SEJARAH DAN POKOK AJARAN MAZHAB AHLUL BAIT (SY’AH)
Oleh: Ari Wardoyo
BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam, pemilik
segala kekuasaan dan yang menunjukkan kedalam jalan yang lurus kepada siapa
saja yang dikehendaki-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
Baginda Nabi Muhammad Saw, para istri-istrinya, para shahabat, serta pengikut
setianya hingga hari kiamat.
Sebagaimana telah
kita ketahui, bahwa dalam Islam lahir bermacam-macam aliran yang salah satunya
timbul karena pemahaman terhadap nash (al-Qura’an dan Hadits). Dari sinilah
maka munculah berbagai perbedaan pemahaman, pemikiran, pandangan dari sudut
pangang masing-masing.
Dalam perjalanan sejarahnya pun umat islam tidak luput
dari berbagai lika-liku persoalan yang mengitarinya, peperangan, perpecahan,
pertarungan politik, munculnya mazdhab, dan berbagai macam persoalan lainnya.
Persoalan yang dihadapi umat islam pada masa awal memang begitu rumit. Lebih
mengherankan dalam persoalan politik misalnya, kemudian dapat meningkat menjadi
persoalan teologi[1].
Dari sini maka perlu kiranya kita saling memahami,
menghormati, berbuat baik terhadap sesama muslim. Karena jika tidak, tentunya
akan terjadi saling menghujat, kafir-mengkafirkan, salah menyalahkan, dan
akhirnya terjadi perpecahan diantara umat Islam. Maka wajarlah jika selama ini
Islam lemah, tertinggal dalam berbagai hal, padahal Islam adalah sebaik-baik
umat (al-Qur’an), umat yang dimuliakan Allah Swt. Hal ini mungkin karena
perilaku umat Islam belum mencerminkan pribadi-pribadi muslim.
Islam sangat melarang keras pengkafiran terhadap sesama
muslim. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dalam kitab shahihnya
meriwayatkan dari Usamah bin Zaid, yang berkata : kami diutus Rasulullah Saw ke
suatu tempat bernama Harqah. Kami langsung menyerbu mereka di waktu pagi, dan
kami kalahkan mereka. Kemudian aku dan seorang kaum dari kaum Anshar mengejar
seorang laki-laki dari mereka. Ketika kami sampai kepadanya, ia berucap: la
ilaha illa Allah. Mendengar itu, temanku, si orang Anshar, segera berhenti dan
membiarkanya. Tetapi aku langsung menikamnya dengan tombakku sehingga ia mati.
Ketika hal ini kemudian di ketahui Nabi
Saw beliau berkata kepadaku: hai Usamah, apakah engaku membunuhnya setelah ia
mengucapkan “la ilaha illa Allah”? jawabku: ya, karena ia sekadar berlindung
saja. (kata Usamah selanjutnya: Rasulullah saw tak henti-hentinya mengulangi pertanyaan itu,
sehingga aku berharap alangkah baiknya seandainya aku belum menjadi muslim
sebelum peristiwa hari itu)[2].
Cukuplah hal ini menjadi pelajaran bagi kita dan sebagai
dallil kuat akan kehormatan kalimat “la ilaha illa Allah” dan para pengikutnya.
Jika sedemikian itu keadaan seorang yang mengikrarkan syahadat hanya sekedar
menghindar dari pembunuhan, maka bagaimanakah dengan orang yang bersyahadah karena
keyakinannya, kemuslimannya, dan menjadikan al-Qur,an dan Sunnah sebagai
pedomanya?
Oleh karena itu, perbedaan pendapat tidak menjadikan
kita angkuh, bercerai berai dari Islam, karena memang dari sejarah dapat kita
ketahui bahwa dari Islamlah kemudian lahir berbagai macam aliran yang semakin
lama semakin banyak. Aliran terbesar dalam Islam adalah Sunni dan Syi’i
(syi’ah), terlepas dari perbedaan pendapat apakah Syi’ah telah keluar dari
Islam atau bagian dari Islam. Namun dari akar sejarahnya bahwa Syi’ah lahir
dari Islam, maka kemudian kami mengambil judul dalam tulisan ini “Syi’ah Anak
Kandung Islam”.
Untuk lebih lengkapnya, kami akan membahas dalam bab-bab
selanjutnya. Harapan kami, semoga tulisan ini dapat membantu menkayakan kasanah
keilmuan kita dan mempererat persaudaraan kita sesama muslim. Tentunya akan
pembaca dapati kekurangan-kekurangan dalam tulisan ini, maka kami sangat
mengharapkan saran maupun kritiknya demi perbaikan dan penambahan wawasan kami.
BAB II
SYI’AH atau MAZHAB AHLUL BAIT
A.
SEKILAS SEJARAH LAHIRNYA
SYI’AH
Perkataan Syi’ah itu sudah dikenal
orang dalam masa nabi, bahkan terdapat kata dalam al Qur’an, yang berarti
golongan, kalangan atau pengikutan, suatu paham yang tertentu.[3] Dari
segi bahasa Syi’ah berarti pengikut, kelompok, atau golongan, seperti terdapat
dalam surah as-Soffat 37: 83
yang artinya: “dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar
termasuk dalam golongannya (Nuh).”[4]
Para penulis sejarah berbeda pendapat
mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung
setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara
golongan muhajirin dan Anshar dibalai
pertemuan Saqifah bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari bani Hasyim dan
sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib.
Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan Usman
bin Affan (644-656) atau pada awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada masa
itu terjadi pemberontaan terhadap khalifah Usman bin Affan yang berakhir dengan
kematian Usman dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib bersedia dibai’at
sebagai khalifah.
Ali Zainal Abidin dalam bukunya
mengatakan bahwa, ‘Dalam banyak kesempatan, Nabi SAW menyebutkan istilah
Syi’ah, menanamkannya pada kesadaran umat, dan membakukan istilah tersebut. Dan
atas dasar ajaran itu, terbentuklah sekelompok sahabat ‘elite’ seperti Salman
Al Farisi, Ammar bin Yasir, Abu Dzar Al Ghiffari, Miqdad dan lain-lain yang
menyandang kecintaan khas kepada Ali bin Abi Thalib, dan nama syi’ah pun
identik dengan mereka.[5]
Dalam kitab ‘Tarikhusy Syi’ah’,
karangan Hussain al Muyaffar, bahwa Muhammad Kurd Ali dalam kitabnya mengenai
Syam memperkatakan sahabat-sahabat besar yang telah mengakui perwalian Ali
dalam masa Rasulullah, Salman Farisi, yang berkata, ‘Kami membuat bai’at kepada
Rasulullah untuk menasehatkan orang islam dalam agamanya dan kami mengakui Ali
bin Abi Thalib sebagai Imam dan Wali Nabi”. Sa’id al Khudri pernah berkata,
‘Orang islam diperintah lima perkara yang dikerjakan cuma empat dan
ditinggalkan satu perkara’. Tak kala ditanyakan tentang empat perkara yang
dikerjakan, ia menunjukkan pertama shalat, kedua zakat, ketiga puasa, dan
keempat haji. Tak kala ditanya lagi kepadanya, apakah yang seperkara lagi yang
ditinggalkan orang islam, Sa’id menjawab; ‘menjadikan Ali bin Abi Thalib wali
Nabi’. Orang berkata kepadanya, apakah itu menjadi sesuatu yang fardhu,
jawabnya, ‘Betul, yang demikian itu menjadi sesuatu yang wajib.’[6]
‘Para pengamat sejarah menemukan
bahwa perselisihan kaum muslimin timbul dari sikap politik yang dimainkan oleh
pelaku-pelaku saqifah ketika Rasulullah Saw, wafat. Mereka membolehkan diri
mereka melakukan ijtihat yang menentang nash-nash yang jelas yang disebutkan
dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka memaksa kaum muslimin
mendukungnya. Sebagai konsekuensinya, mereka mencampakkan Amirul Mukminin ‘Ali
bin Abi Thalib, yang telah ditetapkan sebagai Khalifah dan mengantikannya
dengan orang yang menjadi pilihan kalangan Quraisy, demi menuruti keinginan dan
ambisinya. Sungguh ini merupakan keprihatinan mendalam yang menimpa kaum
muslimin sepeninggal Rasulullah Saw, yang mengingatkan kita pada pertarungan
yang batil melawan yang haq dan jahiliyah melawan Islam. Tidak diragukan lagi
bahwa firman Allah Swt, yang berbunyi, ’Muhmmad itu tidak lain hanyalah
seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah
jika ia wafat atau dibunuh kamu berbalik kebelakang (murtad)?’ (Ali Imaran
3:144), mempunyai hubungan langsung dengan hari raya Ghadir. Rasulullah telah
merayakan hari ‘Idul Ghadir ketika Allah Swt, memerintahkan Beliau untuk
mengangkat Ali sebagai khalifah sepeninggalnya, dan menunjukkan umat akan hal
itu. Kemudian Rasulullah bertakbir sesaat setelah yang hadir berbai’at, lalu
Jibril al Amin turun kepada Beliau untuk menyampaikan firman Allah Swt, yang
berbunyi, ‘Hari ini Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku sempurnakan atasmu
nikmat-Ku dan Aku ridhoi Islam sebagai agama bagimu’. (Qs.Al Ma’idah 5:3)[7]
Pendapat yang paling popular adalah
bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan khalifah
Ali dengan pihak pemberontak Muawiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim
disebut sebagi peristiwa At-Tahkim atau Arbitrase. Akibat
kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinanya dan
keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij (orang-orang yang
keluar). Sebagian besar orang yang tetap setia kepada khalifah disebut Syi’atu
Ali (pengikut Ali).
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa Ali
bin Abi Thalib adalah Imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah
wafatnya nabi Muhammad Saw, telah tumbuh sejak nabi Muhammad masih hidup, dalam
arti bahwa nabi Muhmmad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian menurut
Syi’ah inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman nabi Muhammad[8].
Adapun keterangan, bahwa yang
mengadakan syi’ah itu ialah Abdullah Bin Saba’, pikiran ini berdasarkan faham
semata-mata (tanpa bukti dan hanya sangkaan belaka, pen). Sedikit sekali orang
mengetahui Abdullah bin saba’ dan mazhabnya. Dalam kalangan Syi’ah Abdullah bin
Saba’ tidak dikenal, dan orang-orang Syi’ah menyatakan berlepas tangan tentang
ucapannya dan amalnya.[9]
Bahkan imam ja’far Shadiq
diriwayatkan telah mengatakan, semoga Allah melaknat Abdullah bin Saba’. Ini
menunjukkan juga bahwa para ulama dan imam syi’ah tidak menerima Abdullah bin
Saba’.
B.
Ajaran pokok/Akidah
Dasar Syi’ah
Prinsip-prinsip agama yang mendasar
dalam ajaran Syi’ah maupun ajaran Islam lainnya adalah :
Pertama, Tauhid (keesaan Allah) yaitu wajib bagi orang yang berakal,
mempunyai pengetahuan tentang Khaliq (pencipta)-nya dan meyakini ke-esaan-Nya
dalam Uluhiyah dan Rububiyah. Ia wajib meyakini bahwa Allah itu merdeka dan
berdiri sendiri dalam penciptaan, pembrian rizki, pemberian kematian, pemberian
kehidupan, pemberian pewujudan dan peniadaan. Orang yang meyakini bahwa rizki,
kematian, pemberian kehidupan, kematian dan penciptaan itu disebabkan kerena
selain Allah maka dia kafir dan musyrik, keluar dari ikatan Islam. Demikian
pula orang yang menyembah sesuatu bersama Allah atau selain Allah, atau untuk
mendekatkan diri kepada Allah, maka menurut mazhab ahlul bait adalah kafir.
Tidak boleh beribadah kecuali semata-mata hanya untuk Allah. Taat kepada Nabi
Saw, dan dan para Imam (yang dua belas) dalam hal yang diperintahkan Allah
adalah mentaati Allah. Tauhid meliputi tauhid dzat, tauhid shifat, dan tauhid
af’al.
Kedua,
nubuwah (kenabian) yaitu bahwa Muhammad Saw, adalah Nabi terakhir dan al-Qur’an
sebagai risalah terakhir bagi umat manusia[10]. Mazhad
ahlul bait bahwa seluruh nabi yang dinas oleh al Qur’an adalah utusan Allah dan
hamba yang dimuliakan. Mereka diutus untuk mengajak manusia kejalan yang benar,
dan nabi Muhammad adalah penutup para nabi.
Ketiga,
ma’ad (kebangkitan kembali) atau kehidupan di akhirat. Mazhab Ahlul Bait
berkeyakinan bahwa Allah SWT, akan mengembalikan para hamba dan menghidupkannya
sesudah kematiannya nanti dihari kiamat untuk dihisab dan diberi pembalasan
sesuai dengan amal perbuatnnya. Kebangkitan manusia ini adalah kebangkitan ruh
dan jasad sekaligus. Juga menyakini keterangan yang ada dalam al Qur’an dan
Sunnah yang Qad’Iyah tentang surga, neraka, barzahk, shirath, al A’raf, al
kitab (catatan amal manusia).[11]
Ketiga keyakinan dasar ini sama-sama
diyakini oleh ajaran Syiah maupun Sunni. Akan tetapi ajaran Syi’ah menambahkan
dua prinsip lagi, yang dianggap penting
untuk mendapatkan perspektif kesadaran beragama yang menyeluruh. Dua hal
itu adalah:
Keempat, ‘Adl (keadilan Allah). Keputusan disisi-Ku tidak dapat diubah
dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku. (QS. Qaff : 29). Allah
selalu memerintahkan kita untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dia telah
menciptakan segala sesuatu di dunia ini begitu rupa sehingga selaras dengan
tatanan semesta, tempat segala sesuatu begitu harmonis dan saling melengkapi.
Tuhan menetapkan pahala untuk perbuatan baik dan hukuman bagi dosa diakhirat
dalam kerangka system aksi dan reaksi yang tidak terelakkan. Di akhirat,
individu dapat menuai buah dari apa yang ia taman di dunia.[12]
Kelima,
Imamah. Imamam menurut mazhab ahlul bait adalah jabatan dari Allah berdasarkan
seleksi Ilahi, seperti Allah memilih nabi-nabi-Nya. Allah memerintahkan kepada
nabi SAW agar memberi petunjuk kepada umat manusia dan juga menegakkan nash
tentang pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan imam kaum muslimin
sepeninggal nabi SAW.[13]
Setiap pemimpin mempunyai fungsi
tersendiri dalam kepemimpinannya, begitupun dalam imamah, ia mempunyai fungsi
yang sangat besar di dalam agama dan urusan dunia diantaranya adalah:
1)
Menjelaskan apa yang telah
diwahyukan Allah melalui Al-Qur’an dan telah diajarkan oleh Nabi Saw, dan
menafsirkan hukum Ilahi, syari’ah,
2)
Menjadi pembimbing spiritual
untuk membawa manusia menuju pemahaman akan makna-makna batin dari segala hal,
dan, karena adanya kualitas kedua ini,
3)
Menjadi pemimpin umat Muslim
bila keadaan pada zamannya memungkinkannya untuk menjalankan hal itu.[14]
C.
Kewajiban-kewajiban
dalam Agama
Ada tujuh tugas agama yang harus
dilaksanakan, dijalankan sebagai amalan-amalan wajib untuk menyembah Allah.
Masing-masing adalah,
1.
sholat lima kali sehari,
2.
Berpuasa pada bulan ramadhan,
3.
Menunaikan ibadah haji satu
kali seumur hidup jika seseorang mampu baik dari segi fisik maupun keuangan untuk
melakukannya,
4.
Memberi zakat yang jumlahnya
sepersepuluh dari komoditas-komoditas tertentu, yang harus dibayar pada akhir
tahun demi kesejahteraan umum dan kaum miskin,
5.
Khums atau seperlima dari
pendapat tahunan seseorang harus dibayarkan sebagai hak prerogative kepada imam
pada masanya,
6.
Jihad, yang secara umum dan
kurang tepat diterjemahkan sebagai perang suci,
7.
Al amr bi alma’ruf wa al nahy
‘an al munkar, menyarankan berbuat baik dan mencegah berbuat jahat[15].
D.
Sumber Hukum Agama
Sumber-sumber syari’ah (hukum) dalam
ajaran Syi’ah hampir sama dengan sumber-sumber hukum ajaran Sunni, yaitu Al
Qur’an, Hadis (tradisi-tradisi SAW), dan ijma’ (consensus) dengan beberapa
perbedaan dalam penafsiran mereka: sumber keempat ajaran sunni qiyas (analogi),
digantikan dalam ajaran Syi’ah ‘aql (akal). Dalam hal Al Qur’an, mata air hukum
Ilahi kaum Syi’ah hanya menerima tafsir-tafsir yang diberikan oleh Imam-Imam
mereka. Akan halnya hadis, kaum sunni membatasi pada perkataan-perkataan nabi,
kaum Syi’ah memperluasnya pada tradisi-tradisi dari para imam pula. Ini
memeberikan kaum Syi’ah suatu keuntungan unik karena mereka mengikuti suatu
tradisi agama yang berkesinambungan dan tak terputus yang tetap berada dalam
suatu kelurga, diturunkan dari ayah kepada putranya, untuk jangka waktu 261
tahun dimulai dari imam Ali dan berlanjut hingga ghaibnya[16]
Muhammad Al Mahdi imam ke duabelas, semuanya dalam jalur keturunan langsung.[17]
Para penjaga agama (para imam) inilah
para pewaris nabi. Mereka mempraktekkan secara langsung agama sesuai dengan apa
yang telah diajarkan oleh Rasulullah melalui para imam sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan di atas, dapatlah
ditarik sebuah kesimpulan bahwa mazhab Syi’ah atau mazhad Ahlul Bait, merupakan
mazhab yang tidak keluar dari tradisi islam sebagainya yang telah dituduhkan
selama ini. Bahkan mazhab ini lahir dari kandung Islam. Kelahiran mazhab syi’ah
telah tersiar sejak nabi Muhammad belum wafat, konon nama Syi’ah pun telah
disebut-sebut oleh nabi sebelumnya, yaitu identik dengan sahabat yang empat
yaitu, Salman Al Farisi, Ammar bin Yasir, Abu Dzar Al Ghiffari, dan Miqdad.
Ajaran pokok dan ibadah dalam syi’ah
sama dengan ajaran yang ada dalam sunni, kecuali ada beberapa tambahan di
dalamnya sesuai dengan dalil dan keyakinan yang diterima dari Rasulullah SAW. Wa
Allahhu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syi’ah; Melacak Akar
Historis Kelahiran dan Dasar-Dasar Ajarannya, (Jakarta; Ilya, 2004),
2.
A. Syarifuddin Al Musawi, Isu-isu penting Ikhtilaf;
Sunnah-Syi’ah, Cet.3, (Bandung Mizan, 1993),
3.
Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasioanalisme
dan Islam, Cet.II, (Semarang, Ramadani, 1980),
4.
Departeman Agama , al
Qur’an dan terjemahnya, (Surabaya; Mekar, 2004),
5.
Ensiklopedi Islam, Jilid. V, (Jakarta, PT.
RajaGrafindo Persada, 1999),
6.
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah
analisa perbandingan, (Jakarta; UI Press, 1986),
7.
Hussain Muyaffar, Tarikhusy
Syi’ah, (tp,tt),
8.
Muhammad Tijani As Samawi, Mazhab Alternatif; perbandingan
Syi’ah-Sunnah, (Cianjur; Titian Cahaya, 2005),
9.
Muhammad Husaini Beheheshti, Metafisika Al Qur’an;
menangkap inti sari tauhid, (Bandung, Arasy, 2003),
10. Muhammad Faishol
Hasanuddin, Mazhab Syi’ah (Dalam Pendekatan Sunnah), (Makasar, Pustaka
Al Adl, 2005),
11.
Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis “Spiritualitas
Islam”, (Bandung, Mizan. 2002),
[1] Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah
analisa perbandingan, (Jakarta; UI Press, 1986), hlm.1
[2] A. Syarifuddin Al Musawi, Isu-isu penting Ikhtilaf; Sunnah-Syi’ah,
Cet.3, (Bandung Mizan, 1993), hlm.26-27
[3] Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasioanalisme dan
Islam, Cet.II, (Semarang, Ramadani, 1980), hlm.10
[4] Kata berarti ‘golongannya’, lihat, Departeman
Agama , al Qur’an dan terjemahnya, (Surabaya; Mekar, 2004), hlm.639
[5] Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syi’ah; Melacak Akar Historis
Kelahiran dan Dasar-Dasar Ajarannya, (Jakarta; Ilya, 2004), hlm.80
[6] Hussain Muyaffar, Tarikhusy Syi’ah, (tp,tt), Via Abu Bakar
Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasioanalisme dan Islam, hlm.15
[7] Muhammad Tijani As Samawi, Mazhab Alternatif; perbandingan
Syi’ah-Sunnah, (Cianjur; Titian Cahaya, 2005), hlm.101-102
[8] Ensiklopedi Islam, Jilid. V, (Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada, 1999), hlm.5
[9] Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah; Rasionalisme dan
Islam, hlm.15-16
[10] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis “Spiritualitas Islam”,
(Bandung, Mizan. 2002), hlm.219
[11] Faishol Hasanuddin, Mazhab Syi’ah (Dalam Pendekatan Sunnah),
(Makasar, Pustaka Al Adl, 2005), hlm.46-47
[12] Muhammad Husaini Beheheshti, Metafisika Al Qur’an; menangkap
inti sari tauhid, (Bandung, Arasy, 2003), hlm.157
[13] Muhammad Faishol Hasanuddin, Mazhab Syi’ah (Dalam Pendekatan
Sunnah), hlm.29
[14] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi
Tematis Spiritualitas Islam, hlm.221
[15] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis “Spiritualitas Islam,
hlm.223
[16] Istilah gaib mengacu pada menghilangnya imam keduabelas setelah dia
lenyap dari dunia kasat mata, tanpa dia meninggal atau sama sekali mangkir dari
dunia kasad mata ini.
[17] Ibid, hlm229-230
No comments:
Post a Comment