Tuesday, 28 March 2017

SEJARAH DAN POKOK AJARAN MAZHAB AHLUL BAIT (SY’AH)



SEJARAH DAN POKOK AJARAN MAZHAB AHLUL BAIT (SY’AH)
Oleh: Ari Wardoyo


BAB I
PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam, pemilik segala kekuasaan dan yang menunjukkan kedalam jalan yang lurus kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, para istri-istrinya, para shahabat, serta pengikut setianya hingga hari kiamat.  
 Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dalam Islam lahir bermacam-macam aliran yang salah satunya timbul karena pemahaman terhadap nash (al-Qura’an dan Hadits). Dari sinilah maka munculah berbagai perbedaan pemahaman, pemikiran, pandangan dari sudut pangang masing-masing.
Dalam perjalanan sejarahnya pun umat islam tidak luput dari berbagai lika-liku persoalan yang mengitarinya, peperangan, perpecahan, pertarungan politik, munculnya mazdhab, dan berbagai macam persoalan lainnya. Persoalan yang dihadapi umat islam pada masa awal memang begitu rumit. Lebih mengherankan dalam persoalan politik misalnya, kemudian dapat meningkat menjadi persoalan teologi[1].               
Dari sini maka perlu kiranya kita saling memahami, menghormati, berbuat baik terhadap sesama muslim. Karena jika tidak, tentunya akan terjadi saling menghujat, kafir-mengkafirkan, salah menyalahkan, dan akhirnya terjadi perpecahan diantara umat Islam. Maka wajarlah jika selama ini Islam lemah, tertinggal dalam berbagai hal, padahal Islam adalah sebaik-baik umat (al-Qur’an), umat yang dimuliakan Allah Swt. Hal ini mungkin karena perilaku umat Islam belum mencerminkan pribadi-pribadi muslim.
Islam sangat melarang keras pengkafiran terhadap sesama muslim. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Usamah bin Zaid, yang berkata : kami diutus Rasulullah Saw ke suatu tempat bernama Harqah. Kami langsung menyerbu mereka di waktu pagi, dan kami kalahkan mereka. Kemudian aku dan seorang kaum dari kaum Anshar mengejar seorang laki-laki dari mereka. Ketika kami sampai kepadanya, ia berucap: la ilaha illa Allah. Mendengar itu, temanku, si orang Anshar, segera berhenti dan membiarkanya. Tetapi aku langsung menikamnya dengan tombakku sehingga ia mati. Ketika hal ini  kemudian di ketahui Nabi Saw beliau berkata kepadaku: hai Usamah, apakah engaku membunuhnya setelah ia mengucapkan “la ilaha illa Allah”? jawabku: ya, karena ia sekadar berlindung saja. (kata Usamah selanjutnya: Rasulullah saw tak  henti-hentinya mengulangi pertanyaan itu, sehingga aku berharap alangkah baiknya seandainya aku belum menjadi muslim sebelum peristiwa hari itu)[2].
Cukuplah hal ini menjadi pelajaran bagi kita dan sebagai dallil kuat akan kehormatan kalimat “la ilaha illa Allah” dan para pengikutnya. Jika sedemikian itu keadaan seorang yang mengikrarkan syahadat hanya sekedar menghindar dari pembunuhan, maka bagaimanakah dengan orang yang bersyahadah karena keyakinannya, kemuslimannya, dan menjadikan al-Qur,an dan Sunnah sebagai pedomanya?
Oleh karena itu, perbedaan pendapat tidak menjadikan kita angkuh, bercerai berai dari Islam, karena memang dari sejarah dapat kita ketahui bahwa dari Islamlah kemudian lahir berbagai macam aliran yang semakin lama semakin banyak. Aliran terbesar dalam Islam adalah Sunni dan Syi’i (syi’ah), terlepas dari perbedaan pendapat apakah Syi’ah telah keluar dari Islam atau bagian dari Islam. Namun dari akar sejarahnya bahwa Syi’ah lahir dari Islam, maka kemudian kami mengambil judul dalam tulisan ini “Syi’ah Anak Kandung Islam”.
Untuk lebih lengkapnya, kami akan membahas dalam bab-bab selanjutnya. Harapan kami, semoga tulisan ini dapat membantu menkayakan kasanah keilmuan kita dan mempererat persaudaraan kita sesama muslim. Tentunya akan pembaca dapati kekurangan-kekurangan dalam tulisan ini, maka kami sangat mengharapkan saran maupun kritiknya demi perbaikan dan penambahan wawasan kami.
BAB II
SYI’AH atau MAZHAB AHLUL BAIT

A.    SEKILAS SEJARAH LAHIRNYA SYI’AH
Perkataan Syi’ah itu sudah dikenal orang dalam masa nabi, bahkan terdapat kata dalam al Qur’an, yang berarti golongan, kalangan atau pengikutan, suatu paham yang tertentu.[3] Dari segi bahasa Syi’ah berarti pengikut, kelompok, atau golongan, seperti terdapat dalam surah as-Soffat 37: 83
yang artinya: “dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk dalam golongannya (Nuh).[4]
Para penulis sejarah berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan muhajirin  dan Anshar dibalai pertemuan Saqifah bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib. Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan Usman bin Affan (644-656) atau pada awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu terjadi pemberontaan terhadap khalifah Usman bin Affan yang berakhir dengan kematian Usman dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib bersedia dibai’at sebagai khalifah.
Ali Zainal Abidin dalam bukunya mengatakan bahwa, ‘Dalam banyak kesempatan, Nabi SAW menyebutkan istilah Syi’ah, menanamkannya pada kesadaran umat, dan membakukan istilah tersebut. Dan atas dasar ajaran itu, terbentuklah sekelompok sahabat ‘elite’ seperti Salman Al Farisi, Ammar bin Yasir, Abu Dzar Al Ghiffari, Miqdad dan lain-lain yang menyandang kecintaan khas kepada Ali bin Abi Thalib, dan nama syi’ah pun identik dengan mereka.[5]        
Dalam kitab ‘Tarikhusy Syi’ah’, karangan Hussain al Muyaffar, bahwa Muhammad Kurd Ali dalam kitabnya mengenai Syam memperkatakan sahabat-sahabat besar yang telah mengakui perwalian Ali dalam masa Rasulullah, Salman Farisi, yang berkata, ‘Kami membuat bai’at kepada Rasulullah untuk menasehatkan orang islam dalam agamanya dan kami mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai Imam dan Wali Nabi”. Sa’id al Khudri pernah berkata, ‘Orang islam diperintah lima perkara yang dikerjakan cuma empat dan ditinggalkan satu perkara’. Tak kala ditanyakan tentang empat perkara yang dikerjakan, ia menunjukkan pertama shalat, kedua zakat, ketiga puasa, dan keempat haji. Tak kala ditanya lagi kepadanya, apakah yang seperkara lagi yang ditinggalkan orang islam, Sa’id menjawab; ‘menjadikan Ali bin Abi Thalib wali Nabi’. Orang berkata kepadanya, apakah itu menjadi sesuatu yang fardhu, jawabnya, ‘Betul, yang demikian itu menjadi sesuatu yang wajib.’[6]   
‘Para pengamat sejarah menemukan bahwa perselisihan kaum muslimin timbul dari sikap politik yang dimainkan oleh pelaku-pelaku saqifah ketika Rasulullah Saw, wafat. Mereka membolehkan diri mereka melakukan ijtihat yang menentang nash-nash yang jelas yang disebutkan dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka memaksa kaum muslimin mendukungnya. Sebagai konsekuensinya, mereka mencampakkan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib, yang telah ditetapkan sebagai Khalifah dan mengantikannya dengan orang yang menjadi pilihan kalangan Quraisy, demi menuruti keinginan dan ambisinya. Sungguh ini merupakan keprihatinan mendalam yang menimpa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah Saw, yang mengingatkan kita pada pertarungan yang batil melawan yang haq dan jahiliyah melawan Islam. Tidak diragukan lagi bahwa firman Allah Swt, yang berbunyi, ’Muhmmad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kamu berbalik kebelakang (murtad)?’ (Ali Imaran 3:144), mempunyai hubungan langsung dengan hari raya Ghadir. Rasulullah telah merayakan hari ‘Idul Ghadir ketika Allah Swt, memerintahkan Beliau untuk mengangkat Ali sebagai khalifah sepeninggalnya, dan menunjukkan umat akan hal itu. Kemudian Rasulullah bertakbir sesaat setelah yang hadir berbai’at, lalu Jibril al Amin turun kepada Beliau untuk menyampaikan firman Allah Swt, yang berbunyi, ‘Hari ini Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku sempurnakan atasmu nikmat-Ku dan Aku ridhoi Islam sebagai agama bagimu’. (Qs.Al Ma’idah 5:3)[7]                      
Pendapat yang paling popular adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan khalifah Ali dengan pihak pemberontak Muawiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagi peristiwa At-Tahkim atau Arbitrase. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinanya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij (orang-orang yang keluar). Sebagian besar orang yang tetap setia kepada khalifah disebut Syi’atu Ali (pengikut Ali).
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya nabi Muhammad Saw, telah tumbuh sejak nabi Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa nabi Muhmmad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian menurut Syi’ah inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman nabi Muhammad[8].    
Adapun keterangan, bahwa yang mengadakan syi’ah itu ialah Abdullah Bin Saba’, pikiran ini berdasarkan faham semata-mata (tanpa bukti dan hanya sangkaan belaka, pen). Sedikit sekali orang mengetahui Abdullah bin saba’ dan mazhabnya. Dalam kalangan Syi’ah Abdullah bin Saba’ tidak dikenal, dan orang-orang Syi’ah menyatakan berlepas tangan tentang ucapannya dan amalnya.[9]   
Bahkan imam ja’far Shadiq diriwayatkan telah mengatakan, semoga Allah melaknat Abdullah bin Saba’. Ini menunjukkan juga bahwa para ulama dan imam syi’ah tidak menerima Abdullah bin Saba’.
B.     Ajaran pokok/Akidah Dasar Syi’ah
Prinsip-prinsip agama yang mendasar dalam ajaran Syi’ah maupun ajaran Islam lainnya adalah :
Pertama, Tauhid (keesaan Allah) yaitu wajib bagi orang yang berakal, mempunyai pengetahuan tentang Khaliq (pencipta)-nya dan meyakini ke-esaan-Nya dalam Uluhiyah dan Rububiyah. Ia wajib meyakini bahwa Allah itu merdeka dan berdiri sendiri dalam penciptaan, pembrian rizki, pemberian kematian, pemberian kehidupan, pemberian pewujudan dan peniadaan. Orang yang meyakini bahwa rizki, kematian, pemberian kehidupan, kematian dan penciptaan itu disebabkan kerena selain Allah maka dia kafir dan musyrik, keluar dari ikatan Islam. Demikian pula orang yang menyembah sesuatu bersama Allah atau selain Allah, atau untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka menurut mazhab ahlul bait adalah kafir. Tidak boleh beribadah kecuali semata-mata hanya untuk Allah. Taat kepada Nabi Saw, dan dan para Imam (yang dua belas) dalam hal yang diperintahkan Allah adalah mentaati Allah. Tauhid meliputi tauhid dzat, tauhid shifat, dan tauhid af’al.
Kedua, nubuwah (kenabian) yaitu bahwa Muhammad Saw, adalah Nabi terakhir dan al-Qur’an sebagai risalah terakhir bagi umat manusia[10]. Mazhad ahlul bait bahwa seluruh nabi yang dinas oleh al Qur’an adalah utusan Allah dan hamba yang dimuliakan. Mereka diutus untuk mengajak manusia kejalan yang benar, dan nabi Muhammad adalah penutup para nabi.    
Ketiga, ma’ad (kebangkitan kembali) atau kehidupan di akhirat. Mazhab Ahlul Bait berkeyakinan bahwa Allah SWT, akan mengembalikan para hamba dan menghidupkannya sesudah kematiannya nanti dihari kiamat untuk dihisab dan diberi pembalasan sesuai dengan amal perbuatnnya. Kebangkitan manusia ini adalah kebangkitan ruh dan jasad sekaligus. Juga menyakini keterangan yang ada dalam al Qur’an dan Sunnah yang Qad’Iyah tentang surga, neraka, barzahk, shirath, al A’raf, al kitab (catatan amal manusia).[11]            
Ketiga keyakinan dasar ini sama-sama diyakini oleh ajaran Syiah maupun Sunni. Akan tetapi ajaran Syi’ah menambahkan dua prinsip lagi, yang dianggap penting  untuk mendapatkan perspektif kesadaran beragama yang menyeluruh. Dua hal itu adalah:
Keempat, ‘Adl (keadilan Allah). Keputusan disisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku. (QS. Qaff : 29). Allah selalu memerintahkan kita untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dia telah menciptakan segala sesuatu di dunia ini begitu rupa sehingga selaras dengan tatanan semesta, tempat segala sesuatu begitu harmonis dan saling melengkapi. Tuhan menetapkan pahala untuk perbuatan baik dan hukuman bagi dosa diakhirat dalam kerangka system aksi dan reaksi yang tidak terelakkan. Di akhirat, individu dapat menuai buah dari apa yang ia taman di dunia.[12]       
Kelima, Imamah. Imamam menurut mazhab ahlul bait adalah jabatan dari Allah berdasarkan seleksi Ilahi, seperti Allah memilih nabi-nabi-Nya. Allah memerintahkan kepada nabi SAW agar memberi petunjuk kepada umat manusia dan juga menegakkan nash tentang pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan imam kaum muslimin sepeninggal nabi SAW.[13]   
Setiap pemimpin mempunyai fungsi tersendiri dalam kepemimpinannya, begitupun dalam imamah, ia mempunyai fungsi yang sangat besar di dalam agama dan urusan dunia diantaranya adalah:
1)      Menjelaskan apa yang telah diwahyukan Allah melalui Al-Qur’an dan telah diajarkan oleh Nabi Saw, dan menafsirkan hukum Ilahi, syari’ah,
2)      Menjadi pembimbing spiritual untuk membawa manusia menuju pemahaman akan makna-makna batin dari segala hal, dan, karena adanya kualitas kedua ini,
3)      Menjadi pemimpin umat Muslim bila keadaan pada zamannya memungkinkannya untuk menjalankan hal itu.[14]
C.    Kewajiban-kewajiban dalam Agama
Ada tujuh tugas agama yang harus dilaksanakan, dijalankan sebagai amalan-amalan wajib untuk menyembah Allah. Masing-masing adalah,
1.      sholat lima kali sehari,
2.      Berpuasa pada bulan ramadhan,
3.      Menunaikan ibadah haji satu kali seumur hidup jika seseorang mampu baik dari segi fisik maupun keuangan untuk melakukannya,
4.      Memberi zakat yang jumlahnya sepersepuluh dari komoditas-komoditas tertentu, yang harus dibayar pada akhir tahun demi kesejahteraan umum dan kaum miskin, 
5.      Khums atau seperlima dari pendapat tahunan seseorang harus dibayarkan sebagai hak prerogative kepada imam pada masanya,
6.      Jihad, yang secara umum dan kurang tepat diterjemahkan sebagai perang suci,
7.      Al amr bi alma’ruf wa al nahy ‘an al munkar, menyarankan berbuat baik dan mencegah berbuat jahat[15].        
D.    Sumber Hukum Agama 
Sumber-sumber syari’ah (hukum) dalam ajaran Syi’ah hampir sama dengan sumber-sumber hukum ajaran Sunni, yaitu Al Qur’an, Hadis (tradisi-tradisi SAW), dan ijma’ (consensus) dengan beberapa perbedaan dalam penafsiran mereka: sumber keempat ajaran sunni qiyas (analogi), digantikan dalam ajaran Syi’ah ‘aql (akal). Dalam hal Al Qur’an, mata air hukum Ilahi kaum Syi’ah hanya menerima tafsir-tafsir yang diberikan oleh Imam-Imam mereka. Akan halnya hadis, kaum sunni membatasi pada perkataan-perkataan nabi, kaum Syi’ah memperluasnya pada tradisi-tradisi dari para imam pula. Ini memeberikan kaum Syi’ah suatu keuntungan unik karena mereka mengikuti suatu tradisi agama yang berkesinambungan dan tak terputus yang tetap berada dalam suatu kelurga, diturunkan dari ayah kepada putranya, untuk jangka waktu 261 tahun dimulai dari imam Ali dan berlanjut hingga ghaibnya[16] Muhammad Al Mahdi imam ke duabelas, semuanya dalam jalur keturunan langsung.[17]  
Para penjaga agama (para imam) inilah para pewaris nabi. Mereka mempraktekkan secara langsung agama sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah melalui para imam sebelumnya.    


BAB III
PENUTUP

Dari penjelasan di atas, dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa mazhab Syi’ah atau mazhad Ahlul Bait, merupakan mazhab yang tidak keluar dari tradisi islam sebagainya yang telah dituduhkan selama ini. Bahkan mazhab ini lahir dari kandung Islam. Kelahiran mazhab syi’ah telah tersiar sejak nabi Muhammad belum wafat, konon nama Syi’ah pun telah disebut-sebut oleh nabi sebelumnya, yaitu identik dengan sahabat yang empat yaitu, Salman Al Farisi, Ammar bin Yasir, Abu Dzar Al Ghiffari, dan Miqdad.
Ajaran pokok dan ibadah dalam syi’ah sama dengan ajaran yang ada dalam sunni, kecuali ada beberapa tambahan di dalamnya sesuai dengan dalil dan keyakinan yang diterima dari Rasulullah SAW. Wa Allahhu A’lam.     








DAFTAR PUSTAKA

1.      Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syi’ah; Melacak Akar Historis Kelahiran dan Dasar-Dasar Ajarannya, (Jakarta; Ilya, 2004),
2.      A. Syarifuddin Al Musawi, Isu-isu penting Ikhtilaf; Sunnah-Syi’ah, Cet.3, (Bandung Mizan, 1993),
3.      Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasioanalisme dan Islam, Cet.II, (Semarang, Ramadani, 1980),
4.       Departeman Agama , al Qur’an dan terjemahnya, (Surabaya; Mekar, 2004),
5.      Ensiklopedi Islam, Jilid. V, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1999),
6.      Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta; UI Press, 1986),
7.       Hussain Muyaffar, Tarikhusy Syi’ah, (tp,tt),
8.      Muhammad Tijani As Samawi, Mazhab Alternatif; perbandingan Syi’ah-Sunnah, (Cianjur; Titian Cahaya, 2005),
9.      Muhammad Husaini Beheheshti, Metafisika Al Qur’an; menangkap inti sari tauhid, (Bandung, Arasy, 2003),
10.  Muhammad Faishol Hasanuddin, Mazhab Syi’ah (Dalam Pendekatan Sunnah), (Makasar, Pustaka Al Adl, 2005),       
11.    Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis “Spiritualitas Islam”, (Bandung, Mizan. 2002),




[1] Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta; UI Press, 1986), hlm.1
[2] A. Syarifuddin Al Musawi, Isu-isu penting Ikhtilaf; Sunnah-Syi’ah, Cet.3, (Bandung Mizan, 1993), hlm.26-27
[3] Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasioanalisme dan Islam, Cet.II, (Semarang, Ramadani, 1980), hlm.10
[4] Kata   berarti ‘golongannya’, lihat, Departeman Agama , al Qur’an dan terjemahnya, (Surabaya; Mekar, 2004), hlm.639
[5] Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syi’ah; Melacak Akar Historis Kelahiran dan Dasar-Dasar Ajarannya, (Jakarta; Ilya, 2004), hlm.80  
[6] Hussain Muyaffar, Tarikhusy Syi’ah, (tp,tt), Via Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasioanalisme dan Islam, hlm.15
[7] Muhammad Tijani As Samawi, Mazhab Alternatif; perbandingan Syi’ah-Sunnah, (Cianjur; Titian Cahaya, 2005), hlm.101-102
[8] Ensiklopedi Islam, Jilid. V, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hlm.5
[9] Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah; Rasionalisme dan Islam, hlm.15-16
[10] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis “Spiritualitas Islam”, (Bandung, Mizan. 2002), hlm.219
[11] Faishol Hasanuddin, Mazhab Syi’ah (Dalam Pendekatan Sunnah), (Makasar, Pustaka Al Adl, 2005), hlm.46-47
[12] Muhammad Husaini Beheheshti, Metafisika Al Qur’an; menangkap inti sari tauhid, (Bandung, Arasy, 2003), hlm.157
[13] Muhammad Faishol Hasanuddin, Mazhab Syi’ah (Dalam Pendekatan Sunnah), hlm.29
[14]     Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, hlm.221
[15] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis “Spiritualitas Islam, hlm.223
[16] Istilah gaib mengacu pada menghilangnya imam keduabelas setelah dia lenyap dari dunia kasat mata, tanpa dia meninggal atau sama sekali mangkir dari dunia kasad mata ini.  
[17] Ibid, hlm229-230

No comments:

Post a Comment

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...