Tuesday, 28 March 2017

HAKIKAT POLITIK PENDIDIKAN NASIONAL



HAKIKAT POLITIK PENDIDIKAN NASIONAL


PENDAHULUAN
Politik dan pendidikan merupakan kata kunci dalam memahami substansi pendidikan nasional. Hari ini bangsa Indonesia memang masih terpuruk baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Banyak orang yang menyatakan bahwa itu semua disebabkan terjadinya badai krisis yang menghantam sistem perekonomian Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang lalu. Berawal dari sinilah selanjutnya aneka krisis muncul di permukaan. Analisis seperti itu tentu tidak salah; akan tetapi mendudukkan krisis ekonomi sebagai satu-satunya determinan tentu tidak tepat. Apabila kita telaah lebih dalam sebenarnya ada faktor yang lebih fundamental sebagai penyebab keterpurukan kita; yaitu ketidakberhasilan pendidikan nasional kita. karena pendidikan kita tidak menghasilkan kader-kader bangsa yang berkemauan tulus dan berkemampuan profesional.[1]
Tidak jarang, kita menjumpai kalimat sederhana “overseas graduated is preferred”, “overseas graduated are welcome”, yang kemudian bisa kita terjemahkan menjadi “diutamakan lulusan luar negeri”. Di lain pihak kita jumpai maraknya institusi pendidikan, dari sekolah-sekolah yang berlabel favorit, sekolah unggulan, sekolah biasa-biasa saja, sampai sekolah-sekolahan. Dari jurusan yang diklaim siap kerja, program unggulan, kelas eksekutif, kelas malam, kelas ekstensi. Ironisnya, sering kita mendengar dan melihat bertambahnya pengangguran terdidik yang setiap waktu semakin banyak.[2] Setidaknya inilah fenomena yang tampak dari wajah pendidikan nasional. Tingginya jenjang pendidikan ternyata tidak selamanya menjamin seseorang mendapat kesejahteraan hidup, ataukah masalahnya pada maindset seseorang tentang kehidupan sejahtera tidak selamanya dekat dengan kecukupan materi, pangkat dan jabatan struktural pemerintahan maupun tokoh di masyarakat. Bahwa manusia tidak dapat menentukan secara sepihak masa depannya sendiri, itu merupakan bagian dari sunnatullah. Ada banyak unsur yang membentuk manusia.
Ada kaitan yang erat antara pendidikan dan kebangkitan bangsa. Banyak kalangan berpandangan bahwa momentum Pemilu dapat merubah keadaan menjadi lebih baik melalui kerja-kerja sistemik. Dimana calon-calon pemimpin bersuara lantang mengkampanyekan kebaikan-kebaikan bagi bangsa dan negara. Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si. menyampaikan pandangannya melalui sebuah artikel dalam melihat kualitas budaya politik rakyat. Budaya politik yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, merupakan suatu sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu. Dengan orientasi ini, mereka menilai serta mempertanyakan tempat-tempat peranan mereka di dalam sistem politik.[3]
Dalam sistem politik lebih lanjut Didi Turmudzi mengutip penjelasan Almond dan Verba “Sikap individu dan masyarakat dapat diukur dengan menggunakan ketiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan evaluatif. Komponen kognitif misalnya tingkat pengetahuan seseorang mengenai perkembangan sistem politik, para elite birokrasi, kebijakan-kebijakan yang diambil, dan simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem politik. Komponen afektif berbicara mengenai aspek perasaan seorang warga negara yang khas terhadap aspek-aspek sistem politik tertentu yang membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu. Sedangkan, dalam komponen evaluatif, orientasi warga negara ditentukan oleh evaluasi moral yang memang telah dimilikinya”.[4] Pandangan Almond dapat dimengerti untuk selanjutnya dapat dijadikan kerangka perspektif sebagai problem sharing untuk mencermati bangunan sistem sebuah negara dalam mengatur kehidupan bangsa dan negara. Lebih jauh lagi dapat dirasakan efek dari deverensiasi jarak antara idealisme dalam formulasi tujuan pendidikan nasional dengan pragmatisme dalam pelaksanaan pendidikan?

PEMBAHASAN
Arah kebijakan pendidikan nasional seringkali beruah sejalan dengan bergantinya rezim kekuasaan. Perubahan arah kebijakan dapat dilihat dari Statuta Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas menyatakan bahwa tujuan UGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak perubahan pada isinya di mana salah satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme pendidikan Indonesia.[5] Implikasi langsung dari corak kebijakan negara tersebut Tahun 1960-an terjadi peningkatan luar biasa perguruan-perguruan tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona  pekerjaan bagi rakyat. Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945.[6]
Pada awal 1980-an Perubahan ideologi dan politik ini belum berubah tajam, sampai suatu hari terjadi krisis minyak dunia, yang membuat negara mengetatkan anggaran. Ketergantungan pada ekspor minyak seketika mendatangkan malapetaka karena harga minyak turun drastis di kala utang luar negeri juga jatuh tempo. Anggaran untuk publik diketatkan termasuk di bidang pendidikan. Peng-asastunggal-an ideologi Pancasila melalui pengajaran Pancasila dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dalam sistem pendidikan yang ada, berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi Indonesia berada dalam peta kapitalisme global.[7]

A.    Makna Politik Pendidikan Nasional
Sebelum membahas Hakikat Politik Pendidikan Nasional, maka perlu dipamahi terlebih dahulu pengertian dasar politik dan maknanya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, politik berarti “segala urusan dan tindakan –kebijakan, siasat, dsb– mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain”.[8] Dalam kamus Oxford politik memiliki arti “plan of action agreed or chosen by a political party, a business”.[9]
Terminologi politik menurut Andrew Heywood: “Politics is the activity through which people make, preserve and amend the general rules under which they live. As such, it is an essentially social activity, inextricably linked, on the one hand. To the existence of diversity and conflict, and on the other a willingness to cooperate and act collectively. Politics is better seen as a search for conflict resolution than as its achievement, as not all conflicts are, or can be, resolved”.[10]
Akbar Tandjung berpandangan, Politik terkait dengan upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan (power). Politik dan kekuasaan adalah tujuan-antara (cara), bukan tujuan utama itu sendiri. Idealnya, kekuasaan harus dimanfaatkan  untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kekuasaan tidak boleh dipakai untuk kepentingan diri-sendiri. Namun demikian, kita juga harus catat aksioma Lord Acton yang menegaskan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan (power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely). Kita juga mencatat, adanya kecenderungan manusia untuk, sebagaimana disinyalir Machiavelli, menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Karena politik memiliki tujuan-tujuan mulia, yakni untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, maka insan-insan yang menjadi politisi haruslah didasari oleh suatu keterpanggilan. Jadi, politisi hadir karena keterpanggilan (bukan profesi), sehingga politik-kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan kemakmuran/ kesejahteraan rakyat dan tujuan-tujuan bangsa lainnya. Karenanya dapat dipahami, bahwa yang terpanggil untuk berkiprah di bidang politik justru berasal dari beragam profesi (dokter, pengacara, pengusaha, konsultan, dosen/intelektual, dan sebagainya).[11]
Islam memandang politik sebagai sarana sekaligus tujuan diciptakannya manusia sebagai khalifah. Menurut Abdul Qadim Zallum, politik mempunyai makna mengatur urusan umat, baik dalam maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh Negara maupun umat. Negara mengurus kepentingan umat, sementara umat melaksanakan koreksi terhadap pemerintah.[12] Sebagaimana realitas yang tampak di permukaan bahwa praktik politik yang seringkali didominasi trik, intrik, dan konflik telah menyebabkan politik berkonotasi negatif. Konotosai seperti itu muncul karena politik oleh sebagian besar pelakunya dimaknai secara sempit sebagai sekadar ‘siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana’?.
Senada dengan yang lain, terminologi politik yang dikemukakan David Easton sebagaimana dikutip Nasih bahwa “Politik merupakan sarana dan area untuk mengalokasikan nilai. Dari Easton inilah, muncul istilah politik alokatif. Easton melihat bahwa dalam politik sesungguhnya terjadi negosiasi untuk mengalokasikan nilai-nilai, tepatnya saat terjadi proses-proses pembuatan kebijakan politik”.[13]
Dari beberapa pengertian di atas, makna yang dimaksud dan paling representatif dikemukakan oleh Ki Supriyoko sehingga dapat dimengerti bahwa politik pendidikan Nasional dimaksudkan sebagai pendekatan atau metoda yang didasarkan pada kebudayaan bangsa Indonesia guna mempengaruhi pihak-pihak tertentu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.[14] Politik Pendidikan berorientasi kepada bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai. Sedangkan Pendidikan Politik mempunyai arahan bagaimana masyarakat ‘melek’ politik[15] tawaran pendekatan sehingga masyarakat memiliki kesadaran aktif atas pilihan-pilihan politiknya.
Negara secara konstitusional menjadi pihak yang paling bertanggung jawab, yaitu dalam hal kebijakan yang akan diambil dalam bidang pendidikan. Secara legal-formal, setidaknya sampai saat ini lembaga pendidikan masih memegang peranan yang penting dalam proses pendidikan di Indonesia. Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijaksanaan politik pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Pendidikan Indonesia masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang demikian ini memang secara teoritis tidak nampak, akan tetapi secara praktis merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi. Materialisasi atau proses menjadikan semua bernilai materi telah masuk di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan Islam. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut.[16]

B.     Hakikat Politik Pendidikan Nasional
Kebijakan Pendidikan Nasional tidak dapat dipisahkan dari miltidimensional  masalah masyarakat. Tergesernya pendidikan dalam prioritas dipengaruhi pandangan dan harapan masyarakat atas hasil pendidikan. Ungkapan “buat apa sekolah, toh jadi penganggur” seolah-olah logis karena payahnya pasar kerja Indonesia saat ini. Fakta bahwa sejumlah terdakwa koruptor berpendidikan tinggi bagai menguatkan anggapan pendidikan formal tidak membawa kemaslahatan masyarakat. Pandangan dan harapan seperti itu tidak sepenuhnya tepat sebab menekankan pendidikan sebagai penyelesaian setiap masalah hidup.[17]
Ada semacam kaitan yang kuat antara kebijakan politik pendidikan nasional dengan kesadaran politik masyarakat, bahwa masyarakat dipengaruhi tingkat cakrawala masyarakat tentang kesejahteraan hidup dan kehidupan berkualitas. Pandangan tentang pendidikan ini  terkait dengan mindset dan kesadaran masyarakat tentang dimensi-dimensi kehidupannya yang lain, bagaimana dapat diketahui tujuan pendidikan sejalan dengan kesadaran masyarakat menganggap pendidikan penting dan perlu. Itulah yang dimaksud penulis adalah dengan pilihan sadar-aktif masyarakat atas sebuah kebijakan nasional. Kemajuan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang dasar 1945.
Pendidikan Nasional memang berkaitan erat dengan seberapa besar anggaran negara yang dialokasikan untuk pendidikan. Dalam amandemen ke-4 Undang-undang Dasar 1945, disebutkan 20% dari Anggaran Pendapatan dan Pembelanjaan Negara dialokasikan setiap tahunnya untuk pendidikan. Menilik besaran jumlah alokasi dana pemerintah untuk pendidikan, dalam sambutan presiden R.I pada acara puncak peringatan HARDIKNAS 2007 di Yogyakarta melaporkan “Dalam kurun 3 tahun terakhir, Pemerintah telah memberikan perhatian yang amat serius untuk menyediakan anggaran bagi sektor pendidikan. Pada APBN tahun 2004, anggaran pendidikan baru sebesar 21,4 triliun rupiah. Alhamdullilah, pada tahun 2007 telah mampu kita sediakan anggaran sebesar 50,019 triliun rupiah.[18]




1.      Tujuan Pendidikan Nasional
Rumusan tujuan pendidikan nasional dapat dicermati dalam UUD tahun 1945 dan dalam UU Sisdiknas sebagai panjabaran amanat UUD 1945. rumusan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.       Menurut UUD tahun 1945
Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
b.      Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Dalam pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[19]

2.      Kebijakan Pemerintah
Dalam UU Sisdiknas tentang fungsi dan tujuan pendidikan dalam pasal 3, maka kebijakan pemerintah sangatlah menentukan. Setidaknya ada tiga dimensi Kebijakan Pemerintah yang menjadi isu pokok Politik Pendidikan Nasional, yaitu: a).Dimensi Manajemen Pemerintah; ini menyangkut bagaimana serta sehauj mana pendidikan nasional itu harus dikelola serta dikembangkan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. b).Dimensi prioritas pembangunan; kebijakan ini menyangkut sejauh mana pendidikan nasional mendapat prioritas dalam sistem pembangunan nasional. c).Dimensi partisipasi masyarakat; kebijakan ini menyangkut sejauh mana masyarakat mendapat peluang dan kesempatan untuk berkiprah mengembangkan pendidikan itu sendiri.[20]
Ada satu hal yang paling menarik dari tulisan Ki Supriyoko di bagian akhir, yaitu tentang “Terjadinya jarak antara idealisme dalam formulasi tujuan dengan pragmatisme dalam pelaksanaan pendidikan”. Inilah masalah yang dapat didiskusikan lebih lanjut dan direnungkan serta diberikan solusi Setidaknya dalam makalah ini dapat dikaji paradigma yang dikemukakan Prof. Dr. Tilaar dengan menampilkan data yang representatif tentang arah dan kebijakan pendidikan nasional.
Prof. Tilaar menggunakan tiga sumber utama. a.GBHN 1999-2004 atau TAP MPR-RI No.IV/MPR/1999 tentang BGHN tahun 1999-2004 b.Program Pembangunan Nasional (PROPENAS 2000-2004) c.APBN 2001.[21]
Arah Kebijakan Pembenahan Pendidikan Nasional
AGENDA REFORMASI
(Visi)
GBHN 1999-2004
(Misi)
PROPENAS
(Program)
APBN 2001
(Kegiatan Tahunan)
1.Pendidikan yang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak bagi hidup kebersamaan dan toleransi
2.Masyarakat yang demokratis, damai, berkeadilan, berdaya saing
Sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis, bermutu dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia
1.    Perluasan dan pemerataan pendidikan dengan adanya dana yang mencukupi
2.    Meningkatkan kemampuan dan mutu hidup para pendidik
3.    Membenahi kurikulum
4.    Memberdayakan lembaga pendidikan.
5.    Meningkatkan manajemen pendidikan, termasuk upaya desentralisasi dan otonomi pendidikan
1.      WAJAR-9 tahun
2.      Sarana dan prasarana
3.      Pendidikan alternatif
4.      Beasiswa
5.      Anak usia dini
6.      Profesionalisme guru
7.      Kurikulum
8.      Demokratisasi dan desentralisasi melalui komite sekolah

Bila diceramati lebih jauh, pasal 31 ayat (3) UUD tahun 1945 disebutkan secara ekspisit bahwa sistem pendidikan nasional bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlah mulia di dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Penjabaran tujuan tampaknya ada ketidakkonsistenan di dalam menyusun programnya. Program pendidikan tidak merumuskan mengenai pengembangan watak yang bertakwa.[22]
Hal yang paling penting dan strategis di dalam hal ini adanya landasan hukum baru dalam membenahi pendidikan nasional. Sebagai sebuah model, Agus Nuryatno mengutip pandangan Paulo Freire –filosof pendidikan terkemuka abad ke-20– yang menyampaikan pandangan “Arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya”.[23] Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak? Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?. Politik pemeraan pendidikan menjadi isu pokok, bagaimana negara memberikan kesempatan kepada semua warga negara untak mendapatkan kesempatan pendidikan secara merata.


D.    Pendidikan Islam sebagai Fondasi Pendidikan Nasional
Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional dengan sendirinya memerlukan perhatian khusus dan diberikan porsi yang besar dalam regulasi kebijakan pendidikan nasional. Mengetahui eksistensi pandidikan Islam di dalam sejarah kehidupan berbangsa kita pada masa lalu, kini dan masa yang akan datang.  Menyimak ceramah DR. H. Chairil Anwar, M.Sc. dalam suatu kesempatan menyampaikan: “Siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan?” adalah negara, karena dua alasan; pertama, karena negara memiliki sumber daya yang tidak terbatas, kedua: Negara dapat membuat regulasi-regulasi untuk mengatur kebijakan pendidikan,[24]  seperti contoh sekolah dan perguruan tinggi yang memang tidak menyiapkan SDM untuk menduduki posisi birokrasi dan menjadi tenaga profesional. Kekayaan sumber daya alam negara tentu saja dapat dikekola untuk pengembangan sektor pendidikan, namun kesadaran itu belum tumbuh dalam kesadaran politik pemimpin-peminpin bangsa, keterlibatan departemen-departemen lain –departemen kelautan, kehutanan, pertambangan dll– diharapkan dapat membantu menyelesaikan hajat dasar bangsa Indonesia akan kebutuhan pendidikan. Kesadaran politik akan mengarahkan pemikiran masyarakat pada logika, bahwa ini merupakan tanggung jawab negara dalam mengawal tujuan pendidikan sebagaimana yang di amanahkan dalam undang-undang 1945.
Undang-undang negara kita dalam kacamata politik tidak dapat tidak telah menimbulkan ‘kecurigaan’, bahwa negara dengan sengaja telah men-sekuler-kan pendidikan. Sistem manajemen yang dikeluarkan pemerintah dalam undang-undang otonomi daerah pasal 7 UU Otda menyebutkan “agama tidak termasuk bidang yang disentralisasikan atau diotonomikan ke daerah”. Hal ini menimbulkan multiinterpretasi terhadap kedudukan Pendidikan Agama dalam hal ini madrasah.[25] Padahal pendidikan Islam memiliki akar sejarah yang kuat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Melanjutkan tulisan Ki Supriyoko, pandangan Islam tentang Politik Pendidikan Nasional ditinjau dari dimensi tujuan bisa dijelaskan melalui deskripsi sebagai berikut:[26]
a.       Membangun Iman
b.      Meningkatkan Takwa
c.       Berakhalak Mulia
d.      Menguasai Ilmu
e.       Beramal shaleh
Senada dengan Ki Sipriyoko, Dr. Ainurrafiq Dawam, MA memaparkan:[27]
 “Pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan Pendidikan ketiga institusi di atas memiliki nama yang berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang sama baiak secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal. Secara fungsional trilogi sistem pendidikan tesrebut dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Allah. Secara operasioanal trilogi sistem pendidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa. Secara mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis bahwa trilogi sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan memiliki anak-anak cabang yang dari satu induk mengembang ke berbagai lokasi akan tetapi masih ada ikatan yang kuat secara emosional, intelektual, dan kultural dari induknya.”
Integritas keilmuan yang melekat dalam kehidupan dan ditanamkan  funding father kepada masyarakat dihadapkan dengan kepentingan kaum kolonialisme. Sejak bercokolnya para penjajah di tanah air dan demi melanggengkan kepentingan ideologis mereka, telah terjadi polarisasi lembaga pendidikan yang pada awalnya hanya mengenal pendidikan tradisional, maka pada masa penajajahan ini mulai muncul sistem pendidikan modern. Di sinilah cikal-bakal mulai munculnya istilah pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Adanya fragmentasi ini kemudian juga merembet ke dikotomisasi ilmu pengetahuan yakni ada ilmu agama dan ilmu umum.
‘Kecurigaan’ lebih menguat daripada tumbuhnya kepercayaan ketika pemerintah seolah kehilangan semangat idealisme para funding father dan dengan senang hati mewarisi pemikiran sekulerisme dalam pengembangan keilmuan. Kompromi para funding father dengan berdirinya Departemen Agama, meskipun pada dasarnya Departemen Agama ini mengurusi keperluan seluruh umat beragama di Indonesia, namun melihat latar belakang pendiriannya jelas untuk mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini.[28] Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama adalah dua lembaga pemerintahan yang berbeda, tetapi dalam kegiatan operasional dan regulasi masing-masing diberikan kewenangan sesuai undang-undang, lalu siapa yang paling bertanggung jawab ketika terjadi dualisme?!!. Output pendidikan nasional diarahkan untuk pembangunan pada sektor ekonomi menyebabkan pembangunan jiwa dan mental bangsa menjadi termarjinalkan di bawah naungan DEPAG.

PENUTUP
Dalam Undang-undang, tujuan pendidikan nasional dituliskan bahwa “sistem pendidikan nasional bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlah mulia di dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” ini sekaligus merepresentasikan mayoritas masyarakat muslim Indonesia tetapi upaya pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda serius dalam memberikan regulasi-regulasi kebijakan untuk menjamin tercapainya tujuan mulia tersebut. Sebagai bagian dari konsekuensi global, bangsa Indonesia dengan sumber daya manusianya dituntut agar mampu bersaing dalam skala dunia.



DAFTAR PUSTAKA

Aditya, Willy, “Membandingkan Sistem Pendidikan Indonesia dengan Kuba”, (blog pribadi).
Amnur, Muhdi, Ali, (editor), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007.
Anwar, Chairil, Kultum tarawih, masjid jami’ UIN Sunan Kalijaga, Rabu, 26 September 2007.
Dawam, Ainurrafiq, “Pendidikan Islam Indonesia Kini”, Cybermedia; Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1998.
Heywood, Andrew, Politics; Second Edition, New York: Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire, 1997-2002, hlm. 22-23.
Nasih, Mohammad, (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI, Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI), “Kaum Cendikiawan, Berpolitiklah!”, Kolom Opini Republika.
Nuryatno, M Agus (Staf pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, sedang belajar di McGill University), Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire, (http:// www.duniaesai.com).
Oxord Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford University Press, 2003.
Supriyoko, Ki (Ketua Majelis Luhur Tamansiswa), “Membenahi Pendidikan Nasional”.
Suwignyo, Agus, (Alumnus Faculteit der Pedagogische Onderwijskundige Wetenschappen, Universitas Amsterdam), “Watak Politik-Pendidikan Pemerintah”, Wacana Didaktita Indonesia.com., diakses tanggal 16 September 2007.
Tilaar, H.A.R., Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Toidin (Peminat masalah sosial, politik dan pendidikan), “Sekolah: Antara Kepentingan Publik dan Kepentingan Ekonomi”, Majalah Gerbang, Edisi 11 Th.IV-2005.
Transkripsi Sambutan Presiden Republik Indonesia Pada Acara Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2007 Candi Prambanan, 26 Mei 2007, Situs Web Resmi Prsiden Republik Indonesia.
Turmudzi, Didi, “Pendidikan Politik & Politik Pendidikan”, http:// Pikiran Rakyat.com.
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan penjelasannya, Jogjakarta: Media Wacana, 2003.
Zallum, Qadim, Abdul, Pemikiran Politik Islam, Jawa Timur: Al-Izzah, 2004.




[1] Ki Supriyoko (Ketua Majelis Luhur Tamansiswa), “Membenahi Pendidikan Nasional”
[2] Toidin (Peminat masalah sosial, politik dan pendidikan), “Sekolah: Antara Kepentingan Publik dan Kepentingan Ekonomi”, Majalah Gerbang, Edisi 11 Th.IV-2005, hlm. 59.
[3] Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si., “Pendidikan Politik & Politik Pendidikan”, http:// Pikiran Rakyat.com, diakses tanggal 04 September 2007).
[4] Ibid.
[5] Willy Aditya, “Membandingkan Sistem Pendidikan Indonesia dengan Kuba”, (blog pribadi), diakses tanggal 04 September 2007.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1998, hlm. 780.
[9] Oxord Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford University Press, 2003, hlm. 331.
[10] Andrew Heywood, Politics; Second Edition, New York: Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire, 1997-2002, hlm. 22-23.
[11] Akbar Tandjung, “Kepemimpinan Politik Yang Negarawan”, Jurnal Negarawan,, No:05 (Agustus 2007), www.setneg.go.id, diakses tanggal 28 September 2007.
[12] Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Jawa Timur: Al-Izzah, 2004. hlm. 1.
[13] Mohammad Nasih (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI, Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI), “Kaum Cendikiawan, Berpolitiklah!”, (Opini Republika, diakses tanggal 29 September 2007).
[14] Ali Muhdi Amnur (editor), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007, hlm. 3-4.
[15] Ibid.
[16] Dr. Ainurrafiq Dawam, M.A., “Pendidikan Islam Indonesia Kini”, Cybermedia; Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004, diakses tanggal 16 September 2007.
[17] Agus Suwignyo (Alumnus Faculteit der Pedagogische Onderwijskundige Wetenschappen, Universitas Amsterdam), “Watak Politik-Pendidikan Pemerintah”, Wacana Didaktita Indonesia.com., diakses tanggal 16 September 2007.
[18] Transkripsi Sambutan Presiden Republik Indonesia Pada Acara Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2007 Candi Prambanan, 26 Mei 2007, Situs Web Resmi Prsiden Republik Indonesia, diakses tanggal 16 September 2007.
[19] Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan penjelasannya, Jogjakarta: Media Wacana, 2003, hlm. 12.
[20] Ali Muhdi Amnur (editor), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional…., hlm. 11.
[21] Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed., Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 70-71
[22] Ibid., hlm. 74.
[23] M Agus Nuryatno (Staf pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, sedang belajar di McGill University), Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire, (http:// www.duniaesai.com), diakses tanggal 04 September 2007.
[24] Disampaikan dalam kultum tarawih, masjid jami’ UIN Sunan Kalijaga, Rabu, 26 September 2007.
[25] Ali Muhdi Amnur (editor), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional…., hlm. 12.
[26] Ibid., hlm.9-10
[27] Dr. Ainurrafiq Dawam, M.A., “Pendidikan Islam Indonesia Kini”….
[28] Dr. Ainurrafiq Dawam, M.A., “Pendidikan Islam Indonesia Kini”….

No comments:

Post a Comment

7 KERANCUAN DALAM BERPIKIR

Menurut Jalaluddin Rakhmat (200 5 ) ada 7 kerancuan dalam berpikir : Fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melak...