oleh keduanya
adalah bahasa Arab. Pertanyaan-pertanyaan sulit ini merupakan masalah sentral
dari salah satu ‘Ulum al-Qur’an, yaitu “bagaimana proses inzal dan maknanya”2.
B. Rumusan Masalah
Dengan demikian, dari permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa makna Nuzul
al-Qur’an ?
2. Apakah fungsi Nuzul
al-Qur’an?
3. Bagaimanakah proses
turunnya al-Qur’an itu?
4. Apakah hikmah
diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur?
5. Kapankah masa
turunnya al-Qur’an itu?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Makna Nuzul al-Qur’an
Nuzul al-Qur’an terdiri dari dua kata yaitu Nuzul dan al-Qur’an. Menurut
bahasa, kata Nuzul dalam kamus lisan
al-Arab berarti (al-hulul) berdiam atau tinggal3. Sedangkan
menurut Az-Zarqani, penggunaan Nuzul itu sendiri mengandung dua pengertian.
Pertama berarti: tinggal disuatu tempat dan berdiam atau beristirahat ditempat
itu. Kedua berarti: turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi menuju ke tempat
yang rendah4.
Sedangkan makna al-Qur’an secara bahasa banyak diperselisihkan oleh para
ulama, ada yang mengatakan Musytaq dan ada yang mengatakan Jamid. Akan tetapi,
secara sederhana apabila kita buka dalam kamus Arab al-Munawwir misalnya, kata tersebut berarti bacaan karena makna tersebut
diambil dari makna Qiraatun atau Qur’an , yaitu bentuk masdar dari Qara’a.
Rangkaian dua kata tersebut yang terdiri dari susunan idhofah memberikan
pemahaman bahwa yang dimaksudkannya adalah turunnya al-Qur’an sendiri. Akan
tetapi kata sebahagian ulama khalaf: kebanyakan orang telah menafsirkan Nuzul
pada beberapa tempat dalam al-Qur’an bukan dengan maknanya yang terkenal,
lantaran kesamaran yang terjadi bagi mereka ditempat-tempat itu, lalu
menjadilah tafsiran mereka hujjah bagi orang yang menafsirkan Nuzul al-Qur’an
itu dengan tafsir mutakallimin. Diantara mereka ada yang mengatakan, bahwa yang
dikehendaki dengan menurunkan al-Qur’an ialah melahirkan dari tempat yang
tertinggi, kemudian malaikat Jibril menurunkannya dari tempat tersebut, dan
diantara mereka ada yang berkata, yang dikehendaki dengan menurunkan al-Qur’an
ialah memberitahu kepada malaikat, sehingga mereka paham, kemudian mereka
membawa turun apa yang telah mereka pahamkan itu6.
Untuk menolak keraguan, Hasbi Ash Shiddiqy memberikan pernyataan bahwa
hakikat keadaan turun yang terdapat dalam kitab Allah ada tiga macam:
Pertama: Turun yang ditegaskan bahwa dia itu diturunkan dari Allah.
Kedua: Turun yang ditegaskan bahwa dia itu diturunkan dari langit.
Ketiga: Turun yang tidak dikaitkan dengan turunnya dari Allah dan tidak
pula dikaitkan dengan turunnya dari langit.7 Ketiga pernyataan
tersebut semuanya bisa kita temui dalam al-Qur’an.
Pertama, firman Allah dalam surah
Al-An’am, ayat 114 yang berbunyi:
أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ
رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
Artinya:
“Bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenar-benarnya, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk
orang yang ragu-ragu”.
Kedua, firman Allah dalam surah Al-Hijr, ayat 22 yang berbunyi :
فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَسْقَيْنَا كُمُوْهُ وَمَآ اَنْتُمْ
لَهُ بِخَازِنِيْنَ
Artinya:
“Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air
itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.
Ketiga, firman Allah dalam surah Al-Fath, ayat 4 yang berbunyi:
هُوَالَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ
فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوْا إِيْمَا نًامَّعَ إِيْمَا
نِهِمْ
Artinya:
“Dialah (Allah) yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang
mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah
ada).
Diantara ketiga ayat yang dikutip diatas, ketika kita memperbincangkan
masalah makna Nuzul dalam kaitannya dengan Nuzul al-Qur’an, menurut hemat
penulis ayat yang pertamalah yang paling mendekati kebenaran, karena memang
pada kenyataannya al-Qur’an itu diturunkan dari Allah merupakan kalam Allah
yang tidak bisa diganggu gugat, bukan kalam orang lain. Dan tidaklah kita
katakan bahwa al-Qur’an itu ‘ibarah dari kalamnya, dan apabila dibaca oleh
seorang pembaca, tidaklah dikatakan kalam pembaca itu sendiri, karena kalam itu
disandarkan kepada orang yang mengatakannya pada permulaan, bukan kepada orang
yang menyampaikannya. Adapun cara Allah menurunkannya akan dibahas pada pembahasan berikutnya.
Kemudian pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah kalau al-Qur’an itu
diturunkan, terus apanyakah yang diturunkan? Apakah lafadznya ataukah maknanya?
Karena hal ini mengundang perdebatan dikalangan ulama, diantaranya ada yang
berpendapat bahwa:
a. Pendapat
pertama, menetapkan bahwa yang diturunkan itu lafadz dan makna. Jibril
menghafal al-Qur’an dari Lauh al-Mahfudz kemudian menurunkannya.
b. Pendapat
kedua, menetapkan bahwa Jibril menurunkan maknanya saja. Rasul memahami
makna-makna itu, lalu beliau menta’birkan dengan bahasa Arab.
c. Pendapat
ketiga, menetapkan bahwa Jibril menerima lalu Jibril mentakbirkannya dengan
bahasa Arab. Dan ada paham bahwa isi langit membaca al-Qur’an itu dengan bahasa
Arab. Lafadz Jibril itulah yang diturunkan kepada Nabi s.a.w.8
Ketiga pendapat
tersebut kalau kita tengok dalam al-Qur’an sebenarnya sudah dijelaskan. Hal ini
juga terkait dengan al-Qur’an apakah ia sebagai lafadz atau makna. Diantaranya
firman Allah sebagai berikut:
بَلْ هُوَ قُرْءَانُ مَجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ
Artinya :
“Tetapi dia
(sebenarnya) Qur’an yang mulia (termaktub) di Lauh al-Mahfudz”.
(Q.S.
al-Buruj:21-22)
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ
Artinya:
“Sesungguhnya
al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul yang
mulia”.
(Q.S.
al-Haqqah:40).
نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الأَمِيْنُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ
الْمُنْذِرِيْنَ
Artinya:
”Dia dibawa
turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi
salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan. (Q.S.
Asy-Syu’ara:193-194).
Ayat pertama dipahami oleh sebagian ulama bahwa al-Qur’an itu dinisbahkan
kepada Allah. Allah menjadikannya di Lauh al-Mahfudz, sementara ayat kedua
dipahami oleh sebagian ulama, bahwa lafadz al-Qur’an adalah lafadz Jibril,
sementara ayat ketiga dipahami juga oleh sebagian ulama, bahwa lafadz al-Qur’an
itu adalah lafadz Rasul sendiri. Kalau demikian, tentulah yang diturunkan
kepada Nabi s.a.w. adalah makna al-Qur’an, lalu Nabi menyebutnya dengan memakai
lafadz Nabi sendiri.9
Para muhaddits berpendapat bahwa, pendapat yang terdekat kepada kebenaran
dan keagungan al-Qur’an, ialah pendapat yang pertama. Itulah yang lebih tepat
dan lebih sesuai dengan kedudukan al-Qur’an sebagai kalamullah dan sebagai
suatu mukjizat.
Al-Juwainy berkata: kalamullah itu (yang diturunkan) terbagi dua yaitu:
Pertama, bahagian yang Allah sampaikan kepada Jibril: katakanlah kepada
Nabi yang engkau diutus kepadanya, bahwa Allah SWT, berkata begini, atau
menyuruh mengerjakan begini, atau memerintahkan begini. Jibril memahami apa
yang difirmankan oleh Allah s.w.t., kemudian ia membawa turun kepada Nabi dan
lalu menyampaikannya apa yang difirmankan Allah s.w.t. kepadanya. Akan tetapi,
bukan dengan ibarat yang didengar oleh Allah s.w.t., yakni yang disampaikan itu
hanya maknanya saja.
Kedua, bahagian yang Allah sampaikan kepada Jibril: Bacalah kepada Nabi
kitab ini, maka Jibril turun membawa yang disuruh baca itu dengan tidak
mengubah lafadz. Hal ini serupa dengan utusan yang diserahkan kepadanya suatu
surat dan diperintahkan ia membaca surat itu kepada orang yang dimaksudkan,
maka yang membawa surat dan yang membacanya, tentulah membacanya persis sebagai
isi surat sendiri, sedikitpun tidak berubah.10
Al-Ashfahani mengatakan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa Ahlu Sunnah wal
Jamaah telah sepakat bahwa kalamullah itu diturunkan, tetapi mereka berbeda
pendapat dalam mengartikan inzal (turunnya) al-Qur’an. Sebahagian lagi
mengatakan bahwa Allah mengilhamkan kalam-Nya kepada Jibril, dengan mengajarkan
bacaan kalam itu kepada Jibril. Setelah itu Jibril melakukan bacaan tadi di
bumi, yang sudah barang tentu ia turun ke bumi.11
Ringkasnya, bahwa makna diturunkannya al-Qur’an ialah, diturunkannya dari
alam gaib kedalam alam syahadah dengan jalan menzahirkan rupanya yang bersifat
alam kepada para utusan-utusan (para malaikat yang dijadikan utusan), atau
dengan jalan dilahirkan di Lauh al-Mahfudz, atau dihujamkan dalam jiwa Nabi.
Beginilah makna diturunkan al-Qur’an yang dipegang oleh ulama khalaf.
Sebagaimana juga diterangkan oleh pengarang al-Kulliyat, bahwa makna diturunkan
al-Qur’an, bukanlah dia diangkat dari satu tempat kesatu
tempat yang lain melainkan hanya maknanya saja, Jibril menurunkan apa yang ia pahami dari kalamullah di atas langit tujuh lalu turun untuk mengajarkan yang demikian kepada para Nabi di atas bumi.12
tempat yang lain melainkan hanya maknanya saja, Jibril menurunkan apa yang ia pahami dari kalamullah di atas langit tujuh lalu turun untuk mengajarkan yang demikian kepada para Nabi di atas bumi.12
2. Fungsi Nuzul al-Qur’an
Ada beberapa fungsi al-Qur’an itu diturunkan Allah yang fungsi-fungsinya
itu sangat berguna bagi manusia sebagai khalifah dibumi ini antara lain adalah:13
1. Allah menurunkan
al-Qur’an kepada nabi Muhammad sebagai petunjuk bagi ummat manusia sebagaimana
firman-Nya dalam surah al-baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَا نَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
2. Al-Qur’an sebagai
pembawa berita yang sangat menakjubkan bagi penghuni bumi dan langit.
3. Menjadi penawar atau
obat penenang jiwa yang gelisah sebagaimana firman-Nya:
وَنُنَزِّلُ مِنَالْقُرْءَانِ مَا هُوَشِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ
3. Proses Nuzul al-Qur’an
a. Cara turunnya wahyu Allah
(al-Qur’an) kepada Jibril
Dalam al-Qur’an
terdapat beberapa nash mengenai kalam Allah kepada para malaikat-Nya14.
Nash-nash tersebut dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para
malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para
malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadits dari Nawas bin Sam’an r.a. yang
mengatakan: Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya: “Apabila Allah hendak
memberikan wahyu mengenai suatu urusan, dia berbicara melalui wahyu, maka
langit pun bergetar dengan getaran yang dahsyat karena takut kepada Allah
s.w.t. Apabila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan jatuh
bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka
diantara mereka itu adalah Jibril, maka Allah membicarakan wahyu itu kepada
Jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi
para malaikat. Setiap kali ia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya
malaikat langit itu: apakah yang telah dikatakan kepada tuhan kita wahai
Jibril? Jibril menjawab : Dia mengatakan yang hak dan Dialah Yang Maha Tinggi
Lagi Maha Besar. Para malaikat pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh
Jibril, alu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti yang diperintahkan Allah
s.w.t.”15.
Olehnya itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang
berupa al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:
a. Bahwa Jibril menerimanya dengan cara mendengar dari
Allah dengan lafalnya yang khusus.
b. Bahwa Jibril menghafalnya dari Lauh
al-Mahfudz.
c. Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang
lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad s.a.w.
Menurut pandangan al-Qattan, kalau dilihat dari ketiga pendapat tersebut,
maka pendapat pertamalah yang benar, karena diperkuat oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Nawas bin Sama’an diatas, dan pendapat ini juga dijadikan
pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah16.
Dalam hal ini az-Zarqani memberikan
pandangan bahwa : Allah memberikan pemahaman kepada Jibril mengenai kalam-Nya
pada saat berada dilangit, namun Dia tidak berada disuatu tempat, Allah
mengajarinya cara membaca, kemudian Jibril menyampaikannya ke bumi, dan dia
turun pada suatu tempat17.
Sedangkan al-Ghazali mengatakan : Jibril menghafalkan al-Qur’an dari Lauh
al-Mahfudz dan membawanya turun, sebagian diantara mereka menyebutkan bahwa
masing-masing huruf al-Qur’an dalam Lauh al-Mahfudz seukuran gunung Qaf, dan
bahwa dibalik setiap huruf terdapat makna-makna yang hanya diketahui oleh Allah
s.w.t., dan huruf-huruf itulah merupakan pembungkus makna-makna al-Qur’an18.
b. Cara Wahyu Allah (al-Qur’an) turun kepada
Nabi Muhammad s.a.w..
Secara garis besar, cara wahyu Allah (al-Qur’an) turun kepada Nabi, ada
yang melalui perantara dan ada pula tanpa melalui perantara, sebagaimana yang
dijelaskan al-Qattan dalam bukunya “Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an”. Turunnya
wahyu dengan melalui perantara sebagimana yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril.
Menurut al-Qattan ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat Jibril kepada
Nabi yaitu:19
Cara Pertama: Datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan
suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia
dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling
berat buat Rasulullah s.a.w. dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala
kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal, dan memahaminya. Suara itu
mungkin suara kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan dalam hadits:
إِذَا قَضَى اللَّهُ لأَمْرفِى السَّمآءِ ضَرَبَتِ
الْمَلاَءِكَةِ بِأَجْنِحَتِهاَ خضعاناً لِقَوْلِهِ كَا لْسلسلة عَلَى
صِفْوَانِ.
َ
Artinya:
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para
malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan
gemerincingnya mata rantai diatas batu-batu yang licin”20.
Cara kedua: malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang
laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu, lebih ringan daripada
cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dan pendengar.
Rasul s.a.w. merasa senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu,
karena merasa seperti manusia yang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Keadaan Jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki itu tidaklah
mengharuskan ia melepaskan sifat kerohaniaannya, dan tidak pula berarti bahwa
zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki, tetapi yang dimaksudkan ialah
bahwa dia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan
Rasulullah sebagai manusia. Yang sudah pasti keadaan pertama, tatkala wahyu
turun seperti dencingan lonceng, tidak menyenangkan karena keadaan yang
demikian menuntut ketinggian rohani dari Rasulullah yang seimbang dengan
tingkat kerohaniaan malaikat, dan inilah yang paling berat.
Pertanyaannya ialah bagaimana komunikasi ini dapat terjadi, padahal
terdapat perbedaan watak karena perbedaan tingkat eksistensi? Jawabannya bahwa
ada perubahan yang terjadi pada salah satu dari dua pihak yang terlibat dalam
proses komunikasi sehingga komunikasi dengan pihak lain dapat dimungkinkan.
Salah satunya, Rasulullah berubah dari status kemanusiaannya dan masuk kedalam
status kemalaikatan, kemudian menerima wahyu dari Jibril. Kedua, malaikat
mengubah diri masuk ke status kemanusiaan sehingga Rasulullah dapat menerima
wahyu dari Jibril. Yang pertama merupakan situasi yang paling berat21.
Kata Ibnu Khaldun: “Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan
kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan
malaikat yang rohani sifatnya. Sedang dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat
berubah dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani. Kemudian Ibnu Khaldun
membedakan kedua situasi ini dan mengaitkan masing-masing dari dua situasi
tersebut dengan kode yang dipergunakan dalam komunikasi. Situasi pewahyuan
memerlukan kesiapan khusus yang dalam konteks para nabi merupakan kesiapan
fitri yang berasal dari seleksi Ilahiyah terhadap manusia. Dengan kesiapan ini,
nabi yang juga manusia dapat mentransformasikan diri dari kemanusiaannya
menjadi malaikat sehingga, ia dapat menerima wahyu dari malaikat22.
Setelah mereka (para nabi) bergerak dalam tahapan tersebut, melepaskan diri
dari kemanusiaan dan menerima di alam malaikat langit, yang mereka terima
(wahyu) dan membawa wahyu itu menurungi tangga-tangga kemampuan persepsi
kemanusiaan, untuk disampaikan kepada manusia. Kadang-kadang terjadi semacam
suara gemuruh yang didengar nabi. Suara tersebut seperti kata-kata yang tidak
jelas. Dari kata-kata itu, ia mengambil ide(pesan) yang disampaikan kepadanya.
Suara dengungan itu tidak akan melenyapkan ide tersebut yang diterima dan
dipahaminya itu. Kadang-kadang malaikat yang menyampaikan wahyu itu muncul
dalam rupa seorang laki-laki, kemudian berbicara kepadanya dan ia memahami
(menangkap) apa yang dikatakan kepadanya. Belajar dari malaikat dan kembali ke
tingkat persepsi kemanusiaan serta menangkap apa yang disampaikan kepadanya,
semuanya seolah-olah terjadi dalam sekejap saja, bahkan lebih cepat daripada
kelipan mata. Peristiwa itu tidak berada dalam dimensi waktu. Bahkan seluruhnya
terjadi secara simultan dan sedemikian cepat. Oleh karena itu, disebut wahyu
karena wahyu menurut bahasa adalah mempercepat23.
Kedua cara penyampaian wahyu( al-Qur’an) dari malaikat ke Nabi s.a.w. itu
tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin r.a. bahwa
Harits bin Hisyam r.a. bertanya kepada Rasulullah s.a.w. mengenai hal itu, Nabi
menjawab:
أَحْيَانَا يَأْتِيْنِيْ مِثْلَ صَلْصَلَةالْجَرَس،وَهُوَأَشَدُّعَلَيَّ
فَيَفْصم عَنِّىوَقَدْوَعَيْتُ عَنْهُ مَاقَال وَاَحْيَانَايَتمثَل
لِيَ الْمُلْكُ رَجُلاًفَيَتَكَلَّمُنِىْفَأعى
مَايَقُوْلُ.َ
Artinya:
“Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng,
dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa
yang dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma sebagai seorang laki-laki,
lalu dia berbicara kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dia katakan”.
Al-Khattabi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan suara gemerincing lonceng
ialah, suara riuh/bising kedengarannya, sehingga keadaan yang demikian itu
menegangkan beliau. Setelah itu barulah beliau dapat memahaminya24.
Kemudian turunnya wahyu tanpa melalui perantara, ada kalanya melalui dengan
mimpi yang benar, dan ada kalanya melalui dari balik tabir. Peristiwa mimpi
yang benar yang dialami Nabi telah dijelaskan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah r.a. yang berbunyi:
عَنْ عَاءِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:أَوَّلُ مَابَدَئَ بِهِ
النَّبِيُّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّأْيَاالصَّالِحَةَ فِي
النَّوْمِ فَكَانَ لاَ يَرَى رَؤْيَا إِلاَّ جاَءَتْ مِثْلَ فَلَقَ الصُّبْحِ.
Artinya:
“Dari Aisyah r.a. dia berkata : Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi
pada diri Rasulullah s.a.w. adalah mimpi yang shalih didalam tidurnya tidak
melihat mimpi itu kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari”.
Hal ini merupakan persiapan bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam
keadaan sadar, dan tidak tidur. Kemudian peristiwa yang dapat diambil contoh
turunnya wahyu dari balik tabir, seperti yang dialami nabi s.a.w. ketika beliau
menerima perintah shalat pada peristiwa isra’ dan mi’raj. Demikianlah pendapat
ulama yang paling sah.
Secara singkat proses turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. telah
dijelaskan dalam al-Qur’an:
وَمَاكَانَ لِبَشَرٍأَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّوَحْياًأَوْمِنْ وَرَآئِ
حِجَابٍ أَوْيُرْسِلَ رَسُوْلاً فَيُوْحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَآءُ إِنَّهُ
عَلِيٌّ حَكِيْمٌ.
Artinya:
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya
apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”.
(Q.S. Asy-Syuara:51).
As-Shobuni dalam kitabnya “al-Tibyan
fi ‘Ulum al-Qur’an” membagi dua tahap turunnya al-Qur’an yaitu:
1. Dari Lauh al-Mahfudz
ke sama’ (langit) dunia secara sekaligus pada malam lailatul qadar.
- Dari sama’ dunia ke bumi secara bertahap dalam masa dua puluh tiga tahun.
Penurunan
pertama, dimaksudkan pada malam mubarakah yaitu malam lailatul qadar
diturunkanlah al-Qur’an secara sempurna ke Baitul Izzah di langit pertama,
alasan yang demikian adalah didasarkan dari nash sebagai berikut:
a. Firman Allah s.w.t. :
حم وَالْكِتَابِ المُبِيْنِ إِنَّآ أَنْزَلْنَهُ فِي لَيْلَةِالْقَدْ
رِوَمَآأَدْرَاكَ مَالَيْلَةُالْقَدْ رِ.
Artinya:
“Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang
memberi peringatan. (Q.S. al-Dukhan:1-3).
- Firman Allah s.w.t.:
إِنَّآأَنْزَلْنَهُ
فِيْ لَيْلَةِالْقَدْ رِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُالْقَدْرِ.
ِArtinya:
“Sesungguhnya kami telah menurunkan (al-Qur’an) pada malam kemuliaan, dan
tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?(Q.S. al-Qadr:1-2)
c. Firman Allahs.w.t.:
شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ.
Artinya:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
didalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda(antara yang hak dan
yang bathil). (Q.S. al-Baqarah:185).
Tiga ayat diatas menyatakan bahwa
al-Qur’an diturunkan pada satu malam mubarakah serta dinamai dengan lailatul
qadar yaitu salah satu malam pada bulan Ramadhan. Hal ini menyatakan bahwa
turunnya al-Qur’an ialah turun tahap pertama keBaitul Izzah dilangit pertama.
Sebagai alasannya apabila yang dimaksud dalam penurunan ini adalah penurunan
pada tahap kedua yaitu kepada nabi s.a.w. maka tidaklah tepat bila dikatakan
satu malam dan satu bulan yaitu bulan ramadhan, karena al-Qur’an diturunkan
kepada nabi dalam masa yang lama yaitu selama masa kerasulan 23 tahun serta
diturunkan bukan saja pada bulan ramadhan tetapi juga pada bulan lainnya. Dari
itu nyatalah bahwa yang dimaksudkan adalah penurunan pada tahap pertama25.
Adapun hadits-hadits shahih yang menguatkan analisa diatas adalah sebagai
berikut:
a. Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata : al-Qur’an itu dipisahkan dari
dzikir lalu diturunkan ke Baitul Izzah
dilangit pertama kemudian disampaikan oleh Jibril kepada nabi s.a.w. (Hadits
riwayat Hakim).
b. Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata: al-Qur’an diturunkan sekaligus
kelangit pertama (tempat turun secara berangsur ). Dari sinilah Allah
menurunkan kepada Rasul-Nya sedikit demi sedikit. (Hadits riwayat ThabranY).
c. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa ia berkata : al-Qur’an
diturunkan pada malam lailatul qadar di bulan suci Ramadhan kelangit pertama
secara sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur.(Hadits riwayat
Hakim dan Baihaqy).
Penurunan tahap pertama ini, banyak diperselisihkan oleh para ulama.
Setidaknya ada tiga pendapat yaitu:
a. Al-Qur’an itu diturunkan kelangit dunia pada malam al-Qadar sekaligus,
yakni lengkap dari awal sampai akhirnya. Kemudian diturunkan berangsur-angsur
sesudah itu dalam tempo 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun. Berdasar kepada
perselisihan yang terjadi tentang berapa lama Nabi bermukim di Makkah sesudah
beliau diangkat menjadi Rasul.
b. Al-Qur’an itu diturunkan kelangit dunia dalam 20
kali lailatul qadar dalam 20 tahun, atau dalam 23 kali lailatul qadar dalam 23
tahun, atau dalam 25 kali lailatul qadar dalam 25 tahun. Pada tiap-tiap malam
diturunkan kelangit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada
Muhammad s.a.w. dengan syarat berangsur-angsur.
c. Al-Qur’an itu
permulaan turunnya ialah dimalam lailatul qadar. Kemudian diturunkan sesudah
itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu26.
Penurunan tahap kedua adalah dari langit pertama ke lubuk hati Nabi s.a.w.
dengan cara berangsur-angsur yang memakan waktu selama 23 tahun yaitu sejak
kebangkitannya sebagai rasul sampai beliau wafat. Adapun alasan bahwa al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur adalah:
a. Firman Allah
s.w.t. dalam surat al-Isra’:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَا
هُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً.
Artinya:
“Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian”.(Q.S. al-Isra’:106).
b. Firman Allah dalam
surat al-Furqan:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلاَنُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً
وَاحِدَةً كَذَالِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً.
Artinya :
“Berkatalah orang-orang kafir: “Mengapa al-Qur’an itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja ?”; demikianlah supaya Kami perkuat hati
dengannya dan kami membacakannya secara tartil( teratur dan benar)”(Q.S.
al-Furqan :32).
Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik mencela Nabi
s.a.w. karena diturunkannya al-Qur’an secara terpisah-pisah. Mereka menghendaki
agar diturunkannya secara sekaligus sebagaimana diturunkannya Taurat kepada
Musa? Dari peristiwa itu, maka turunlah
dua ayat tersebut diatas sebagai bantahan terhadap mereka. Bantahan tersebut
sebagaimana dikemukakan oleh az-Zarqany mengandung dua pengertian : (1). Bahwa
al-Qur’an diturunkan kepada Nabi s.a.w. secara berangsur-angsur dan(2). Kitab
samawi sebelumnya diturunkan secara sekaligus, sebagaimana telah populer
dikalangan jumhur ulama bahkan dapat dikatakan ijma’.
Analisa dari dua pengertian diatas adalah; (1). Allah membenarkan apa yang
dikemukakan oleh mereka bahwa turunnya kitab-kitab samawi terdahulu adalah
sekaligus. Dapat ditandai bahwa Allah menjawab pertanyaan mereka secara
filosofis bahwa turunnya al-Qur’an adalah berangsur-angsur dan andaikata
turunnya kitab-kitab samawi sebelum al-Qur’an secara berangsur-angsur pula
sebagaimana halnya al-Qur’an, niscaya Allah akan memberi bantahan terhadap
mereka bahwa mereka tidak membenarkannya (mendustakannya). (2) Penurunan secara
berangsur-angsur adalah merupakan sunnatullah, sebagaimana Dia menurunkan
sekaligus kitab-kitab kepada para Nabi terdahulu.
4. Hikmah diturunkannya al-Qur’an secara
berangsur-angsur
a. Menetapkan hati Rasul yang menjadi pertanyaan
kenapa hati Rasul perlu dinisbahkan? Hal itu Nabi dikarenakan berdakwah kepada
orang banyak selalu saja mendapat tantangan dari orang-orang yang anti
kepadanya, tambah lagi sifat orang-orang tersebut kasar dan bengis serta tidak
menunjukkan sikap yang bersahabat. Maka hal seperti itu perlu diberi semangat
dan kekuatan kepada Rasul bahwa apa yang dia alami itu sama dengan yang dialami
oleh Nabi-nabi dan para Rasul terdahulu.
b. Untuk melemahkan lawan-lawannya, orang-orang yang
anti kepadanya Rasulullah senantiasa
melakukan upaya yang dapat menyudutkannya. Diantara upaya tersebut adalah
dengan menunjukkan tantangan yang sepertinya Rasulullah tidak dapat
membuktikannya. Misalnya tantangan mereka agar Rasulullah minta kepada Allah
untuk menurunkan azab kepada mereka. Apa yang mereka minta itu dibuktikan oleh
Rasulullah dan Allah menurunkan azab kepada mereka pada waktu itu juga.
c. Mudah dipahami dan dihafal, bagi bangsa yang buta
huruf sulit dapat menghafal dan memahami sesuatu yang harus dipahami atau
dihafal. Oleh karena itu, diturunkan al-Qur’an itu secara berangsur-angsur
menjadi mudah dihafal dan dipahami serta diamalkan.
d. Sesuai
dengan lalu lintas peristiwa atau kejadian, al-Qur’an diturunkan sesuai dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa
yang muncul pada waktu itu, misalnya peristiwa tayammum sebagai pengganti wudhu
ketika tidak diperoleh air27.
5. Masa Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi ketika sedang berkhalwat di gua hira
pda malam senin, bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran
Nabi Muhammad s.a.w. = 6 Agustus 610 M.
Ibnu Ishaq, seorang pujangga tarikh Islam yang ternama menetapkan bahwa
malam itu, ialah malam ke-17 Ramadhan. Penetapan ini dapat dikuatkan dengan
isyarat al-Qur’an sendiri. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:
إِنْ كُنْتُمْ
ءَامَنْتُمْ بِااللَّهِ وَمَآأَنْزَلْنَاعَلَىعَبْدِنَايَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ
الْتَقَىالْجَمْعَانِ.
Artinya :
“Jika kamu telah beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami
turunkan kepada hamba Kami pada hari al-Furqan, yaitu hari bertemunya dua
pasukan”.
(Q.S.
al-Anfal:41)
Dikehendaki dengan hari bertemunya dua pasukan yaitu hari bertemunya
tentara Islam dengan tentara Quraisy Musyrikin dalam pertempuran di Badar. Yang
demikian itu tepat jatuhnya pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan, walaupun
tidak dalm setahun28.
Masa turunnya al-Qur’an ini terbagi dua yaitu sebelum hijrah Nabi s.a.w.
dan sesudahnya.
Pertama: Masa Rasul s.a.w. tinggal di Makkah, selama 12 tahun 5 bulan 12 hari,
terhitung sejak tanggal 17 Ramadhan tahun ke- 14 dari kelahirannya, sampai awal
Rabiul Awal tahun ke-54 sejak kelahirannya. Semua ayat yang diturunkan di
Makkah dan sekitarnya, sebelum hijrah, disebut ayat Makkiyah29.
Kedua: Ayat-ayat yang turunnya sesudah Nabi s.a.w. yang telah hijrah di Madinah,
sekalipun tidak persis turun di Madinah, disebut ayat Madaniyyah, yaitu
selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, yakni dari permulaan Rabiul Awwal tahun 54 dari
Milad Nabi, hingga 9 Dzulhijjah tahun 63 dari Milad Nabi, tahun 10 Hijriyah30
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan yang tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan beberapa pernyataan sekaligus menjadi kesimpulan sebagai berikut:
1. Makna yang terkandung
dalam istilah Nuzul al-Qur’an sebenarnya bukan hanya terkait dengan turunnya
al-Qur’an itu saja, akan tetapi terkait juga dengan sesuatu yang diturunkan,
yaitu berupa lafadz dan makna, dan proses turunnya al-Qur’an mulai dari Allah
sebagai sumber aslinya dengan perantaraan malaikat Jibril, kemudian disampaikan
kepada Nabi Muhammad s.a.w., sehingga sampai kepada kita semua.
2. Salah satu fungsi
yang paling mendasar diturunkannya al-Qur’an ialah, untuk menjadi petunjuk dan
pedoman hidup bagi manusia semuanya, baik dalam kehidupan duniawi maupun
ukhrawi.
3. Proses
turunnya al-Qur’an dikenal melalui dua tahap yaitu dari Lauh al-Mahfudz ke
sama’ (langit) dunia secara sekaligus pada malam lailatul qadar, dan dari sama’
dunia ke bumi secara bertahap dalam masa dua puluh tiga tahun, selama masa
kerasulan Nabi s.a.w.
4. Salah
satu hikmah yang paling mendasar diturunkannya al-Qur’an secara
berangsur-angsur adalah untuk memperteguh hati nabi Muhammad s.a.w., sebab
wahyu yang diturunkan pada setiap kejadian, itu akan lebih memperteguh
kepercayaan dalam hati, memperkuat inayah kepada Rasul yang menerimanya dan
menambah seringnya kedatangan Malaikat Jibril kepadanya. Sehingga hubungan
Rasulullah dengan Jibril sebagai pembawa tugas risalah akan selalu baru.
5. Masa
turunnya al-Qur’an dikenal dengan dua masa yaitu sejak Rasulullah tinggal di
Makkah dan setelah beliau hijrah ke Madinah.
B. Implikasi
Penulis yakin dan percaya, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Olehnya itu penulis sangat mengharapkan sumbangsih pemikiran kepada para
pembaca yang bernilai konstruktif untuk perbaikan makalah ini di kemudian hari.
Akhirnya hanya kepada Allahlah penulis senantiasa memohon hidayah dan
taufiq-Nya, semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada penulis khususnya dan
para pembaca yang budiman pada umumnya. Amin Yaa Rabbal Alamin…
DAFTAR
PUSTAKA
Abu, Zaid, Hamid Nasr, Mafhum an-Nash, Diratsah fii
‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh, Khoiron Nahdliyyin, dengan judul, Tekstualitas
Al-Qur’an, Yogyakarta: LKIS, 2003
Abu Anwar, Ulumul Qur’an sebuah pengantar, Cet.
1, Pekan Baru: PT. Amzah, 2002.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an, bulan Bintang, Jakarta: 1992.
Al-Qathan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Mudzakkir AS dengan judul Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,
Cet.V, Jakarta: PT. Pustaka Literatur Antar Nusa, 2002.
As-Shalih Subhi, Mabahits fi Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Az-Zarkasyi (Badaruddin Muhammad bin Abdillah), al-Burhan
fi Ulumi al-Qur’an, Cet. III, Beirut: dar al-Ma’rifat li at-Tiba’ahwa an-Nasyr,1972.
Az-Zanji, Abdullah Abu, Wawasan Baru Tarikh
al-Qur’an, Bandung : PT. Mizan, 1986.
Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim, Manahil al-Irfan
fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid 1, Dar al-Fikr; Beirut : 1998.
Muhammad, Aly Ash-Shabuny, At-Tibyan fi ‘Ulum
Al-Qur’an, Terjemahan, Pengantar Study Al-Qur’an, Jakarta: PT. Al-Ma’arif,
1982.
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir, kamus
Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya: 2002.
Iqbal, Mashuri Sirajuddin, Pengantar Ilmu Tafsir,
Bandung: PT. Angkasa, 1987.
Ibnu Mantsur, “Lisan
al-Arab” (Program CD).
Ibnu Khaldun, (Abdurrahman), Al-Muqaddimah, PT.
Beirut, Libanon: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi.1975.
Ibrahim al-Abyari, Tarikh al-Qur’an, Cairo: Dar
al-Qalam, 1964.
No comments:
Post a Comment