HAKIKAT
POLITIK PENDIDIKAN NASIONAL
PENDAHULUAN
Politik dan pendidikan merupakan kata
kunci dalam memahami substansi pendidikan nasional. Hari ini bangsa Indonesia
memang masih terpuruk baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya.
Banyak orang yang menyatakan bahwa itu semua disebabkan terjadinya badai krisis
yang menghantam sistem perekonomian Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang
lalu. Berawal dari sinilah selanjutnya aneka krisis muncul di permukaan. Analisis
seperti itu tentu tidak salah; akan tetapi mendudukkan krisis ekonomi sebagai
satu-satunya determinan tentu tidak tepat. Apabila kita telaah lebih dalam
sebenarnya ada faktor yang lebih fundamental sebagai penyebab keterpurukan
kita; yaitu ketidakberhasilan pendidikan nasional kita. karena pendidikan kita
tidak menghasilkan kader-kader bangsa yang berkemauan tulus dan berkemampuan
profesional.[1]
Tidak jarang, kita menjumpai kalimat
sederhana “overseas graduated is preferred”, “overseas graduated are
welcome”, yang kemudian bisa kita terjemahkan menjadi “diutamakan lulusan
luar negeri”. Di lain pihak kita jumpai maraknya institusi pendidikan, dari
sekolah-sekolah yang berlabel favorit, sekolah unggulan, sekolah biasa-biasa
saja, sampai sekolah-sekolahan. Dari jurusan yang diklaim siap kerja, program
unggulan, kelas eksekutif, kelas malam, kelas ekstensi. Ironisnya, sering kita
mendengar dan melihat bertambahnya pengangguran terdidik yang setiap waktu
semakin banyak.[2]
Setidaknya inilah fenomena yang tampak dari wajah pendidikan nasional.
Tingginya jenjang pendidikan ternyata tidak selamanya menjamin seseorang
mendapat kesejahteraan hidup, ataukah masalahnya pada maindset seseorang
tentang kehidupan sejahtera tidak selamanya dekat dengan kecukupan materi,
pangkat dan jabatan struktural pemerintahan maupun tokoh di masyarakat. Bahwa
manusia tidak dapat menentukan secara sepihak masa depannya sendiri, itu
merupakan bagian dari sunnatullah. Ada banyak unsur yang membentuk manusia.
Ada kaitan yang erat antara pendidikan dan
kebangkitan bangsa. Banyak kalangan berpandangan bahwa momentum Pemilu dapat
merubah keadaan menjadi lebih baik melalui kerja-kerja sistemik. Dimana
calon-calon pemimpin bersuara lantang mengkampanyekan kebaikan-kebaikan bagi
bangsa dan negara. Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si. menyampaikan
pandangannya melalui sebuah artikel dalam melihat kualitas budaya politik
rakyat. Budaya politik yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Gabriel A. Almond
dan Sidney Verba, merupakan suatu sikap orientasi yang khas dari warga negara
terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan
warga negara di dalam sistem itu. Dengan orientasi ini, mereka menilai serta
mempertanyakan tempat-tempat peranan mereka di dalam sistem politik.[3]
Dalam sistem politik lebih lanjut Didi
Turmudzi mengutip penjelasan Almond dan Verba “Sikap individu dan masyarakat
dapat diukur dengan menggunakan ketiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan evaluatif.
Komponen kognitif misalnya tingkat pengetahuan seseorang mengenai perkembangan
sistem politik, para elite birokrasi, kebijakan-kebijakan yang diambil, dan
simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem politik. Komponen afektif berbicara
mengenai aspek perasaan seorang warga negara yang khas terhadap aspek-aspek
sistem politik tertentu yang membuatnya menerima atau menolak sistem politik
itu. Sedangkan, dalam komponen evaluatif, orientasi warga negara ditentukan
oleh evaluasi moral yang memang telah dimilikinya”.[4]
Pandangan Almond dapat dimengerti untuk selanjutnya dapat dijadikan kerangka perspektif
sebagai problem sharing untuk mencermati bangunan sistem sebuah negara
dalam mengatur kehidupan bangsa dan negara. Lebih jauh lagi dapat dirasakan efek
dari deverensiasi jarak antara idealisme dalam formulasi tujuan pendidikan
nasional dengan pragmatisme dalam pelaksanaan pendidikan?
PEMBAHASAN
Arah kebijakan pendidikan nasional seringkali beruah
sejalan dengan bergantinya rezim kekuasaan. Perubahan arah kebijakan dapat
dilihat dari Statuta Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas
menyatakan bahwa tujuan UGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada
tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak
perubahan pada isinya di mana salah satu perubahannya adalah menghilangkan
pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme pendidikan Indonesia.[5]
Implikasi langsung dari corak kebijakan negara tersebut Tahun 1960-an terjadi
peningkatan luar biasa perguruan-perguruan tinggi yang sekaligus berarti
peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga
pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Indonesia pada era
tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju
masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945.[6]
Pada awal 1980-an Perubahan ideologi dan politik ini
belum berubah tajam, sampai suatu hari terjadi krisis minyak dunia, yang
membuat negara mengetatkan anggaran. Ketergantungan pada ekspor minyak seketika
mendatangkan malapetaka karena harga minyak turun drastis di kala utang luar
negeri juga jatuh tempo. Anggaran untuk publik diketatkan termasuk di bidang
pendidikan. Peng-asastunggal-an ideologi Pancasila melalui pengajaran Pancasila
dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dalam sistem pendidikan yang
ada, berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi Indonesia berada dalam
peta kapitalisme global.[7]
A.
Makna Politik Pendidikan
Nasional
Sebelum membahas Hakikat Politik Pendidikan Nasional, maka perlu
dipamahi terlebih dahulu pengertian dasar politik dan maknanya. Dalam kamus
besar bahasa Indonesia, politik berarti “segala urusan dan tindakan –kebijakan,
siasat, dsb– mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain”.[8]
Dalam kamus Oxford politik memiliki arti “plan of action agreed or chosen by
a political party, a business”.[9]
Terminologi politik menurut Andrew Heywood: “Politics is the
activity through which people make, preserve and amend the general rules under
which they live. As such, it is an essentially social activity, inextricably
linked, on the one hand. To the existence of diversity and conflict, and on the
other a willingness to cooperate and act collectively. Politics is better seen
as a search for conflict resolution than as its achievement, as not all
conflicts are, or can be, resolved”.[10]
Akbar Tandjung
berpandangan, Politik terkait dengan upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan
(power). Politik dan kekuasaan adalah tujuan-antara (cara), bukan
tujuan utama itu sendiri. Idealnya, kekuasaan harus dimanfaatkan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kekuasaan tidak boleh dipakai untuk
kepentingan diri-sendiri. Namun demikian, kita juga harus catat aksioma Lord
Acton yang menegaskan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang
mutlak pasti disalahgunakan (power tend to corrupt, absolute power corrupt
absolutely). Kita juga mencatat, adanya kecenderungan manusia untuk,
sebagaimana disinyalir Machiavelli, menghalalkan segala cara untuk meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Karena politik memiliki tujuan-tujuan mulia, yakni
untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, maka insan-insan yang menjadi
politisi haruslah didasari oleh suatu keterpanggilan. Jadi, politisi hadir
karena keterpanggilan (bukan profesi), sehingga politik-kekuasaan dipandang
sebagai sarana untuk mewujudkan kemakmuran/ kesejahteraan rakyat dan
tujuan-tujuan bangsa lainnya. Karenanya dapat dipahami, bahwa yang terpanggil
untuk berkiprah di bidang politik justru berasal dari beragam profesi (dokter,
pengacara, pengusaha, konsultan, dosen/intelektual, dan sebagainya).[11]
Islam memandang politik sebagai sarana sekaligus tujuan
diciptakannya manusia sebagai khalifah. Menurut Abdul Qadim Zallum, politik
mempunyai makna mengatur urusan umat, baik dalam maupun luar negeri. Politik
dilaksanakan baik oleh Negara maupun umat. Negara mengurus kepentingan umat,
sementara umat melaksanakan koreksi terhadap pemerintah.[12]
Sebagaimana realitas yang tampak di permukaan bahwa praktik politik yang
seringkali didominasi trik, intrik, dan konflik telah menyebabkan politik
berkonotasi negatif. Konotosai seperti itu muncul karena politik oleh sebagian
besar pelakunya dimaknai secara sempit sebagai sekadar ‘siapa mendapat apa,
kapan, dan bagaimana’?.
Senada dengan yang lain, terminologi politik yang
dikemukakan David Easton sebagaimana dikutip Nasih bahwa “Politik merupakan
sarana dan area untuk mengalokasikan nilai. Dari Easton inilah, muncul istilah
politik alokatif. Easton melihat bahwa dalam politik sesungguhnya terjadi
negosiasi untuk mengalokasikan nilai-nilai, tepatnya saat terjadi proses-proses
pembuatan kebijakan politik”.[13]
Dari beberapa pengertian di atas, makna yang dimaksud
dan paling representatif dikemukakan oleh Ki Supriyoko sehingga dapat
dimengerti bahwa politik pendidikan Nasional dimaksudkan sebagai pendekatan
atau metoda yang didasarkan pada kebudayaan bangsa Indonesia guna mempengaruhi
pihak-pihak tertentu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.[14]
Politik Pendidikan berorientasi kepada bagaimana tujuan pendidikan dapat
dicapai. Sedangkan Pendidikan Politik mempunyai arahan bagaimana masyarakat ‘melek’
politik[15]
tawaran pendekatan sehingga masyarakat memiliki kesadaran aktif atas
pilihan-pilihan politiknya.
Negara secara konstitusional menjadi pihak yang paling
bertanggung jawab, yaitu dalam hal kebijakan yang akan diambil dalam bidang
pendidikan. Secara legal-formal, setidaknya sampai saat ini lembaga pendidikan
masih memegang peranan yang penting dalam proses pendidikan di Indonesia.
Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijaksanaan politik
pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru,
dan Era Reformasi. Pendidikan Indonesia masih mementingkan pendidikan yang
bersifat dan berideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang
demikian ini memang secara teoritis tidak nampak, akan tetapi secara praktis
merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi. Materialisasi atau proses
menjadikan semua bernilai materi telah masuk di segala sendi sistem pendidikan
Indonesia, termasuk pendidikan Islam. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya
dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan
tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah
mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses
pendidikan tersebut.[16]
B.
Hakikat Politik
Pendidikan Nasional
Kebijakan Pendidikan Nasional tidak dapat dipisahkan
dari miltidimensional masalah
masyarakat. Tergesernya pendidikan dalam prioritas dipengaruhi pandangan dan
harapan masyarakat atas hasil pendidikan. Ungkapan “buat apa sekolah, toh
jadi penganggur” seolah-olah logis karena payahnya pasar kerja Indonesia
saat ini. Fakta bahwa sejumlah terdakwa koruptor berpendidikan tinggi bagai
menguatkan anggapan pendidikan formal tidak membawa kemaslahatan masyarakat.
Pandangan dan harapan seperti itu tidak sepenuhnya tepat sebab menekankan
pendidikan sebagai penyelesaian setiap masalah hidup.[17]
Ada semacam kaitan yang kuat antara kebijakan politik
pendidikan nasional dengan kesadaran politik masyarakat, bahwa masyarakat
dipengaruhi tingkat cakrawala masyarakat tentang kesejahteraan hidup dan
kehidupan berkualitas. Pandangan tentang pendidikan ini terkait dengan mindset dan kesadaran
masyarakat tentang dimensi-dimensi kehidupannya yang lain, bagaimana dapat
diketahui tujuan pendidikan sejalan dengan kesadaran masyarakat menganggap
pendidikan penting dan perlu. Itulah yang dimaksud penulis adalah dengan pilihan
sadar-aktif masyarakat atas sebuah kebijakan nasional. Kemajuan masyarakat
sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang dasar 1945.
Pendidikan Nasional memang berkaitan erat dengan
seberapa besar anggaran negara yang dialokasikan untuk pendidikan. Dalam
amandemen ke-4 Undang-undang Dasar 1945, disebutkan 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Pembelanjaan Negara dialokasikan setiap tahunnya untuk
pendidikan. Menilik besaran jumlah alokasi dana pemerintah untuk pendidikan,
dalam sambutan presiden R.I pada acara puncak peringatan HARDIKNAS 2007 di
Yogyakarta melaporkan “Dalam kurun 3 tahun terakhir, Pemerintah telah
memberikan perhatian yang amat serius untuk menyediakan anggaran bagi sektor
pendidikan. Pada APBN tahun 2004, anggaran pendidikan baru sebesar 21,4 triliun
rupiah. Alhamdullilah, pada tahun 2007 telah mampu kita sediakan anggaran
sebesar 50,019 triliun rupiah.[18]
1.
Tujuan Pendidikan
Nasional
Rumusan tujuan pendidikan nasional dapat dicermati dalam
UUD tahun 1945 dan dalam UU Sisdiknas sebagai panjabaran amanat UUD 1945.
rumusan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.
Menurut UUD tahun 1945
Bahwa Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
b.
Menurut UU Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas)
Dalam pasal 3 UU No. 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[19]
2.
Kebijakan Pemerintah
Dalam UU Sisdiknas tentang fungsi dan tujuan pendidikan
dalam pasal 3, maka kebijakan pemerintah sangatlah menentukan. Setidaknya ada
tiga dimensi Kebijakan Pemerintah yang menjadi isu pokok Politik Pendidikan
Nasional, yaitu: a).Dimensi Manajemen Pemerintah; ini menyangkut bagaimana
serta sehauj mana pendidikan nasional itu harus dikelola serta dikembangkan,
baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. b).Dimensi prioritas pembangunan;
kebijakan ini menyangkut sejauh mana pendidikan nasional mendapat prioritas
dalam sistem pembangunan nasional. c).Dimensi partisipasi masyarakat; kebijakan
ini menyangkut sejauh mana masyarakat mendapat peluang dan kesempatan untuk
berkiprah mengembangkan pendidikan itu sendiri.[20]
Ada satu hal yang paling menarik dari tulisan Ki
Supriyoko di bagian akhir, yaitu tentang “Terjadinya jarak antara idealisme
dalam formulasi tujuan dengan pragmatisme dalam pelaksanaan pendidikan”. Inilah
masalah yang dapat didiskusikan lebih lanjut dan direnungkan serta diberikan
solusi Setidaknya dalam makalah ini dapat dikaji paradigma yang dikemukakan Prof.
Dr. Tilaar dengan menampilkan data yang representatif tentang arah dan kebijakan
pendidikan nasional.
Prof. Tilaar menggunakan tiga sumber utama. a.GBHN 1999-2004
atau TAP MPR-RI No.IV/MPR/1999 tentang BGHN tahun 1999-2004 b.Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS 2000-2004) c.APBN 2001.[21]
Arah Kebijakan Pembenahan Pendidikan Nasional
AGENDA
REFORMASI
(Visi)
|
GBHN
1999-2004
(Misi)
|
PROPENAS
(Program)
|
APBN
2001
(Kegiatan
Tahunan)
|
1.Pendidikan yang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak bagi
hidup kebersamaan dan toleransi
2.Masyarakat yang demokratis, damai, berkeadilan, berdaya saing
|
Sistem dan
iklim pendidikan nasional yang demokratis, bermutu dalam rangka mengembangkan
kualitas manusia Indonesia
|
1.
Perluasan dan pemerataan
pendidikan dengan adanya dana yang mencukupi
2.
Meningkatkan kemampuan dan
mutu hidup para pendidik
3.
Membenahi kurikulum
4.
Memberdayakan lembaga
pendidikan.
5.
Meningkatkan manajemen
pendidikan, termasuk upaya desentralisasi dan otonomi pendidikan
|
1.
WAJAR-9 tahun
2.
Sarana dan prasarana
3.
Pendidikan alternatif
4.
Beasiswa
5.
Anak usia dini
6.
Profesionalisme guru
7.
Kurikulum
8.
Demokratisasi dan
desentralisasi melalui komite sekolah
|
Bila diceramati lebih jauh, pasal 31 ayat (3) UUD tahun
1945 disebutkan secara ekspisit bahwa sistem pendidikan nasional bertujuan
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlah mulia di dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Penjabaran tujuan tampaknya ada
ketidakkonsistenan di dalam menyusun programnya. Program pendidikan tidak
merumuskan mengenai pengembangan watak yang bertakwa.[22]
Hal yang paling penting dan strategis di dalam hal ini
adanya landasan hukum baru dalam membenahi pendidikan nasional. Sebagai sebuah
model, Agus Nuryatno mengutip pandangan Paulo Freire –filosof pendidikan
terkemuka abad ke-20– yang menyampaikan pandangan “Arah politik pendidikan
Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed).
Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter, tertindas
oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna
kulit, jender, ras, dan sebagainya”.[23]
Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya
pendidikan kita saat ini berpihak? Apakah negara sudah sungguh-sungguh
mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak
telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa
tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal,
dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya
ke sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya
yang dihuni kaum marjinal?. Politik pemeraan pendidikan menjadi isu pokok,
bagaimana negara memberikan kesempatan kepada semua warga negara untak mendapatkan
kesempatan pendidikan secara merata.
D.
Pendidikan Islam sebagai
Fondasi Pendidikan Nasional
Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional
dengan sendirinya memerlukan perhatian khusus dan diberikan porsi yang besar
dalam regulasi kebijakan pendidikan nasional. Mengetahui eksistensi pandidikan
Islam di dalam sejarah kehidupan berbangsa kita pada masa lalu, kini dan masa
yang akan datang. Menyimak ceramah DR.
H. Chairil Anwar, M.Sc. dalam suatu kesempatan menyampaikan: “Siapakah yang
paling bertanggung jawab terhadap pendidikan?” adalah negara, karena dua alasan;
pertama, karena negara memiliki sumber daya yang tidak terbatas, kedua:
Negara dapat membuat regulasi-regulasi untuk mengatur kebijakan pendidikan,[24]
seperti contoh sekolah dan perguruan
tinggi yang memang tidak menyiapkan SDM untuk menduduki posisi birokrasi dan
menjadi tenaga profesional. Kekayaan sumber daya alam negara tentu saja dapat
dikekola untuk pengembangan sektor pendidikan, namun kesadaran itu belum tumbuh
dalam kesadaran politik pemimpin-peminpin bangsa, keterlibatan
departemen-departemen lain –departemen kelautan, kehutanan, pertambangan dll– diharapkan
dapat membantu menyelesaikan hajat dasar bangsa Indonesia akan kebutuhan
pendidikan. Kesadaran politik akan mengarahkan pemikiran masyarakat pada
logika, bahwa ini merupakan tanggung jawab negara dalam mengawal tujuan
pendidikan sebagaimana yang di amanahkan dalam undang-undang 1945.
Undang-undang negara kita dalam kacamata politik tidak
dapat tidak telah menimbulkan ‘kecurigaan’, bahwa negara dengan sengaja telah
men-sekuler-kan pendidikan. Sistem manajemen yang dikeluarkan pemerintah dalam
undang-undang otonomi daerah pasal 7 UU Otda menyebutkan “agama tidak termasuk
bidang yang disentralisasikan atau diotonomikan ke daerah”. Hal ini menimbulkan
multiinterpretasi terhadap kedudukan Pendidikan Agama dalam hal ini madrasah.[25]
Padahal pendidikan Islam memiliki akar sejarah yang kuat dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa. Melanjutkan tulisan Ki Supriyoko, pandangan Islam tentang
Politik Pendidikan Nasional ditinjau dari dimensi tujuan bisa dijelaskan
melalui deskripsi sebagai berikut:[26]
a.
Membangun Iman
b.
Meningkatkan Takwa
c.
Berakhalak Mulia
d.
Menguasai Ilmu
e.
Beramal shaleh
Senada
dengan Ki Sipriyoko, Dr. Ainurrafiq Dawam, MA memaparkan:[27]
“Pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat
diwakili oleh pendidikan dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai
pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan Pendidikan ketiga institusi di atas
memiliki nama yang berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang sama baiak
secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal. Secara fungsional
trilogi sistem pendidikan tesrebut dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng
mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk
dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.
Secara substansial dapat dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut
merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan
kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni sebagai
pengabdian kepada Allah. Secara operasioanal trilogi sistem pendidikan tersebut
muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek apalagi
perintah dari para sultan, raja, atau penguasa. Secara mekanikal bisa dipahami
dari hasil pelacakan historis bahwa trilogi sistem pendidikan di atas tumbuh
secara alamiah dan memiliki anak-anak cabang yang dari satu induk mengembang ke
berbagai lokasi akan tetapi masih ada ikatan yang kuat secara emosional,
intelektual, dan kultural dari induknya.”
Integritas keilmuan yang melekat dalam kehidupan dan
ditanamkan funding father kepada
masyarakat dihadapkan dengan kepentingan kaum kolonialisme. Sejak bercokolnya
para penjajah di tanah air dan demi melanggengkan kepentingan ideologis mereka,
telah terjadi polarisasi lembaga pendidikan yang pada awalnya hanya mengenal
pendidikan tradisional, maka pada masa penajajahan ini mulai muncul sistem
pendidikan modern. Di sinilah cikal-bakal mulai munculnya istilah pendidikan
tradisional dan pendidikan modern. Adanya fragmentasi ini kemudian juga
merembet ke dikotomisasi ilmu pengetahuan yakni ada ilmu agama dan ilmu umum.
‘Kecurigaan’ lebih menguat daripada tumbuhnya kepercayaan
ketika pemerintah seolah kehilangan semangat idealisme para funding father
dan dengan senang hati mewarisi pemikiran sekulerisme dalam pengembangan
keilmuan. Kompromi para funding father dengan berdirinya Departemen
Agama, meskipun pada dasarnya Departemen Agama ini mengurusi keperluan seluruh
umat beragama di Indonesia, namun melihat latar belakang pendiriannya jelas
untuk mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai mayoritas
penduduk negeri ini.[28]
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama adalah dua lembaga
pemerintahan yang berbeda, tetapi dalam kegiatan operasional dan regulasi
masing-masing diberikan kewenangan sesuai undang-undang, lalu siapa yang paling
bertanggung jawab ketika terjadi dualisme?!!. Output pendidikan nasional
diarahkan untuk pembangunan pada sektor ekonomi menyebabkan pembangunan jiwa
dan mental bangsa menjadi termarjinalkan di bawah naungan DEPAG.
PENUTUP
Dalam Undang-undang, tujuan pendidikan nasional dituliskan
bahwa “sistem pendidikan nasional bertujuan meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlah mulia di dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa” ini sekaligus merepresentasikan mayoritas masyarakat muslim
Indonesia tetapi upaya pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda serius dalam memberikan
regulasi-regulasi kebijakan untuk menjamin tercapainya tujuan mulia tersebut. Sebagai
bagian dari konsekuensi global, bangsa Indonesia dengan sumber daya manusianya dituntut
agar mampu bersaing dalam skala dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya,
Willy, “Membandingkan Sistem Pendidikan Indonesia dengan Kuba”, (blog pribadi).
Amnur, Muhdi, Ali, (editor), Konfigurasi
Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007.
Anwar, Chairil, Kultum tarawih, masjid jami’ UIN Sunan
Kalijaga, Rabu, 26 September 2007.
Dawam, Ainurrafiq, “Pendidikan Islam Indonesia Kini”, Cybermedia; Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober
2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1998.
Heywood, Andrew, Politics; Second Edition, New
York: Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire, 1997-2002, hlm. 22-23.
Nasih, Mohammad, (Mahasiswa Program Doktor
Ilmu Politik UI, Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI), “Kaum Cendikiawan,
Berpolitiklah!”, Kolom Opini Republika.
Nuryatno, M Agus (Staf pengajar Fakultas
Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, sedang belajar di McGill University), Refleksi
Pendidikan Bersama Paulo Freire, (http:// www.duniaesai.com).
Oxord Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford
University Press, 2003.
Supriyoko,
Ki (Ketua Majelis Luhur Tamansiswa), “Membenahi Pendidikan Nasional”.
Suwignyo,
Agus, (Alumnus Faculteit der Pedagogische Onderwijskundige Wetenschappen,
Universitas Amsterdam), “Watak Politik-Pendidikan Pemerintah”, Wacana
Didaktita Indonesia.com., diakses tanggal 16 September 2007.
Tilaar, H.A.R., Membenahi Pendidikan Nasional,
Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Toidin (Peminat masalah sosial, politik dan
pendidikan), “Sekolah: Antara Kepentingan Publik dan Kepentingan Ekonomi”,
Majalah Gerbang, Edisi 11 Th.IV-2005.
Transkripsi Sambutan Presiden Republik Indonesia Pada
Acara Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2007 Candi Prambanan, 26
Mei 2007, Situs Web Resmi Prsiden Republik Indonesia.
Turmudzi,
Didi, “Pendidikan Politik & Politik Pendidikan”, http:// Pikiran Rakyat.com.
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan penjelasannya, Jogjakarta: Media Wacana,
2003.
Zallum,
Qadim, Abdul, Pemikiran Politik Islam, Jawa Timur: Al-Izzah, 2004.
[1] Ki Supriyoko (Ketua Majelis Luhur Tamansiswa), “Membenahi
Pendidikan Nasional”
[2] Toidin (Peminat masalah sosial, politik dan pendidikan),
“Sekolah: Antara Kepentingan Publik dan Kepentingan Ekonomi”, Majalah Gerbang,
Edisi 11 Th.IV-2005, hlm. 59.
[3] Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si., “Pendidikan
Politik & Politik Pendidikan”, http://
Pikiran Rakyat.com, diakses tanggal 04 September 2007).
[4] Ibid.
[5] Willy Aditya, “Membandingkan Sistem Pendidikan Indonesia dengan
Kuba”, (blog pribadi), diakses tanggal 04 September 2007.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, 1998, hlm. 780.
[9] Oxord Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford University
Press, 2003, hlm. 331.
[10] Andrew Heywood, Politics; Second Edition, New York:
Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire, 1997-2002, hlm. 22-23.
[11] Akbar Tandjung, “Kepemimpinan Politik Yang Negarawan”, Jurnal
Negarawan,, No:05 (Agustus 2007), www.setneg.go.id, diakses tanggal 28 September
2007.
[12] Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Jawa Timur:
Al-Izzah, 2004. hlm. 1.
[13] Mohammad Nasih (Mahasiswa Program Doktor
Ilmu Politik UI, Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI), “Kaum Cendikiawan,
Berpolitiklah!”, (Opini Republika, diakses tanggal 29 September 2007).
[14] Ali Muhdi Amnur (editor), Konfigurasi Politik Pendidikan
Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007, hlm. 3-4.
[15] Ibid.
[16] Dr. Ainurrafiq Dawam, M.A., “Pendidikan Islam Indonesia Kini”, Cybermedia; Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober
2004, diakses tanggal 16 September 2007.
[17] Agus Suwignyo (Alumnus Faculteit der Pedagogische
Onderwijskundige Wetenschappen, Universitas Amsterdam), “Watak
Politik-Pendidikan Pemerintah”, Wacana Didaktita Indonesia.com., diakses
tanggal 16 September 2007.
[18] Transkripsi Sambutan Presiden Republik Indonesia Pada Acara Puncak
Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2007 Candi Prambanan, 26 Mei 2007,
Situs Web Resmi Prsiden Republik Indonesia, diakses tanggal 16 September 2007.
[19] Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) dan penjelasannya, Jogjakarta: Media Wacana, 2003, hlm. 12.
[20] Ali Muhdi Amnur (editor), Konfigurasi Politik Pendidikan
Nasional…., hlm. 11.
[21] Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed., Membenahi Pendidikan
Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 70-71
[22] Ibid., hlm. 74.
[23] M Agus Nuryatno (Staf pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Sunan
Kalijaga, sedang belajar di McGill University), Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire, (http:// www.duniaesai.com),
diakses tanggal 04 September 2007.
[24] Disampaikan dalam kultum tarawih, masjid jami’ UIN Sunan Kalijaga,
Rabu, 26 September 2007.
[25] Ali Muhdi Amnur (editor), Konfigurasi Politik Pendidikan
Nasional…., hlm. 12.
[26] Ibid., hlm.9-10
[27] Dr. Ainurrafiq Dawam, M.A., “Pendidikan Islam Indonesia Kini”….
[28] Dr. Ainurrafiq Dawam, M.A., “Pendidikan Islam Indonesia Kini”….
No comments:
Post a Comment